NovelToon NovelToon

Gadis Malang Masuk Ketubuh Antagonis

1

•Prolog

Aku terbaring di atas cairan merah yang terus merembes ke sela-sela tanah. Bunyi bising di sekitarku tidak lebih berisik dari suara-suara di kepala. Itu sangat memekakkan telinga.

Langit gelap mulai menitikkan air hujan. Seolah memperingati hari kematianku dan waktu yang tinggal sebentar. Namun selain langit, aku yakin tidak ada seorang pun yang akan bersedih. Eksistensiku seumpama noda hitam yang tak layak untuk diberi perhatian atau belas kasian.

Aku menantikan tubuhku menyatu sempurna dengan alam. Menguap dan berubah menjadi bintang.

Apa itu terdengar konyol?

Kematian adalah salah satu hal paling membahagiakan setelah aku lelah dengan seisi bumi beserta para penghuni di dalamnya. Mereka yang mengenakan topeng untuk terlihat sempurna dan orang-orang yang tak segan merendahkan orang lain yang tidak lolos standardisasi kehidupan.

Aku akhirnya bebas dari segala macam kebencian tak berakar.

Sejujurnya aku telah menghitung waktu sejak seisi duniaku berubah menjadi abu-abu. Harapan dan mimpi sudah pergi meniadakan diri oleh ribuan realitas tak adil yang dicetak oleh mereka yang punya kuasa.

Aku yang hanya seonggok sampah di jalanan kotor? Lebih baik dihilangkan saja daripada mencemari sekitar mereka. Yah, aku sudah biasa dianggap sebagai pemeran ekstra tidak berguna atau badut konyol yang pantas dipermainkan seenaknya.

Kegelapan mulai memerangkap penglihatanku. Semua suara berubah menjadi keheningan yang aku harap akan abadi.

Sebab aku benci seluruh suara di muka bumi beserta takdirnya yang acap kali mengkhianati. Walau semua itu tidak akan mampu meniadakan fakta, yang paling aku benci di dunia masihlah Aluna Capella.

Yang tak lain dan tidak bukan ialah diriku sendiri.

•••

Bab-1

Seorang gadis perlahan membuka netranya. Ia mengerjap pelan untuk memastikan apakah pandangannya sudah benar. Dia jelas sudah mati di jalanan. Tepat di bawah guyuran air hujan dan suara-suara panik orang-orang di sekitar. Tapi, apa ini? Bukannya rumah sakit atau kontrakannya malah sebuah penjara kotor yang masuk dalam pandangannya.

Aluna Capella. Gadis yang bahagia atas kematiannya sendiri itu mengerutkan keningnya bingung. Dia menatap sekeliling dengan heran. Sungguh, dia tidak mati? Atau Semesta sedang bercanda dan membuatnya hidup kembali?

Aluna mencoba bangkit dari tumpukan jerami yang menjadi alasnya berbaring saat ini. Seluruh tubuhnya terasa lemas tanpa tenaga. Perutnya sudah berdering sejak ia membuka mata. Lapar sekali. Untungnya ini Aluna, gadis yang sudah terbiasa menahan lapar sejak masih kecil hingga dewasa.

Ada yang aneh. Ruangan ini terlalu tidak familiar baginya. Tidak ada alasan juga baginya untuk dimasukkan ke penjara. Sudah jelas pengendara itu yang membuat kesalahan hingga dia tertabrak. Apa mungkin pengendara itu orang kaya raya? Mereka kan biasanya bebas mengendalikan hukum negara.

Keanehan juga terjadi di tubuhnya. Kulit ini terlalu halus dan lembut bagi pekerja paruh waktu seperti dirinya. Apa pula helaian rambutnya yang malah berubah warna menjadi pirang. Dibandingkan mewarnai rambut dia pasti akan lebih memilih menggunakan uangnya untuk membeli makanan.

"Aku beneran hidup lagi?" Itu kesimpulan yang dia dapat dari semua keanehan ini. Tubuhnya berubah dan tempat ini juga asing baginya. Padahal, dia kan ingin mati. Kenapa susah sekali?

[ Benar, Nona. Anda telah dihidupkan kembali sebagai salah satu karakter novel. Selamat!]

Sebuah layar biru muncul di hadapan Aluna. Itu mirip dengan layar di game online yang pernah ia lihat saat masih kecil di ponsel temannya.

"Oke, tolong buat aku mati kembali," singkatnya lalu memejamkan matanya tenang. Layar itu terkejut melihat respon Aluna yang tidak masuk akal. Bukankah seharusnya gadis ini bahagia? Siapapun pasti ingin menjalani kehidupan kedua bukan?

[Itu tidak mungkin, Nona. Anda tidak mungkin mati sebelum satu bulan. ]

"Apa maksudmu?" Aluna kembali menatap layar aneh itu. Firasatnya memburuk. Sebenarnya sudah buruk sejak dia dihidupkan kembali seenaknya.

[Saya tidak memiliki kuasa untuk membunuh Anda sebelum satu bulan. Tapi tenang, Anda hanya akan hidup selama satu bulan saja. Setelah satu bulan, kehendak dunia akan secara otomatis melenyapkan Anda selama-lamanya. ]

Sudah seenaknya menghidupkan kembali, lalu membatasi masa hidupnya hanya satu bulan? Hahaha, Aluna nyaris tertawa mendengar lelucon konyol ini. Apa semesta ingin menjadikannya mainan? Dia sudah sangat muak menghadapi takdir yang selalu seenaknya, oke.

"Kamu seenaknya membuatku hidup lagi, tapi tidak bisa membuatku mati dan malah membatasi hidupku hanya satu bulan? Kalau tidak niat menghidupkan aku lagi kenapa dilakukan sih?!" Emosinya memuncak saat ini. Sudah cukup dia dipermainkan. Sudah cukup takdir membuatnya menderita.

[Maaf, Nona. Tapi, memang begitu ketentuannya. Anda tidak akan bisa melawan.]

Sekarang malah meremehkannya. Aluna menatap layar itu kesal. Dari sekian banyaknya orang yang ingin hidup lagi, dia tidak pernah menjadi salah satunya. Kenapa sekarang dia harus ada di posisi ini?

"Yah, kau mungkin benar. Orang sepertiku mana mungkin punya kuasa untuk melawan." Bahkan jika ini kehidupan kedua, tapi semua sama saja. "Jadi apa lagi yang kamu mau dariku?"

[Anda hanya harus hidup selama satu bulan sebagai Agatha. Tokoh Antagonis di dunia ini. Saya tidak menuntut Anda melakukan hal lain karena sebenarnya alurnya sudah mencapai ending. ]

[Hanya saja Agatha harusnya mati satu bulan kemudian, tapi entah kenapa dia sudah mati tadi. Menambah pekerjaanku saja. Sampai akhir pun dia masih tetap merepotkan. Tinggal menjalani alur saja apa susahnya sih?]

Layar itu mengomel panjang lebar. Menyalahkan tokoh antagonis yang mati lebih cepat dari jadwal seharusnya. Disini Aluna hanya dijadikan pengganti agar takdir tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Tangan Aluna mengepal kencang. Ternyata dia begitu rendah hingga layak diperlakukan sedemikian rupa.

[Hari ini sudah terhitung satu hari ya. Jadi sisanya tinggal 29 hari lagi. Jangan banyak tingkah dan terima saja takdirmu itu. Toh, perlawanan apapun darimu tidak berguna.]

Telapak tangan Aluna mulai berdarah karena tangannya mengepal terlalu kuat. Tubuh Agatha yang pada dasarnya lemah sangat mudah terluka.

Tapi seperti yang dikatakan oleh layar aneh yang menamai dirinya sendiri dengan nama 'Sistem', memangnya apa yang Aluna bisa? Takdir bukanlah sesuatu yang bisa dilawan oleh manusia. Karena itulah dia selalu hidup dalam derita.

•••

"Papa, tidak mau main dengan Atha?" Seorang gadis mungil menatap ayahnya dengan penuh permohonan. Tangannya memegang boneka dengan erat. Menyalurkan kegugupannya saat berbicara dengan Sang Ayah.

Duke Blanche menatap putri satu-satunya dengan tenang. Tangannya terangkat. Bukan untuk membelai putrinya melainkan mencengkeram dagunya erat.

"Agatha, siapa yang mengajarimu menjadi tidak punya sopan santun seperti ini? Apa itu bibi pengasuhmu?" Agatha menggeleng takut. Ayahnya terlihat menyeramkan saat ini. Dagunya sakit dan membiru. Air matanya sudah mengucur deras sembari berharap Ayahnya akan melepaskannya dan memaafkan ketidak sopanannya tadi.

Agatha salah. Tidak seharusnya putri bangsawan terhormat melakukan itu. Dia harusnya fokus belajar dengan baik.

"A-ayah sakit," rintihnya kesakitan. Duke Blanche malah menambah kekuatan tangannya lalu menjambak rambut pirang milik Agatha.

"Pastikan untuk melihatnya baik-baik, Agatha. Ini pelajaran pertamamu dari Ayah." Duke Blanche memberi kode pada ksatria di belakangnya. Ksatria itu dengan sigap memahami kode tuannya lalu berjalan mendekati bibi pengasuh.

Bibi pengasuh dipaksa berlutut. Tubuhnya bergetar takut. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Slashh...

"Aaaaaaaaa Bibi!!"

Darah memercik hingga mengenai wajah Agatha. Bibirnya pucat pasi. Kakinya melemas hingga tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Dia terjerembab jatuh ke tanah.

Duke Blanche menyeringai. Dia melepaskan putrinya lalu melangkah ke mayat salah satu pelayannya itu. Dia menendang kepala pelayan itu ke depan Agatha sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.

Gadis kecil itu merangkak lalu memeluk kepala bibi pengasuh kesayangannya. Dia berada di taman hingga malam hari tanpa seorangpun datang mengkhawatirkan dirinya.

Hari itu, Agatha sadar. Kastil ini bukanlah rumah melainkan neraka yang akan memenjarakannya hingga dia dewasa.

2

Darah. Kekerasan. Aluna atau kini menjadi Agatha sekarang, akhirnya menemukan satu persamaan yang ada di antara dirinya dan Agatha. Masa kecil mereka suram dan di paksa untuk menjadi lebih dewasa dengan cepat oleh alur kehidupan.

Aluna terbangun dengan napas tersengal saat kenangan masa kecil Agatha muncul sebagai mimpi. Mungkin, perlahan-lahan setiap kenangan Agatha akan melebur sepenuhnya dengan ingatannya. Apa Aluna tetap bisa menjadi dirinya sendiri saat itu tiba? Semua ingatan itu pasti akan mengubah kepribadiannya sedikit demi sedikit bukan?

Sistem telah menerangkan garis besar alur novel yang dia masuki ini setelah mengumpati Agatha panjang lebar. Tempramen benda itu sungguh menjengkelkan. Aluna sempat berusaha memukulnya tapi gagal. Layar itu hanya bisa dilihat tanpa bisa disentuh.

Novel ini berkisah tentang Emily, seorang rakyat jelata baik hati yang tanpa sengaja menarik perhatian dari tokoh utama pria. Putra mahkota kerajaan sekaligus tunangan dari Agatha, Alexander. Alex pertama kali melihatnya di pasar saat Emily menolong seorang wanita tua. Kebetulan terus terjadi hingga mereka bertambah dekat dari hari ke hari.

Selain Alex, beberapa tokoh lain juga tertarik dengan gadis itu. Mulai dari Saint Kuil Suci hingga Duke Muda yang selalu menjadi rival Alex.

Agatha, sebagai tunangan Alex tentu saja tidak terima dengan kedekatan tunangannya dengan rakyat biasa. Dia melakukan banyak trik kotor untuk menghancurkan gadis itu dan tentu saja berakhir gagal.

Akhirnya, di sinilah dia sekarang. Penjara kotor dan bau yang menjadi menjadi tempat tinggalnya sementara sebelum di penggal mati. Benar, di penggal mati. Aluna nyaris melompat girang saat mendengarnya jika saja tubuh ini masih ada tenaga yang tersisa.

[ Kau habis mimpi buruk? Ayo ceritakan padaku! Aku siap menertawakanmu sekarang. ]

Sistem ini selalu sukses memancing kekesalannya. Aluna memilih tidak menanggapinya dan sibuk menantikan hari dimana dia di penggal. Oh, membayangkannya saja membuat dia tidak sabar.

"Ngomong-ngomong, kapan kepalaku melayang?" Tanya Aluna.

Sistem diam sebentar.

[Maksudmu di penggal? Itu akan terjadi nanti sore. ] Aluna melotot. Apa tadi? Dia di penggal hari ini?

"Akhirnya, kau bisa membuatku sedikit bahagia hari ini." Aluna menghela napas panjang. Ternyata tidak perlu menunggu satu bulan untuk mati. Dia hanya harus bertahan hingga nanti sore. Ah, senangnya~

Saat gadis itu merayakan hari kematiannya, seorang pria misterius dengan jubah hitam menutupi seluruh tubuhnya berhenti di depan penjara Aluna. Aluna mengerutkan keningnya waspada. Dia tidak mendengar suara langkah kaki sebelum orang ini benar-benar muncul.

Pria misterius itu dengan mudah merusak gembok penjara dan masuk ke dalam. Dia membuka tudung jubahnya. Menampakan wajah rupawan yang tidak pernah Aluna lihat di kehidupan sebelumnya.

[Wah, biar aku perkenalkan pemuda tampan ini! Dia antagonis yang tidak merepotkan seperti Agatha. Rival sejati dari tokoh utama-]

"Duke Lucarion, apa yang kau lakukan di sini?"

[Oh, tampaknya kau sangat memperhatikan ceritaku kemarin. Kau benar sekali. Dia antagonis pria di novel ini, Duke Leander Elenio Lucarion.]

Dia seorang pemuda tampan dengan garis wajah tegas dan badan proposional. Surai indahnya berwarna keperakan. Netranya merah terang bak ruby. Penampilan pemuda itu sangat mempesona.

"Keadaanmu menyedihkan, Lady." Sial, bukannya menjawab Leander malah mengejek kondisi Agatha.

"Terimakasih atas ejekannya. Silahkan pergi dari sini kalau tujuanmu hanya untuk itu." Aluna menerbitkan senyum manis. Leander menatapnya heran. Dia kira Aluna akan mengamuk dan menggila. Tapi, selain penampilan luarnya yang acak-acakan gadis itu nampak baik-baik saja.

"Kau lebih tenang dari dugaanku. Aku kira kau setidaknya akan melemparkan benda di sekitarmu ke arahku." Aluna memutar bola matanya malas. Untuk apa membuang tenaganya untuk melampiaskan emosi. Lagian, nanti sore dia akan mati.

"Aku kesini ingin memberikan penawaran padamu, Lady. Selain aku, sepertinya tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu dari sini. Ayahmu dengan tegas memutus hubungan kalian dan tidak mengakuimu lagi sebagai anaknya."

Dengan karakter busuk seperti Duke Blanche memang sangat masuk akal jika dia langsung memutuskan hubungan saat Agatha ditimpa masalah seperti ini. Pria busuk itu jelas tidak memiliki sedikitpun cinta untuk anaknya. Aluna langsung tahu setelah mendapatkan sedikit memori masa kecil Agatha.

"Yah, aku kan tidak lebih dari boneka untuk karir politiknya yang berharga. Mana mungkin aku tidak bisa menebak tindakan ayahku saat aku di masukkan ke penjara." Leander bertambah bingung dengan sikap Agatha yang lebih acuh. Apa di penjara membuat otaknya berfungsi seketika? Dari dulu gadis itu kan selalu mengandalkan perasaannya. Agatha juga memiliki kesombongan dan ego yang luar biasa tinggi.

"Kau tahu posisimu itu? Aku kira kau tidak pernah sadar atau selalu menyangkalnya. Tapi, kau benar. Bagi Duke Blanche kau memang tidak lebih dari boneka politik." Leander mendekat lalu mengulurkan tangannya. Hendak memberitahukan niat sebenarnya mengenai kedatangannya ini.

"Aku bisa membawamu kabur dari sini sekarang. Aku sudah menyiapkan identitas palsu untukmu di negeri seberang. Aku yakin Alex tidak akan mengejar mu sampai sejauh itu." Aluna menatap uluran tangan itu terkejut. Ternyata masih ada yang mau membantu Agatha walau niat aslinya tidak ia ketahui. Manfaat apa yang akan di dapatkan Leander dengan membantunya.

Tapi, dia bukan Agatha. Sejak kedatangannya hanya satu yang dia harapkan. Itu adalah kematian. Mana mungkin Aluna mau melakukan perjalanan panjang lalu menunggu sebulan untuk mati. Semua itu hanya akan membuang waktunya saja.

"Terimakasih atas tawaranmu, tapi aku menolak." Leander mengernyit. Dia menarik uluran tangannya lalu menatap Aluna lamat.

"Kenapa? Kalau kau takut dengan alasanku, sebenarnya aku hanya ingin melihat Alex kesal. Pria menyebalkan itu pasti marah besar kalau tahu kau berhasil kabur."

Keselamatan Aluna hanya seharga kekesalan Alex. Sistem sudah tertawa terbahak-bahak setelah mendengarnya.

[Hahahaha, seperti yang di harapkan dari antagonis kesayanganku.]

"Kau masih bertanya alasanku? Tentu saja aku ingin mati! Kenapa harus susah payah hidup jika kematian lebih baik dari tetap hidup? Setidaknya, aku bisa tenang di alam lain atau menghantui manusia menyebalkan sepertimu dan Ayah busukku itu!" oceh Aluna kesal. Emosinya sudah sangat tinggi gara-gara layar biru yang terus membuatnya jengkel dari kemarin.

Leander menatapnya kaget. Tidak menyangka Aluna akan menginginkan kematian. Apa gadis ini sudah tidak punya harapan untuk terus hidup karena tingkah kelewatan Alex? Itu wajar, tapi tetap saja ini mengejutkan.

"Kau sungguh tidak ingin diselamatkan?" tanya Leander sekali lagi. Berharap Aluna akan berubah pikiran.

"Tidak." Karena kematian sudah menjadi kebahagiaan terakhirnya.

Aluna sudah terlalu lelah menghadapi permainan takdir yang membuatnya menderita. Dunianya adalah neraka dan kematian adalah satu-satunya cara membebaskan diri dari neraka itu.

3

Leander mengenal Agatha karena dia tunangan dari rivalnya, Alexander. Kesan pertamanya tentang gadis itu, dia seperti gadis bangsawan pada umumnya yang memiliki ego tinggi dan kesombongan. Tapi, saat pertama kali melihat interaksinya dengan Duke Blanche, Leander menyadari kalau mereka sama-sama sebuah boneka dari belenggu berkedok keluarga.

"Lean, a-aku tidak tahu kau akan berkunjung kesini. Kenapa tidak mengabariku lebih dulu?" Gadis yang selalu mengangkat dagunya tinggi bahkan berbicara terbata-bata. Dia mencoba tersenyum seperti biasa namun senyumnya terlihat kaku saat itu.

"Maaf, aku tidak sempat mengabarimu dulu." Mereka memang sering bertemu di perjamuan atau di istana Alex. Tapi, mereka tidak sedekat itu hingga saling bertukar surat.

"Agatha, ajak Leander berkeliling mansion ya." Duke Blanche mengelus rambut putrinya sembari tersenyum ramah. Agatha tersentak kaget sebelum turun dari kursi dan mengajak Leander berkeliling.

"Lean, ayo ikut aku." Jemari kecilnya menggenggam tangan Lean. Mereka keluar dari ruangan yang terasa mencekik itu dan berkeliling hingga ke taman.

Agatha sudah melepas cekalan tangannya saat menjauh dari pandangan para pelayan di sekitar mereka. Gadis itu kembali ke sikap angkuhnya dan berjalan di depan Leander tanpa niat mengobrol. Dia hanya akan berisik di depan Alexander saja.

"Apa kau takut dengan Ayahmu, Agatha?" tanya Leander. Agatha berhenti berjalan lalu menoleh dengan tatapan tajam. Kentara sekali dia tidak ingin membahas masalah ini lebih jauh.

"Bilang apa kau? Mana mungkin aku takut dengan Ayahku. Dia sangat baik kok padaku." Andai Leander tidak merasakan tangan gadis itu gemetaran saat menariknya keluar, dia pasti akan bisa percaya kebohongan ini.

"Benarkah?" tanya Leander sekali lagi.

"Tentu saja, Tuan Muda Lucarion. Lain kali jaga ucapanmu itu. Sangat keterlaluan tahu." Agatha berkacak pinggang lalu membuang muka. Leander baru tahu gadis sombong ini juga bisa terlihat sedikit menggemaskan. Ingat, sedikit.

"Kalau begitu, saat bertemu lagi dengan Ayahmu coba peluk dia dan ajak dia main." Agatha memucat seketika. Memori beberapa hari lalu kembali berputar di kepalanya. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Bau darah seakan mencekik gadis itu lagi.

Leander terheran melihat Agatha terdiam. Gadis itu sampai tidak sadar kukunya telah melukai tangannya sendiri. Pemuda itu mendekat lalu menepuk bahu Agatha. Mencoba menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

"Kyaaaaa!! Berhenti! Jangan menyentuhku!" Agatha berteriak nyaring dan terjatuh di rerumputan. Air mata mulai merembes dari pelupuk matanya.

"Agatha. Hey, apa yang terjadi padamu?" Leander terkejut. Dia berusaha menyadarkan gadis itu lagi namun hasilnya percuma.

Agatha mulai mencakar tubuhnya dan mengacak-acak rambutnya hingga sangat berantakan. Dia terus meracau kata-kata aneh yang hanya samar terdengar oleh Lean.

"D-darah, bibi, semua salahku, harusnya aku tidak begitu!" Pelayan mulai berdatangan ke taman. Mereka mencoba menenangkan Agatha tapi gadis itu masih tidak berhenti melukai dirinya sendiri.

Sampai akhirnya, salah satu pelayan memukul tengkuknya hingga gadis itu pingsan. Leander masih membeku melihat Agatha. Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada gadis itu?

•••

"Hey, malah melamun. Duke Lucarion, kalau kau di sini hanya untuk mengajakku kabur lebih baik menyerah saja. Pergi sana," usir Aluna tanpa rasa bersalah. Leander akhirnya tersadar telah menatap gadis itu terlalu lama.

"Kau sungguhan tidak mau bantuanku?" tanya Leander lagi. Aluna lama kelamaan mulai jengah. Bukankah sudah dia tolak sejak tadi? Dia ini punya pendirian. Tidak mungkin akan berubah pikiran secepat itu.

"Tidak, kecuali-" Aluna mengelus perutnya yang berbunyi sejak tadi. "Kecuali kalau bantuanmu itu makanan."

Leander mengerjapkan mata beberapa kali. Makanan katanya? Urat malu Aluna sudah hilang kok. Hanya saja telinganya tidak bisa di tahan untuk tidak memerah.

"Maksudnya aku lapar, Bodoh!" teriaknya. Dia akan mati nanti sore.

Tidak perlu menjaga sikap karena ini pertemuan pertama sekaligus terakhir mereka. Lagipula, yang bangsawan itu Agatha bukan Aluna.

Ini pertama kali seorang gadis mengumpatinya seperti itu. Leander hampir melongo mendengar keanehan gadis itu yang semakin menjadi. Rupanya selain otaknya menjadi berfungsi, penjara juga merusak kewarasan otak malang milik gadis itu.

[Kau sungguh meminta makan darinya? Dia ini penjahat kesayanganku! Jangan seenaknya manusia!]

Sistem itu kembali berisik. Baru juga penjahat. Dia bahkan belum bertemu kedua tokoh utama di novel ini. Aluna tidak bisa membayangkan nasib telinganya mendengar ocehan sistem menyebalkan itu.

"Aku tidak membawa makanan."

Leander tidak kepikiran membawa makanan sama sekali. Tujuan awalnya menyelamatkan orang dari penjara dan bukan menyelamatkan perut orang di penjara.

"Ah, payah. Kalau begitu pergi sana," usir Aluna sekali lagi.

Lihat, gadis ini mengumpat lagi. Harga diri Leander seolah tidak lebih berharga dari makanan. Seumur hidupnya baru pernah dia diremehkan seperti ini.

"Aku akan mengambilkanmu makanan. Kau tunggu disini sebentar," kata Leander lalu berbalik dan keluar dari penjara.

Aluna mengamatinya diam-diam. Sedikit tidak menyangka pemuda itu akan benar-benar pergi membawakannya makanan.

[Kau sudah akan di pe-nggal tapi malah menyusahkan tokoh penjahat favoritku!! Kau ini hanya jiwa beruntung yang tidak sengaja aku ambil! Jangan bertingkah seenaknya kepada tokoh-tokoh penting disini!] Sistem misuh lagi. Layar itu mengitari Aluna beberapa kali.

"Di pe-nggal juga butuh tenaga! Beraninya kau menyebutku jiwa beruntung setelah apa yang kau lakukan padaku!" Bukannya beruntung, inimah buntung namanya. Akan enak mati malah dihidupkan kembali.

[Tentu saja beruntung! Banyak orang di dunia ini yang mau hidup lagi! Kau saja yang aneh malah ingin mati!]

"Bagaimana tidak ingin mati jika duniaku sendiri adalah neraka?!"

Seketika sunyi. Mereka terdiam setelah Aluna berteriak marah. Sistem itu tidak membalas lagi. Dia memilih menghilang dan meninggalkan gadis itu sendirian di penjara.

Aluna masih ingat neraka macam apa yang ia hadapi sejak kecil. Dingin dan gelapnya kesendirian tanpa satupun orang yang mau mengulurkan tangan. Hanya dirinya sendiri yang bisa memeluk tubuhnya untuk mengusir dingin. Seperti sekarang.

Aluna memeluk lututnya lalu membenamkan wajahnya di lipatan kaki. Sebentar lagi. Ini tidak akan lama sampai dia mati. Kesendirian tidak akan menggangunya lagi.

"Aku tidak tahu makanan apa yang kau inginkan. Karena aku mencoba kembali kesini secepat mungkin, yang aku temukan hanya roti hangat dari toko seorang rakyat biasa."

Kepala Aluna terangkat. Dia menatap roti hangat yang disodorkan kepadanya dengan rumit. Air matanya tiba-tiba meleleh. Sial, dia lemah sekali.

"Kenapa kau malah menangis? Kau tidak suka roti yang aku bawa?" Leander kebingungan. Entah kenapa dia tidak suka melihat gadis itu menangis.

"Tidak, aku suka." Aluna menerima roti hangat itu. Dia sebisa mungkin menghapus air matanya. Gadis itu bisa merasakan hangatnya roti menyebar ke seluruh tubuhnya. Ini tidak lagi dingin seperti tadi.

Leander bisa bernafas lega setelah Aluna mulai memakan roti yang dia bawa. Sayangnya, dia tidak bisa tinggal disini lebih lama. Penjaga akan mulai berpatroli lagi dan bisa menyadari keberadaannya disini.

"Aku akan pergi dulu. Saat hukuman itu dijatuhkan kepadamu nanti sore, aku akan ikut menyaksikannya juga. Aku harap kau tidak menyesal sudah menolak bantuanku," pamit Leander. Pemuda itu tahu ini terakhir kalinya mereka bisa mengobrol seperti ini. Tangannya mengepal kuat. Semua ini salah rivalnya dan gadis menyebalkan itu.

Leander berbalik. Dia tidak mengharapkan balasan apapun dari Aluna. Leander hanya berharap gadis itu akan berhenti menangis. Dia benci melihat air mata turun dari pelupuk mata gadis itu.

"Leander," panggil Aluna. Lean berbalik.

Aluna melukis senyum terbaiknya untuk pemuda itu. Saat semua orang di sekitar Agatha bahkan keluarganya tidak lagi peduli, hanya Lean yang mau membantu.

"Terima kasih banyak." Leander tertegun. Itu senyuman paling indah yang pernah ia lihat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!