NovelToon NovelToon

Kehidupan Di Dunia Iblis

Bab 1 - Sangat Berisik

Musim semi, harum mewangi sampai jauh ke pegunungan.

Dari pegunungan jauh, angin berhembus.

Di ujung atap, lonceng angin bergemerincing, berisik sekali.

Ning Xuan tengah berbaring di atas sepasang kaki panjang berkulit putih mulus.

Sudah enam belas tahun sejak ia menyeberang ke dunia ini, dari bayi hingga remaja. Semua yang pernah ia alami sebelum menyeberang dunia, kini hanyalah seperti mimpi lama yang memudar.

Sekarang, ia menguap lebar.

Pemilik kaki putih panjang itu menyempatkan diri menyuapkan sebutir anggur yang sudah dikupas ke dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu, terdengar tawa lembut yang manja, lebih berisik daripada gemerincing lonceng angin.

“Tuan muda, ini anggur Mutiara Roh dari wilayah barat. Katanya, tiga ekor kuda pilihan harus dipacu bergantian supaya bisa cepat sampai. Begitu tiba di kabupaten kita, langsung disimpan semalam di ruang es. Pagi buta tadi, sebelum matahari terbit, putri sulung Keluarga Dagang Fugui sendiri yang mengantarkannya. Hihihi…”

“Ababa.”

“Ababa…”

Ning Xuan langsung melahap anggur Mutiara Roh itu. Begitu buah itu pecah di mulut, sarinya meledak, menyerbu indera pengecapnya.

Pandangan matanya mulai buram, pegunungan di kejauhan pun ikut terlihat kabur.

Ia membuka mulutnya lagi, menunggu suapan anggur berikutnya.

Siapa suruh. Dia adalah satu-satunya putra Tuan Ning?

Di Kabupaten Xinghe, siapa yang tak tahu pepatah: “Bupati bisa silih berganti, tapi Tuan Ning tetap kokoh tak tergantikan”?

Banyak orang tahu, Tuan Ning memiliki koneksi luas hingga ke pusat kekuasaan. Entah karena bosan dengan gemerlap dunia, atau ada alasan lain, akhirnya ia memilih menetap di Kabupaten Xinghe untuk menghabiskan masa tuanya. Tak disangka, di usia senja ia justru mendapat seorang putra tunggal. Wajar bila anak itu diperlakukan bak harta paling berharga.

Dan kebetulan, Ning Xuan-lah anak itu.

Enam belas tahun hidupnya penuh dengan kemewahan dan kenikmatan. Pakaian indah, makanan lezat, wanita cantik dan tak pernah kekurangan apapun.

Kalau ia ingin belajar ilmu bela diri, gurunya adalah Zhang Erquan si “Pisau Walet Pengejar Angin” yang termasyhur. Kalau ia ingin belajar sastra, keluarga bahkan membuka sekolah pribadi di rumah, dengan guru besar He Jinzhu, dia adalah mantan pejabat yang memilih pensiun.

Di seluruh Kabupaten Xinghe, siapa pun yang punya sedikit kekuatan dan harta, pasti memikirkan cara menikahkan putrinya dengan Ning Xuan.

Putri sulung Keluarga Dagang Fugui itu adalah salah satu contohnya.

Namun, Ning Xuan tidak pernah memilih. Bahkan ketika ia ada rasa suka, ia pun tak berbuat apa-apa.

Dalam enam belas tahun ini, ia sudah menyadari bahwa dirinya tak punya “jari emas” alias keberuntungan luar biasa seperti dalam kisah-kisah penyeberangan dunia lain. Ia juga mengerti, pencapaian akademiknya takkan bisa setinggi itu. Maka cara paling cerdas baginya hanyalah berbaring tenang, menunggu ayahnya yang mengatur segalanya.

Ia tidak memberontak.

Ia hanya menunggu pengaturan ayahnya.

Bahkan soal pernikahan, ia pun akan menunggu keputusan sang ayah.

Menjelang senja, Ning Xuan membalikkan tubuh, lalu memeluk gadis cantik pemilik kaki putih mulus itu. Ia adalah dayang favoritnya. Dengan santai ia berkata:

“Sudah mengantuk.”

Dayang itu tertawa kecil, sambil pura-pura menolak, menendang manja dengan kakinya, berusaha melepaskan diri sambil berseru riang:

“Janganlah begitu, Tuan muda”

Awalnya, ucapan menggoda semacam itu masih sempat membuat Ning Xuan merasa segar dan penasaran. Namun kini, semua itu sudah membuatnya kebal rasa. Ia hanya menjadikan gadis itu sebagai “bantal peluk” lalu terlelap tidur.

Ning Xuan tak tahu sudah tidur berapa lama.

Dalam keadaan setengah sadar, ia tiba-tiba terbangun.

Matanya belum terbuka, namun ia segera merasakan sesuatu yang aneh dan lengan kirinya terasa kosong.

Padahal biasanya, pasti ada dayang cantik itu yang bersandar di lengan kirinya.

Dayang kecil itu paling suka tidur bersandar di lengannya, melekat manja seperti seekor burung kecil.

Tubuhnya mungil dan ringan, tidak membuat lengan terbebani. Kehangatan tubuh, kelembutan kulit, perhatian penuh kasih, ditambah kecerdikan serta pengertiannya, itulah sebgian kelebihannya.

Berkat semua itu, ia bisa bertahan di sisi Tuan muda Ning selama dua tahun, tak tergantikan oleh siapapun.

Karena itu, mustahil dia membiarkan Tuan mudanya terbangun tanpa mendapati dirinya ada di samping.

Dayang kecil itu bernama Xiao Jie.

Merasa lengannya kosong, Ning Xuan refleks memanggil namanya:

“Xiao Jie!”

Tak ada jawaban.

Ia pun menaikkan suaranya:

“Xiao Jie!!”

Kali ini, tetap tak ada jawaban dan hanya suara angin.

Suara angin dari luar pintu.

Hembusan angin mendorong pintu, lalu tiba-tiba kehilangan tenaga. Pintu yang sempat terbuka pun memantul kembali, menutup dengan suara plak!

Plak… plak… plak…

Pintu itu terus berbunyi, seirama dengan suara bergemuruh hutan pinus di luar jendela yang terdengar putus-putus, menciptakan suasana menyeramkan.

Ning Xuan kontan membuka mata.

Ia terkejut mendapati seluruh ruangan kini diselimuti rona kelabu yang tak terlukiskan. Sedangkan di luar, suasananya bagai kematian seolah ada suara, tapi justru semakin menimbulkan kesunyian mencekam.

Padahal, ini adalah vila pribadi keluarga Ning. Ia datang kesini untuk menikmati bunga. Sore tadi ia baru tiba, dan sudah menyiapkan banyak penari serta pemusik. Tapi karena merasa lelah, ia menunda semuanya hingga esok hari.

Tempat ini seharusnya tidak sesenyap dan semencekam ini.

Maka, Ning Xuan pun bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan keluar.

Ia melintasi halaman dalam, namun para penjaga vila yang seharusnya berjaga di sana tidak terlihat.

Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, bahkan para pengawal yang biasanya berpatroli sambil membawa lentera pun tidak ada.

Ning Xuan memang seorang pemuda yang terbiasa bermalas-malasan, tetapi ia bukan orang bodoh. Ia mencubit dirinya dengan keras. Rasa sakit yang jelas menyengat tubuhnya.

“Bukan mimpi? Lalu… apa ini serangan perampok gunung?”

Vila keluarga Ning seharusnya dijaga oleh ahli-ahli bela diri. Para penjaganya pun bukan sembarang orang, mereka adalah prajurit yang pernah melalui pertumpahan darah. Hanya dengan melihat sorot mata mereka saja, Ning Xuan tahu bahwa orang-orang itu pernah membunuh.

Ayahnya sanggup menyewa sekelompok mantan algojo kejam untuk menjaga sebuah villa terpencil di gunung, jelas itu menunjukkan betapa dalam dan kuatnya latar belakang keluarga Ning.

Dengan kondisi seperti itu, mana mungkin ada perampok gunung yang bisa menyelinap masuk, apalagi membantai semua orang tanpa suara?

Selain itu, ia juga tidak mencium bau darah sama sekali.

“Bukan perampok gunung… lalu sebenarnya apa ini?”

Pikiran Ning Xuan berputar cepat, tapi gerakannya tetap sigap. Meski hatinya dicekam rasa takut, ia segera mengambil keputusan: ia tidak boleh kembali ke kamarnya. Ia harus mencari tempat untuk bersembunyi sampai fajar tiba.

Saat itu, ia menengadah ke langit.

Bulan.

Hitam.

Seketika tubuhnya menggigil. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergegas menuju halaman samping. Ia ingat di sana ada sebuah taman batu buatan untuk pemandangan. Taman batu itu cukup dalam dan cukup untuk bersembunyi.

Beberapa saat kemudian, Ning Xuan sudah bersembunyi di celah taman batu.

Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan degup jantung yang kencang, menata pernapasannya, lalu diam menunggu datangnya pagi.

Peluh dingin mengucur deras di punggungnya.

Seumur hidup dimanja, ia sudah lama tidak pernah menghadapi bahaya nyata seorang diri.

Untunglah, ia akhirnya melihat cahaya matahari.

Namun, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.

Ada yang tidak beres!

Cahaya matahari itu… putih.

Putih pucat!

Sinar matahari yang seharusnya hangat justru tampak menyilaukan dan suram, menerpa batu taman buatan itu hingga suasana seperti berubah menjadi hitam-putih, persis televisi kuno di dunia sebelum ia menyeberang.

Dalam sekejap kebingungan itu, ia merasakan sesuatu tengah mengawasinya.

Kaku dan gemetar, ia perlahan menoleh. Waktu seakan melambat.

Dan saat itu ia bertatapan dengan sepasang mata merah darah.

Seketika, angin kencang menyapu.

Dada Ning Xuan terasa seperti dihantam keras dan disayat oleh rasa sakit yang tak tertahankan.

Taman batu buatan itu hancur berantakan.

Tubuhnya pun ikut terpental dan remuk, jatuh bersama bongkahan batu.

Dengan susah payah, ia memalingkan kepala, berusaha melihat makhluk apa yang menyerangnya.

Lalu, ia melihat seekor beruang hitam.

Beruang itu berbulu hitam kasar, setiap helai seperti jarum baja. Kepalanya sebesar gentong besar, telinganya koyak seperti layar kapal yang sobek.

Beruang hitam itu menoleh padanya, menyeringai. Senyumannya mengerikan, terlihat hampir seperti ekspresi manusia dan dari mulutnya menyembul deretan gigi runcing, rapat, dan menyerupai biji semangka yang tajam.

“Sudah lama… aku tak makan manusia.”

Suara itu, suara manusia yang keluar dari mulut beruang. Suara yang aneh, menakutkan, dan membuat darah membeku.

Beruang itu lalu mencengkeram Ning Xuan, mengangkatnya dari kaki, dan mulai melahap tubuhnya. Dari telapak kaki, betis, paha, hingga pinggang. Satu gigitan demi gigitan.

Setiap kali Ning Xuan hendak pingsan karena sakitnya yang tak terbayangkan, beruang itu mengguncang tubuhnya agar ia tetap sadar.

“AAAAAAAAHHHHHHHHHHH!!!”

Ning Xuan menjerit sejadi-jadinya, jeritan yang bahkan dirinya sendiri tak pernah membayangkan bisa ia keluarkan.

Sekonyong-konyong, ia tersentak bangun.

Tubuhnya tegak duduk, terengah-engah. Nafasnya terputus-putus, matanya liar menatap sekeliling dengan penuh ketakutan. Namun yang ia lihat hanyalah kelambu yang menjuntai tenang, dan dinding kamar yang diterangi cahaya bulan.

Ia masih berada di kamarnya.

“Jadi… mimpi buruk. Untung hanya mimpi buruk.”

Ia mengusap keringat yang membasahi wajah. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Lalu ia berseru:

“Xiao Jie, tolong tuangkan air madu.”

Namun, tak ada jawaban.

Ning Xuan segera menoleh ke samping.

Yang ia lihat—adalah kamar yang kembali diliputi kelabu.

Bulan hitam menggantung di langit.

Angin kembali bertiup dari pegunungan jauh, menghantam pintu.

Plak… plak…

Suara pintu memantul terdengar menusuk telinga.

Bab 2 - Sangat Pahit

Ning Xuan terdiam beberapa saat, tubuhnya kaku bak patung tanpa nyawa.

Sesaat kemudian, ia merasakan jantungnya seperti diremas dengan keras.

Untunglah, ia pernah mengalami penyeberangan dunia, sehingga dalam benaknya cepat melintas beberapa kemungkinan seperti “mimpi dalam mimpi”, atau “bertemu hantu”.

Telapak tangan dan kakinya dingin, tetapi pikirannya mulai bergerak cepat.

“Kalau semua ini mengulang seperti sebelumnya, berarti si beruang iblis itu baru akan muncul menjelang fajar. Kalau begitu, aku harus segera turun gunung malam ini juga. Tapi… kalau ternyata tidak terulang, atau justru karena aku sembunyi tidak rapi, lalu beruang itu menemukanku lebih awal…”

Ingatan tentang tubuhnya yang dicabik-cabik dan dimakan hidup-hidup kembali menyergap.

Rasa sakit yang dialami saat tubuhnya dikunyah dari kaki ke atas, itu benar-benar tak terbayangkan. Siapa pun yang belum pernah merasakannya, mustahil bisa mengerti penderitaan yang membuat seseorang hampir gila itu.

“Kenapa bisa ada iblis? Kenapa bisa ada makhluk semacam itu?!”

Ning Xuan memegangi kepalanya dengan putus asa.

Ia benar-benar ingin menangis.

Enam belas tahun ia hidup di Kabupaten Xinghe, sejak menyeberang ke dunia ini. Ia sudah mencari ilmu bela diri, bahkan pernah mendekati jalan para pertapa. Namun selama ini ia tak pernah menemukan tanda-tanda adanya hal gaib. Apalagi mendengar tentang iblis atau siluman, sama sekali tidak.

Dan rasa sakit seperti dimakan hidup-hidup itu, adalah sesuatu yang benar-benar tidak ingin ia alami lagi.

“Tenang… harus tenang. Kalau ini sudah terjadi, aku harus pikirkan cara menghadapinya.”

Ia memaksa dirinya untuk tetap waras, menolak dikuasai ketakutan.

Ia harus memilih jalan selamat yang lebih masuk akal.

Ning Xuan mulai mengingat kembali bentuk villa gunung itu.

Di bagian depan villa, ada sebuah lapangan batu yang luas. Dari sana, ada dua jalur turun gunung: sebelah kiri berupa jalan setapak lebar yang dipasang tangga batu, cukup nyaman; sementara sebelah kanan hanyalah jalur kecil yang dipangkas seadanya dari semak belukar dan pepohonan, agak sempit.

Namun, di kedua sisi jalan itu terbentang hutan lebat yang gelap gulita. Jika benar ada binatang buas yang bersembunyi di dalamnya, turun gunung sembarangan sama saja dengan mencari mati.

Di belakang villa, langsung berbatasan dengan jurang. Kamar tidurnya bahkan dibangun menjorok di tepi tebing itu. Setiap kali jendela dibuka, pemandangan gunung-gemunung dan lautan awan yang terbentang selalu memanjakan mata.

Ning Xuan berpikir sejenak, lalu mendadak mendapat ide.

Dengan langkah hati-hati, ia menjelajahi bagian dalam villa. Setelah memastikan tidak ada bahaya, ia masuk ke gudang, mengambil tali rami yang tebal, sebuah tong kayu besar, lalu menggertakkan giginya dan menghabiskan banyak waktu untuk merakit sebuah keranjang gantung sederhana.

Setelah menguji kekuatannya, ia segera membasuh tubuh, mengganti pakaian dengan yang bersih tanpa bau. Sedangkan baju lamanya yang penuh keringat, ia buang di jalan setapak kiri dan kanan, masing-masing dua potong. Sepasang sepatu berbau keringat ia lempar jauh ke jalan gunung.

Usai itu, ia kembali ke belakang villa, menutupi tubuhnya dengan tanah dan dedaunan untuk menghilangkan bau. Ia juga mengambil sebilah belati dari pos penjaga villa, lalu menebang beberapa ranting hijau rimbun.

Setelah persiapan matang, ia menuju tebing belakang. Di sana ia menemukan pohon tua yang kokoh, mengikat tali keranjangnya, lalu menurunkannya perlahan. Ia tidak menurunkannya terlalu jauh, agar masih mungkin memanjat naik bila diperlukan.

Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya ia masuk ke dalam keranjang, lalu menutupi tubuhnya dengan ranting hijau, bahkan menekankannya ke atas kepala.

Itulah cara terbaik yang bisa ia pikirkan.

Ia tidak perlu kabur jauh-jauh.

Yang ia butuhkan hanyalah bertahan hidup sampai fajar.

Huff… huff…

Angin malam menembus tulang, menusuk dingin.

Dalam keranjang gantung itu, Ning Xuan tidak bergerak sedikitpun, menahan napas, menunggu dengan hati was-was.

Perlahan, langit mulai terang.

Dari celah awan, ia bisa melihat matahari terbit di balik barisan gunung.

Namun sinarnya… putih.

Putih pucat seperti sepasang mata raksasa yang mengerikan, sedang perlahan terbuka, menatapnya dari kejauhan.

Ning Xuan menahan nafasnya, menekan degup jantung, berusaha mengalihkan rasa takut dengan memikirkan Xiao Jie mengingat kaki putih mulusnya, dada seindah gunung salju, dan tubuh hangatnya.

Matahari terus naik.

Kabut di sekitar jurang semakin terang.

Rasa tenang sempat mengalir ke dalam hatinya.

Namun tiba-tiba, setetes cairan jatuh dari atas.

Plak.

Tetes itu mengenai sisi hidungnya, lalu mengalir turun.

Sekejap, hidungnya menangkap baunya.

Anyir!

Amat sangat anyir!

Bau darah!

Dengan gemetar, ia mendongak perlahan.

Dan disanalah seekor beruang hitam raksasa, sebesar rumah kecil, tengah bertengger di tepi jurang, menatapnya lurus.

Tatapan mereka bertemu.

Beruang itu menyeringai. Senyumannya mengerikan, penuh ejekan. Lalu perlahan-lahan, ia mengulurkan cakar besarnya, menggenggam tali rami yang menopang keranjang Ning Xuan.

Mata Ning Xuan langsung dipenuhi dengan keputusasaan yang tak terlukiskan.

Detik berikutnya, ia menggertakkan gigi, mencengkeram belati erat-erat.

Belati itu, yang sebelumnya ia gunakan untuk menebang ranting kini ditujukan ke arah tali rami.

Sekali tebas.

Sekali sayat.

Kemudian dengan panik, ia terus mengirisnya tanpa henti.

Pisau belati itu sangat tajam.

Tali rami hampir seketika saja terputus.

Bersama keranjang gantung itu, ia jatuh ke bawah tebing. Anehnya, ia justru merasakan semacam kelegaan. Asal… asal tidak dimakan hidup-hidup oleh beruang siluman itu, meski mati terhempas pun tidak apa-apa!

Dengan mata terbuka lebar, ia menatap dinding tebing yang melintas cepat di sisinya, juga sosok beruang raksasa yang masih tampak di atas tebing.

Bumm!

Ning Xuan merasakan seolah ia menembus sesuatu.

Dan kemudian, ia mendarat.

Namun, rasa sakit yang ia bayangkan tidak datang. Karena… ia kembali berada di dalam vila.

Saat ia melewati suatu batas, tubuhnya secara otomatis dipindahkan kembali ke villa, persis di ranjangnya, bahkan bersama keranjang gantung itu, seakan-akan terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara “dong, dong, dong!”, cepat, makin cepat, makin keras. Awalnya seperti tabuhan genderang di kejauhan, lalu berubah jadi gelegar guntur di dekat telinga, menghantam gendang telinganya sampai hampir robek.

Dengan ngeri ia menoleh, dan melihat asap debu membumbung tinggi. Suara bangunan yang roboh bergemuruh. Baru saja ia hendak bangkit, dinding kamarnya sudah dihantam hingga jebol oleh sosok besar yang mengerikan.

Suara napas kasar, bau amis busuk menusuk hidung, dan bayangan raksasa setinggi hampir dua zhang kembali muncul di hadapannya.

“Sudah lama aku tidak makan manusia…” Beruang siluman itu menyeringai buas.

Ning Xuan menelan ludah. Ia bangkit dengan gemetar, menggenggam erat pisau belati, lalu sambil menangis meraung, ia menerjang ke depan.

“Mati kau!!!”

Bumm!

Ia ditampar hingga terlempar.

Beruang siluman itu tampaknya sangat menikmati mangsa yang penuh perlawanan. Ia bahkan tidak merebut pisau Ning Xuan, membiarkannya menusuk-nusuk tak berdaya ke tubuhnya yang sekeras baja. Sementara itu, ia mulai makan dengan lambat, “elegan”, seakan menyiksa dengan sengaja.

“Uuuuuhhh!!”

“AAAHHH!!!”

“Sakit!!!”

“Amat sakit!!!”

Air mata dan ingus bercampur di wajah Ning Xuan. Tubuhnya menegang, melengkung, lalu kejang sekali, sebelum kembali menghantam ranjang.

Bumm!

Papan ranjang berderak keras.

Ia terengah-engah, nyaris tak bisa bernapas. Butuh waktu lama hingga ia perlahan tenang kembali.

Kelambu tergantung sunyi. Selimutnya sudah basah kuyup oleh tangis. Cahaya bulan menyorot samar pada dinding, sementara suara desiran pepohonan di luar jendela begitu tenang.

“Xiao Jie…” panggilnya serak. Namun tentu saja, gadis cantik itu tidak muncul. Karena pada kenyataannya, ia sama sekali tidak berada di sini.

Apakah ia… terjebak dalam lingkaran mimpi buruk? Atau semacam neraka tanpa akhir yang tak terbayangkan?

Kematian sebelumnya sebenarnya telah memberinya beberapa petunjuk.

Misalnya, ia benar-benar tidak bisa keluar dari vila ini.

“Mungkin… mungkin ada pengecualian? Bisa jadi aku hanya salah mencari jalan keluar.”

Ning Xuan tiba-tiba bangkit. Dengan napas terburu, ia memakai sepatu, lalu bergegas ke ruang penjaga, mengambil belati, bahkan kali ini menambah sebuah pedang panjang.

Ia berlari sekencangnya menuju halaman depan villa.

Ia menuruni jalur batu di sisi kiri gunung.

Namun baru belasan langkah, tubuhnya seakan membentur sesuatu. Dalam sekejap, pemandangan berubah, ia sudah kembali ke kamar tidurnya.

Ia segera lari lagi, kali ini ke jalur tanah di sisi kanan gunung.

Hasilnya sama. Baru belasan langkah, pemandangan berputar, ia kembali berada di kamar.

Ia mencoba berulang kali, menembus celah pepohonan, melompat dari berbagai sisi tebing.

Lebih dari seratus kali ia berusaha, namun tanpa terkecuali, setiap kali ia meninggalkan area vila sedikit saja, ia langsung dipaksa kembali, seperti terjebak dalam lingkaran setan yang kejam.

Sampai akhirnya

Hari kembali terang.

Matahari terbit, memancarkan cahaya putih pucat yang menekan villa yang sunyi bagai kuburan.

Pemuda itu berdiri di tengah halaman, rambutnya acak-acakan, tangan kirinya menggenggam belati, tangan kanannya mencengkeram pedang panjang. Tubuhnya tegak sendiri, diterpa cahaya matahari.

Kepalanya tertunduk, matanya menyipit, namun tatapannya bukan lagi milik seorang pemuda manja kaya raya, melainkan penuh darah, kegilaan, dan putus asa.

Mendadak, ia mendengar hembusan angin.

Angin itu datang dari belakangnya.

Ia segera berbalik, mengangkat belati dan pedang panjang, meraung, menebas dengan sekuat tenaga ke arah beruang siluman itu!

Bumm!

Ia terhantam lagi, tubuhnya beterbangan.

Beruang siluman itu menindihnya dari atas.

Lalu, dengan tenang, ia mulai menggigiti kakinya.

Ning Xuan menebas dan menusuk punggung makhluk itu dengan putus asa. Namun serangannya hanya membuat beruang itu semakin bersemangat.

Rasa sakit yang mustahil dibayangkan kembali datang, ombak demi ombak, melumat kewarasannya.

“Amat pahit…”

Bab 3 - Kitab Iblis Langit

Di tengah rasa sakit yang menusuk tulang, tiba-tiba benak Ning Xuan bergetar. Ia segera mengubah arah belatinya yang semula hendak menebas beruang iblis, lalu dengan cepat menusukkannya ke tubuhnya sendiri.

Dalam sekejap itu, sebaris tulisan merah darah muncul di depan matanya.

【Sepuluh banding tiga】

Crat!

Belati menembus tenggorokannya.

Sakit.

Tapi rasa sakit itu masih jauh lebih ringan dibandingkan ketika dirinya dilahap hidup-hidup oleh beruang iblis.

Dengan satu putaran yang tegas, belati itu memotong lehernya semudah pisau memotong tahu.

Ia rebah di tanah, darah segar mengalir deras dari luka di lehernya. Kesadarannya perlahan memudar.

Namun, saat matanya kembali terbuka, ketenangan justru menyelimutinya.

Tangannya refleks menyentuh leher. Utuh, tanpa luka sedikitpun.

Ia mendapati dirinya kembali terbaring di atas ranjang, menatap kelambu putih yang menjuntai, lalu perlahan duduk bangkit.

Di dalam ruangan, segalanya tetap berwarna kelabu.

Ia bergumam lirih “Bunuh diri memang bisa berhasil… setidaknya bisa meringankan penderitaan dari gigitan beruang iblis itu.”

“Tapi… apa maksud dari ‘sepuluh banding tiga’ itu?”

Setelah terdiam sejenak, ia segera berlari keluar kamar menuju barak para pengawal. Ia mengambil belati dan sebilah pedang panjang, lalu tanpa ragu menempelkan belati itu ke lehernya lagi.

—--

Tulisan merah kembali muncul:

【Sepuluh banding empat】

Lalu setelahnya, muncul kalimat kecil:

“Jika setelah tujuh kali berikutnya masih gagal, akhir akan terkunci. Mimpi buruk ini takkan pernah berakhir.”

Barulah Ning Xuan mengerti. Angka sepuluh adalah jumlah maksimum putaran hidup-mati yang ia miliki. Sedangkan angka empat menandakan ia kini sudah menjalani empat kali siklus kematian. Setiap kali ia hendak bunuh diri, tulisan itu muncul untuk memperingatkannya agar tidak gegabah.

Sekelebat rasa putus asa langsung menyelimuti hatinya.

Bagaimana mungkin ia bisa menemukan cara untuk berhasil hanya dalam tujuh kali percobaan tersisa?

“Setidaknya… aku harus bisa melukai beruang iblis itu dulu.”

Ia membatin, lalu melambaikan pedang panjang di bawah sinar bulan.

Awalnya, gerakannya kaku, berat, dan tumpul. Namun tak lama, gerakan itu berubah lincah. Hingga dalam satu tebasan, pedang memancarkan kilatan cahaya bagai salju yang beterbangan, lalu berbalik dengan lengkungan indah layaknya seekor burung layang-layang yang menari di udara.

Itulah jurus pedang ‘Yanzi Zhui Feng Dao’ “Pedang Layang-Layang Mengejar Angin”.

Dulu, ketika pertama kali menyeberang ke dunia ini, Ning Xuan pernah menduga bahwa dunia ini mungkin menyimpan kekuatan supranatural. Ia pernah mengejar dan mencari, namun hasilnya nihil. Karena itu, ia sempat menenggelamkan dirinya dalam dunia seni bela diri, bukan untuk jadi pendekar besar, melainkan sekadar untuk bisa melindungi diri.

Tiga inti jurus dari pedang ini masih ia kuasai dengan baik:

Feiyan Zhui Feng (Layang-Layang Mengejar Angin)

Jurus yang menekankan kecepatan. Satu tebasan cepat cukup untuk mengakhiri lawan, tak perlu ada yang kedua.

Yan Chuan Kuanglan (Layang-Layang Menembus Gelombang Badai)

Jurus yang menekankan kekuatan. Dengan momentum dari jurus pertama yang sudah cepat, lalu dipadu dengan teknik penuh tenaga, satu tebasan ini akan menghantam sekuat badai.

Qiaoyan Huixiang (Layang-Layang yang Kembali Terbang)

Jurus yang menekankan mundur dengan jebakan. Meskipun tampak seperti bertahan, justru menyembunyikan serangan balik mematikan. Seperti pukulan kuda balik atau serangan dari bayangan.

Ia mengulang kembali jurus-jurus ini selama setengah jam, menghidupkan kembali “memori otot” yang hampir terlupakan, lalu menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Ning Xuan masih mengingat, di vila ini sebenarnya ada seorang ahli sejati. Seorang lelaki tua, wajahnya ramah, alis dan janggut putih, namun para pengawal yang bengis sekalipun menaruh hormat yang nyata kepadanya.

Ia mencari-cari di kamar lelaki tua itu, membongkar kotak rahasia di bawah ranjang.

Satu batang dupa kemudian, tangannya telah menggenggam sebuah tabung logam berwarna hitam pekat dan dingin.

Benda itu ternyata sebuah pelontar rahasia mekanis. Pada bagian bawahnya terdapat tali pengikat sederhana, jelas dapat dipasang di lengan. Mekanismenya ada di bagian atas, sehingga dapat diaktifkan dengan satu tangan saja.

Ning Xuan segera mengikatnya di lengan kiri, mencoba menekuk, mengulur, dan menyesuaikan hingga yakin tidak mengganggu gerakan.

“Tapi ini… masih belum cukup.”

Ia mengingat kembali putaran sebelumnya.

Pertama kali, tanpa senjata, ia langsung jadi santapan beruang iblis.

Kedua kalinya, ketika membawa senjata, beruang itu selalu membelakanginya lalu memakannya dari belakang.

Kulit beruang itu sangat tebal, sekeras baju zirah. Pedang maupun tombak hampir tak bisa menembus. Bahkan andai tabung logam ini berisi senjata rahasia, kemungkinan besar tetap tak bisa melukai makhluk itu.

Ia termenung di halaman, ditemani semilir angin malam. Ketika mendongak, bulan sudah melewati puncaknya. Fajar hanya tinggal menunggu waktu.

Tiba-tiba, sebuah gagasan muncul di benaknya.

“Setidaknya… harus dicoba.”

Di dalam keranjang gantung di tebing, Ning Xuan berdiri diam.

Kali ini, ia mengenakan jubah berlengan lebar.

Ia sudah mengosongkan pikirannya, menenangkan napas, dan menyimpan tenaga sebaik mungkin.

Tatapan matanya kini tajam, penuh konsentrasi, haus darah, dan kegilaan.

Betapa tidak, ia sudah mati tiga kali. Dan bukan sekadar mati… melainkan dimakan hidup-hidup tiga kali!

Ketika fajar perlahan menyingsing, sinar matahari pucat menutupi seluruh pegunungan dan lautan kabut.

Setetes air liur bau amis menetes dari atas.

Ning Xuan mendongak.

Beruang iblis itu menatapnya dengan senyum mengejek.

Dalam sekejap, cakar makhluk itu meraih tali keranjang.

Namun Ning Xuan justru melompat keluar dari keranjang gantung itu!

“Swoosh!!”

Bersamaan dengan raungan angin, beruang iblis itu mengangkat tinggi keranjang gantung, lalu melemparkannya sekuat tenaga. Keranjang kosong itu melayang di udara bagaikan batu yang ditembakkan dari ketapel, terlempar jauh ke belakang.

  Namun, pada saat bersamaan, tangan kiri Ning Xuan bergerak cepat. Ia segera menancapkan belatinya ke celah bebatuan di tebing. Gerakan itu sangat cepat, hasil dari uji coba berulang-ulang. Ia sudah memastikan titik batu itu sebelumnya.

  Manusia dan siluman kembali saling menatap dari kejauhan.

  Senyum mengejek di wajah beruang iblis perlahan membeku, berganti dengan kemarahan yang membara.

  Sedangkan Ning Xuan hanya bergelantungan dengan satu tangan, mencengkeram gagang belati, tubuhnya tergantung di udara.

  Tiba-tiba…

  Plaaak!

  Keranjang kosong itu menghantam tanah dengan keras. Beruang iblis menekukkan tubuhnya, lalu kedua kakinya yang sebesar batang pohon mencengkeram batang pohon tua di tepi tebing. Kedua cakarnya yang raksasa terentang, seperti hendak meraup bulan di air, dan menyapu ke arah bawah dengan ganas.

  Tubuhnya yang setinggi hampir tiga meter itu, seharusnya bisa dengan mudah meraih Ning Xuan.

  Namun kali ini, keranjang yang digantung Ning Xuan terjuntai sangat dalam ke bawah.

  Dia memang sengaja menurunkan dirinya lebih jauh dari biasanya, seolah tidak berniat kembali ke atas.

  Jika ia ingin kembali, ia cukup melompat ke arah tebing.

  Tapi beruang iblis jelas tidak menyadarinya.

  Ia berulang kali mencoba meraih Ning Xuan, namun selalu gagal.

  Manusia dan siluman kembali beradu pandang di udara yang berayun.

  Beruang iblis tertawa dingin.

  “Pikiran secerdas ini, pasti rasanya akan sangat nikmat. Tubuh sekuat ini, pasti dagingnya penuh kenyal!”

  Ning Xuan dengan tenang menjawab:

  “Ngomong-ngomong, tebing ini sangat dalam.”

  Beruang iblis berhenti sejenak, lalu dengan suara serak yang menyeramkan bertanya:

  “Seberapa dalam?”

  Ning Xuan tersenyum tipis.

  “Lompat saja, nanti kau tahu sendiri.”

  Belum selesai kata-katanya, beruang iblis itu benar-benar melompat!

  Tubuh raksasanya menukik ke bawah bagaikan gunung yang runtuh, cakarnya yang tajam meledak keluar, memanjang beberapa inci, seolah-olah ia mengenakan senjata cakar baja.

  Shrrakk!!

  Cakar tajam itu menancap ke dinding tebing.

  Beruang iblis itu menahan tubuhnya, melekat pada tebing layaknya seekor cicak raksasa. Matanya yang merah menyala kini makin dekat dengan Ning Xuan.

  Ia terkekeh seram:

  “Bodoh! Beruang bisa memanjat pohon. Aku sudah jadi iblis bertuah, masa memanjat gunung begini saja aku tak bisa?”

  Sambil berkata, ia mulai merayap cepat ke bawah.

  Tubuhnya yang gemuk besar, sekeras baja, membawa tekanan luar biasa. Wajahnya semakin dekat, mata berkilat dingin, dan tangannya makin mendekati tempat Ning Xuan bergelantungan.

  Namun pada detik kritis itu…

  Ning Xuan tiba-tiba melepaskan pegangan tangannya!

  Beruang iblis terperanjat. Ia tentu tak ingin buruannya lolos, maka kedua cakarnya segera menyambar ke bawah dengan cepat.

  Wajah besar itu semakin dekat, hingga jarak hanya sejengkal.

  Saat itulah, lengan kiri Ning Xuan yang terselip di balik lengan bajunya terbuka, memperlihatkan sebuah tabung logam hitam dingin yang terikat di lengannya.

  Moncong tabung itu tepat mengarah ke wajah beruang iblis atau lebih tepatnya, wajah beruang itulah yang dengan bodohnya menerkam ke arah moncong tersebut.

  Ning Xuan segera menekan pemicunya.

  Tratatatatat!!

  Dalam sekejap, tabung logam itu meletuskan hujan jarum baja. Ratusan jarum khusus “Li Hua Zhen” (Jarum Bunga Pir) berhamburan, membanjiri udara bagaikan hujan badai musim panas yang tiba-tiba mengguyur.

  Jarum-jarum itu menutup rapat seluruh wajah beruang iblis, menusuk tanpa ampun.

  Beruang itu tak sempat menutup mata. Seketika kedua bola matanya ditembus puluhan jarum, darah hitam memancar!

  Namun, bersamaan dengan itu

  Craaakk!!

  Cakar beruang yang raksasa berhasil mencabik pinggang Ning Xuan, menembus dagingnya.

  “Ughhh!!”

  Ning Xuan mendengus kesakitan, namun tangan kanannya masih sempat mencabut pedang panjang dari pinggang, lalu menebaskannya dengan sekuat tenaga.

  Slashhh!!

  Tebasan berat itu menghantam wajah beruang tepat di atas luka jarum.

  Beruang iblis meraung pilu, “AWWWRRRGHHHHH!!”

  Dari lukanya memancar keluar asap hitam pekat, yang anehnya melayang ke arah tubuh Ning Xuan, lalu meresap ke dalam dirinya.

  Beruang itu mendadak melemah, tubuhnya terguncang hebat, dan secara tak sadar melepaskan cengkeraman.

  Ning Xuan pun terhempas jatuh

  Braaakkk!

  Ia terpelanting kembali ke dalam kamarnya, menghantam ranjang.

  Pinggangnya terasa terbakar sakit, namun ia segera menyadari sesuatu yang mengejutkan. Kedua lengannya kini membesar, otot-ototnya menggembung, seolah tubuh cekingnya berubah menjadi lengan seorang prajurit tangguh.

  “Jadi… kekuatan beruang itu ditransfer lewat asap hitam. Selama aku bisa melukainya, aku bisa merampas kekuatannya! Meskipun aku tak mengerti apa sebenarnya semua ini… tapi jelas inilah kunci untuk memecahkan siklus mimpi ini!”

  Ning Xuan akhirnya paham.

  Namun pada saat itu juga

  Trrraaaakkk!!

  Suara gemuruh menggema. Bangunan runtuh, dinding-dinding hancur berderak. Dari kejauhan, beruang iblis kembali menerjang, bagaikan angin puyuh hitam yang menghancurkan segalanya di jalurnya.

  Ning Xuan menggenggam erat pedangnya, melangkah keluar dari kamar menuju halaman.

  Kekuatan dan kecepatannya memang masih jauh dibanding beruang iblis.

  Tapi kini, ia memiliki tekad untuk bertarung sampai mati.

  “Feiyan Zhui Feng (Terbang Layaknya Burung Walet)!”

  “Yan Chuan Kuang Lan (Walet Menembus Ombak)!!”

  Dengan teriakan keras, ia berlari ke arah beruang itu, menebaskan pedang sekuat tenaga.

  Tebasannya meledak di udara, bergemuruh bagaikan petir yang memecah langit!

  【Sepuluh dari Lima】

  …

  Di atas ranjang, ketika Ning Xuan menempelkan lima jarinya di lehernya, angka merah itu kembali muncul di hadapannya.

  Matanya melirik ke samping, ke arah lengannya yang kini berotot kekar.

  Kekuatan yang ia rampas dari beruang iblis ternyata tidak hilang meski ia kembali ke siklus awal.

  Lalu, barisan tulisan baru perlahan muncul di hadapannya:

  【Ning Xuan】

  【Catatan Iblis Langit: Beruang Gunung (7/100)】

  【Ming (Fisik): 1】

  【Xing (Mental): 1】

  Tak lama kemudian, angka di kolom 【Ming】 perlahan berubah:

  “1 → 1 (1.1)”

  Di sampingnya, muncul catatan kecil:

  “Tambahan dari Catatan Iblis Langit.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!