Hari itu dunia mendukungnya, ia akhirnya bisa kuliah di Kampus yang diinginkannya. Seorang gadis muda yang baru menginjak 20 tahun itu, melangkahkan kakinya menuju gedung tinggi dengan simbol pendidikan lengkap.
Universitas ternama, menjadi tujuannya untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda selama hampir dua tahun. Senyumnya mengembang dengan lesung pipit disebelah pipinya tanda kebahagiaan yang sangat ia syukuri, rambutnya terurai indah lurus dan berkilau bak iklan shampo rebonding.
Percayalah tak ada kata terlambat bagi setiap makhluk untuk belajar ketahap selanjutnya, begitu yang dirasakan Azmi khoerunnisa. Seorang gadis yang akhirnya berhasil menuntut ilmu didunia perkuliahan, tak ada yang tak mungkin selama mau belajar, ia yakin bisa mengejar ketertinggalan yang pernah terjadi padanya karena kekurangan biaya.
Harap maklum, karena ia bukan dari kalangan sultan. Pergi ke kampus pun ia menggunakan sepeda bekas ibunya yang sudah berumur dan berkarat.
Buk
Karena matanya celingukan, gadis muda itu tak sengaja menabrak sosok yang berbaju putih. Ia bukan hantu karena gayanya sangat rapi.
Tubuh Azmi menghimpit pada tubuh pria tampan, dengan potongan rambut curtain atau biasa disebut gaya rambut belah poni, yang membingkai wajah. Posturnya tinggi, membuat Azmi tenggelam pada dada bidang pria tersebut.
Ia menengadah, menatap wajah pria berkemeja putih tersebut yang sangat tampan dimatanya. Tangannya tak sengaja menyentuh dada berotot bak roti sobek itu, cuma penasaran saja karena sangat terlihat bentuknya walau dari luar.
Matanya terpesona menatap wajah tampan lelaki itu, hingga tanpa sadar ia tersenyum menatapnya. Untung lorong itu sedang sepi, kalau tidak ia pasti jadi bahan olok-olok karena bertemu dan bertabrakan dengan pangeran berkemeja putih. Bukan berkuda putih.
"Maaf, Kakak senior. Aku gak sengaja," ucap Azmi dengan malu-malu.
"Kau bilang apa?" tanya lelaki muda dan ganteng itu mengangkat sebelah alisnya.
"Aku bilang, aku minta maaf kakak senior," ulang Azmi dengan nada yang lebih tinggi tapi terkesan halus.
"Sepertinya kau mahasiswa baru," tebak lelaki itu.
"iya, kakak. Aku memang baru masuk," ujar Azmi membenarkan.
"Kakak," ulang lelaki itu membuat Azmi merasakan ketegangan listrik 900 watt, bulu kuduknya berdiri dan memberi sinyal adanya aura makhluk asing.
Azmi menelan salivanya, ia merasa tak ada yang salah tapi kenapa lelaki itu seakan mengumbar kesalahannya. Ia masih muda, emangnya salah dipanggil kakak?
"Tak mungkin aku memanggilnya Alien yang umurnya sudah berkarat, dia kan bukan Do min joon. Dosen alien yang awet muda, dalam drama korea itu," gumam Azmi dalam hati masih dengan senyam-senyum sendiri.
Tanpa sepatah kata, pria itu pergi begitu saja. Tanpa menoleh tanpa pula ia menjelaskan kata yang salah dalam perkataan Azmi.
Nafas lega gadis itu rasakan, ia pun melanjutkan langkahnya menuju kelas yang akan ia masuki sekarang. Dengan langkah yang sangat gembira, dihari pertamanya ia bisa bertemu sosok yang bisa mencuci matanya.
....
Suasana kelas masih sepi ada empat orang yang berada didalam, Azmi masuk kedalam kelas itu dan duduk diatas dua wanita yang tengah mengobrol tersebut. Kebetulan bangku mereka meninggi bak bangunan piramida.
"Ya lah, pak Athar emang ganteng cuma umurnya aja udah tua," ucap wanita berambut panjang bergelombang.
"Gila 35 tahun masih jomblo, kok bisa, ya. Dosen ganteng gitu, pinter kek, pak Athar gak laku-laku," sahut temannya berambut pendek lurus sebahu itu dan berponi.
"Padahal gue mau, loh. Kalau dia naksir gue, apa harus gue jebak dia, ya, kaya di sinetron gitu?" wanita berambut panjang itu terkikik geli.
"Gila, lo besti. Kurang ajar banget!" sahut temannya ikut terkekeh mendengar ide random bestinya.
Azmi menggelengkan kepalanya pelan, ada-ada aja obrolan mahasiswi zaman sekarang. Ada Dosen ganteng saja main jebak-jebakan.
"Kenapa gak dipelet aja sekalian?" gumam Azmi dalam hati dan dengan bibir merapat kedalam.
Azmi gak ikut nimbrung ia takut salah bicara, kalau di rumah jangan tanya, karena ia punya kakak yang sama-sama jomblo berkarat. Juga ibunya yang masih alhamdulilah bawel nya mirip ikan bawal.
Perlahan waktu berdetak, makin lama satu-persatu para mahasiswa masuk kedalam kelas memenuhi ruangan yang menandai dimulai pembelajaran.
Terakhir, azmi melihat laki-laki yang tak sengaja ia tabrak tadi. Pria berkemeja putih itu dengan cool-nya mendekati meja dosen dan menaruh buku dan tas yang dibawanya. Ia meraih buku yang diperkirakan absenan para mahasiswa.
Awalnya semua biasa saja, tapi mata Azmi mendadak membulat melihat gelagat lelaki itu. Pikirannya melayang pada percakapan tadi pagi yang tak mungkin ia lupakan. Jika memang lelaki itu tak suka dipanggil kakak senior, artinya ...
"Anjirr, dia si Bapak Dosen," celetuk Azmi yang segera menutup mulutnya dan menundukkan kepalanya, tentu saja ia merasa malu setengah mati.
Jika dipikirkan lagi sekarang adalah jam kuliah pak Atharrazka Abdillah, jadi pria yang sedang mengabsen itu, pria yang ia tabrak tadi itu ternyata dosen bukan kakak senior.
Beberapa teman sekelasnya melirik padanya, bahasa tak sopan bisa muncul dikelas itu. Namun diantara mereka ada pula yang tersenyum mendengar celetukan mahasiswa baru itu. Begitu pun lelaki yang duduk dibangku atas Azmi yang sedari awal masuk melirik pada gadis tersebut.
"Siapa itu? Sopan sekali," ujar bapak Dosen tersebut melihat satu-persatu muridnya.
Beberapa mahasiswa tertawa mendengarnya, beberapa masih melirik Azmi yang masih menyembunyikan mukanya.
"Duh, hari pertama masuk kuliah malah apes. Bukannya tebar kepintaran malah tebar pesona," batin Azmi menggerutu.
"Kita absen dulu," ucap Si Bapak dosen tersebut.
"Ayudia Pratama!" panggil pak Athar.
"Hadir, Pak," jawab cewek yang ada dibelakang.
"Benny Jatmiko," panggil pak Dosen.
"Hadir," sahut lelaki yang ada didepan.
....
"Katanya ada mahasiswi baru disini, silahkan perkenalkan diri. Mau didepan atau ditempat, asal jangan di Lapangan karena bisa dianggap gila," ujar pak Athar dengan nada bercanda.
Azmi mengacungkan tangan kanannya, dengan malu-malu ia berdiri.
Muka Athar tampak terkejut, ia tak menyangka mahasiswa yang ia anggap aneh itu ternyata mengambil jam mata kuliahnya.
"Iya, silahkan!" ucap pak Athar mempersilahkan.
"Hai semuanya, nama saya Azmi khoerunnisa. Panggil Azmi aja, terima kasih," ucap Azmi lalu duduk kembali.
Para pelajar itu berseru menyambut teman baru di kelasnya.
"Hai Azmi, kenalin gue Benny," ucap lelaki yang tersenyum manis menyapanya untuk menjadi orang pertama.
"Huuuuuhhhh," seru yang lainnya.
"Ti-ati, Azmi. Dia ini buaya berutang," ejek teman lelaki disebelahnya dengan tawa recehnya
Semuanya tertawa.
"Enak aja lo, gua masih jomblo Azmi. Jangan dengerin dia, dia mah jodi, jomblo ditinggal mati," ujar Benny membela diri.
"Sudah, sudah kita mulai pelajarannya," ucap pak Athar menyudahi.
Azmi menghembuskan nafasnya, ada lega tapi ada takut juga. Takut pak dosen menyuruhnya ke ruangannya.
....
Dan setelah pelajaran selesai.
"Azmi khoerunnisa, ikut sekarang keruangan saya," panggil pak Athar.
Nah, kan. Tubuh Azmi serasa lemas, ia langsung menyembunyikan mukanya mendengar perintah bapak dosen.
Dalam ruangan yang hening dua insan yang berbeda usia dan jenis itu duduk berhadapan, tak ada suara keduanya sama-sama diam dan fokus pada urusan masing-masing. Bapak dosennya sibuk mencatat sesuatu, sedangkan mahasiswinya melirik kesekitar ruangan yang terasa bak tempat interogasi.
Azmi melirik pada kertas bergaris yang tertulis deretan nama mahasiswa yang ikut dalam mata kuliah bapak Athar. Di angka terakhir namanya tertulis disana, ia masih diam tak ingin tanya sesuatu karena takut salah ucap lagi.
"Kau tahu, kenapa saya panggil kamu kesini?" tanya itu dosen yang sudah selesai mendata ulang.
"Ya mana saya tahu, kan dari tadi bapak diam dan menulis saja," jawab Azmi dengan polosnya, yang penting dia menjawabnya lantas apa salahnya.
"Kenapa gak bertanya?" tanya dosen itu lagi yang menghela nafas sebal.
"Saya takut salah panggil bapak dengan kakak senior lagi, saya kan masih baru disini," jawab Azmi dengan jujur.
"Nah, itulah kesalahan kamu," ucap si bapak.
Azmi menganga, benar kata sepupunya dosen itu tensian dan juga mereka itu pada killer. Tak ada yang namanya dosen baik hati, jadi jangan samakan dosen dengan guru. Level dan pendidikannya saja sudah beda begitu pun cara ngajarnya, jadi kudu kuat mental dan kuat iman.
Kuat mental kalau dosennya killer abis, kuat iman kalau dosennya seganteng bapak Prof, Dr. Atharrazka Abdillah. Sejelas itu ia bisa melihat ketampanan bapak dosennya dari dekat, sampai ia harus menahan deguban jantungnya yang temponya meningkat saat wajah itu menatapnya.
"I-iya, Pak. Saya minta maaf," ucap Azmi menundukkan kepalanya dengan sesekali melirik pada dosen yang di incar para mahasiswi itu.
"Begini, karena kamu masih baru saya ingin kamu membuat makalah dengan tema apa saja. Saya harus tahu kemapuan kamu, karena kesan kamu diawal sangat buruk. Apalagi saat kamu mengucapkan kata Anjirr, sangat-sangat tak sopan," papar bapak Athar.
Mata Azmi membulat menatap wajah pak dosen itu, ia baru sadar ternyata ia sedang dihukum karena masalah sepele itu. Tangannya yang ada dibawah meja itu mengepalkan dan bibirnya cemberut, kala mendengar hukuman didapatnya adalah membuat makalah.
"Iya pak," ucap Azmi menyetujui hukuman yang diberikan oleh pak dosen.
Setelah selesai berbicara dengan pak Athar, dengan langkah malas Azmi berjalan kekantin ia duduk di bangku kosong yang tak ada satu pun orang disana. Pikirannya mumet, baru masuk sudah dapat hukuman dari bapak dosen alih-alih kenalan dengan teman atau cowok tajir.
Kan, ia bisa berbagi ilmu sosialitas. Cita-citanya tak setinggi langit emang, ia hanya ingin jadi pengacara saja seperti sang ayah. Hidup dengan tenang dan menjadi pengacara hebat, segitu saja sudah cukup baginya.
"Gini amat hidup ku," gerutu Azmi menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan yang berada diatas bangku.
"Emang hidup lo kenapa?" suara lelaki menyahut dan bertanya padanya.
Sontak Azmi menoleh pada sumber suara itu, ia ingat lelaki itu adalah teman sekelasnya yang sama-sama belajar hukum.
"Boleh duduk disini?" ucap lelaki itu meminta ijin.
Azmi mengangguk pelan, ia kaget ada lelaki yang mau dekat dengannya. Semasa SMA saja tak ada yang mau dekat dengannya kerena dekil dan hitam. Dulu ia tak pernah memakai skin care, berbeda dengan sekarang ia punya penghasilan sendiri meski sedikit, biaya kuliahnya pun dibantu kakaknya yang sudah bekerja.
"Kalau boleh tahu hidup lo itu kenapa?" tanya lelaki itu.
"Kamu itu namanya siapa, ya? Maaf aku gak nyimak absenan," tanya Azmi yang membuat laki-laki itu terkekeh pelan.
"Kamu itu lucu banget, ya. Ok! Kita kenalan aja dulu," laki-laki itu menyodorkan tangannya pada Azmi.
Dengan ragu Azmi menjabat tangan lelaki tersebut.
"Nama gue Anggara, panggil aja Angga," lelaki itu dengan tersenyum.
"Azmi," sahut Azmi dengan singkat.
"Nama yang manis, semanis orangnya," puji Anggara menggombali gadis polos itu.
"Jangan gombal-in aku, aku mungkin lebih tua dari kamu," ujar Azmi pura-pura gak keGeeran, padahal hatinya tersenyum dibilang manis.
Seorang pedagang menghampiri mereka, ia membawa nampan yang berisi dua mie ayam dan dua teh botol. Mamang pedagang itu menaruhnya di bangku tepat Azmi dan Angga.
Azmi menatap heran pada pedagang tersebut, ia merasa tak memesan apapun malah duduk dan langsung menyandarkan mukanya.
"Mang, saya kan gak pesan apa-apa," ucap Azmi memberitahukan dan menjelaskan.
"Angga yang pesan dan bayar," ujar si mamang.
Azmi melirik pada Angga yang sudah menyeruput teh botolnya, ia hendak mengatakan sesuatu tapi keduluan sama lelaki tersebut.
"Makan aja, gue traktir," ucap Angga, tapi Azmi masih menatap mangkuk dan teh botol yang ada dihadapannya.
Ada rasa takut dihatinya, dengan makanan yang dihidangkan oleh orang lain.
Menyadari keterdiaman nya Azmi, Angga sempat heran tapi ia hempaskan segera.
"Ada apa?" tanya lelaki itu sambil memakan mie ayam yang sudah ia campur aduk dengan sambalnya.
"Ini gak ada sianidanya, kan," bisik Azmi.
Makanan yang harusnya masuk ketenggorokan malah masuk kehidung, itulah yang Angga rasakan hingga hidungnya terasa perih dan panas. Ucapan Azmi ini menurutnya sangat konyol, dengan motif apa ia harus memasukan racun itu pada gadis yang baru dikenalnya.
"Elo itu ada-ada aja," sontak Anggara melirik pada Azmi yang menatapnya dengan wajah polos khas anak SD.
"Maaf, aku harus berhati-hati dengan pemberian orang lain. Apalagi yang belum aku kenal sama sekali, sekali lagi aku minta maaf gak bisa terima traktiran kamu," ucap Azmi dengan halus menolaknya.
Azmi beranjak dari tempat duduknya, sementara Anggara hanya menatapnya dengan membeku. Baru kali ini ada cewek yang menolak traktirannya, memang mereka belum kenal lama tapi ...
Anggara mengusap pipinya lalu dagunya, "Emang gua kurang ganteng, ya." pikirnya.
Selama ini tak ada satu pun cewek yang menolaknya karena ia berasal dari keluarga konglomerat, namun melihat Azmi yang berbeda dari cewek yang mendekatinya ia tersenyum.
"Sangat menantang," gumam Anggara, tak berkedip ia melihat Azmi yang berjalan menjauh dari kantin.
...----------------...
Dirumah, tepatnya dikamar Azmi mulai mencari bahan untuk membuat makalah yang akan diberikan pada bapak dosen, dengan laptop bekas kakaknya ia mulai membaca tiap analisis yang menjadi tema karya tulis ilmiahnya.
Juga buku yang ia pinjam dari perpustakaan, untuk mencocokkan dan menjelaskan sedetail mungkin tema yang akan ia tulis. Suara tekanan laptop itu terdengar lincah, kala tangan mungil gadis itu menuliskannya dengan cepat.
Drrrrtttt
Drrrrrtttt
Bunyi ponselnya menyala dan berdering mengusik ketenangannya untuk belajar dan menulis, ia raih dan menggeser tombol hijau yang tertera dibawah layar. Kemudian Azmi menghentikan aktivitasnya dan fokus pada orang yang sedang menghubunginya, mungkin berita penting.
"Mimi, apa kabar adikku yang centil, ceroboh tapi cerdas?" suara wanita menyapanya dengan pertanyaan kabar tentangnya.
"Baik Mil, kamu gimana?" sahut Azmi sembari memutar badannya kearah kanan.
"Gue mau sekarat, Mi. Abis mau dijodohin sama bujang lapuk," ujar Kamila, kakak sepupu Azmi.
"Setan, lo! Ngomong gak ada benernya, lo mau kawin jangan bikin malu keluarga, Mil. Kan, elo udah setuju ama perjodohannya uwa dan temennya," tutur Azmi memberikan nasehat seolah ia paling bener.
"Lebih tepatnya dipaksa setuju, Mi. Elo kagak kenal uma gue aja, beliau akan melakukan segala cara untuk melakukan keinginannya. Anaknya aja dijadikan tumbal perkawinan ama bujang lapuk, mana dosen lagi kerjaannnya," ungkap Kamila panjang lebar.
Mendengar pekerjaan calon suami sepupunya, Azmi jadi ingat sama pak Athar. Tiba-tiba kesal jadinya mengingat ia dihukum karena masalah sepele, emang tuh dosen tensian dia pikir dosen gak semuanya killer ternyata realita dan faktanya tak jauh dari mitosnya. Dosen emang killer.
"Kok gue jadi inget Dosen gue, ya," terdengar suara tawa kamila disebrang sana.
"Pasti dosennya killer, iya kan. Dan elo dihukum bikin makalah tema bebas, dido'akan berjodoh lahir batin sampe jannah." suara tawa kamila masih menggema diponsel hitam itu.
"Anjirr, setan emang lo," umpat Azmi.
"Amit-amit si jabang bayi, berjodoh ama tuh dosen. Otak gue masih waras, mil," ujar Azmi mengetuk-ketuk kepalanya.
Azmi berjalan disuatu tempat asing yang tampak seperti sebuah mesjid lama, ini aneh dan ia belum pernah berada ditempat itu namun ia terus berjalan mencari sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa itu.
Dari jauh ada selembar kain sutera yang menggantung indah, dibelakang kain itu ada sosok yang tak ia lihat wajahnya karena tertutup oleh kain indah tersebut. Anehnya ia menghampiri sosok tersebut, entah kenapa ada rasa ingin mengetahui sosok tersebut.
Ia terus melangkahkan kakinya, mendekati sosok tersebut yang kian dekat dengannya. Saat ia membuka kain sutera yang menggantung itu matanya membola karena ia tahu betul siapa sosok tersebut.
"Pak Athar," pekiknya.
Azmi terbangun dari mimpi panjangnya, dengan nafas ngos-ngosan lalu ia meraih uap angin sebanyak mungkin. Bisa-bisanya ia bermimpi bertemu dengan bapak dosen yang menyuruhnya membuat makalah itu.
Habis makan apa ia semalam? Sampai bisa bermimpi bertemu dengan dosen killer seperti pak Athar. Wajahnya emang ganteng tapi sikapnya gak seganteng mukanya.
"Azmi, bangun! Sudah subuh," suara ibunya terdengar dibalik pintu kamarnya sambil mengetuk pintu.
"Iya, uma," sahut Azmi dari kamarnya.
Dengan malas ia beranjak dari ranjangnya, melangkah kekamar mandi untuk membersihkan dirinya. Selanjutnya ia melaksanakan ibadah subuh, tak lama hanya sebentar setelahnya ia menggerakkan badannya sejenak dihalaman belakang rumah.
Seorang laki-laki yang umurnya jauh lebih tua dari Azmi mengawasinya, ia tersenyum sambil mengunyah bakwan yang digenggamnya terus menyeruput sedikit kopi susu yang masih mengepul asapnya.
"Gimana kuliahnya, Ami. Gampang?" tanya lelaki itu sambil memasukkan sisa bakwan ke mulutnya.
"Dosennya rese, a. Cuman gegara tebar pesona aja Ami dihukum bikin makalah," jawab Azmi.
"Bagus itu, dari pada disuruh ngang-kang," ujar kakaknya Azmi sambil terkekeh pelan.
"Belajar yang bener, jangan tebar-tebar pesona. Kamu itu sudah susah masuk kesana pikirannya oppa oppa kalau gak gégé gégé, siapa sih mereka sampe bikin kamu klepek-klepek?" geram kakaknya.
Azmi menyudahi aktivitasnya, ia duduk dikursi disebelah kiri kakaknya hanya terhalang meja bundar diantara mereka. Ia mengambil bakwan diatas piring dan memakannya, ia menikmatinya dengan tenang.
"Inget! jangan tebar pesona terus, nanti aa jodohin kamu sama bujang lapuk, kaya si kamila. Dia juga dosen berkarat calonnya, mau kamu," ujar Kakaknya Azmi sambil tersenyum lalu menyeruput kopinya.
Azmi memanyunkan bibirnya, pikirannya sudah membentengi diri soal dosen-dosen yang berkarat.
"Amit-amit," ucap Azmi menatap kakaknya yang kepanasan karena sedang menikmati kopinya.
Terlintas-lah pikiran setan untuk menjahili kakaknya yang masih meniup-tiup gelas yang berisi kopi itu. Bibirnya tersenyum sambil mengunyah bakwan dalam mulutnya.
Azmi berdiri, saat kakanya mulai menyeruput saat itulah ia menekan kasar gelas kopi yang dipegang sang kakak hingga belepotan dimulutnya dan tumpah ke kaos oblong kakaknya.
Setelahnya Azmi segera kabur, "A Azzam juga bujang lapuk bujang berkarat!" terdengar suara tawa gadis itu.
Lelaki itu mengipasi mulut dan dadanya yang kepanasan akibat kopi susunya yang tumpah oleh tangannya, ia dibuat kesal oleh ulah sang adik yang sudah masuk kedalam rumah.
"Dasar adik durhaka!" umpat Azzam.
Seperti itulah kedekatan Azmi dan Azzam setiap hari, kakak beradik yang umurnya berjarak sepuluh tahun itu sudah seperti anjing dan kucing tiap bertemu. Jika tak ada salah satunya rumah sederhana itu sangat sepi.
Tak banyak orang yang menghuni rumah dengan dinding tembok dan atap seng itu, hanya tiga orang karena sang ayah sudah meninggal saat Azmi dibangku SMA.
Setelah lulus sekolah abu-abu, Azmi tak bisa melanjutkan kebangku perkuliahan karena Azzam belum bekerja dan ekonomi keluarga menurun. Tapi sekarang ia sudah bisa melanjutkan ke universitas karena bantuan kakaknya, sedangkan ibunya sudah biasa berdagang gorengan dan nasi kuning depan rumah.
Teras rumah mereka sudah ramai sejak ibu Jamilah berjualan, kadang jam delapan sudah habis dibabat para tetangga sambil bergosip tentang artis atau juga berita tentang hari ini.
"Milah, nasi kuningnya masih ada?" tanya bu Mira kakak ipar dari ayah Azmi, ibunya kamila.
"Habis, teh. Besok aja, tadi ada yang borong," jawab ibunya Azmi itu.
"Oalah, aku kehabisan rupanya. Ya udah deh, aku pesen bakwan sama pisang gorengnya," ujar Bu Mira.
"Ngomong-ngomong, selamat ya teh. Karena sebentar lagi mila mau kawin, sama dosen lagi. Ih, saya iri," ucap tetangga yang sama-sama beli gorengan diwarung bu Jamilah.
"Iya, dong. Kebetulan suami saya itu dekat sama pejabat dan orang-orang sukses, makanya saat ada yang besanan saya setuju aja, karena nih dia itu kerjanya dosen udah punya rumah, mobil, gajinya gede. Kalau ditolak kan Sayang," ujar bu Mira berbangga diri, karena sudah membuat para tetangganya iri.
Bu mira memainkan rambut poninya agar tangan yang penuh gelang emas itu bisa dilihat para ibu-ibu tetangga, katanya itu pamer kekayaan ala ibu sosialita.
Memang benar, nyatanya mereka takjub melihat gelang-gelang yang melingkar ditangan kiri dan kanannya bu Mira. Para tetangga itu sampai kepanasan melihat keadaan bu Mira yang hidupnya enak karena suaminya seorang anggota DPR.
Berbeda dengan bu Jamilah yang fokus menggoreng dan melayani pembeli lainnya.
"Makasih, bu," ucap bu Jamilah setelah menerima uang hasil penjualan gorengannya.
"Milah, kamu gak mau anakmu aku cariin jodoh juga. Siapa tahu bisa naikin derajat keluarga?" ujar bu Mira masih pamer level sosialitanya yang mengenal para pejabat itu.
"Iya tuh, bu. Azmi kan sudah dua puluh tahun, sudah pas lah buat berumah tangga. Biar gak jadi beban keluarga," ujar tetangga, merendahkan bu Jamilah tapi ibunya Azmi itu hanya tersenyum saja mendengar kata hinaan yang menganggap anaknya beban tersebut.
"Gak, teh. Azmi masih mau kuliah belum mikirin soal nikah," jawab bu Jamilah dengan sopan menolak.
"Alah, setinggi apapun pendidikan wanita ujung-ujungnya pasti jadi ibu rumah tangga. Disuruh bikin sambel sama ngulek aja kudu pinter, pendidikan tinggi-tinggi itu gak bisa jadi jaminan anakmu bisa sukses," hina bu Mira merendahkan adik iparnya dan juga keponakannya.
"Iya betul, lagi pula sarjana saja susah cari kerja. Kalau Azmi ketuaan udah kagak laku entar," timpal ibu tetangga yang lain.
"Iya, bener tuh. Laki-laki itu lebih suka yang masih muda, masih polos. Kalau Azmi belum menikah lama-lama jadi perawan tua," sambung yang lainnya.
Azmi yang tak sengaja mendengar obrolan dibalik dinding hanya bisa diam dan menggerutu, melihat mereka tersenyum menghina dan merendahkan keluarganya. Itu hidupnya tapi mereka malah repot-repot mengomentarinya seperti tak punya kerjaan saja.
Padahal ia minta makan juga enggak, apalagi numpang hidup. Tapi uwa-nya dan para tetangga nya hobi banget julid-in keluarganya yang hidupnya lebih miskin dari mereka dan membanding-bandingkannya dengan Kamila, anak dari uwanya itu.
"Aku do'ain, kamila nikahnya gak jadi," gumam Azmi dengan kesalnya menatap tajam uwa-nya dan para tetangganya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!