NovelToon NovelToon

Gigoloku Bossku

Bab Satu

"Hari ini aku akan membawakan makan siang yang terbaik buat suamiku. Kasihan dia harus segera ke kantor karena mau menyiapkan rapat. Mas Aldi pasti senang karena aku membawa bekal lauk yang dia sukai," gumam Elena sambil berdiri di depan kompor.

Pagi ini udara terasa agak lembap. Hujan semalam masih meninggalkan sisa embun di kaca jendela dapur rumah sederhana yang ia tempati bersama Aldi. Tirai tipis berwarna putih susu hanya bisa meredam sedikit cahaya matahari yang sudah berusaha masuk. Dapur kecil itu terasa hangat, penuh aroma bawang putih yang baru digoreng, bercampur dengan harum ayam yang sedang ia masak. Elena sibuk mengaduk wajan, sesekali mengecek panci nasi yang mengepulkan asap. Tangannya cekatan, tapi wajahnya mulai berkeringat, dan ia mengelapnya dengan punggung tangan.

“Harusnya aku sudah berangkat setengah jam lalu …,” desis Elena sambil melirik jam dinding yang menunjuk pukul delapan kurang sepuluh. Ia memang agak terlambat. Biasanya, ia sudah berangkat lebih pagi. Tapi entah kenapa, pagi ini hatinya ingin menyiapkan bekal istimewa untuk Aldi.

Sejak dua tahun lalu mereka menikah, Elena berusaha keras menjadi istri yang baik. Meski sama-sama bekerja di perusahaan yang sama, ia tidak pernah mau berhenti melakukan hal-hal kecil seperti memasakkan sarapan atau membekali suaminya. Hari ini ia menyiapkan ayam teriyaki, tumis buncis, sambal, dan telur dadar gulung kesukaan Aldi. Sederhana, tapi menurutnya makanan buatan istri bisa jadi pengingat, kalaupun suaminya lelah bekerja, ada seseorang yang menunggu dan selalu peduli.

Setelah selesai, Elena menatanya ke dalam wadah kaca satu per satu. Ia menutupnya rapat lalu memasukkannya ke dalam tas bekal. Sejenak ia menatap bekal itu dengan tatapan kosong. Ada senyum tipis yang muncul, tapi matanya tidak ikut tersenyum. Sudah beberapa bulan belakangan ia merasa ada jarak dengan Aldi. Suaminya sering pulang larut, jarang mengajaknya bicara, bahkan kadang terlalu dingin untuk sekadar bertanya kabar hariannya. Elena mencoba memahami. Mungkin beban kerja Aldi sebagai direktur muda memang besar. Tapi tetap saja ada yang terasa tidak wajar.

Ia menghela napas panjang, membereskan meja makan yang sedikit berantakan, lalu bergegas ke kamar. Ia mengambil blazer biru muda, merapikan rambutnya di depan cermin, dan memandang wajahnya sendiri cukup lama. “Hari ini pasti baik-baik saja. Aku hanya perlu percaya,” bisiknya sambil tersenyum paksa.

Perjalanan menuju kantor terasa lebih macet dari biasanya. Taksi yang ia tumpangi berjalan lambat di antara deretan mobil lain. Elena mengetuk-ngetukkan jari ke pahanya, gelisah karena terlambat. Ia sengaja memilih naik taksi pagi ini, karena tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menyetir. Matanya menatap keluar jendela, melihat trotoar yang masih basah oleh sisa hujan.

Hatinya sedikit was-was, tapi ia merasa punya alasan. Membawa bekal untuk direktur perusahaan, yang kebetulan adalah suaminya sendiri. Tidak banyak yang tahu kalau mereka sudah menikah. Aldi sejak awal memang meminta status itu dirahasiakan. Katanya demi menjaga profesionalitas. Elena sempat kecewa, tapi akhirnya mengalah. Ia percaya pada suaminya. Ia percaya pada kesetiaannya.

Begitu tiba di lobi perusahaan, Elena buru-buru turun dari taksi, menyapa satpam, dan berjalan cepat menuju lift. Tumit sepatunya berketuk nyaring di lantai marmer, bergaung di lorong yang ramai oleh karyawan yang sibuk. Lift terbuka, ia masuk, menekan tombol lantai tempat ruang kerja Aldi. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan hanya karena berlari kecil, tapi juga karena ingin segera menyerahkan bekal itu. Ia ingin melihat senyum Aldi, meski belakangan senyum itu jarang ia temui.

Pintu lift terbuka. Elena keluar, melangkah ke arah pintu besar dengan papan nama suaminya. Tas bekal tergenggam erat di tangannya. Ia mengangkat tangan, bersiap mengetuk. Namun, langkahnya mendadak terhenti.

Telinganya menangkap suara samar dari balik pintu. Suara bisikan, disusul tawa lirih seorang wanita.

Elena menunduk, matanya menyipit. Ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu. Suara itu makin jelas.

“Aldy … jangan di sini, nanti ada yang lihat ….”

Darah Elena serasa berhenti mengalir. Ia mengenali suara itu. Terlalu familiar. Itu suara Lisa.

Lisa, sahabatnya. Wanita yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Wanita yang dulu sering ia bawa makan bersama di rumah, yang sering menemaninya belanja, yang ia percaya seratus persen.

“Tenang saja. Pintu sudah terkunci. Lagi pula aku direktur perusahaan, tidak ada yang berani masuk tanpa izin,” jawab Aldi.

Ada jeda. Lalu suara kecupan terdengar.

Jantung Elena serasa diremas keras. Tangannya gemetar hebat. Tas bekal hampir terlepas. Pandangannya berkunang. “Tidak … jangan sampai ini benar. Ini pasti hanya ilusiku saja,” gumamnya dengan suara bergetar.

Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Perlahan, ia menyingkap sedikit tirai kecil di pintu kaca. Matanya membelalak.

Aldi sedang berdiri terlalu dekat dengan Lisa. Tangannya melingkari pinggang wanita itu, sementara Lisa menatap dengan mata berbinar penuh manja. Wajah mereka begitu dekat, hanya sejengkal jaraknya. Senyum puas di wajah Lisa menusuk hati Elena.

Elena buru-buru menutup mulut dengan tangan agar tidak bersuara. Air matanya nyaris tumpah, tapi ia tahan. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar tanpa suara. Rasanya seluruh dunianya runtuh.

Elena berbalik, melangkah cepat menjauh dari pintu itu. Kakinya hampir tidak menapak. Dengan terburu-buru ia masuk ke toilet wanita. Pintu ia kunci, lalu tubuhnya bersandar lemas ke dinding. Wanita itu lalu menyalakan keran, membasuh wajahnya berulang kali. Air dingin hanya membuat matanya semakin perih.

Elena menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat, mata merah, bibir bergetar. Senyum pahit muncul di wajahnya. “Kenapa harus Lisa. Sejak kapan kalian tega menghancurkan aku?” bisik Elena lirih.

Tangannya menepuk pipinya. “Tidak boleh lemah, Elen. Kamu harus kuat. Jangan bodoh. Jangan biarkan mereka tahu kamu sudah melihat semuanya.”

Dengan napas panjang, ia merapikan rambutnya, menghapus bekas air mata dengan tisu. Ia kembali melangkah ke ruang Aldi.

Kali ini, ia mengetuk pintu seperti biasa.

“Masuk,” suara Aldi terdengar dari dalam.

Elena masuk dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Lisa duduk di kursi tamu dengan senyum ramah. Aldi tampak sedikit kaku, merapikan jasnya.

“Hai, Elen. Baru datang? Wah, bawa bekal lagi ya?” Lisa tersenyum manis, seolah tak ada dosa.

Elena tersenyum tipis, meski hatinya hancur. “Iya. Aku sempatkan masak tadi pagi, sekalian bawain buat Mas Aldi.”

Aldi menoleh. Wajahnya sedikit tegang. “Oh … makasih, Sayang. Kamu memang istri yang terbaik.”

Kata ‘Sayang’ itu terdengar hambar. Tidak lagi hangat. Tapi Elena tetap mengangguk. Ia meletakkan tas bekal di meja Aldi, lalu berdiri. “Kalau begitu, aku ke ruanganku dulu. Selamat kerja ya.”

Lisa hanya tersenyum tipis. Aldi mengangguk singkat. Elena keluar dengan langkah yang terlihat biasa, padahal dadanya serasa ditusuk berkali-kali.

Hari itu berjalan sangat lambat. Di mejanya, Elena mencoba fokus. Tapi bayangan Aldi dan Lisa terus menghantui. Ia ingat momen-momen ketika Lisa sering datang ke rumah, membantu memasak, bahkan pernah bercanda bersama Aldi. Saat itu ia merasa senang punya sahabat yang akrab dengan suaminya. Ternyata semua hanya topeng.

Beberapa kali air matanya jatuh diam-diam, cepat ia hapus dengan tisu. Ia menunduk, tidak ingin ada rekan kerja yang curiga. Dadanya sesak, pikirannya kalut.

Jam kerja akhirnya usai. Biasanya, Elena akan langsung pulang, menyiapkan makan malam. Tapi sore itu, kakinya enggan melangkah ke arah rumah. Rumah yang biasanya hangat kini terasa palsu. Ia tidak ingin pulang.

Di depan gedung kantor, ia berdiri lama. Orang-orang lalu-lalang, bercengkerama, tertawa. Sementara ia hanya diam, tubuhnya kaku. Akhirnya, ia melambaikan tangan, menghentikan sebuah taksi.

“Ke pusat kota, Pak. Daerah klub malam,” ucapnya datar.

Sopir menoleh sebentar lewat spion, heran, tapi tidak bertanya. Taksi melaju.

Elena memandang lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Gedung-gedung tinggi berkilau. Jalanan ramai oleh orang-orang dengan tujuan masing-masing. Di dalam taksi, ia memeluk tasnya erat. Matanya kosong, hatinya bergejolak. Rasa sakit, marah, kecewa bercampur jadi satu.

Ia memikirkan Aldi, memikirkan Lisa. Bagaimana mungkin dua orang yang paling ia percaya justru menusuk dari belakang. Dan entah kenapa, pikirannya berputar ke arah lain. "Kalau mereka bisa bersenang-senang di belakangnya, kenapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa ia harus terus jadi korban, sementara mereka menikmati hidup seenaknya?"

Senyum getir terbit di bibirnya. “Baiklah. Aku akan membalas semua perlakuan kamu, Mas. Kalau kamu bisa mengkhianatiku, kenapa aku tidak?”

Taksi berhenti di depan sebuah bangunan besar. Lampu neon berwarna-warni berkelap-kelip. Dari dalam terdengar dentuman musik keras. Orang-orang berpakaian glamor keluar masuk dengan wajah penuh gairah.

Elena menatap tempat itu cukup lama. Jantungnya berdegup kencang, tangannya dingin, tapi langkahnya mantap. Ia membayar ongkos taksi, lalu keluar. Tumit sepatunya beradu dengan lantai trotoar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elena memasuki sebuah klub malam sendirian.

Bab Dua

Dentuman musik langsung menghantam telinga Elena begitu ia melangkah masuk ke dalam klub. Lampu-lampu neon warna-warni menari di langit-langit, berganti-ganti antara biru, ungu, dan merah, seolah ikut mengiringi hentakan beat musik yang keras. Ruangan itu penuh dengan orang-orang. Ada yang menari di lantai dansa, ada yang duduk di sofa panjang sambil tertawa keras, ada pula yang asyik berdua di sudut gelap.

Elena berhenti sejenak di dekat pintu masuk. Ia merasa seperti orang asing. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat seperti itu. Tangannya meremas clutch kecil yang ia bawa. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena musik, tapi karena rasa gugup yang tak bisa ia kendalikan.

Seorang pelayan perempuan berseragam hitam mendekat, tersenyum sopan. “Selamat malam, Mbak. Mau duduk di area bar, lounge, atau langsung ke VIP room?” tanyanya ramah, meski matanya menilai Elena dari ujung kepala hingga kaki.

Elena menelan ludah. Ia melirik sekilas ke arah bar yang ramai, lalu menggeleng pelan. “Saya … saya cuma mau duduk. Di mana saja yang agak sepi.”

Pelayan itu mengangguk, lalu mengantarnya ke sofa di sisi agak pinggir. Suasananya memang sedikit lebih tenang dibanding tengah ruangan. Dari sana Elena bisa melihat keramaian, tapi tidak terlalu jadi pusat perhatian.

“Minum apa, Mbak?” tanya pelayan itu sambil menyiapkan tablet kecil untuk mencatat pesanan.

Elena ragu sebentar. Ia jarang sekali minum alkohol, bahkan hampir tidak pernah. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ia butuh sesuatu yang bisa membuat kepalanya berhenti berpikir. “Apa saja … yang agak manis. Biar nggak terlalu pahit,” jawab Elena canggung.

Pelayan itu tersenyum paham. “Baik. Saya bawakan cocktail, ya. Tunggu sebentar.”

Elena mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menghela napas panjang, menatap kosong ke arah kerumunan orang-orang yang tampak bahagia. Seandainya saja hidupnya juga bisa semudah itu.

Tak lama kemudian, minumannya datang. Segelas cocktail berwarna merah muda dengan hiasan potongan jeruk di pinggir gelas. Elena menatapnya sebentar, lalu meneguknya tanpa banyak pikir. Rasanya manis bercampur pahit, hangatnya langsung mengalir ke tenggorokannya.

Gelombang kecil keberanian mulai muncul. Kepalanya sedikit ringan. Ia meneguk lagi, kali ini lebih banyak.

Pelayan tadi masih berdiri tak jauh darinya. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba Elena memanggilnya. “Mbak .…”

Pelayan itu mendekat, tersenyum sopan. “Iya, Mbak?”

Elena menunduk sebentar, lalu memberanikan diri. “Di sini … apa ada … maksud saya pria yang bisa nemenin?” tanya Elena dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.

Pelayan itu sempat terdiam, lalu menatapnya penuh arti. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Maksud Mbak … teman minum? Atau teman ngobrol?”

Elena menghela napas, lalu memalingkan wajah. Pipinya memanas. “Ya … semacam itulah.”

Pelayan itu mengangguk paham. “Ada, Mbak. Tapi biasanya harus booking dulu. Kalau Mbak mau, saya bisa coba tanyakan. Tunggu sebentar, ya.”

Elena hanya mengangguk. Ia meneguk lagi minumannya. Rasa malu bercampur dengan rasa penasaran. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Ia hanya ingin melupakan rasa sakit di dadanya.

Waktu berjalan. Gelas cocktail pertama habis, pelayan membawakan lagi. Elena meneguk tanpa pikir. Musik semakin keras, lampu semakin redup, dan kepalanya mulai terasa berat.

Sekitar setengah jam kemudian, seorang pria masuk ke area lounge. Tubuhnya tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka. Rambutnya sedikit berantakan tapi justru membuatnya tampak kasual. Wajahnya tegas, tatapannya tajam tapi santai. Ia duduk di kursi tak jauh dari Elena, lalu memanggil bartender untuk memesan minuman.

Elena yang sudah agak mabuk menatapnya. Pandangannya kabur, tapi ia masih bisa melihat garis wajah pria itu yang tampak menonjol di bawah cahaya lampu. “Oh … ini pasti dia…,” gumam Elena dalam hati.

Ia mengira pria itu adalah orang yang dikirimkan pelayan tadi. Seorang gigolo yang siap menemaninya malam itu.

Pria itu, Axel, baru saja menerima minumannya ketika Elena dengan langkah agak goyah mendekat. Ia tersenyum genit, duduk di kursi sebelah tanpa diundang.

“Hai .…” Suara Elena sedikit serak. “Kamu pasti … ya? Yang dikirim buat aku?”

Axel menoleh, alisnya berkerut. “Apa maksudmu?”

Elena tertawa kecil, lalu menyentuh lengannya. “Nggak usah pura-pura. Aku tahu kamu … kamu kan yang dikirim sama pelayan tadi buat nemenin aku malam ini.”

Axel menatapnya heran, lalu tertawa kecil. “Mbak, saya rasa kamu salah orang. Saya cuma lagi mau minum di sini, nggak lebih.”

Elena menggeleng keras. “Nggak, kamu jangan bohong. Aku … aku tahu. Kamu ganteng banget. Cocok. Pas banget sama yang aku butuhin malam ini.”

Axel menaruh gelasnya, lalu menatap Elena serius. “Kamu udah minum berapa banyak?”

Elena mengangkat gelasnya yang hampir kosong. “Baru dua. Tapi aku masih bisa kok. Jangan khawatir.”

Axel menghela napas. “Kamu salah paham. Aku bukan kayak yang kamu pikir. Aku cuma ....”

Sebelum Axel melanjutkan, Elena menyandarkan tubuhnya ke bahunya. “Aku capek … capek banget. Kamu nggak usah ngomong apa-apa. Temenin aku aja malam ini. Boleh kan?” suaranya bergetar, ada kesedihan yang tersembunyi di balik candaan mabuknya.

Axel terdiam. Ia bisa merasakan kalau wanita di sebelahnya ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi, ia juga tahu ini situasi yang salah.

“Elena, ya?” Axel menebak setelah melihat kartu karyawan yang tergantung di tas kecil Elena.

Elena mendongak, matanya berbinar samar. “Iya … kok kamu tahu namaku? Wah, profesional sekali. Memang harusnya begitu kan? Tahu siapa klienmu.” Ia terkekeh kecil, lalu menatap Axel dengan senyum genit. “Jadi, kamu mau temenin aku kan?”

Axel menahan tawa getir. “Kamu bener-bener salah paham, Mbak. Tapi ….” Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Elena meneguk sisa minumannya, lalu bangkit. Ia menarik tangan Axel dengan spontan. “Ayo … kita ke atas. Ada hotel di lantai atas kan? Aku tahu. Aku pernah dengar. Kita ke sana.”

Axel menatap tangannya yang ditarik, lalu menatap wajah Elena yang setengah mabuk. Ia bisa saja menolak, tapi ada sesuatu di sorot mata wanita itu yang membuatnya tidak tega.

Elena menoleh, tersenyum lebar meski matanya berkaca-kaca. “Ayo dong … jangan bikin aku nunggu. Malam ini aku pengen lupa semuanya.”

Dan dengan langkah goyah namun yakin, Elena menarik Axel menuju lift yang mengarah ke lantai atas.

Pintu lift terbuka. Musik dari bawah terdengar semakin jauh. Hanya suara detak jantung Elena yang makin kencang, bercampur dengan suara napas Axel yang terdengar berat.

Bab Tiga

Pintu lift menutup perlahan, meninggalkan dentuman musik yang kian meredup. Kini hanya ada keheningan yang sesekali pecah oleh bunyi mekanis lift yang bergerak naik. Lampu di dalam ruangan kecil itu redup, menyinari wajah Elena yang masih bersemu merah akibat alkohol.

"Dia cantik, dan seperti wanita baik. Kenapa bisa sampai ada di sini?" tanya Axel dalam hatinya.

Ia berdiri dekat sekali dengan Axel, masih menggenggam tangan pria itu erat-erat. Nafasnya berembus cepat, bercampur antara gugup, mabuk, dan rasa putus asa yang mendorongnya malam itu.

Axel menunduk, menatap Elena yang menempel di lengannya. Tatapannya tajam, tapi bukan tajam penuh amarah, lebih seperti tatapan seseorang yang sedang menahan banyak kata.

“Elena …,” suara Axel terdengar dalam, berat, hingga membuat Elena menoleh.

Ia menatap balik, matanya sayu tapi masih menyisakan senyum samar. “Hm? Ada apa, ganteng?" tanya Elena dengan suara manja.

Axel mendekatkan wajahnya, menahan tubuh Elena yang hampir kehilangan keseimbangan. “Kau yang memulai semua ini. Tapi jangan pernah berpikir bisa mengakhirinya … tanpa persetujuan dariku.”

Elena sempat terdiam. Kata-kata itu membuat kepalanya yang mabuk sedikit jernih. Jantungnya berdegup lebih keras, bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena nada suara Axel yang penuh kuasa.

Ia menelan ludah. “Maksudmu …?” tanya Elena dengan suara yang bergetar.

Axel menatap dalam-dalam, seolah menembus lapisan senyum pura-pura yang tadi Elena pasang. “Aku tahu kau sedang mencoba lari dari sesuatu. Tapi aku bukanlah sebagai sarana pelarian. Jadi kalau kau tarik aku ke sini, Elena, bersiaplah menanggung konsekuensinya. Aku tak akan melepaskan seseorang jika aku menyukainya!" seru Axel dengan penuh penekanan.

"Aku juga tak akan melepaskan kamu jika kamu bisa memuaskan aku," ucap Elena dengan suara manja.

Sepertinya Elena tak paham dengan apa yang dia ucapkan. Axel melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu sambil tersenyum miring.

Lift berdenting. Pintu terbuka, menyingkap lorong hotel dengan cahaya lampu yang lebih tenang dibanding hiruk pikuk klub di bawah. Elena terdiam, matanya berkaca-kaca, namun ia masih menggenggam tangan Axel.

Ada bagian dari dirinya yang ingin melepas, lari, mundur. Tapi genggamannya justru semakin erat.

"Ayo masuk, apa kamu ragu? Kamu takut aku tak mampu membayar mu?" tanya Elena.

Axel menatap itu lama, lalu menghela napas berat. “Baik. Aku akan ikut … tapi ingat perkataanku tadi.”

Elena mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih bergemuruh. Ia tidak tahu apakah malam itu akan jadi awal dari sesuatu atau justru jurang baru yang akan ia masuki.

Lorong hotel itu terasa terlalu panjang bagi Elena. Setiap langkah seakan menambah berat kepalanya, bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena tatapan Axel yang terus menempel di punggungnya.

"Kamu sangat tampan? Aku wanita keberapa yang kamu layani?" tanya Elena. Axel tak menjawab, hanya tersenyum saja menanggapi ucapan wanita itu. Elena pikir, pria itu malu-malu.

Setibanya di depan salah satu pintu, Elena berhenti. Tangannya sempat bergetar saat merogoh kartu kamar yang ia pesan terburu-buru tadi di resepsionis bar bawah. Ia membuka pintu, dan aroma khas hotel, wangi sabun bercampur pendingin ruangan langsung menyeruak.

Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi cukup mewah. Tempat tidur king size dengan seprai putih bersih, lampu kuning temaram di kedua sisi ranjang, dan tirai tebal yang menutup rapat jendela.

Elena melangkah masuk, meletakkan clutch-nya di meja kecil, lalu berbalik. Axel masih berdiri di ambang pintu, tidak masuk, tidak juga pergi. Ia hanya bersandar, kedua tangannya terlipat di dada, menatap Elena dengan mata yang sulit dibaca.

“Kenapa berhenti di sana?” tanya Elena pelan, suaranya parau.

Axel menatap tajam. “Aku cuma ingin tahu … kau benar-benar yakin dengan ini?”

Elena tertawa kecil, pahit. Ia berjalan mendekat, meski langkahnya goyah. “Yakin? Aku bahkan nggak pernah yakin dengan hidupku sendiri, Axel.” Ia menatap mata pria itu, tersenyum samar. “Tapi malam ini … aku cuma nggak mau sendirian. Aku mau menghabiskan malam ini denganmu!"

Axel mendengus, lalu melangkah masuk dan menutup pintu dengan bunyi klik yang terdengar jelas. “Kalau itu alasanmu, kau seharusnya cari teman curhat, bukan tarik orang asing ke kamar hotel.”

Elena mengangkat bahu, lalu duduk di tepi ranjang. “Mungkin aku terlalu takut buat curhat. Takut dihakimi. Takut dibilang bodoh.” Ia menunduk, memainkan jemarinya. “Tapi kamu … kamu bahkan nggak aku kenal. Itu justru enak. Aku nggak perlu peduli kamu mikir apa tentangku."

Axel mendekat perlahan, berhenti tepat di depannya. Ia menunduk, memandang Elena dari atas. “Kau sadar nggak, ucapanmu itu berbahaya?”

Elena mendongak, matanya berkilat karena sisa air mata yang ditahan. “Bahaya? Aku udah hidup dengan bahaya sejak lama, Axel. Apa menurutmu satu malam ini akan lebih buruk dari semua yang udah aku alami?”

Keheningan menggantung. Axel masih terus menatap wajah Elena tanpa kedip.

Axel menunduk lebih dekat, hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. “Elena … aku sudah bilang. Kau yang memulai semua ini. Tapi jangan pernah berpikir kau bisa mengakhirinya tanpa aku izinkan. Mengerti?”

Elena menggertakkan gigi pelan, antara takut dan tertantang. Ia mengangguk kecil. “Mengerti ….”

Axel menghela napas, lalu menjauh sedikit. Ia duduk di kursi seberang ranjang, menyalakan rokok elektrik dari saku kemejanya. Asap putih perlahan memenuhi udara, kontras dengan kesunyian ruangan. Kamar hotel di sini memang membolehkan pengunjungnya merokok, karena memang berada satu gedung dengan klub.

Elena menatapnya, setengah bingung. “Kamu … nggak mendekat? Apa kamu merasa aku kurang cantik? Apa kamu takut aku tak bisa mengimbangi permainan kamu?"

Axel menyeringai tipis. “Belum. Aku ingin tahu dulu … sebenarnya apa yang ingin kau lupakan malam ini. Apa yang kau inginkan dariku?"

Elena terdiam. Dadanya naik-turun cepat, jantungnya berdebar lebih keras dari dentuman musik klub tadi.

"Aku ingin kau melayaniku hingga aku bisa melupakan semua pengkhianat suamiku dan sahabatku. Aku ingin dia juga tahu kalau aku juga bisa melakukan hal yang sama. Apa kamu bisa membuat aku melupakan semuanya?" tanya Elena dengan mata yang nakal.

Axel mematikan rokoknya. Dia lalu menghidupkan AC kembali. Berjalan mendekati Elena. Mendorong tubuh wanita itu hingga terlentang di atas ranjang. Lalu dia menaiki ranjang dan mengukung wanita itu di bawah kuasa tubuhnya.

"Sekali lagi aku ingatkan, Elena. Kamu yang telah memulai semua ini, jadi jangan pernah berpikir untuk mengakhirinya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!