NovelToon NovelToon

Ibu Susu Anak Sang Menteri

Hari Pertama Badai.

Ruang keluarga itu luas dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Lantai marmer dingin berlapis karpet tebal, sementara jendela besar terbuka menghadap taman belakang, membiarkan cahaya oranye sore menyusup masuk. Meski sangat luas, ruangan itu terasa hangat karena suara lembut Elsa yang tengah menata perlengkapan bayi di sofa panjang.

Ia duduk bersandar, perut besarnya membuat geraknya terbatas. Tangannya sibuk melipat baju-baju mungil warna pastel. Sesekali Elsa berhenti, menempelkan baju ke pipinya sambil tersenyum tipis, membayangkan aroma tubuh bayinya nanti.

Pintu utama berderit pelan. Dewa masuk dengan kemeja yang sedikit kusut, jas kerja tersampir di lengannya. Ia melepas jam tangan, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa kulit di seberang istrinya, menghela napas panjang.

“Kamu baru pulang?” suara Elsa lembut, penuh lega.

“Iya,” jawab Dewa sambil meneguk air putih dari gelas di meja. “Baru selesai makan siang sama Papa.”

Mata Elsa berbinar. “Sama Papa? Ceritain dong. Papa pesan apa?”

Dewa terkekeh kecil. “Kamu tahu sendiri lah. Diundang ke restoran hotel, eh beliau malah minta supir belok ke warung soto pinggir jalan. Katanya, ‘buat apa makan mahal kalau rasanya kalah sama soto kampung’.”

Elsa ikut tertawa, meski tangannya tetap sibuk. “Itu Papa banget. Dari dulu nggak pernah bisa diajak gaya-gayaan. Aktivis tulen. Buat Papa kalau bisa sederhana, kenapa harus ribet.”

“Yang bikin aku heran,” lanjut Dewa, “orang-orang di sana banyak yang nyapa. Ada yang nyalamin, ada juga yang nyeletuk katanya hebat, pejabat tinggi tapi masih mau makan di warung kaki lima. Papa kamu cuma senyum-senyum, kayak nggak peduli.”

Elsa meletakkan lipatan baju di pangkuannya, lalu mengusap perutnya. “Makanya aku bangga. Dari dulu Papa nggak pernah berubah. Aku kira setelah jadi pejabat bakal lebih jaim, lebih jaga citra. Ternyata tetap sama.”

Dewa menatap istrinya lama, matanya redup. “Kamu yakin dia nggak berubah sama sekali?”

Elsa mendongak. “Maksudmu?”

“Nggak tahu…” Dewa mengangkat bahu. “Aku cuma mikir, orang bisa kelihatan bersih di luar, tapi dalamnya siapa tahu. Aku nggak nuduh Papa, cuma… politik itu kejam, El.”

Elsa menarik napas dalam, lalu menatap suaminya penuh keyakinan. “Aku percaya Papa. Hidupnya selalu buat orang lain, nggak pernah buat dirinya sendiri.”

Dewa menunduk, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel, seolah sengaja menghindari tatapan istrinya. Wajahnya kaku, menahan sesuatu yang tak ia ucapkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malamnya, Elsa sedang membereskan sisa lipatan baju bayi di kamar besar yang dindingnya dipenuhi rak buku dan lemari kaca penuh kristal. Baru saja ia hendak merebahkan diri, telepon rumah berdering nyaring.

Elsa bangkit dengan susah payah. “Hallo?” .

“Elsa?” suara di seberang panik. “Kamu udah lihat berita? Papamu disebut terima aliran dana miliaran! Semua TV lagi siarin.”

Jantung Elsa serasa berhenti. “Tidak mungkin… Papa? Papa nggak mungkin…”

Tangan Elsa gemetar saat menyalakan televisi layar datar yang menempel di dinding. Breaking news memenuhi layar: “Pejabat Humanis Diduga Terlibat Korupsi. Aliran Dana Miliaran Rupiah.”

Foto Papanya terpampang jelas, tersenyum ramah dalam balutan batik sederhana.

Elsa menutup mulut, tubuhnya lemas. “Ya Allah…”

Dewa keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, lalu ikut menatap layar. Keningnya berkerut tajam.

“Dewa…” suara Elsa pecah, penuh air mata. “Ini pasti jebakan. Papa nggak mungkin kayak gini. Kamu tahu sendiri, kan?”

Dewa menghela napas berat. “Elsa, aku baru ketemu beliau siang tadi. Aku ingin percaya kalau Papamu salah. Tapi lihat itu, data rekening, aliran dana… ini bukan gosip, mereka tidak mungkin menuduh sembarangan.”

“Bisa direkayasa!” Elsa berkeras, suaranya meninggi. “Papa selalu jadi penghalang orang-orang rakus. Mereka pasti menjebak Papa!”

Dewa menatap Elsa lama, nadanya makin dingin. “Aku ngerti kamu anaknya. Tapi jangan sampai itu menjadikan kamu buta. Dunia politik itu kotor, El. Kalau kamu terus membabi buta membela Papamu, bisa-bisa kita yang ikut kena imbas.”

Air mata Elsa jatuh deras. Tangannya refleks memeluk perut, seolah melindungi bayinya. “Dewa… aku cuma butuh kamu percaya. Jangan tinggalkan aku sendirian dalam situasi seperti ini.”

Dewa terdiam. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi, rahangnya mengeras. Diamnya Dewa terasa lebih menusuk daripada kata-kata.

Malam itu, di rumah megah itu, Elsa merasa kesepian untuk pertama kalinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suara televisi masih menyala di ruang tengah rumah megah itu. Wartawan silih berganti menyiarkan perkembangan kasus korupsi yang menjerat Papa Elsa. Di layar, barisan angka aliran dana ditampilkan, grafik naik-turun seolah menyudutkan satu nama: Dr. Hadi Wirawan… ayah Elsa.

Elsa duduk di ujung ranjang besar, tubuhnya gemetar. Tangannya memeluk perut yang makin menegang. Napasnya terasa pendek, peluh dingin mengalir di pelipis.

“Dewa… “ suaranya serak. “Aku… perutku sakit. Perutku… kayak ditarik.”

Dewa masih berdiri di depan televisi, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya tajam ke layar, bukan ke istrinya. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menoleh. “Sakit? Kamu sudah waktunya, El?”

Elsa mengangguk, wajahnya pucat. “Kayaknya kontraksi… aku takut, Dewa.”

Wajah Dewa berubah sedikit cemas, tapi suaranya tetap datar. “Oke. Aku ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.”

Ia meraih kunci, lalu menahan napas sebentar, seolah ada yang mengganjal. “Elsa… coba kamu tenang dulu. Jangan pikirin berita. Fokus aja ke bayi kita.”

Elsa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Gimana aku bisa tenang, kalau semua orang tuduh Papa pencuri? Kamu sendiri nggak percaya Papa!”

“Elsa…” Dewa menahan nada suaranya. “Aku bukan nggak percaya. Aku cuma realistis. Aku juga harus mikirin nama baik keluarga kita.”

Elsa merasa dadanya sesak, bukan hanya karena kontraksi, tapi karena ucapan suaminya. Ia ingin membalas, tapi rasa sakit di perutnya lebih mendesak.

...****************...

Malam itu sirine mobil melaju kencang menuju rumah sakit swasta yang berdiri gagah di tengah kota. Lampu-lampu neon menyilaukan mata, lorong rumah sakit penuh bau antiseptik menusuk.

Elsa terbaring di ranjang dorong, wajahnya tegang, rambutnya basah oleh keringat. Dewa berjalan cepat di sampingnya, tapi tatapannya sibuk melirik layar ponsel yang terus berdenting oleh notifikasi. Grup keluarga pejabat, teman, bahkan wartawan yang menanyakan komentar.

Sesekali Elsa meremas tangannya, memohon kekuatan. “Dewa… jangan lepasin aku.”

Dewa menggenggam balik, tapi hanya sekilas, lalu kembali menoleh ke layar ponsel.

Di ruang bersalin, suara monitor berdetak cepat. “Ayo, Bu Elsa, tarik napas dalam, keluarkan perlahan… lagi… kuat ya,” bidan memberi arahan.

Elsa menggigit bibirnya, menahan jerit. Matanya mencari-cari Dewa, tapi suaminya berdiri agak jauh, sibuk menempelkan ponsel ke telinga.

“Ya, Pa. Iya, saya ngerti. Tenang saja, saya bakal pisahkan diri dari kasus itu. Iya, demi nama baik keluarga…” suara Dewa terdengar jelas di sela teriakan Elsa.

Air mata Elsa pecah, entah karena sakit melahirkan atau karena hatinya terkoyak.

Beberapa jam kemudian, saat akhirnya diputuskan untuk operasi sesar, tangis bayi pertama kali pecah di udara. Nyaring, penuh kehidupan.

“Selamat ya, Bu Elsa. Bayinya sehat, perempuan.”

Elsa mengulurkan tangan, tubuhnya lemah, matanya berbinar. “Lily… namanya Lily…” bisiknya dengan suara gemetar.

Bayi mungil itu diletakkan di pelukannya. Elsa menangis, memandang wajah polos itu dengan cinta yang meledak-ledak.

Namun ketika ia menoleh ke sisi lain ranjang, Dewa tidak di sana.

Ia menemukan Dewa berdiri di pojok ruangan, menatap layar ponsel dengan wajah tegang. Tak ada senyum bangga, tak ada tatapan haru. Hanya dingin.

“Dewa… “ panggil Elsa lirih. “Ini Lily. Anak kita.”

Dewa menoleh sekilas, lalu melangkah mendekat. Ia menyentuh kepala bayi itu singkat, kemudian menghela napas. “Ya… baguslah. Bayinya sehat.”

Elsa menatapnya tak percaya. “Hanya itu? Kamu nggak bahagia?”

Dewa menutup mata, lalu berkata pelan tapi tegas. “Elsa, kamu tahu posisi kita sekarang. Ayahmu ditahan. Semua orang menyorot kita. Aku… aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik aja.”

“Jadi… kamu bahkan nggak bisa tersenyum untuk anakmu sendiri?” suara Elsa pecah.

Dewa diam. Diam yang menusuk, dingin, dan terasa asing.

Di pelukan Elsa, Lily menangis lagi, seolah mengerti betapa dunia yang menyambutnya begitu penuh badai.

(Bersambung)…

Talak Pasca Persalinan.

Kamar VIP itu sepi. Sunyi yang menusuk hingga ke tulang. Hanya ada suara detik jam dinding, dengung pendingin ruangan, dan sesekali rengekan kecil dari bayi mungil yang baru lahir. Elsa berbaring dengan tubuh lemah, wajah pucatnya memandang kosong ke arah langit-langit.

Di sisi ranjang, Lily terlelap dalam boks bayi transparan, dengan selimut tipis menutup tubuh mungilnya. Elsa tersenyum samar setiap kali menoleh ke arah putrinya, lalu matanya basah lagi.

Ia tahu, seharusnya kamar ini penuh ucapan selamat. Bunga segar, balon warna-warni, foto bersama keluarga dan sahabat, tawa yang biasanya menyambut kelahiran seorang cucu pertama. Tapi tak ada satu pun. Bahkan mertuanya, orang yang paling ditunggu, tak datang. Tidak ada kabar, tidak ada ucapan selamat. Padahal Lily adalah cucu pertama mereka.

Elsa paham kenapa. Semua karena berita itu. Ayahnya ditangkap KPK atas dugaan korupsi. Sejak siang, wajah ayahnya terpampang di layar televisi, diberi label “koruptor.” Siapa yang mau dikaitkan dengan keluarga seorang tersangka?

Ia menarik napas panjang, lalu menatap Lily. “Maafkan Mama, sayang… bahkan hari lahirmu pun ikut kena imbasnya.” bisiknya lirih.

Suara pintu terbuka membuat Elsa tersentak. Dengan cepat ia menoleh, jantungnya berdegup. Ada harapan yang melesat, mungkin mertuanya datang, atau sahabatnya Julia, atau siapa saja.

Namun yang masuk adalah Dewa. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, jas mahalnya masih rapi. Langkahnya tenang, tapi tatapan matanya menusuk.

“Dewa…” suara Elsa serak tapi penuh lega. “Akhirnya kau datang. Kemana saja? Dari tadi aku sama Lily nungguin kamu.”

Dewa tidak menjawab, hanya meletakkan map hitam di meja kecil. Ia berdiri di ujung ranjang, menatap Elsa tanpa senyum.

Elsa berusaha duduk, meski jahitan di perut membuatnya meringis. “Aku tahu kamu pasti mengikuti perkembangan berita tentang Papa terus. Tapi percayalah, Papa dijebak. Kamu tahu, hidup kami tidak pernah berubah meski Papa jadi pejabat. Tidak ada kemewahan, tidak ada hal aneh. Kamu tahu itu, kan?”

Dewa menunduk sebentar, lalu menghela napas. “Elsa, bukti sudah jelas. Semua orang melihat. Aku tidak bisa terus berada di pihak yang salah. Aku harus menjaga nama baik keluargaku.”

Elsa memandangnya dengan tatapan penuh luka. “Nama keluargamu? Lalu aku ini apa? Istrimu. Ibu dari anakmu. Kau seharusnya membela aku, bukan mendengarkan berita yang jelas-jelas tidak benar!”

Dewa diam sejenak. Lalu suaranya keluar, datar, tegas, seakan sudah dihafalnya sejak lama.

“Elsa Evelyn binti Hadi Wirawan, mulai detik ini, aku jatuhkan talak padamu. Kita bukan lagi suami istri.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras dari palu godam. Elsa ternganga, tubuhnya bergetar, matanya langsung dipenuhi air. “Kau… menjatuhkan talak? Sekarang? Saat aku baru melahirkan?”

Dewa menoleh ke boks bayi, sorot matanya melembut sejenak, tapi cepat mengeras lagi. “Anak ini akan ikut aku. Aku akan membesarkannya. Julia akan membantuku.”

Mata Elsa melebar. “Julia? Kau… kau dengan Julia?” suaranya pecah, seperti terhunus pisau di dada.

Dewa tak menanggapi. Diamnya cukup menjawab.

Elsa segera meraih Lily, mendekapnya erat di dada, air matanya jatuh bercucuran. “Tidak! Jangan ambil anakku dariku. Aku yang melahirkannya, aku yang akan merawatnya. Lily butuh ibunya, Dewa!”

Dewa melangkah mendekat, nada suaranya datar dan terasa sangat asing. “Elsa, berhenti. Aku sudah putuskan. Talak sudah jatuh. Dan Lily akan ikut denganku.”

“Dewa!” jerit Elsa, tubuhnya gemetar, luka jahitan di perutnya membuatnya meringis saat mendekap bayi kecil itu lebih erat. “Kau kejam. Kau rampas segalanya. Kau hancurkan hidupku.”

Dewa tidak menjawab. Ia hanya menatap sebentar, lalu berbalik. “Aku akan urus semuanya.”

Suara pintu menutup. Dan kamar VIP itu kembali sepi. Lebih sepi dari sebelumnya.

Elsa menciumi ubun-ubun Lily, suaranya pecah. “Maafkan Mama, sayang… Mama tidak bisa mempertahankan keluarga kita.”

Air mata jatuh satu per satu, membasahi kepala mungil bayinya. Di ruang hampa itu, Elsa merasa dunia benar-benar runtuh, meninggalkannya sendirian bersama luka, dan harapan yang perlahan padam.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Elsa masih mendekap Lily di dada, meski tubuhnya terasa remuk. Air susu membasahi baju rumah sakitnya, tapi ia tidak peduli. Yang penting, anak itu ada dalam pelukannya.

Ia berbisik berulang kali, seakan meyakinkan dirinya sendiri, “Mama nggak akan tidur, Mama nggak akan lengah… Mama akan jaga kamu, Lily.”

Namun rasa sakit di perutnya terus menusuk. Kelopak matanya berat, setiap kedipan terasa seperti menyeretnya ke dalam kegelapan. Sesekali ia tersentak bangun, menatap Lily, lalu menempelkan bibirnya ke ubun-ubun bayi mungil itu. Tapi keletihan akhirnya mengalahkan tekadnya. Tubuhnya lunglai, matanya terpejam.

Beberapa jam setelah Dewa pergi, pintu kamar VIP itu terbuka perlahan. Suara langkah kaki yang hati-hati terdengar mendekat. Seorang perawat masuk bersama satpam rumah sakit. Mereka saling pandang sebentar, lalu perawat itu berkata lirih, “Pak Dewa sudah berpesan. Bayinya harus segera dibawa.”

Satpam mengangguk. “Ibunya masih terjaga?”

Perawat menoleh ke ranjang. Elsa terlelap, wajahnya basah dengan sisa air mata, tangannya masih melingkari tubuh kecil Lily.

Dengan hati-hati, perawat berusaha melepaskan pelukan itu. Jari-jari Elsa sempat mengencang, seolah masih mempertahankan anaknya meski dalam tidur. Perawat menelan ludah, lalu dengan sabar melonggarkan genggaman itu satu per satu.

Bayi mungil itu merengek pelan. Elsa bergumam samar, tubuhnya bergerak sedikit, tapi tak benar-benar bangun. Perawat buru-buru menenangkan Lily, lalu menggendongnya ke dalam pelukan.

“Cepat,” bisik satpam, membuka pintu lebih lebar.

Elsa mengerang lirih di ranjangnya, matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kabur. Ia hanya meraih udara kosong dan berbisik dalam kantuk yang teramat, “Lily… jangan pergi…”

Pintu menutup lagi, dan sunyi kembali menelan kamar VIP itu.

Ketika Elsa akhirnya benar-benar tersadar beberapa jam kemudian, pelukannya kosong. Boks bayi di samping ranjang pun kosong. Ia terperanjat, jantungnya serasa jatuh ke dasar perut.

“Lily?!” suaranya parau, panik, bergetar. Ia menoleh ke segala arah, mencoba bangkit meski jahitannya masih perih. Tangannya meraba bantal, selimut, mencari bayinya.

“Lily… anak Mama… di mana kamu?!”

Tangisnya pecah lagi, lebih keras, lebih dalam dari sebelumnya. Rasa letih dan sakit mendadak lenyap, berganti dengan kepanikan seorang ibu yang baru saja kehilangan bayinya.

Di luar sana, bayi mungil itu sudah jauh dari pelukan Elsa. Dan di dalam kamar VIP yang semakin dingin, Elsa menjerit menyesali dirinya yang terlelap tidur tadi.

Elsa masih menjerit lirih, “Lily… Lily… jangan tinggalkan Mama…” Tangannya meraih udara kosong, napasnya terengah. Ia menoleh ke boks bayi di samping ranjang… kosong. Selimut kecil yang tadi menghangatkan putrinya terlipat rapi, tapi dingin, seakan mengejek.

Air matanya tumpah lagi, semakin deras. Tubuhnya masih lemah, perutnya nyeri, jahitan terasa seperti disayat ulang setiap kali ia bergerak. Tapi rasa sakit itu kalah jauh dengan kepanikan yang mengguncang dadanya.

Dengan sisa tenaga, ia mencoba turun dari ranjang. Tubuhnya gemetar, kakinya lemas, tapi ia bertahan, menggenggam tiang infus sebagai penopang.

“Tidak… aku harus cari Lily… aku nggak boleh diam…” gumamnya, setengah terisak.

Kakinya melangkah pelan, tertatih, meninggalkan bercak darah di baju pasiennya karena jahitannya terbuka lagi. Ia meraih pintu, membukanya sedikit, dan menyembulkan kepala. Lorong rumah sakit tampak sepi, hanya ada lampu neon yang berpendar pucat.

“Suster… tolong…” suaranya serak, hampir tak terdengar. “Anakku… anakku hilang…”

Tapi tak ada jawaban. Lorong itu terlalu panjang dan terlalu sunyi.

Elsa menggigit bibir, lalu menyeret kakinya keluar kamar. Langkahnya goyah, tapi matanya mencari ke segala arah. Beberapa suster yang lewat sempat berhenti menatapnya dengan tatapan iba, sebagian lain memilih pura-pura sibuk.

“Anakku… anakku Lily… suster melihatnya kan?!” Elsa menahan seorang suster muda dengan tangan gemetarnya.

Suster itu kaget, wajahnya pucat. “Bu, kembali ke kamar. Luka Ibu masih… “

“Jangan suruh aku kembali! Anak aku… bayiku… Lily… kalian lihat dia dibawa siapa?!” suaranya pecah, penuh keputusasaan.

Suster itu menunduk, tak sanggup menjawab. Air matanya hampir jatuh, tapi ia memilih diam. Elsa bisa membaca sesuatu dari sikap itu… bahwa mereka tahu, tapi tak berani bicara. Tentu Dewa pelakunya, kekuasannya sebagai keluarga pejabat bahkan mampu sampai membungkam mulut orang-orang di rumah sakit itu.

“Kenapa kalian diam?!” Elsa menjerit, suaranya memantul di lorong. “Itu darah dagingku! Kembalikan dia padaku!”

Beberapa orang mulai keluar dari kamar masing-masing, menatap Elsa yang berdiri dengan rambut berantakan, baju rumah sakit penuh noda darah dan air susu, wajahnya basah dengan air mata. Ia seperti ibu gila yang kehilangan kewarasannya bersamaan dengan anaknya yang hilang.

Elsa akhirnya jatuh berlutut di lantai dingin. Tangannya menekan perutnya yang perih, tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya tetap memanggil lirih, “Lily… Mama di sini, Nak… Mama nggak akan berhenti cari kamu…”

Lorong rumah sakit menjadi saksi dari awal luka besar yang akan menandai hidup Elsa. Luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.

(Bersambung)…

Semuanya Hilang Dalam Sekejap Mata.

Lampu kamar VIP itu redup, hanya suara mesin infus yang berdetak perlahan. Setelah beberapa perawat dan dokter memaksanya untuk kemabli ke kamar untuk menenangkan diri dan istirahat, Elsa mengalah karena sakit yang teramat.

Elsa terbaring dengan mata sembab, tubuh letih, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk bisa beristirahat. Bayangan Lily, bayi mungilnya yang kini jauh dari pelukannya, terus berkelebat di benaknya.

Seorang perawat masuk sebentar, merapikan selimut Elsa, lalu berkata lembut, “Nyonya, tolong jangan banyak bergerak dulu, luka operasi belum kering. Istirahatlah.”

Elsa hanya mengangguk samar. Begitu pintu tertutup, matanya langsung menatap ke arah meja kecil di samping ranjang: Segelas air, dan ponsel yang sudah mati sejak lama. Tak ada kabar. Tak ada keluarga. Hanya sepi yang menindih dadanya.

Ia sudah mencoba bertahan di ranjang itu, mencoba berpikir logis. Tapi kekhawatiran akan kehilangan Lily selamanya terlalu kuat. Ia harus keluar. Harus ke rumah Dewa. Hanya itu yang ada di kepalanya.

Ketika langkah para perawat terdengar menjauh, Elsa dengan susah payah menggeser tubuhnya. Rasa perih dari perut yang masih terjahit membuat keringat dingin bercucuran. Tangannya meraba tiang infus, lalu ia lepaskan selang itu dengan gemetar, darah segar mengalir di punggung tangannya, tapi ia tak peduli.

Pintu kamar didorong pelan, ia mengintip keluar. Lorong rumah sakit lengang. Dengan langkah goyah, Elsa keluar, menahan napas tiap kali rasa nyeri menyerang. “Sedikit lagi… hanya sedikit lagi…” bisiknya pada diri sendiri.

Begitu sampai di lobi, beberapa perawat yang berjaga melirik curiga. “Nyonya, jangan dulu turun… ayo kita kembali ke kamar, Nyonya belum boleh keluar,” ujar salah satu perawat sambil mendekat.

Elsa mengangguk dan menunduk, berpura-pura menuju toilet. Saat perawat itu sibuk melayani pasien lain, Elsa bergegas ke pintu depan.

Udara malam langsung menyambutnya. Dingin menusuk tulang, tapi jantung Elsa berdetak lega. Ia berhasil keluar.

Namun, masalah baru muncul: ia tak punya kendaraan, tak ada ponsel untuk memesan kendaraan online, atau membuka aplikasi perbankan, ia tak punya apa-apa. Rambutnya acak-acakan, baju rumah sakitnya penuh noda darah dari air susu yang merembes, wajahnya pucat pasi. Taksi-taksi yang melintas hanya menoleh sebentar lalu segera tancap gas. Mungkin sempat mengira Elsa adalah hantu penunggu rumah sakit

Elsa terduduk di trotoar, air matanya jatuh tanpa suara. “Kenapa… bahkan untuk pulang saja aku tak bisa…”

Saat itu, sebuah motor berhenti di depannya. Pengendaranya, seorang ojek online muda dengan jaket hijau lusuh, menurunkan helmnya. “Mbak… maaf, saya nggak tega lihat Mbak kayak gini. Mau saya antar ke mana? Gratis aja, nggak usah bayar.”

Elsa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ke rumah… ke rumah suami saya… di komplek Bumi Elit Raya…” suaranya serak, hampir terputus. Secercah harapan Tuhan datangkan tepat saat ia sedang putus asa.

Pemuda itu mengangguk cepat. “Baik, Mbak. Tapi… Mbak kuat naik motor? Luka Mbak… “ ucap pemuda itu sambil menatap baju Elsa yang bernoda darah di bagian perut

“Saya harus kuat… demi anak saya,” potong Elsa lirih.

Naik motor dengan perut yang baru dioperasi tentu seperti siksaan. Setiap getaran membuat jahitannya seolah robek kembali. Elsa menggigit bibirnya kuat-kuat agar tak berteriak. Sepanjang jalan ia hanya bisa berdoa, memeluk erat rasa sakit, membayangkan wajah Lily sebagai penguat.

Setelah hampir setengah jam, mereka tiba di depan rumah megah bercat putih dengan gerbang tinggi menjulang. Itu rumahnya dulu. Rumah yang ia rawat, ia isi dengan cinta, kini terasa asing. Pemuda itu sempat menatap iba kembali setelah Elsa turun tertatih dan mengucapkan terima kasih banyak-banyak, ingin ia membantu lebih jauh. Tapi melihat rumah yang Elsa tuju, jelas bukan pilihan tepat jika ia ikut campur.

Dua orang satpam yang berdiri tegak di balik gerbang besi sempat syok melihat penampilan mantan Nyonya mereka. Elsa mendekat, menatap penuh permohonan pada satpam yang bertahun-tahun telah bekerja padanya. “Pak… tolong… bukakan gerbangnya… saya harus masuk, saya harus ketemu Lily,” pintanya dengan suara bergetar.

Satpam itu terdiam lama, wajahnya menegang. Dulu, ia selalu menunduk hormat setiap Elsa pulang. Kini, tatapannya penuh iba namun juga ragu. “Maaf, Nyonya… saya tidak bisa. Perintah Tuan Dewa jelas.”

Air mata Elsa jatuh deras. “Pak… saya mohon… hanya sebentar. Saya ibunya. Saya yang melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa saya sendiri. Tolong…”

Satpam itu menggertakkan rahang, lalu memalingkan muka. Ia tak sanggup menatap lebih lama.

Elsa terisak, lalu berjalan menyusuri sisi rumah, mencari jalan lain. Ia menemukan pintu belakang, tempat para pembantu biasa keluar masuk. Tapi terkunci.

Ia lalu mengengadah, menatap tembok rumah yang terlalu tinggi untuk dipanjat. Luka di perutnya terus mengeluarkan darah, membasahi kain tipis yang melekat di tubuhnya. Mustahil ia naik ke tembok dengan kondisinya yang seperti itu.

“Lily…” Elsa bersandar pada dinding, tubuhnya gemetar, hampir tumbang. “Nak… tunggu Mama…”

Kemudian matanya tertumbuk pada pintu kecil di sisi halaman, pintu yang biasanya dipakai untuk anjing penjaga. Selalu terbuka. Elsa merangkak mendekat, memaksa tubuhnya masuk. Sakitnya tak terkatakan, jahitannya seperti sobek kembali. Tapi ia terus maju.

Begitu berhasil masuk halaman, ia tersenyum lega di balik tangisnya. “Aku berhasil…” bisiknya.

Namun langkahnya baru beberapa meter, sebuah suara terhentak di belakang.

“Elsa?!” suara Julia pecah di udara, setengah kaget, setengah… jijik. Matanya menelusuri tubuh Elsa yang dekil, rambut kusut, baju rumah sakit belepotan darah susu dan noda tanah.

Bibir Elsa yang pecah-pecah tersenyum samar. Ia menatap sahabat lamanya dengan penuh harap. “Jul… apa Lily ada di dalam?” suaranya lirih, bergetar, penuh pengharapan.

Julia mengeraskan rahang, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. “Kau… sudah diceraikan Dewa, kan? Berani-beraninya kau datang lagi ke sini?” Nada suaranya tajam, menusuk lebih dalam dari luka jahit Elsa. Berbeda sekali dengan Julia sebelumnya, yang selalu lembut dan penuh kasih padanya.

Elsa terperangah. Jadi benar… Dewa memilih Julia? Julia yang akan menggantikanku? Jadi selam ini mereka bermain di belakangku?

Tapi ia cepat-cepat menggeleng. “Aku tidak peduli lagi pada Dewa, Julia. Aku hanya… hanya ingin Lily. Tolong… kembalikan Lily padaku.”

Julia tertawa, penuh kepuasan, menatap Elsa penuh hina dina. “Kau pikir hidup ini selalu berpihak padamu, Elsa? Cukup. Cukup kau mendapatkan semua yang kau mau sejak dulu. Kecantikanmu, kepintaranmu, suami yang sempurna, mertua yang terhormat, dan sekarang… kau melahirkan cucu pertama! Kau sadar nggak, betapa aku ini cuma bayanganmu seumur hidup?”

Elsa menatapnya nanar. “Jadi… selama ini, itu isi hatimu? Rasa iri itu? Jul, kau lupa siapa yang membiayai kuliahmu? Ayahku! Kau lupa dari mana baju, sepatu, tas yang kau banggakan itu? Dari siapa? Dari aku, Jul! Dari aku! Terkutuk kau Julia!” suara Elsa meninggi, tangannya gemetar menunjuk Julia.

Julia mendengus, tersenyum miring. “Justru itu, Elsa. Aku muak! Selalu hidup dari belas kasihanmu. Kau pikir aku nggak punya harga diri? Sekarang lihatlah… aku berdiri di sini, di rumah yang dulu kau banggakan. Aku yang jadi nyonya rumah ini, bukan kau lagi. Dan aku yang akan jadi ibunya Lily, asal kau tahu… mertuamu pun sudah setuju!”

Air mata Elsa jatuh makin deras, bersamaan dengan darah yang kembali merembes dari lukanya. “Ambil semua yang kau mau, Julia. Ambil Dewa, ambil rumah ini, ambil kehormatan itu. Tapi jangan… jangan pernah kau berani mengambil Lily dariku. Dia darah dagingku, jiwaku! Dia anak yang ku lahirkan!” Elsa berteriak, suaranya pecah, menggema sampai satpam yang berjaga ikut menoleh.

Dua satpam bergegas menghampiri. “Nyonya Elsa, bagaimana Anda bisa masuk? Ini berbahaya, Nyonya…” suara salah satu satpam sampai bergetar, jelas tak tega melihat mantan majikannya dalam keadaan seperti itu.

Elsa tidak menghiraukan. Ia menubruk Julia, dengan langkah tertatih mencoba menerobos masuk ke dalam rumah. Julia terhuyung mundur, tapi segera membalas dengan kasar. Tangannya menjambak rambut Elsa, menariknya sekuat tenaga. Elsa menjerit kesakitan, tubuhnya tertarik ke belakang.

“Lepaskan, Julia! Aku hanya ingin anakku!” Elsa memekik, berusaha melepaskan diri.

Julia mendesis, wajahnya memerah penuh amarah. “Kau perempuan gila! Satpam! Seret dia keluar sekarang juga! Jangan sampai perempuan ini menginjak rumahku lagi!”

Kedua satpam saling pandang. Mereka jelas ragu. Wajah mereka tegang, ada iba di mata mereka.

Elsa berusaha bangkit dari jambakan itu. Dengan sisa tenaga, ia menyikut perut Julia. Jambakan terlepas. Elsa terhuyung ke arah pintu masuk. “Lily!” teriaknya sambil berlari tertatih.

Julia langsung mengejar. Tepat saat Elsa mencapai pintu, Julia yang sudah masuk ke dalam rumah membanting pintu itu keras-keras. Jemari Elsa yang masih berada di ambang pintu terhantam. Suara teriakan Elsa melengking tinggi, kukunya terasa copot seketika, darah memercik ke lantai.

“Tolong… tolong saya!” jerit Elsa, suaranya parau, kesakitan.

Satpam panik. Mereka menggedor pintu keras-keras. “Tuan! Tuan Dewa! Tolong buka, jari Nyonya Elsa terjepit, Tuan! Kasihan, Tuan!” salah satu satpam sampai berlinang air mata.

Pintu terbuka. Elsa tersentak mundur, menatap tangannya yang sudah berlumuran darah. Beberapa kukunya nyaris copot. Tapi rasa sakit itu tak seberapa dibanding pemandangan di depannya. Dewa berdiri di ambang pintu, dengan Julia bergelayut manja di dadanya.

“Seret dia keluar,” suara Dewa dingin, tanpa belas kasihan.

Kedua satpam terpaku, bingung, air mata menetes.

“Seret saya bilang!” bentak Dewa lagi.

Elsa menjerit, “Tidak! Berikan Lily padaku! Berikan anakku kembali!” Suaranya parau, depresi.

Satpam mencoba membujuk. “Nyonya… ayo kita obati dulu lukanya, nanti Nyonya bisa… “

“TIDAK! Saya mau Lily!” Elsa menolak, memaksa menerobos lagiZ

Kesabaran Dewa habis. Ia sendiri menjinjing lengan Elsa, menyeretnya keluar. Elsa berpegangan pada dinding, memohon dengan suara yang nyaris hilang. “Dewa… jangan lakukan ini… demi Lily, demi anakmu sendiri… anak kita.”

Namun Dewa tak menoleh. Begitu gerbang dibuka, ia mendorong Elsa kasar ke jalan. Tubuh Elsa tersungkur, hampir saja tergilas mobil yang melintas. Gerbang tertutup lagi dengan suara menggelegar.

Elsa tergeletak di jalan, darah mengalir dari perut dan tangannya. Pandangannya kabur. Ia berbisik lirih, berdoa, berjanji untuk Lily, “Nak… suatu hari Mama akan kembali. Mama janji…”

Tubuhnya ambruk, setengah badan masuk ke jalan raya.

Lampu mobil menyilaukan mata. Seorang wanita cantik di balik kemudi berhenti mendadak, nyaris melindas Elsa. Tangan wanita itu gemetar, bibirnya bergetar. Ia turun dengan wajah pucat, menatap Elsa yang berlumuran darah.

“Ya Tuhan… apa aku baru saja menabraknya?” tanyanya panik, suaranya tercekat.

(Bersambung)…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!