NovelToon NovelToon

Adzadina Istri Sang Gus Rahasia

LAMARAN DARI GUS

Bulan kelima semester dua, benar-benar tak ada harapan lagi bagi Adzadina untuk mendapatkan pinangan dari seorang pria muda.

Sementara teman-temannya sudah mendapatkan pinangan dan bahkan mas kawin. Hanya dia saja yang belum, padahal tidak ada yang salah dari wajahnya. Rata-rata orang tua yang meminangkan santriwati untuk anaknya hanya memandang nasab yang jelas untuk buah hati mereka.

Sementara dia, Dia anak yatim piatu yang dititipkan oleh orang tuanya saat dia masih sekolah Tsanawiyah. Dua bulan dia di sini, kedua orang tuanya dinyatakan meninggal dunia karena tragedi kebakaran di perkebunan kelapa sawit yang mereka punya.

Harta warisan jatuh ke tangannya dan sekarang dikelola oleh orang kepercayaan keluarganya, tapi tetap saja dia tidak mendapatkan pinangan dan setelah lepas dari pesantren ini maka dia akan hidup seorang diri.

Namanya Adzadina Maisyaroh, seorang gadis yang berwajah imut dan bertubuh mungil. Walaupun mungil tapi dia bukan mengalami kecacatan fisik, tubuhnya memang hanya setinggi seratus lima puluh lima senti dan berat badannya mencapai empat puluh kilogram. Sehingga bisa dikatakan dia adalah gadis yang mungil dan menggemaskan di pesantren.

Wajah yang cantik dan teduh, sedikit banyak keceriannya hilang akibat tragedi yang terjadi enam tahun lalu. Di mana kedua orang tuanya ditemukan tewas di perkebunan sawit seratus hektar milik keluarganya. Dia tidak ada lagi semangat hidup, sempat mengubah niatannya menuntut ilmu karena dia ingin bertemu dengan Tuhannya dengan cepat.

Sampai akhirnya, dia tercerahkan dengan ceramah yang diberikan oleh salah satu Ustadzah kondang yang ada dikota ini. Tentang satu kalimat yang membuka mata hatinya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berputus asa dari rahmat-Nya.

Sejak saat itu, dia berusaha mengubur dalam-dalam niatan buruknya. Mencoba untuk membangun kehidupannya dengan lebih baik dan mengejar cinta Allah dengan cara yang lain, yaitu tetap hidup dan berbuat segala kebaikan di dunia.

Dia juga ingin menikah, memiliki pendamping hidup, pembimbing dan juga anak-anak yang akan dia besarkan dengan suaminya. Tetapi nyatanya sampai saat ini tidak ada lamaran yang diterima, sementara di pesantren selama enam tahun sudah membuatnya belajar banyak tentang menjadi istri yang baik dan berkarir surga.

Namun nyatanya, Allah sepertinya memiliki takdir yang lebih baik untuknya dan itu membuatnya tak bisa sedih terlalu lama.

"Jangan sedih, Adza. Mungkin rencana Allah adalah hal yang lebih baik untukmu. Kamu tidak dilamar sekarang mungkin harus kuliah dulu dan menjadi wanita independen yang sukses. Kodratnya wanita adalah seorang calon ibu dan juga istri, tetapi kalau sekarang Allah belum mempertemukanmu dengan jodohmu, maka kamu harus mengejar Allah agar mendapatkan Lamaran Dari Gus semuanya."

Malam itu Adza tersenyum mendengar ucapan Intan, teman satu biliknya yang begitu perhatian dan sangat menyayanginya. Intan sekarang juga sudah dilamar oleh salah satu Ustadz pesantren ini dan setelah lulus

nanti mereka akan menikah dan tinggal bersama Ustadz Farel. Tetap kuliah lalu mengikuti suaminya untuk menjadi pengajar di pesantren ini.

Satu hal yang membuat Adza merasa iri, tapi dia tidak bisa terus-terusan merasa iri pada teman sekamarnya yang sudah begitu baik padanya dan memberikan banyak perhatian. Mereka menghabiskan waktu selama enam tahun bersama-sama dan tentu saja banyak suka duka yang mereka lalui.

"Aku tahu, aku akan belajar lagi tentang takdir. Dan aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik one day."

Intan tertawa mendengarnya, lalu mereka sama-sama berpelukan dan merasa sedih karena tak lama lagi mereka akan segera lulus dan berpisah satu sama lain.

"Kalau nanti sudah lulus, aku ada di sini dan tinggal bersama dengan suamiku di wisma. Kamu jangan sungkan-sungkan untuk datang mengunjungi aku ya? Bagaimanapun juga kita adalah alumni, Kyai mengizinkan kita untuk datang ke sini kapanpun selama tujuannya baik. Aku berharap kita tidak kehilangan kontak, ya?" ujar Intan membuat Adza tersenyum.

"Jangan khawatir, aku juga akan tinggal di sini kok. Pak zakir sudah membantu aku membeli sebuah apartemen di kota ini jadi nanti aku akan kuliah di sini dan tinggal di sana. Perkebunan kelapa sawit biarkan saja Pak zakir dan beberapa rekannya yang mengurus. InsyaAllah mereka bisa dipercaya dan selama ini penjualan bersih memang mengalir ke rekenin pribadiku. Jadi aku tidak harus khawatir dan bisa kuliah dengan tenang, dan aku bisa datang ke sini kapan pun karena tidak sibuk." Intan tersenyum lebar mendengarnya.

"MasyaAllah, kalau begitu baguslah. Aku senang tidak kehilangan teman berkarir surga sepertimu." Adza tersenyum dan tertawa kecil, lalu mereka sama-sama melanjutkan hafalan yang akan disetorkan besok hari.

***

Adza berjalan membawa kitab ditangannya sembari menahan pusing. Tiba-tiba saja tadi pagi dia pusing, tapi dia masih harus laporan.

Brugh ...

"Astaghfirullahal'adzim," serunya tanpa sadar ketika tak sengaja bahunya di senggol.

"Ah, astaghfirullah, Afwan, Ukhty. Saya tidak sengaja." Ketika dia melihat siapa yang menabraknya, wajah Adza langsung berubah dan tersenyum.

"La ba'sya, saya baik-baik saja." adza berkata masih sambil tersenyum membuat wanita itu menatapnya dengan wajah yang masih merasa bersalah.

"Ukhty baik-baik saja? Wajahnya tampak agak lesu," ucap wanita itu membuat adza tersenyum.

"Tidak apa-apa, Ning. Saya baik-baik saja, hanya agak pusing. Saya mau pamit ke-"

"Afwan, sebenarnya saya diminta Abi untuk memanggil Ukhty. Katanya ada yang mau dibicarakan di rumah. Apakah Ukhty berkenan datang?"

adza mengerutkan dahinya. "Saya? Ada urusan apa ya, Ukhty?" tanyanya membuat gadis itu tersenyum dan menggeleng.

"Saya tidak tahu jelasnya, Ukhty bisa ikut saya ke rumah agar bicara langsung dengan Abi. Tafaddoly,

Ukhty ..." Ning Ameena, anak bungsu dari Kyai Firdaus, dan yang sedang bicara dengannya ini adalah dia.

"Na'am, kalau memang benar-benar butuh saya akan ikut dengan Ning menemui Kyai."

Ameena tersenyum, lalu mengarahkan tangannya ke dekat rumah. "Tafaddoly, Ukhty."

Adza mengangguk, lalu berjalan dengan sopan ke arah rumah yang ada di pesantren itu. Jantungnya mulai tidak aman saat ini, dia merasa khawatir yang dibicarakan adalah tentang dia yang tidak ada satupun yang meminang, bagaimana dia akan menjawabnya?

Saat dia masuk ke dalam rumah, ada banyak orang yang sudah duduk di sofa termasuk Kyai Firdaus.

"Silakan duduk, Nak. Maaf kalau kami memanggilmu secara mendadak, ada hal yang mau Kyai dan Ustadzah sampaikan." Firdaus berkata membuat Adza tersenyum dan mengangguk dengan sopan.

"Ada apa ya, Kyai? Saya sudah membuat salah?" tanyanya sopan membuat Kyai Firdaus dan Ustadzah Rini tersenyum.

"Tidak, Kyai di sini hanya ingin menyampaikan sebuah pesan untuk kamu. mengingat kalau kamu tidak ada yang meminang dalam satu tahun ini. Jadi Kyai memiliki sebuah pinangan yang sengaja diarahkan untukmu. Kamu berkenan menikah dengan Putra Kyai? Gus Azka Bukhoiri?"

Bola mata Adza membulat dengan cepat. "Gus Azka, Kyai?"

ISTIKHARAH

Kyai Firdaus mengangguk, begitupun rini yang baru Adza tatap. Mereka tampak menunggu jawaban dari Adza yang terdiam berpikir.

"Seperti rumor yang beredar, Gus Azka adalah seorang pria yang tidak mau dikenali. Selain itu wajahnya memang tidak pernah ada yang melihat di pesantren ini. Kalau kamu bersedia, kamu akan menjadi orang pertama yang melihatnya."

Adza diam ditempatnya, menggenggam tangannya sendiri yang terasa agak dingin. Dia pernah mendengar rumor kalau wajah pria itu juga agak rusak akibat kecelakaan. Tidak, bukan dia membandingkan atau bukan dia tidak suka dengan kenyataan itu. Wajah bisa diobati dengan cara membawanya ke dokter kulit entah itu dibedah atau tidak. Masalahnya, dia tidak pernah bertemu dengan Gus Azka itu, dia lama diluar negeri dan kuliah di Madinah.

Sekarang tiba-tiba kedua orang tua Azka melamarnya untuk sang putra. Jelas saja adza tak bisa membayangkannya dan juga sebagian hatinya merasa takut. Kenapa pria itu tidak pulang saja sebentar Melamarnya lalu kalau memang berpisah lagi mungkin dia akan membiarkan.

Kyai Firdaus dan rini saling tatap, melihat wajah Adza yang tampak agak di tekuk. Seolah-olah dia tidak mau dan memang dia terlihat takut. Mereka paham kalau adza tidak bertemu langsung dengan Azka tapi putra mereka yang memilihnya.

"Nak adza ..."

Adza mengangkat kepalanya lalu tersenyum melihat wajah rini yang baru memanggilnya.

"Kenapa diam saja? Kamu bersedia atau tidak, kami juga akan mendengar pendapat dan keputusan kamu. Jangan takut untuk mengungkapkan isi hati kamu. Katakan saja," ujarnya lembut membuat adza menghela napas beberapa kali.

"Maaf, Ummi, Kyai. Saya ... Saya bukan mau menolak. Saya hanya belum pernah bertemu atau bertatap muka dengan Gus. Ini perjodohan atau bagaimana ya?" tanyanya masih sambil menggenggam tangannya sendiri.

Untuk yang pertama kalinya, dia bicara lama dengan Kyai Firdaus dan rini dan ini bukan soal nilai atau apa yang bersangkutan dengan pembelajarannya.

"Ini bukan perjodohan sebenarnya. Kemarin Gus menghubungi kami, bertanya apakah semua kegiatan yang dilakukan oleh pesantren tiap tahun yaitu pinangan ini lancar. Kami menjawab apa adanya, kami mengatakan hanya ada satu gadis yang belum mendapatkan pinangan yaitu kamu. Dia diam beberapa lama sebelum akhirnya mengatakan, dia bersedia menikahi kamu. Kami juga tidak menduga akan hal ini, semuanya terjadi tiba-tiba makanya kami memanggil kamu sekarang untuk membicarakannya."

adza terdiam mendengar penjelasan rini.

"Nyatanya, aku tidak ada yang mau makanya Gus menikahiku. Apakah aku akan menjadi istri yang sebenarnya? Atau dia hanya mengangkat derajatku saja karena tahu aku yatim piatu?" batinnya seraya memejamkan matanya dalam menunduk.

"Bagaimana aku akan menghadapinya nanti Bagaimana kalau patah hatiku karena meninggalnya kedua orang tuaku malah bertambah dengan, patah hati akibat tidak mendapatkan cinta dari suamiku kelak?"

rini bergerak mendekatinya.

"Kamu bisa pulang dulu dan meminta waktu. Shalat istikharah, meminta petunjuk. Kalau memang hati kamu tidak yakin, yasudah katakan pada kami. Kami juga tidak memaksa, mungkin saja jodohmu akan datang meminangmu beberapa hari lagi. Rencana Allah tidak ada yang tahu," ucap rini membuat adza mengangguk.

"Saya akan shalat istikharah dulu untuk meminta petunjuk. Dan kalau boleh tahu, apakah kami akan bertemu kalau menikah nanti?" tanyanya pelan membuat Firdaus mengangguk.

"Namun, Gus masih harus menyelesaikan kuliah dan juga pembelajarannya disana. Kamu akan menikah disana dengannya nanti, kita akan pergi kesana setelah lulus ini. Setelah itu, kalian akan melakukan hubungan jarak jauh, anggap saja untuk menumbuhkan perasaan di dalam hati kamu untuknya, begitupun dengan dia. Karena dia akan lulus kurang lebih enam bulan lagi sementara kamu masih harus kuliah disini dan memantau bisnis warisan kamu. Ketika menikah bertemu, ketika sudah sah kamu akan kami bawa kembali"

"Kami membebaskan kamu mau tinggal dimana. Disini atau diluar, atau di asrama kampus. Kami hanya akan menjagamu karena kamu kelak akan menjadi menantu kami kalau kamu setuju. Jadi jangan ragu untuk mengatakan apapun, kalau kamu setuju katakan kalau tidak, katakan saja. Semuanya yang kamu katakan adalah yang terbaik karena kamu adalah pihak wanita."

Adza mengangguk-angguk.

"Memang lebih baik tidak usah bertemu dulu. Namun, saya boleh meminta nomor ponselnya kalau sudah menikah nanti?" tanyanya membuat Kyai Firdaus tersenyum.

"Tentu saja, kalian juga akan bersama kurang lebih semingguan disana. Walau mungkin Azka sibuk, dia sedang sibuk kuliah dan menyusun skripsi, sidang dan sebagainya. Namun kita akan umroh juga sebentar, Kyai dan Ustadz serta Ameena dan para Ustadz Ustadzah di pesantren ini akan umroh setiap akhir semester. Jadi kalian bisa saling melihat beberapa kali."

Adza mengangguk pelan memahaminya. Tak lama dia pamit, pulang ke bilik asramanya dan meletakkan kitab. Dia duduk di pinggiran ranjang, memikirkan ulang apa yang dikatakan oleh Kyai Firdaus dan rini tadi.

"Ya Allah, jika dia jodoh yang baik maka hamba juga tidak akan menolak. Tetapi berikan hamba petunjuk dan keyakinan kalau semua ini adalah hal yang baik, yakinkan hati hamba."

Malam datang tak lama setelah itu. Adza bangun di tengah malam dan menuju ke tempat shalat. Dia shalat malam di masjid dengan para santri yang lain, setelahnya saat masjid mulai hening karena para santri melakukan kegiatan menjelang subuh yang lain, adza masih di atas sajadahnya dan shalat istikharah.

Dia sudah berniat untuk shalat istikharah dua kali atau bahkan tiga kali. Untuk meyakinkan hatinya kalau dia harus memilih yang mana.

rini yang melihatnya shalat tersenyum diam-diam. Gadis itu sholehah, cocok untuk putranya. Hanya saja dia paham, tak pernah bertemu dan tak pernah sekalipun bicara pastilah ada kejanggalan dan keraguan dalam hatinya.

"Semoga apapun itu ya Allah, anak hamba bisa mendapatkan yang terbaik. Begitupun dengan adza, dia anak yang baik. Orang tuanya sudah ada di sisi-Mu dan dia hanya seorang diri di dunia ini. Maka pertemukan lah dia dengan jodoh dan keluarga yang baik."

rini mengusap wajahnya, lalu berbalik. Dia bertemu dengan Ustadzah Lina yang tampak memakai sepatunya di tangga masjid.

"Melihat Nak adza? Calon menantu Ummi kalau dia setuju?" tanyanya membuat Ustadzah rini tersenyum.

"Na'am, mohon doanya ya, Ustadzah. Apapun itu, semoga saja hatinya mantap."

Ustadzah Lina tersenyum, lalu menegakkan tubuhnya dan menatap wajah istri Kyai di pesantren itu.

"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Nak adza. Saya juga suka melihatnya dan ingin saya jodohkan dengan anak saya. Hanya saja, saat saya bilang pada suami saya kalau dia sudah yatim piatu. Suami saya tidak mau menerimanya. Saya bingung sebenarnya kenapa seperti itu. Padahal dia adalah anak Yatim piatu, bukan anak yang nasab orang tuanya haram."

rini mengangguk pelan mendengarnya. "Banyak Ustadz atau Kyai juga tidak mau meminangnya. Tetapi suami saya malah meminangnya sendiri untuk anak kedua kami. Semoga saja, adza mau menerimanya. Memang disini nasab itu sangat erat kaitannya sebelum menikah. Antara nasab dan jodoh, orang tua di kota ini lebih memilih nasab walau sebaik apa gadis yang menjadi menantu itu."

Ustazah Lina mengangguk. "Semoga suatu saat, Allah buka pintu hati mereka dan Allah tunjukkan kalau memuliakan anak yatim adalah hal yang sangat luar biasa ganjarannya. Semoga kalau Nak adza setuju, keluarga Ummi diberkahi Allah."

rini tersenyum. "Aamiin ya Allah. Mari Ustadzah, saya mau melihat kelas dua belas Aliyah."

"Tafaddoly, Ummi. Saya juga mau ke kelas sebelas."

MENCARI JAWABAN

"Wajah kamu seperti banyak pikiran beberapa hari ini. Kamu baik-baik saja?" tanya Intan, santriwati yang paling dekat dengannya di pesantren ini.

Adza membuang napas lalu duduk dan merenung di kursi. Sejauh ini dia memang belum mengatakannya pada Intan karena merasa tidak percaya diri, juga tidak percaya dengan apa yang dia dapati dua malam yang lalu. Tentang lamaran dari seorang Gus putra dari pemilik pesantren ini padanya yang mengganggu pikirannya terus-menerus.

Sudah dikatakan kalau dia tidak mau permasalahkan tentang fisik kalaupun memang benar wajah Gus itu sedikit rusak, hanya saja perkara tentang dia yang belum pernah bertemu dengan Azka membuatnya merasa kebingungan sampai sekarang.

"Adza ..."

Adza menghela napas dan menatap wajah Intan yang sudah duduk didepannya. Mereka ada di kantin pesantren yang berbayar, karena mereka ingin makan bakso setelah beberapa hari makan makanan yang ada di dapur.

Siang ini suasana kantin tidak begitu ramai. Hanya beberapa santriwati yang ada di sana karena tidak semuanya anak-anak pesantren akan menghabiskan uang jajan mereka disini. Sudah ada makan yang disediakan oleh pihak kantin maka mereka akan memakan itu saja demi berhemat.

Dia saja yang memiliki uang banyak karena usaha kedua orang tuanya yang terwariskan untuknya, jarang-jarang datang ke sini karena dia malas

menghabiskan uangnya sekarang. Dia ingin menggunakan uangnya untuk kebaikan di masa depan dan agar dia tidak sulit untuk mencari usaha yang lebih baik sebagai sampingan.

"Aku akhirnya mendapatkan seseorang yang mau melamarku." Adza berkata menjelaskan membuat Intan yang sedang meminum kuah bakso menggunakan sendok langsung tersedak mendengarnya.

"Hah? Alhamdulillah hirobbil alamiin! Akhirnya ada yang melamarmu? Akhirnya ada yang akan menjadi suamimu saat kita lulus nanti? MasyaAllah, kamu hebat!"

Adza menghela napas pelan lalu menunduk sendiri memakan baksonya. Ulahnya membuat Intan menaikkan alis. Walaupun memang tujuan mereka sekolah disini bukan karena untuk menikah tapi memang akan mendapatkan suami atau calon suami yang mapan dan berilmu, tapi setidaknya sudah ada persetujuan dari dua belah pihak antara keluarga.

Adza juga sudah menginginkan ada seorang yang melamarnya selama ini, tapi nyatanya ketika ada yang melamarnya Intan bisa melihat kalau gadis itu tidak merasa senang sama sekali.

"Kenapa wajahmu menekuk? Kamu tidak bahagia?"

Adza menarik napas lagi dan lagi.

"Masalahnya, yang melamarku bukan seorang pria biasa. Aku juga bingung mau bagaimana," ujarnya membuat Intan menaikkan alisnya.

"Kamu tahu siapa yang mau melamarmu?"

"Tahu," jawab Adza tanpa bersemangat. "Hanya saja, aku tidak pernah bertemu dengannya bahkan ketika dia melamarku. Karena dia melamarku lewat orang tuanya, dia tidak bisa datang karena masih harus kuliah dan memiliki banyak urusan."

Intan terdiam sejenak. "Bukankah itu adalah hal yang wajar? Nanti juga dia akan datang, 'kan? Karena kalau kita nanti lulus kita akan menikah bagi yang menikah dan kita pasti akan dipertemukan dengan calon suami kita. Kalau aku setiap hari juga bisa bertemu karena calon suamiku adalah Ustadz di sini," ujarnya masih mencoba riang.

Dia berpikir mungkin saja Adza sedang mengalami cekcok hati tentang apa yang dia dapati. Karena ini adalah pertama kali bagi mereka untuk dilamar dan tentu saja pertama kali mereka akan merasa gugup atau tidak tenang.

Tentu saja dia akan merasa lebih baik setelah beberapa hari.

"Masalahnya, dia adalah Gus Azka."

Intan kembali tersedak mendengar ucapannya tapi kali ini dia terbatuk-batuk parah. Hal itu membuat Adza mengambilkan air minum dan menyodorkannya pada Intan. Dia membuang napasnya dan berhenti memegang sendok, kepalanya juga semakin pusing melihat reaksi yang ditunjukkan oleh temannya itu.

"Gus Azka?"

Adza mengangguk pelan.

"Gus yang ada di Madinah sekarang? Yang belum pernah pulang sejak tiga tahun lalu?"

Adza mengangguk lagi. "Ya. Dia melamarku lewat kedua orang tuanya hanya karena aku belum ada yang Melamar. Dia bertanya pada orang tuanya saat itu siapa saja yang belum dilamar hingga Ummi dan Kyai mengatakan aku. Dia langsung berinisiativ melamarku dan kalau aku setuju dia sudah menyiapkan pernikahan di Madinah. Aku bingung, Intan ... Aku dan dia belum pernah bertemu sama sekali bagaimana langsung menikah?" ujarnya dengan tangisan yang jatuh tiba-tiba.

Intan bergerak cepat, duduk di sebelah Adza dan langsung memeluk bahunya.

"Hei, tidak perlu menangis, Apakah mereka memaksamu untuk menerimanya?"

Adza menggeleng pelan. "Tidak, cuma kalau aku menolak aku juga sungkan pada Kyai atau Ummi. Satu hal lagi yang aku khawatirkan, dia sudah disana begitu lama dan tidak ada yang tahu apakah dia sudah menikah atau belum karena dia adalah laki-laki. Aku takut aku malah istri kedua," ujarnya membuat Intan membulatkan matanya.

"Tidak ada kabar itu, mana mungkin Gus sudah menikah di sana. Walaupun dia sudah menikah orang tuanya pasti tahu dan dia tidak mungkin merahasiakannya." Intan menggeleng membuat adza menarik cairan dari hidungnya.

Intan diam berpikir selama beberapa saat lalu tersenyum lebar. "Aku punya ide! Ayo makan dulu sebelum aku mengatakannya tentang idenya," ujarnya bersemangat membuat adza menatapnya tak paham.

"Ide apa? Kamu tiba-tiba bersemangat begitu membuatku jadi agak curiga. Kamu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan dan membuat kita mendapat hukuman, 'kan?"

Intan tertawa mendengarnya lalu menggeleng sambil mencubit pipi adzadina yang chubby.

"Makanlah dulu, aku akan membawamu pada Ustadz Farel nanti. Dia adalah Ustadz yang kenal dekat dengan Gus Azka, kita jelaskan apa masalahmu padanya dan dia pasti akan dengan senang hati menjelaskan tentang siapa sebenarnya Gus. Makanlah," ujar Intan membuat adza terdiam beberapa saat.

Sepertinya benar, untuk membuatnya merasa yakin adalah dengan mendengar apa yang dikatakan oleh sahabat dari pria itu tentang kepribadiannya. Dia adalah seseorang yang dilamar oleh Gus Azka walaupun Hanya lewat kedua orang tuanya. Tetapi dengan cara ini maka dia akan memiliki hak untuk mendengarkan tentang kehidupan pria itu.

Mulai memakan baksonya, Intan tersenyum melihat Adza yang mulai bersemangat. Dia memakan bakso itu sambil bicara tentang apa yang akan mereka tanyakan nanti.

Sampai akhirnya setelah makan dan kekenyangan, Intan mengajaknya berjalan menuju ruangan milik Ustadz Farel yang ada di sisi tenggara dari pesantren.

Intan sudah dikenal sebagai calon istri Farel, sehingga ketika dia datang tak ada yang melarang karena mereka tahu kalau dua orang itu juga tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang agama walaupun kurang lebih dari sebulan lagi mereka akan menikah.

"Assalamualaikum, Ustadz ..." Intan mengucap salam ketika mengetuk pintu ruangan pria itu.

Hal yang membuat mereka mendengar suara langkah mendekati pintu dan seorang pria membukanya sebelum tersenyum dengan tatapan hangat.

"Waalaikumussalam Warahmatullah, masuklah. Apakah ada yang ingin kamu katakan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!