NovelToon NovelToon

Menggapai Langit Tertinggi

Bab 1 : Jiang Shen

Kota Jinan selalu ramai oleh derap langkah para pedagang dan suara bising transaksi. Kereta kuda keluar masuk, aroma rempah, kayu, dan keringat bercampur menjadi satu.

Di jalan utama, ada sebuah kamar dagang kecil bernama Paviliun Qingshan, tempat puluhan kuli angkut bekerja setiap hari. Bangunannya tidak megah, tapi cukup untuk menampung gudang besar berisi beras, gandum, teh, dan barang dagangan lain yang datang dari desa sekitar.

Di halaman belakang, seorang remaja kurus dengan wajah pucat kelelahan terlihat sedang memanggul sebuah karung gandum yang hampir lebih besar dari tubuhnya sendiri. Tubuhnya berguncang setiap kali melangkah, tapi giginya terkatup rapat, menahan rasa sakit dari pundak yang memar. Dia adalah Jiang Shen, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sudah merasakan pahitnya hidup jauh sebelum usianya dewasa.

Ayahnya telah tiada sejak ia masih kecil, meninggalkan hanya ibunya seorang. Wanita desa sederhana yang kini berusia hampir lima puluhan, bekerja sebagai buruh tani di desa Qinghe, sebuah desa miskin di pinggiran kota.

Setiap hari, ibunya harus membanting tulang di sawah orang lain demi mendapat upah sekedar untuk membeli beras murahan. Jiang Shen tahu, tanpa dirinya bekerja di kota, ibunya mungkin sudah tak sanggup lagi bertahan hidup. Maka meski tubuhnya masih rapuh, ia memilih menjadi kuli angkut di Paviliun Qingshan, menanggung hinaan dan cemooh demi bisa mengirim beberapa koin tembaga pulang setiap akhir pekan.

Namun, penderitaan Jiang Shen bukan hanya karena kerja berat yang melumat fisiknya. Seolah hidup ingin benar-benar menguji, di kamar dagang itu ada seseorang yang sangat menikmati melihatnya menderita. Wei Liang, anak pemilik Paviliun, seorang remaja sebaya dengan Jiang Shen, namun bertolak belakang dalam segala hal. Berpakaian rapi, wajah penuh kesombongan, langkahnya angkuh. Baginya, Jiang Shen hanyalah seorang budak desa, penghibur gratis yang bisa ia perlakukan sesuka hati.

“Cepatlah, Jiang Shen! Angkut dua karung sekaligus. Kau pikir di sini tempat anak desa main-main? Kalau tidak bisa, pulang saja ke sawah, urus bebek dan ayam ibumu!” Wei Liang berseru keras, sengaja agar semua pekerja lain mendengar.

Tawa meledak di sekeliling mereka. Para kuli lain, meski hidupnya juga keras, justru ikut menjadikan Jiang Shen sebagai sasaran ejekan. Beberapa bersiul, ada yang bersorak mengejek, seakan penderitaan anak itu adalah hiburan di tengah hari yang melelahkan.

Tubuh Jiang Shen hampir roboh. Napasnya terengah, peluh menetes deras membasahi wajahnya yang masih muda. Bahunya sakit, lututnya bergetar, tapi tatapan matanya tetap keras. Dia menggigit bibirnya, menahan semua hinaan itu. Dalam hati kecilnya, Jiang Shen tahu satu hal: kalau dia berhenti, kalau dia menunjukkan kelemahan, semua orang akan semakin menginjaknya.

Namun, yang paling perih bukanlah sakit di tubuhnya, melainkan saat Wei Liang melangkah mendekat dan menepuk karung gandum yang sedang dipanggulnya.

“Kau tahu kenapa aku suka menyuruhmu, Jiang Shen?” Wei Liang menyeringai, tatapannya penuh penghinaan. “Karena kau tidak berharga. Kau hanyalah anak yatim miskin yang seharusnya bersyukur bisa bekerja di sini. Tanpa ayah, dengan ibu yang cuma buruh tani … hah, nasibmu memang layak untuk diinjak-injak.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau. Jiang Shen terdiam, matanya sedikit bergetar. Hatinya panas, tapi lidahnya kelu. Bukan karena ia setuju, tapi karena ia tahu—dalam dunia ini, kata-kata orang kuat lebih keras dari suara kebenaran.

Dalam diam, ia menahan semua itu. Setiap hinaan, setiap ejekan, ia biarkan meresap ke dalam hatinya. Seperti bara kecil yang belum meledak, tapi suatu hari akan membakar habis semua yang meremehkannya.

...

Kota Jinan bukanlah kota kecil sembarangan. Letaknya di jalur dagang utama, menjadikannya tempat persinggahan pedagang dari berbagai arah. Jalanan pusat kota selalu dipenuhi gerobak beras, kain sutra, obat-obatan, dan logam berharga. Dengan penduduk sekitar empat puluh lima ribu jiwa, sebagian besar masyarakatnya adalah pedagang dan petani yang datang dari desa-desa sekitar untuk menjajakan hasil bumi mereka.

Namun, Jinan bukan hanya soal pasar dan perdagangan. Di baliknya, berdiri beberapa sekte dan klan berpengaruh yang menguasai sebagian besar wilayah. Nama mereka dihormati sekaligus ditakuti. Semua bergerak di bawah pengawasan ketat pihak Kerajaan Phoenix, kekuatan besar yang mengendalikan seluruh provinsi dengan tangan besi. Bagi rakyat kecil seperti Jiang Shen, sekte-sekte itu bagai dunia lain—tempat para pendekar hebat lahir, tempat impian untuk lepas dari penderitaan bisa menjadi nyata.

Sayangnya, pintu menuju dunia itu tidak terbuka untuk semua orang. Untuk bisa mengikuti tes masuk sekte, setiap orang harus membayar lima koin emas sebagai biaya administrasi. Jumlah yang sepele bagi keluarga kaya atau anak bangsawan, namun bagi seorang kuli miskin seperti Jiang Shen, itu ibarat jarak langit dan bumi.

Setiap bulan ia hanya menerima tiga koin perak dari kerjanya di Paviliun Qingshan. Jumlah itu bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan ibunya, apalagi menabung menuju angka lima koin emas. Butuh bertahun-tahun baginya untuk bisa mengumpulkan biaya itu, itupun kalau semua uang ditabung tanpa sepeserpun terpakai.

Meski begitu, Jiang Shen tetap berjuang. Ia memilih menahan lapar, hidup seadanya, dan mengirim hanya sedikit uang untuk ibunya, agar sisanya bisa ia sisihkan. Bagi Jiang Shen, impian untuk masuk sekte bukan sekadar mimpi kosong—itu satu-satunya jalan agar hidupnya dan hidup ibunya bisa berubah.

Tapi di tengah tekad itu, penderitaan sehari-hari selalu menamparnya kembali pada kenyataan. Di Paviliun Qingshan, ia bukan hanya kuli biasa. Ia adalah sasaran empuk bagi Wei Liang dan teman-temannya.

“Bangun, dasar sampah! Kau pikir boleh istirahat?!” teriak salah satu pengikut Wei Liang sambil menendang Jiang Shen yang sedang duduk kelelahan di pojok gudang.

Tubuh Jiang Shen terhuyung. Punggungnya yang kurus terkena hantaman kayu, lalu gelak tawa meledak di sekelilingnya. Wei Liang muncul tak lama kemudian, melangkah angkuh dengan senyum miring di bibirnya.

“Lihatlah dia. Bahkan untuk mengangkat satu karung pun hampir roboh. Dasar pecundang. Hei, pukul lagi! Aku ingin lihat wajahnya hancur hari ini!”

Beberapa pekerja muda yang ingin cari muka pun langsung menuruti perintah itu. Tinju mendarat ke pipi Jiang Shen, satu tendangan menghantam perutnya. Ia terjerembab ke tanah, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Namun meski tubuhnya sakit, meski penglihatannya berkunang, Jiang Shen tidak pernah mengeluarkan teriakan minta tolong. Ia hanya mengepalkan tinjunya di tanah, menahan semua rasa sakit itu sendirian.

Setelah puas, Wei Liang tertawa keras. “Ingat, kau hanyalah alat. Kau bekerja, aku senang. Kau menderita, aku lebih senang. Jangan pernah bermimpi jadi lebih dari itu, Jiang Shen.”

Semua orang tertawa, lalu pergi, meninggalkan Jiang Shen yang terkapar.

Di sudut gudang yang dingin, pemuda itu terbatuk keras, darah segar mengalir lagi dari bibirnya. Tubuhnya remuk, tapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit usang. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang bergejolak. Sebuah tekad yang tumbuh semakin kuat setiap kali ia dihina, dipukul, diinjak.

“Suatu hari nanti … aku akan membalas semua perbuatan mereka.” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Ia sadar, jalannya panjang. Lima koin emas terasa mustahil untuk dicapai. Tapi justru karena itu, ia tak boleh berhenti. Baginya, impian masuk sekte adalah cahaya satu-satunya di ujung lorong gelap kehidupan. Dan tak peduli berapa kali ia dijatuhkan, ia bersumpah akan terus berdiri.

Hari-harinya di Jinan mungkin penuh luka, tapi justru luka itulah yang menempanya. Kelak, dunia akan tahu, bahwa Jiang Shen bukan sekadar anak miskin yang dijadikan samsak tinju.

Dia akan berdiri lebih tinggi dari siapapun yang pernah meremehkannya.

Bab 2 : Penderitaan Yang Harus Dilalui

Siang itu, langit Kota Jinan diliputi cahaya matahari yang terik, tapi di halaman Paviliun Qingshan suasana terasa berbeda. Beberapa gerobak besar berisi peti kayu dan karung beras telah berjajar rapi, siap untuk berangkat menuju Kota Shengguang, sebuah kota dagang yang jaraknya sekitar dua hari perjalanan ke arah selatan.

Perjalanan ini bukanlah urusan sepele—seluruh barang yang dikirim bernilai sangat tinggi, dan jalur yang harus dilalui berbahaya karena melewati Hutan Yulong, tempat sarang banyak beast spiritual dan juga kabarnya dihuni oleh iblis tingkat rendah.

Jiang Shen berdiri di sudut, menatap tumpukan barang yang hampir setinggi tembok gerbang. Keringat sudah membasahi pakaian lusuhnya karena sejak pagi ia dipaksa mengangkat dan menyusun muatan ke atas gerobak. Tangannya lecet, pundaknya perih, tapi ia tak berani mengeluh. Baginya, setiap kesempatan bekerja adalah cara untuk bisa tetap bertahan dan menabung.

Namun, berbeda dari biasanya, kali ini ia tidak hanya ditugaskan mengangkat barang. Pengurus Paviliun menyebutkan bahwa ia harus ikut serta dalam perjalanan menuju Shengguang, bertanggung jawab menjaga muatan serta menurunkannya ketika sampai.

Meskipun jelas ini lebih seperti alasan untuk memanfaatkan tenaganya, dalam hati kecil Jiang Shen ada sedikit rasa bersemangat—ini pertama kalinya ia akan keluar dari kota, melihat dunia luar yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang lain.

Karena jalur penuh bahaya, pihak Paviliun Qingshan pun tidak gegabah. Mereka merekrut sepuluh pendekar kultivasi dari luar untuk menjadi pengawal kafilah.

Dari kejauhan, Jiang Shen melihat para pendekar itu berdiri dengan pakaian rapi, wajah penuh percaya diri, masing-masing membawa senjata tajam yang terikat di pinggang atau punggung mereka.

Mereka semua berada di ranah Pembangunan Fondasi. Sembilan orang berada di level 1, sementara satu orang tampak lebih menonjol—seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dengan aura tenang namun menekan.

Dialah pemimpin rombongan, berada di level 5 Pembangunan Fondasi, kekuatannya jelas jauh lebih tinggi dibanding yang lain.

Bagi Jiang Shen yang masih manusia biasa tanpa kultivasi, keberadaan mereka seperti gunung yang tak tergapai. Ia bisa merasakan jelas perbedaan di antara dirinya dengan mereka, meski hanya berdiri beberapa langkah saja.

Untuk sekedar memperjelas, jalan kultivasi yang ada di dunia ini terbagi dalam sembilan ranah:

Kondensasi Qi (level 1–10) – tahap dasar, di mana seseorang mulai merasakan dan mengumpulkan energi spiritual ke dalam tubuh.

Pembangunan Fondasi (level 1–10) – tahap membangun dasar kuat, memperkuat tubuh, dan mulai mampu menggunakan teknik sederhana.

Inti Emas (level 1–10) – energi qi terkondensasi menjadi inti emas di dantian, kekuatan meningkat pesat.

Jiwa Emas (level 1–10) – jiwa dan roh diperkuat, serangan spiritual mulai bisa dilakukan.

Raja (level 1–10) – pemimpin wilayah kecil, kekuatan luar biasa dan mampu menghancurkan pasukan dengan mudah.

Kaisar (level 1–10) – penguasa yang dapat menundukkan ribuan orang, tubuh dan qi mencapai kesempurnaan tingkat tinggi.

Pendekar Suci (level 1–10) – kekuatan mereka dapat mempengaruhi langit dan bumi, nama mereka dicatat dalam sejarah.

Setengah Abadi (awal, menengah, puncak) – berada satu langkah dari keabadian, kekuatannya tak terbayangkan.

Abadi – puncak dari jalan kultivasi, keberadaan mereka seperti dewa, jarang sekali terlihat di dunia fana.

Jiang Shen hanya bisa menatap dengan kagum dan sedikit iri. Di dalam hatinya, ia bersumpah suatu hari ia pun akan berdiri sejajar, atau bahkan melampaui para pendekar yang kini dipandanginya.

“Oi, anak desa!” teriak Wei Liang sambil berjalan mendekat dengan wajah sinis. “Jangan bengong! Kau pikir ikut ke Shengguang itu jalan-jalan? Kau di sini hanya untuk memanggul barang, bukan melotot melihat para pendekar. Cepat naikkan lagi dua karung itu ke gerobak, atau aku lempar kau keluar sekarang juga!”

Tawa kuli lain pun pecah, suara mereka memenuhi halaman. Jiang Shen menggertakkan giginya, namun tetap diam. Ia membungkuk, mengangkat karung lain dengan tubuh yang gemetar, lalu meletakkannya ke atas gerobak.

Langkah demi langkah persiapan dilakukan. Kuda-kuda hitam yang besar diikatkan pada gerobak, senjata para pendekar diperiksa, dan barang-barang dagangan dikunci rapat. Jiang Shen berdiri di barisan paling belakang, napasnya berat namun matanya menatap lurus ke depan.

Hari ini, ia akan keluar dari Jinan untuk pertama kalinya. Ia tahu, bahaya menunggu di luar sana, dan dirinya hanyalah kuli lemah tanpa perlindungan. Tapi entah mengapa, ada getaran aneh di hatinya—seolah perjalanan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan ketika lonceng besar di gerbang Paviliun Qingshan berdentang, rombongan itu pun bersiap untuk berangkat…

...

Rombongan Paviliun Qingshan akhirnya bergerak meninggalkan Kota Jinan. Derap kaki kuda terdengar berat, roda-roda gerobak berderit menahan beban barang dagangan. Suara riuh pasar lama-kelamaan memudar, berganti dengan kesunyian jalanan panjang yang sepi.

Setelah beberapa jam perjalanan, dinding batu kota Jinan sudah tak terlihat lagi di belakang. Jalanan berubah menjadi tanah keras yang membentang lurus tanpa banyak pepohonan. Di kiri dan kanan, hamparan rumput luas terhampar sejauh mata memandang, bergoyang diterpa angin sore. Langit biru mulai merona jingga, tanda matahari bersiap tenggelam di ufuk barat.

Jiang Shen duduk di bagian belakang salah satu gerobak, tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian mengangkat muatan. Ia mengusap peluh di wajahnya, menatap sekeliling dengan mata penuh rasa ingin tahu. Ini pertama kalinya ia benar-benar melihat dunia luar. Bagi orang lain mungkin pemandangan itu biasa saja, namun bagi Jiang Shen, hamparan luas itu terasa seperti kebebasan—berlawanan dengan hidup sempitnya di Jinan.

Namun kebebasan itu tak bertahan lama. Begitu senja merayap dan cahaya mulai redup, pemimpin pengawal—pria ranah Pembangunan Fondasi level 5—mengangkat tangan dan memberi perintah untuk berhenti.

“Kita tidak boleh memaksa perjalanan di malam hari. Cari tempat datar yang aman, dirikan tenda. Besok pagi kita lanjut.”

Para pengawal segera turun dari kuda, mulai menyusun tenda dan memeriksa sekitar. Jiang Shen, seperti biasa, dipanggil Wei Liang dengan nada meremehkan.

“Hoi, anak desa! Jangan bengong. Cepat dirikan tenda, buat perapian, siapkan makan malam. Kalau kau lambat, jangan harap bisa tidur malam ini!”

Jiang Shen menggertakkan gigi, lalu menuruti perintah. Ia mengangkat tiang-tiang kayu, memasang tali, dan menarik kain tenda dengan tenaga sisa. Tangannya yang sudah lecet kembali tergores, darah merembes sedikit, namun ia tak peduli.

Setelah itu, ia berjongkok, menyusun kayu kering yang ia kumpulkan di sepanjang perjalanan, lalu menyalakan api dengan susah payah. Butuh beberapa kali percikan sebelum akhirnya api kecil menyala, memberi kehangatan di tengah udara malam yang mulai dingin.

Namun tugasnya belum selesai. Para pekerja lain menyuruhnya menyiapkan makanan. Jiang Shen memotong sayuran, merebus air, bahkan memanggang daging sapi kering yang sudah disiapkan sejak dari Jinan. Asap tipis mengepul, aroma gurih dari daging yang dipanggang menusuk hidung, membuat perutnya yang kosong terasa semakin perih.

Ketika semuanya siap, ia menyerahkan masakan itu kepada para pekerja dan pengawal. Gelak tawa terdengar saat mereka duduk melingkar, menikmati makanan hangat di bawah cahaya api unggun. Potongan dendeng sapi yang lezat berpindah dari tangan ke tangan, dimakan dengan lahap.

Jiang Shen duduk di sudut, menatap piring kayu di tangannya. Isinya hanya sepotong roti kering yang keras, hampir basi. Tak ada daging, tak ada sayuran, meskipun semua itu ia yang menyiapkannya dengan susah payah.

“Jangan berharap makan daging, anak desa,” kata salah satu pekerja lain sambil terkekeh, menenggak arak. “Itu untuk orang-orang yang berharga, bukan sampah sepertimu.”

Wei Liang ikut menimpali, tawa angkuhnya menusuk telinga. “Kau seharusnya bersyukur diberi roti kering itu. Kalau aku yang memutuskan, mungkin kau bahkan hanya boleh mencium aroma daging saja!”

Tawa pecah, sementara Jiang Shen hanya menunduk. Ia menggenggam roti kering itu erat-erat, lalu menggigitnya pelan. Rasanya hambar, keras, bahkan membuat gusinya sakit. Tapi ia memakannya juga, karena ia tahu tubuhnya butuh tenaga untuk bertahan.

Api unggun berderak, langit malam dipenuhi bintang yang berkilau. Suara binatang malam sesekali terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin hening. Semua orang tampak puas, kecuali Jiang Shen.

Di dalam hatinya, bara kecil kembali menyala. Setiap hinaan, setiap ketidakadilan, ia telan dalam-dalam. Sakitnya ia simpan. Lapar, lelah, marah—semuanya ia kumpulkan. Bukan untuk ditumpahkan sekarang, tapi untuk hari nanti, saat ia bisa berdiri dan membalas dunia dengan caranya sendiri.

Dan malam itu, di bawah bintang-bintang, Jiang Shen berbaring sendirian di tanah keras tanpa alas, hanya beralaskan jaket tipis. Matanya tetap terbuka, menatap langit, sembari berbisik dalam hati:

“Suatu hari … aku akan keluar dari penderitaan ini. Aku akan lebih kuat dari siapapun di sini.”

Bab 3 : Malam Yang Brutal

Keesokan paginya, rombongan kembali bergerak. Udara masih sejuk, kabut tipis menyelimuti jalanan tanah yang mereka lewati. Suara derap kuda, roda gerobak, dan tawa para pekerja memenuhi udara pagi. Bagi mereka yang sudah terbiasa, perjalanan ini hanyalah rutinitas, tapi bagi Jiang Shen, setiap langkah kuda membawa rasa asing dan tegang.

Hari itu mereka harus menempuh jarak sekitar lima puluh kilometer lagi untuk sampai di Kota Shengguang. Namun perjalanan tidaklah mudah, karena jalur utama akan menembus Hutan Yulong, sebuah hutan lebat yang terkenal dengan keberadaan beast spiritual.

Menjelang sore, akhirnya gerbang alami hutan itu terbentang di depan mata. Pepohonan besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan, membuat cahaya matahari sulit menembus ke dasar. Suasana menjadi redup, udara lembab, dan suara binatang liar sesekali terdengar dari kejauhan.

Para pengawal segera memperketat barisan. Pemimpin pengawal, pria ranah Pembangunan Fondasi level 5, mengangkat tangannya.

“Mulai sekarang semua siaga. Jangan lengah, meski hanya terdengar suara ranting patah. Hutan Yulong bukan tempat main-main.”

Baru beberapa saat memasuki hutan, geraman pelan terdengar dari semak. Dari kegelapan, muncul beberapa sosok kecil berbulu putih dengan mata merah menyala—kelinci mata merah, salah satu beast spiritual tingkat 1.

Para pengawal hanya mencibir. Dengan satu tebasan pedang atau tusukan tombak, kelinci-kelinci itu roboh, darah mereka mengotori tanah hutan. Tidak ada yang merasa gentar, karena beast spiritual tingkat 1 hanya setara dengan manusia yang baru masuk ranah Kondensasi Qi, mudah dibantai oleh pendekar berpengalaman.

Untuk memperjelas, dunia ini mengenal tujuh tingkatan beast spiritual:

Tingkat 1 – Setara dengan pendekar Kondensasi Qi level 1.

Tingkat 2 – Setara dengan pendekar Pembangunan Fondasi level 5.

Tingkat 3 – Setara dengan pendekar Pembangunan Fondasi level 10.

Tingkat 4 – Setara dengan pendekar Inti Emas level 5.

Tingkat 5 – Setara dengan pendekar Jiwa Emas level 10.

Tingkat 6 – Setara dengan pendekar Raja level 5.

Tingkat 7 – Setara dengan pendekar Raja level 10, kekuatan mereka bisa menghancurkan satu kota kecil sendirian.

Malam akhirnya tiba. Kegelapan merayap cepat, dan rombongan terpaksa mendirikan tenda di tengah hutan. Api unggun dinyalakan di beberapa titik, para pengawal berjaga dengan wajah tenang. Mereka tak khawatir, sebab sepanjang sore hanya ada beast spiritual tingkat rendah yang muncul.

Namun, ketenangan itu runtuh seketika.

Tanpa peringatan, terdengar derak berat dari dalam hutan, disusul oleh suara auman yang menggetarkan dada semua orang. Dari balik kegelapan, muncul seekor monster besar: tubuh kekar setinggi lima meter, otot bergelombang seperti baja, bulu hitam pekat menutupi tubuhnya, dan yang paling mencolok adalah ekor emas yang berkilau di belakangnya. Matanya menyala merah, penuh buas.

“Itu … Gorila Ekor Emas!” teriak salah satu pengawal dengan wajah pucat.

Beast itu bukan sembarangan. Ia berada di tingkat 3, kekuatannya setara dengan Pendekar Pembangunan Fondasi level 10—jauh melampaui semua pengawal di rombongan, bahkan sang pemimpin yang hanya level 5.

Panik langsung menyelimuti. Belum sempat mereka bersiap, gorila itu melompat ke depan dengan kecepatan yang mengerikan. Tangannya yang sebesar batang pohon menebas seorang pengawal.

Tubuh manusia itu langsung terbelah dua, darah menyembur liar. Jeritan histeris terdengar, tapi gorila itu tak berhenti. Dengan taring runcingnya, ia mencabik leher seorang lagi, menggigitnya hidup-hidup. Tulang retak, daging terkoyak—suara itu membuat semua orang merinding.

“LARI!! SEMUA ORANG LARI!!” teriak pemimpin pengawal dengan wajah ngeri.

Tapi perintah itu sia-sia. Gorila Ekor Emas bergerak seperti badai. Dengan kecepatannya yang bisa mencapai seratus kilometer per jam, ia melompat dari satu pohon ke pohon lain, menerkam manusia yang mencoba kabur. Satu demi satu pengawal tewas mengenaskan, tubuh mereka hancur sebelum sempat melawan.

Para pekerja dan kuli angkut menjerit ketakutan. Wei Liang, dengan wajah pucat pasi, berteriak histeris.

“Kalian semua! Lindungi aku! Cepat, buat barisan! Kalau aku mati, kalian juga akan ikut mati!”

Namun perintahnya hanyalah tiket menuju kematian. Para pekerja yang dipaksa maju langsung dicabik gorila itu, tubuh mereka hancur, usus dan darah berserakan di tanah. Suara tulang patah bercampur dengan jeritan putus asa memenuhi hutan.

Wei Liang berusaha lari, tapi gorila itu tak memberi ampun. Dengan sekali terkam, tubuhnya ditangkap, lalu digigit. Jeritannya menggema di malam hutan, sebelum akhirnya terputus dalam lautan darah.

Di sisi lain, Jiang Shen berdiri membeku di belakang sebuah pohon besar. Ia menyaksikan semuanya—darah, daging, jeritan, ketakutan. Jantungnya berdegup begitu keras hingga ia hampir pingsan. Tangannya gemetar, kakinya lemas. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terasa terkunci.

Namun, nasib tak mengizinkannya bersembunyi lama. Kepala gorila itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Mata merah menyala itu menatap lurus, menembus kegelapan.

“Tidak …” bisik Jiang Shen, tubuhnya kaku.

Begitu tatapan itu terkunci padanya, Jiang Shen langsung melompat dari tempat persembunyian, berlari sekencang yang ia bisa. Suara gemuruh langkah gorila terdengar dari belakang, pohon-pohon besar roboh dihantam tubuhnya. Nafas Jiang Shen terengah, matanya mencari jalan keluar.

Dan akhirnya ia menemui sebuah jurang. Dalam, gelap, di bawahnya terdengar deru sungai deras yang menghantam bebatuan.

“Kalau aku tetap di sini … aku pasti mati …”

Tanpa berpikir panjang, Jiang Shen melompat. Tubuhnya melayang di udara beberapa detik, lalu jatuh menghantam permukaan sungai dengan keras. Air dingin menelan tubuhnya, arus deras menyeretnya ke dalam kegelapan malam.

Sementara di atas jurang, gorila ekor emas meraung keras, suaranya mengguncang seluruh hutan.

Dan Jiang Shen pun terbawa arus, tak tahu ke mana nasib akan membawanya…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!