Desa Mulia, tahun 1995
"Buku apa ini?"
Wanita berambut panjang yang berprofesi sebagai guru olahraga itu mengambil buku yang penuh debu dan sarang laba-laba. Sampulnya kecokelatan, lembab di beberapa sisi, menandakan sudah lama terselip di balik lemari perpustakaan SD Negeri Mulia I. Bau kertas tua yang khas langsung menusuk hidungnya, seolah membawa nuansa mistis dari masa lalu.
Guru itu bernama Dyah Galuh Pitaloka, lebih akrab dipanggil Galuh. Tubuhnya masih dibalut kaos olahraga dengan celana training favorit yang sudah mulai longgar karetnya. Malam itu, dia tak menyangka akan menemukan sesuatu yang tampak seperti peninggalan zaman baheula.
Di ruang sempit yang diterangi lampu neon tua, Galuh sedang membereskan perpustakaan bersama dua sahabat dekatnya, Ryan dan Dewa. Suasana malam semakin hening, hanya suara jangkrik di luar jendela yang pecah oleh keluhan mereka bertiga.
"Heh, apaan tuh?" tanya Ryan dari sisi lain lemari. Lelaki berkacamata itu menahan nafas, tubuhnya miring karena menopang berat lemari kayu jati.
"Woy, Galuh! Berat ini! Kenapa kamu lepas pegangannya?" seru Dewa dengan nada kesal. Urat di lengannya menonjol saat menahan lemari besar itu sendirian.
Galuh hanya nyengir, memperlihatkan giginya. Kedua temannya sudah basah kuyup oleh keringat, sementara dia malah asyik menepuk-nepuk debu dari buku tua itu. Buku itu ia kepit di perut, tertahan oleh tali kolor training yang memang jadi ciri khasnya kalau datang ke sekolah.
Akhirnya mereka bertiga berhasil memindahkan lemari ke sisi lain. Tubuh Ryan ambruk ke kursi plastik, sementara Dewa terengah-engah, mengibas-ngibaskan baju batik PGRI yang lengket di tubuhnya.
"Ya Allah, capek sekali!" Ryan mengusap keningnya yang basah oleh keringat, nadanya jelas penuh penyesalan karena mau diseret kerja lembur malam-malam.
"Hanya gara-gara kita masih jomblo, kita disuruh lembur buat renovasi perpustakaan," gerutu Dewa, matanya mendelik ke arah Galuh yang masih tampak sibuk sendiri.
Langit di luar sudah pekat. Dari celah jendela, cahaya lampu jalan nyaris tak sanggup menembus, meninggalkan ruangan itu dalam bayangan suram. Mereka bertiga tahu pekerjaan ini harus selesai malam itu juga. Kepala sekolah akan menggunakan separuh ruangan sebagai ruang kerja darurat, karena ruang aslinya hancur ditimpa pohon kelapa kemarin sore.
Sekolah dasar di Desa Mulia memang hanya satu bangunan, tapi dipakai bergantian untuk dua sekolah: SD Negeri Mulia I dan SD Negeri Mulia II. Anak-anak sudah terbiasa masuk pagi atau siang secara bergilir. Namun bagi para guru, sistem itu sering bikin ribet.
"Udah, cepet beresin bukunya! Masukin lagi ke rak," titah Ryan dengan suara tegas, meski napasnya masih ngos-ngosan.
Galuh malah jongkok di lantai, membuka lembaran demi lembaran buku yang baru ditemukannya. Kertasnya rapuh, aksara Sunda kuno memenuhi setiap halaman. Judulnya jelas tertera: “Mantra Mujarab.” Matanya berbinar-binar, seperti anak kecil menemukan mainan baru.
"Galuh, kamu malah asyik baca! Cepetan beresin kerjaan kita! Udah malam, lho!" Ryan melotot.
Galuh tak bergeming. Senyum nakalnya malah makin melebar. "Hei, ini bukan buku sembarangan! Nih, coba lihat dulu."
Ryan dan Dewa saling pandang, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah mereka. Akhirnya keduanya mendekat, ikut jongkok di samping Galuh.
"Mantra mujarab?" gumam mereka berdua hampir bersamaan, membaca tulisan di sampul yang sudah lusuh.
Galuh menepuk-nepuk halaman buku itu, lalu menunjuk salah satu bagian. "Ini ada mantra pemikat hati. Katanya bisa bikin orang yang kita cinta jadi mabuk kepayang, tergila-gila sama kita!" Nada suaranya terdengar penuh semangat, seperti baru saja menemukan harta karun.
Ryan dan Dewa sontak menyeringai. Tawa kecil mereka meletup, bukan karena mengejek, tapi karena pikiran mereka langsung melayang ke orang-orang yang diam-diam mereka kagumi. Sudah jelas, isi kepala ketiganya seirama, mereka semua punya dambaan hati masing-masing, tapi tak satupun yang bisa digapai dengan mudah.
Di tengah tumpukan buku berdebu dan lemari kayu tua, malam itu ruang perpustakaan berubah jadi tempat konspirasi tiga guru muda yang haus cinta dan mungkin haus keajaiban.
Dahulu, Galuh pernah menaruh hati pada Max, pria keturunan Jerman dengan sorot mata biru jernih yang selalu menggetarkan dada. Kakek-nenek Max adalah imigran yang menetap di Indonesia untuk menyelamatkan diri dari perang dunia ke-II. Meski perbedaan budaya dan bahasa pernah jadi penghalang, Galuh merasa selalu bisa mengimbangi. Sayang, perbedaan agama menjadi tembok kokoh yang tak bisa mereka robohkan. Hubungan itu kandas begitu saja, menyisakan luka samar yang kadang masih terasa hingga kini.
Sementara Ryan, diam-diam menaruh hati pada Meilin, wanita keturunan Tionghoa yang cantiknya sering jadi bahan pembicaraan warga desa. Sayangnya, keluarga Meilin menentang keras hubungan itu. Mereka menganggap Ryan hanyalah seorang guru biasa, berbeda jauh dengan harapan orang tua Meilin yang ingin anaknya menikah dengan pengusaha Tionghoa sukses. Perbedaan budaya, adat, dan agama makin memperlebar jurang yang memisahkan mereka.
Dewa pun tak jauh berbeda. Hatinya yang terguncang tiap kali melihat Denok, gadis manis putri kepala desa. Namun, status sosial keluarga membuat cintanya hanya bisa dipendam. Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan, bahkan Dewa bisa mengenyam pendidikan karena dibantu biaya oleh ayah Galuh. Rasanya mustahil bisa merebut hati Denok tanpa restu keluarga.
Buku tua yang ditemukan malam itu terasa menjadi secercah harapan untuk cinta mereka bertiga.
"Kita harus menghafal mantra ini," ujar Galuh dengan mata berbinar.
Ryan dan Dewa mengangguk penuh semangat, seolah mantra itu bisa jadi tiket menuju masa depan yang mereka idamkan.
"Di sini tertulis saat membaca mantra harus menatap mata orang yang ingin kita jerat hatinya," lanjut Dewa, suaranya seperti penceramah yang sedang membaca ayat suci.
"Ehh, ada mantra tolak bala juga!" seru Ryan, wajahnya berubah antusias. "Kayaknya aku perlu hafal ini buat dibacakan ke orang tuanya si Meilin. Biar mereka nggak jadi bala penghalang cinta aku dengan Meilin."
Galuh ngakak sampai terbatuk. "Dasar nekat! Tapi, ya boleh juga idenya."
"Kita salin saja mantra-mantra ini biar gampang dihafal," usul Galuh.
Ketiganya dengan cekatan menyalin mantra dari buku tua itu ke kertas masing-masing. Mereka seperti anak sekolah yang sedang mengerjakan PR, hanya saja kali ini “PR”-nya adalah mencari jalan pintas untuk cinta.
Usia mereka memang sudah mencapai dua puluh lima tahun. Tekanan dari sekitar mulai terasa. Orang tua, tetangga, bahkan murid-murid di sekolah suka melontarkan pertanyaan polos tapi menusuk, “Bu Guru kapan nikah?” atau “Pak Guru kapan punya istri?”
Malam itu, sampai pukul sepuluh, mereka masih berjibaku membereskan perpustakaan. Debu, sarang laba-laba, dan lelah bercampur jadi satu. Begitu pekerjaan selesai, masing-masing pulang dengan kendaraan kesayangan mereka.
Galuh menggeber motor RX King hitam yang suaranya meraung-raung, membuat orang-orang menoleh tiap kali ia lewat. Sementara Ryan dan Dewa, dengan motor bebek tua hasil menabung bertahun-tahun, tampak ngos-ngosan mengejar di belakang.
Di perjalanan pulang, Galuh berpapasan dengan Bagja, tetangganya sekaligus orang yang diam-diam sering membuat darahnya mendidih. Bagja melaju santai dengan motor Vespanya yang klasik.
“Habis dari mana kamu malam-malam begini?” sapa Galuh, menyejajarkan motor di sampingnya.
Bagja menoleh sekilas, wajahnya tampak letih. “Ada pasien kena serangan jantung, harus ditangani segera.”
Galuh melirik dengan tatapan setengah heran, setengah sinis.
“Kamu sendiri kenapa keluyuran malam-malam?” tanya Bagja balik.
“Heh, aku tidak keluyuran! Aku habis membereskan perpustakaan sekolah. Gara-gara ruang kepala sekolah ketimpa pohon kelapa, jadi dipindahin ke ruang perpustakaan,” balas Galuh cepat, nada suaranya penuh pembelaan.
Bagja hanya terkekeh kecil, membuat Galuh makin jengkel. Ia tidak suka dianggap main-main, padahal ia merasa sudah berjasa lembur sampai larut.
Percakapan mereka terputus begitu sampai di depan rumah. Galuh memarkirkan RX King kebanggaannya, sementara Bagja memasukkan Vespanya ke garasi. Kedua rumah itu memang bersisian, bahkan jendela kamar mereka saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh tanah sedepa dan pagar kayu tua yang mulai lapuk.
Galuh mendengus, menyalakan lampu kamarnya. Ia meletakkan buku tua itu di meja belajar. Sampulnya kembali berdebu, tetapi entah kenapa buku itu terasa seolah berdenyut, seakan-akan menyimpan sesuatu yang tak boleh disentuh sembarangan.
***
Assalamualaikum, aku buat karya baru lagi. Ceritanya kehidupan sehari-hari di kampung, semoga kalian suka.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like dan komentar. Terima kasih untuk perhatiannya.
“Heh cahya bulan nu ngagurilap di tengah peuting,
heh béntang nu nyirorot siga inten di awang-awang,
bantosan ka kuring pikeun ngiket haténa maneh.
Ku cai walungan nu ngalir teu eureun-eureun,
haténa maneh kudu ngalir ka kuring, moal ka batur.
Ku seungit kembang kantil di imah nini moyang,
rasa cinta maneh kudu nyampur jeung rasa cinta kuring.
Kuring ngucap, kuring nyebut,
sakabeh roh karuhun kudu jadi saksi!
Haténa maneh ayeuna … ayeuna pisan
kudu ragrag ka kuring, siga bala-bala nu ragrag kana minyak panas,
jeung lengket … moal bisa leupas deui!”
[“Hei cahaya bulan yang berkilau di tengah malam,
hei bintang yang bersinar seperti intan di langit,
tolonglah aku untuk mengikat hatinya.
Dengan air sungai yang mengalir tanpa henti,
hatinya harus mengalir kepadaku, bukan kepada orang lain.
Dengan harum bunga kantil di rumah leluhur,
rasa cintanya harus bercampur dengan rasa cintaku.
Aku mengucap, aku menyebut,
seluruh roh leluhur harus menjadi saksi!
Hatinya sekarang … saat ini juga …
harus jatuh kepadaku, seperti bala-bala yang jatuh ke minyak panas,
lalu lengket … dan tidak akan bisa lepas lagi!” ]
Suara lirih Galuh terdengar seperti bisikan angin yang menyelinap ke celah jendela perpustakaan sekolah. Dia duduk bersila di atas lantai, wajahnya menunduk khidmat.
Bibirnya komat-kamit, berusaha menghafal tiap kata dalam mantra kuno itu. Sekilas, wajah Galuh terlihat serius, tetapi dalam hatinya ia sendiri geli. Bagaimana bisa gadis lulusan sarjana pendidikan malah sibuk melafalkan mantra cinta seolah ia seorang dukun kampung?
Namun Galuh tidak punya pilihan lain. Cintanya pada Max, pria blasteran Jerman-Indonesia itu, sudah lama kandas hanya karena satu hal, agama. Waktu masih SMP, mereka sempat berpacaran penuh tawa dan mimpi. Tapi ketika beranjak dewasa, masalah itu datang bagai tembok tinggi yang tak bisa diterobos. Max menolak berpindah keyakinan. Galuh pun terpaksa menyerah, meski hatinya masih saja menolak. Kini, di usia 25, tekanan pertanyaan “kapan menikah?” membuatnya makin kalang kabut.
Di sisi lain, Ryan duduk bersila dengan wajah penuh konsentrasi. Pria itu tengah membaca mantra tolak bala pada kertas yang sudah lusuh dan ada bekas iler. Semalam dia menghafalkan mantra itu sampai ketiduran.
Ryan membaca mantra berulang-ulang, matanya menatap kertas seolah itu tiket emas menuju restu orang tua Meilin. Gadis Tionghoa itu adalah pujaan hatinya. Namun, keluarga Meilin terkenal keras. Perbedaan budaya, agama, bahkan cara makan pun bisa jadi alasan larangan. Ryan tahu dirinya harus berjuang lebih keras dan baginya, mantra ini bisa menjadi “senjata rahasia”.
“Heuh, angin nu ngagelebug ti kulon,
heuh, cai hujan nu ragrag ti langit,
sing jauhkeun sagala bala,
boh bala nu nyata, boh bala nu ngagoda cinta.
Ku cahya bulan purnama nu nyorang leuweung,
ku sora manuk haneut peuting,
sing kabur sagala nu goréng,
ulah aya nu ngahalangan kanyaah nu keur mekar.
Lamun aya bala nu ngadadak datang,
sing jadi ragrag siga bala-bala tina wajan,
ngagelebug kana minyak, terus garing,
moal bisa ngaganggu deui!
Heh bala, jauhkeun!
Heh cilaka, nyingkahan!
Heh rasa cemburu, ulah nyelip!
Cinta kuring jeung maneh kudu kawas peuyeum,
sanajan lila tetep ngeunah,
sanajan dipelakan di mana waé tetep matak mabok asihna!”
[“Hei, angin yang berhembus dari barat,
hei, air hujan yang jatuh dari langit,
jauhkan segala bala,
baik bala yang nyata, maupun bala penggoda cinta.
Dengan cahaya bulan purnama yang menembus hutan,
dengan suara burung malam yang bersenandung,
biarlah semua yang buruk pergi,
jangan ada yang menghalangi kasih sayang yang sedang mekar.
Jika bala tiba-tiba datang,
biarlah jatuh seperti bala-bala dari wajan,
tercebur ke minyak panas, langsung garing,
tak bisa mengganggu lagi!
Hei bala, menjauh!
Hei malapetaka, menyingkir!
Hei rasa cemburu, jangan ikut campur!
Cinta aku dan kamu harus seperti tape,
meski lama tetap enak,
meski ditaruh di mana saja tetap bikin mabuk asih!” ]
Sementara Dewa, sahabat mereka, sibuk di dapur sekolah. Aroma teh manis mengepul dari cangkir seng. Sambil mengaduk teh dengan sendok alumunium, bibirnya juga berkomat-kamit menghafal mantra untuk Denok, putri kepala desa. Dewa sadar betul dirinya hanyalah anak buruh, hidup dari belas kasih bapaknya Galuh yang membiayai sekolahnya. Tapi cinta pada Denok membuatnya nekat.
“Cinta mah kudu diperjuangkeun, sanajan kudu make mantra sakti,” gumam Dewa sambil meneguk teh panas yang langsung membuat lidahnya melepuh.
“Galuh, sebentar lagi jam tujuh. Sana bunyikan lonceng!” titah Pak Jaja, kepala sekolah yang terkenal galak namun sayang pada murid-murid.
“Baik, Pak.”
Galuh bergegas ke ruang depan. Denting lonceng sekolah menggema di udara pagi, disambut hiruk pikuk murid-murid yang berbaris di lapangan. Galuh menuntun mereka untuk senam SKJ ’95. Gerakan kaku, tawa riang, dan sesekali teriakan “ayo semangat!” membuat suasana hangat. Setelah senam, lagu-lagu nasional pun berkumandang, meski banyak murid salah nada.
“Anak-anak, hari ini kita olahraga main kasti,” ujar Galuh. Anak-anak bersorak riang. Alun-alun desa yang luas sudah menanti mereka di seberang jalan.
Namun, kebahagiaan itu berubah seketika. Seorang murid perempuan, Sari, berlari tanpa melihat kanan-kiri. Sebuah sepeda motor melintas cepat, menabraknya hingga tubuh mungilnya terjatuh keras di aspal.
“Ya Allah! Sari!” jerit Galuh. Tanpa pikir panjang, ia menggendong bocah itu, napasnya terengah-engah. “Kamu harus bertahan! Kita ke puskesmas sekarang!”
Galuh berlari sekuat tenaga, rambutnya terurai, keringat bercucuran. Murid-murid lain panik, sementara Ryan dan Dewa berlari menyusul, meski tertinggal jauh. Jarak 200 meter terasa seperti maraton tanpa garis akhir.
“Bagja! Cepat obati anak ini!” teriak Galuh begitu sampai di puskesmas.
Dokter Bagja, tetangganya sekaligus rival sejak kecil, baru saja masuk ruang praktik. Matanya membelalak melihat Galuh yang datang dengan wajah panik. Seorang murid perempuan meringis kesakitan di gendongannya.
“Apa yang terjadi?” Bagja segera menyiapkan peralatan medis.
“Dia ditabrak motor di depan sekolah. Cepat, tolong!” Galuh meletakkan Sari di ranjang pemeriksaan, tangannya masih gemetar.
Bagja bekerja cepat, membersihkan luka di kaki dan tangan murid itu. “Tidak parah, hanya lecet.”
Galuh menghela napas lega, tapi masih kesal. “Kalau dia kenapa-kenapa, kamu harus bertanggung jawab!” katanya ketus, seolah semua masalah dunia adalah salah Bagja.
Bagja mengangkat alis. “Seharusnya kamu bilang begitu ke orang yang menabraknya, bukan ke saya.” Tangannya tetap cekatan, meski ucapannya menyindir.
Galuh mendengus. “Heh, bukan aku, ya, yang bikin anak ini jadi begini!”
Namun, Bagja tidak membalas lagi. Ia memilih diam, menyalurkan seluruh perhatiannya pada pasien kecil itu.
Ketegangan di ruangan itu pecah oleh teriakan lain.
“Dokter, tolong papa saya!”
Galuh menoleh. Seorang pria tinggi berambut pirang keemasan masuk tergesa. Dadanya naik-turun, wajahnya pucat. Di pelukannya, seorang lelaki tua yang lemas tak berdaya.
Galuh tertegun. “Max …?”
Nama itu lolos begitu saja dari bibirnya. Suara bergetar, seakan waktu berhenti sesaat.
Max. Pria yang pernah ia cintai setengah mati, pria yang menolak melepas keyakinannya hanya demi mempertahankan cinta mereka. Kini, pria itu berdiri di depannya dengan tatapan penuh kejutan yang sama.
Bagja melirik ke arah Galuh, lalu ke Max. Senyum samar muncul di bibirnya—senyum yang lebih mirip sindiran. Ia tahu betul kisah cinta lama mereka. Dan kini, takdir seolah sedang membuka lembaran lama di hadapannya.
“Papamu kenapa, Max?” tanya Bagja dengan nada profesional, meski matanya penuh selidik.
Namun Max tak langsung menjawab. Tatapannya justru melekat pada Galuh. Mata birunya bergetar, seolah ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan tapi terhenti di kerongkongan.
Galuh pun terpaku. Ingatan tentang janji, tawa, dan air mata mereka dulu menyeruak tanpa izin. Degup jantungnya berpacu liar.
Tepat ketika Bagja hendak mendekati Max untuk mengambil alih pasiennya, tetapi sesuatu terjadi pada ayah Max. Pria tua itu terbatuk keras, wajahnya pucat pasi, lalu tangannya terkulai.
“Papa!” teriak Max panik.
Galuh membeku, sementara Bagja segera bergerak cepat. Dalam detik-detik genting itu, mata Max kembali menatap Galuh, penuh kebingungan, ketakutan, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan lama. Sesuatu yang mungkin … cinta dia belum padam.
***
Galuh tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Max setelah tiga tahun. Pria itu bekerja di Kota Karawang dan tidak pernah pulang kampung.
"Woy, Galuh! Mana Sari? Apa dia mendapatkan luka parah?" tanya Rian yang datang ke puskesmas bersama Dewa.
"E ... Sari?" Galuh lupa sama muridnya itu. "Dia ada di ruang pemeriksaan."
Ryan mengantarkan Sari pulang ke rumah. Sementara, Galuh dan Dewa kembali ke sekolah dan mengajar.
Seharian itu Galuh berubah menjadi pendiam. Pertemuannya kembali dengan Max membuat pikirannya kacau. Rasa yang dipendamnya selama ini seolah muncul ke permukaan.
Kini Galuh bersama Ryan dan Dewa sedang berada di pangkalan ojek yang ada di perempatan dekat pasar. Tidak banyak kendaraan di kampung mereka, maka dengan suka rela ketiga guru itu menjadi tukang ojek setelah pulang mengajar. Banyak warga yang terbantu karenanya, apalagi untuk melakukan perjalanan yang mendadak.
"Kamu kenapa? Diperhatikan sejak tadi kerjanya melamun terus," tanya Ryan yang merasa kehilangan sosok sahabatnya yang berisik dan suka buat ide gila.
"Hari ini aku ketemu sama Max," jawab Galuh dengan suara pelan.
"Apa?!" Ryan dan Dewa terkejut.
"Kamu ketemu di mana?" tanya Dewa penasaran karena sudah lama tidak ada kabar tentang Max.
"Di puskesmas. Max mengantarkan papanya yang sakit," jawab Galuh. Terlihat perempuan itu masih bersedih atas kandasnya hubungan asmara mereka.
"Pasti papanya Max sakit keras, makanya dia pulang kampung," lanjut Ryan dan Dewa pun sependapat.
"Bagaimana kalau kita jenguk papanya Max? Pak Lukas adalah orang baik, dulu suka mengajarkan kita bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Secara tidak langsung beliau adalah guru kita," ajak Galuh.
"Ingat, ya! Kita hanya menjenguk Pak Lukas, bukan untuk bertemu dengan Max," ujar Ryan. Dia tidak mau membuat Galuh bersedih lagi seperti dahulu saat putus dengan Max.
"Iya ... iya!" balas Galuh.
Biasanya Galuh dan teman-temannya nongkrong di pangkalan ojek itu setelah subuh sebelum pergi mengajar dan setelah pulang mengajar di sekolah. Sementara Ryan dan Dewa akan lanjut di malam hari sampai jam sepuluhan.
Berbeda dengan kedua temannya, Galuh menjadi tukang ojek itu iseng-iseng saja. Uang yang dia dapatkan dan gajinya sebagai guru, sering disedekahkan kepada murid-muridnya yang tidak mampu. Dia akan membelikan peralatan sekolah, bayar SPP, atau biaya pendaftaran lomba yang diikuti oleh muridnya.
Galuh terlahir dari keluarga kaya raya dan berdarah biru. Pak Mahardika merupakan seorang juragan yang turun-temurun, memiliki banyak sawah, kebun, kolam ikan, dan pabrik samak mendong. Sementara ibunya, Nyai Raden Keuis Damayanti hanya seorang ibu rumah tangga, karena tanah miliknya dipercayakan pengurusnya kepada suaminya. Secara finansial, Galuh tidak pernah kekurangan uang.
Galuh membawa buah-buahan sekarung ketika menjenguk Pak Lukas. Kebetulan sedang musim panen.
"Busyeeeet! Apa enggak ada wadah lain di rumah? Kenapa pakai karung? Malu-maluin," ucap Ryan tertawa geli.
"Kamu mau jualan atau mau kasih buah tangan?" tanya Dewa ketika melihat Galuh memanggul karung berisi macam jenis buah-buahan.
"Ya ... mau jenguk orang sakitlah!" balas Galuh dengan enteng. "Ini banyak jenisnya, biar Pak Lukas bebas milih mau makan apa."
Ryan dan Dewa hanya menggelengkan kepala. Daripada nanti diamuk, jadi mending mengalah saja. Mereka berjalan menuju ke ruang rawat di mana Pak Lukas berada.
Ryan berjalan sambil menghafal bacaan mantra. Dia belum hafal mantra karena terlalu panjang.
"Kamu belum hafal mantranya?" tanya Galuh.
"Belum," jawab Ryan. "Memangnya kamu sudah hafal?"
"Sudah, dong! Tinggal dipraktekkan," balas Galuh.
Otak Galuh memang cerdas dan hafalannya kuat. Hanya saja sifat dia suka meledak-ledak dan tidak sabaran, itu kekurangannya.
"Keren!" puji Ryan dan Dewa. Mereka belum hafal karena suka tertukar kalimatnya.
Ketiga orang itu masuk ke ruang rawat, Pak Lukas terlihat terbaring lemas. Max duduk di sisi brankar.
Kedatangan Galuh membuat Max terkejut. Dia langsung berdiri.
"Bagaimana keadaan papamu?" tanya Galuh.
"Sudah jauh lebih baik," jawab Max yang tidak lepas tatapannya dari perempuan itu.
"Ini aku bawa sedikit buah tangan. Di dalam ada durian montong, buat kamu," ujar Galuh sambil meletakan karung yang tadi dibawa olehnya.
Mata Max terbelalak, kemudian dia tertawa geli. Baginya Galuh tidak berubah, sama seperti dahulu.
Mereka tidak lama di sana karena sebentar lagi waktunya Asar. Ketika di lorong tanpa sengaja berpapasan dengan Bagja yang kebetulan akan pulang.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Bagja dengan tatapan heran.
"Habis jenguk Pak Lukas," jawab Ryan.
"Jangan-jangan kamu orang yang jenguk bawa buah-buahan sekarung?" Bagja menoleh ke arah Galuh.
"Iya. Memangnya kenapa?" tanya Galuh dengan nada meninggi karena kesal.
"Orang sakit jangan sembarangan makan sesuatu. Bagaimana kalau menambah parah penyakitnya?" Bagja gemas sekaligus geram.
"Gak ada orang mati karena makan buah-buahan," balas Galuh.
"Bukannya kemarin ada orang mati gara-gara minum kopi dan makan semangka bersamaan, ya?" celetuk Ryan.
Dengan cepat Galuh menoleh ke arah temannya itu. Dia menggerutu dalam hati, "Bisa-bisanya kamu mengingatkan aku cerita itu di saat berhadapan dengan Bagja."
Bagja tertawa terkekeh. Walau belum diketahui kebenarannya, dia merasa senang saat melihat ekspresi Galuh yang sempat pucat.
"Wah, sepertinya kamu membawa semangka juga di dalam karung itu! Bagaimana kalau Pak Lukas memakan buah semangka—"
"Aaaaa! Bisa enggak, sih, kamu jangan jadi orang yang ngeselin!" potong Galuh di depan muka Bagja.
"Aneh. Bukannya kamu yang selalu ngeselin," balas Bagja.
Setiap kali bertemu Bagja selalu membuatnya kesal. Rasanya Galuh ingin memakan Bagja. Hanya saja dia bukan seorang kanibal atau Bagja bukan kue apem kesukaannya.
Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas dalam benaknya. Galuh menarik kertas yang terselip di saku baju milik Ryan. Dia akan membacakan mantra tolak bala kepada Bagja. Dia berharap setelah ini mereka tidak pernah berkonfrontasi lagi.
"Galuh, itu ...." Ryan dan Dewa hendak mengingatkan temannya.
"Aku tahu!" balas Galuh.
Bagja sedikit mengerutkan keningnya ketika Galuh membuka selembar kertas dan membuka di depan mukanya. Kedua mata mereka saling bertatapan.
Dengan segenap perasaan Galuh pun mulai membacakan mantra. Entah terhipnotis tatapan mata milik Bagja atau mulutnya sudah terprogram dengan mantra pemikat hati. Mantra yang dibacakan oleh wanita itu membuat Ryan dan Dewa menganga.
“Heh cahya bulan nu ngagurilap di tengah peuting,
heh béntang nu nyirorot siga inten di awang-awang,
bantosan ka kuring pikeun ngiket haténa maneh.
Ku cai walungan nu ngalir teu eureun-eureun,
haténa maneh kudu ngalir ka kuring, moal ka batur.
Ku seungit kembang kantil di imah nini moyang,
rasa cinta maneh kudu nyampur jeung rasa cinta kuring.
Kuring ngucap, kuring nyebut,
sakabeh roh karuhun kudu jadi saksi!
Haténa maneh ayeuna … ayeuna pisan
kudu ragrag ka kuring, siga bala-bala nu ragrag kana minyak panas,
jeung lengket … moal bisa leupas deui!”
"Galuh, kamu salah baca mantra!" teriak Ryan dan Dewa bersamaan.
"Itu mantra pemikat hati, bukan penolak bala!" lanjut Dewa.
Senyum Galuh hilang seketika ketika mendengar ucapan kedua temannya. Setelah dia ingat-ingat lagi, tadi dia membaca mantra pemikat hati.
"A-pa." Tubuh Galuh mendadak terasa lemas dan terhuyung.
Dengan sigap Bagja menahan tubuh Galuh agar tidak terjatuh. Keduanya saling beradu pandang.
"Kau milikku sekarang," bisik Bagja, lalu dia mencium pipi Galuh.
"Hah!"
Galuh, Ryan, dan Dewa melotot.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!