NovelToon NovelToon

Selalu Mengingatmu

Episode 1

Pagi itu sekolah dipenuhi oleh riuh rendah siswa-siswi yang sudah berdandan rapi tapi masih ada sisa-sisa kekacauan khas kelas satu yang biasanya bikin guru garuk-garuk kepala. Matahari baru saja menembus celah-celah dedaunan, menyinari lapangan sekolah yang dipenuhi bendera warna-warni dan spanduk bertuliskan “Selamat Kenaikan Kelas dan Kelulusan”. Suasana campur aduk antara senang, gugup, dan sedikit sedih.

Olivia berdiri di depan kaca besar di kamar mandi sekolah, menyisir rambutnya yang masih agak berantakan karena terlalu cepat bangun pagi. Seragam putih biru yang dikenakannya terlihat rapi, tapi hati Olivia jauh lebih berantakan daripada rambutnya. Tahun ini dia cuma bisa ikut satu tahun di SMA itu sebelum pergi ke Jepang, dan hari ini—hari kenaikan kelas dua—rasanya semua terasa lebih emosional dari biasanya.

“Ugh, seandainya bisa ada tombol rewind,” Olivia bergumam sambil mengacak rambutnya lagi, “tapi ya enggak bisa, huh… harus berangkat juga akhirnya.”

Di sisi lain, di lorong sekolah, Stefan—teman sekelasnya yang terkenal usil tapi perhatian itu—sedang menunggu Olivia sambil main-main dengan spidol warna-warni yang seharusnya dipakai untuk coret-coret baju. Begitu melihat Olivia muncul di pintu, dia langsung mengangkat satu alis.

“Waduh, look who’s here. Si Olivia yang besoknya bakal tinggal di negeri sakura,” Stefan nyengir, nada suaranya bercampur candaan dan sedikit iri.

Olivia menatap Stefan dengan ekspresi pura-pura kesal. “Eh, jangan kebanyakan ngomong deh. Nanti gue dikira takut sama Jepang gara-gara lo yang ngeselin.”

Stefan ketawa. “Takut? Lo? Jangan bercanda lah, Lo. Jepang mah cuma makan sushi sama nonton anime doang. Gampang lah. Eh, tapi jangan lupa oleh-olehnya buat gue ya, lumayan buat nambah koleksi.”

Olivia menepuk pundak Stefan pelan. “Duh, lo tuh ya. Gue aja belum berangkat, udah minta oleh-oleh. Gue tebak lo udah nyiapin wishlist oleh-oleh kayak nyusun strategi perang.”

“Jangan salah, gue mau yang spesial edition. Jangan kasih yang abal-abal, ngerti kan?” Stefan berakting serius, padahal matanya udah nyipit karena ketawa.

Obrolan mereka terus berjalan sambil mereka menyusuri lorong menuju lapangan utama, di mana teman-teman kelas satu lain juga sudah berkumpul. Ada yang udah siap sama bunga untuk kakak kelas, ada yang lagi motret-motret grup selfie, dan beberapa siswa malah ketawa-ketawa sambil coret-coret baju. Olivia sendiri nggak bisa berhenti mikir tentang Jepang, tentang meninggalkan semua yang dia kenal di sini, dan tentang Arkana.

“Apa gue harus bilang perasaan gue ke Arkana sebelum gue pergi, ya?” Olivia bergumam pelan.

Stefan, yang mendengar, cuma menepuk bahu Olivia. “Lo boleh bilang, boleh enggak. Tapi, hasilnya sama aja, Lo. Akhirnya lo kan tetap pergi ke Jepang. Jadi mending manfaatin aja sisa waktu lo di sini.”

Olivia menghela napas panjang. Benar juga, pikirnya. Tapi hati kecilnya tetap penasaran, tetap berharap sesuatu yang beda.

Setelah acara resmi dimulai, guru-guru mengumumkan kenaikan kelas, dan beberapa kakak kelas sudah menerima bunga atau hadiah kenangan. Olivia hanya tersenyum sambil menonton teman-teman lain sibuk coret-coret baju mereka sendiri. Terasa aneh, karena sebentar lagi giliran dia yang akan meninggalkan semua ini.

Acara kenaikan kelas terus berjalan, tawa, canda, tangis, dan coret-coret baju menjadi satu dalam memori yang tak terlupakan. Semua orang sibuk dengan kegembiraan dan kesedihan mereka masing-masing. Olivia tahu, besok dia akan pergi, tapi hari ini, di tengah riuh rendah lapangan sekolah, dia memutuskan untuk menyimpan semua momen ini.

Ketika matahari semakin tinggi, Olivia duduk di pinggir lapangan, melihat teman-teman lain bercampur dalam kegembiraan. Spidol di tangannya, baju penuh coretan, senyum di wajah teman-teman. Semua terasa sederhana, tapi berarti. Sambil menatap langit, Olivia berbisik pelan,

“Ini cuma awal, Olivia… Jepang menunggu, tapi hari ini, gue cuma mau menikmati semuanya dulu.”

......................

Di sela-sela keramaian, Olivia melihat Arkana sedang bermain futsal di lapangan sekolah. Matanya otomatis berbinar sedikit, tapi dia buru-buru menundukkan kepala, pura-pura santai. Arkana tidak begitu mengenal Olivia—atau mungkin hanya sekadar tahu namanya saja—tapi Olivia sudah lama menyimpan rasa. Selama hampir setahun, dia selalu diam-diam mengagumi Arkana, memperhatikan dari jauh, dan menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya.

“Hmm… mungkin sekarang waktu yang tepat,” pikir Olivia, menggigit bibir bawahnya.

Tanpa pikir panjang, dia berjalan mendekati lapangan futsal. Di tengah terik matahari, bola-bola memantul, tawa anak-anak terdengar, tapi Olivia cuma fokus ke satu orang—Arkana.

Arkana sedang asyik menggiring bola di lapangan futsal, keringat mulai menetes di dahi karena panas matahari pagi. Lalu tak lama Arkana ke pinggir lapangan, sepertinya akan mengambil minum

Olivia yang melihat kesempatan itu, langsung berjalan mendekat. Begitu hampir sampai di depannya, dia tersenyum dan memanggil, “Arka!”

Arkana menoleh menghadap Olivia.

Olivia tersenyum malu tapi hangat. “Mungkin lo nggak kenal gue. Tapi… setelah ini gue bakal ke Jepang. Jadi, gue pengen lo… nulis sesuatu di baju gue.” Olivia mengeluarkan spidol dari tasnya dan menyodorkan ke arah Arkana. “Apapun, ucapan, doa, atau apalah, terserah lo.”

Arkana menatap Olivia sebentar, menimbang-nimbang, lalu hanya mengangguk dan menuliskan kata di bagian punggung baju putih Olivia.

Olivia tersenyum lebar, hatinya terasa hangat. “Thanks, Arkana.”

Episode 2

Gedung serbaguna universitas itu ramai luar biasa pagi itu. Spanduk besar warna biru tua terbentang lebar di atas panggung bertuliskan:

“ICON CAMPUS 2025"

 Ajang Bakat dan Pesona Antar Fakultas

Ajang itu bukan sekadar lomba pamer gaya, tapi semacam pemilihan mahasiswa dan mahasiswi paling populer sekaligus berbakat di kampus. Dari tiap fakultas dipilih perwakilan, lalu mereka bakal bersaing lewat beberapa tahap. Yang menang bakal dapet gelar bergengsi, plus jadi semacam “ikon” kampus setahun penuh.

Di barisan depan, para kontestan sudah mulai kumpul. Cowok-cowok berdiri gagah, ada yang pake kemeja rapi, ada yang lebih santai. Cewek-cewek pun nggak kalah percaya diri dengan outfit stylish mereka. Suasana agak canggung karena baru pertama kali ketemu, tapi obrolan kecil mulai pecah di sana-sini.

Di sisi kiri ruangan, Arkana berdiri dengan tenang. Kemeja putih sederhana, celana hitam, sneakers. Sesekali dia nyelipin senyum sopan kalau ada yang ngajak ngobrol, tapi selebihnya tatapannya lurus, adem, agak dingin.

Beberapa menit setelah acara dibuka dengan sambutan singkat, pintu gedung tiba-tiba kebuka keras. Dua mahasiswi masuk terburu-buru sambil ngos-ngosan.

“Maaf kak, kita telat!” suara salah satunya, cewek berambut panjang bergelombang, dengan totebag besar di bahunya. Namanya Teresa.

Di sebelahnya, Olivia. Rambut lurus cokelatnya dikuncir setengah, wajahnya agak memerah karena jalan cepat dari parkiran. Dia menunduk sedikit, mencoba terlihat nggak panik.

“Duh, Sa… gue bilang juga apa. Jangan salah jalan tadi,” Olivia berbisik dengan nada menyesal.

Teresa nyengir. “Ya salah lo juga, Liv. Gue udah bilang belok kanan, lo malah ke kiri. Udahlah, yang penting kita udah nyampe.”

Setelah dipersilahkan duduk, mereka berdua buru-buru jalan ke arah bangku belakang. Tapi baru beberapa langkah, Olivia tiba-tiba berhenti.

Matanya membeku.

Di barisan kontestan cowok, dia lihat satu sosok yang langsung bikin napasnya tercekat. Arkana.

Arkana, yang dulu cuma bisa dia tatap dari kejauhan di SMA. Arkana, yang jadi alasan senyumnya selama SMA dulu, sekaligus menjadi alasan ia menangis sebelum pergi ke Jepang.

Olivia otomatis terpaku. Badannya nggak mau bergerak. Teresa udah melangkah lebih dulu ke kursi barisan tengah, tapi Olivia masih berdiri di pintu, pandangannya terkunci.

Arkana juga akhirnya menoleh. Entah kebetulan atau karena ngerasa diperhatiin. Tatapan mereka ketemu.

Waktu seakan berhenti.

Arkana sedikit terbelalak, wajahnya nggak berubah banyak, tapi ada kerlip kaget yang nggak bisa disembunyikan. Olivia ngerasa jantungnya mau copot. “Ya Tuhan… dia beneran Arkana. Masih sama. Malah keliatan makin dewasa.”

Olivia otomatis kelempar ke memori empat tahun lalu.

...----------------...

Flashback – SMA, hari kelulusan

Setelah acara selesai, lapangan penuh coret-coretan dan tawa. Olivia udah seneng banget waktu Arkana nulis sesuatu di punggung bajunya. Saat dia melirik lewat kaca di kelas, dia lihat tulisan itu jelas:

“Good luck.” – Arkana

Olivia ngerasain dadanya penuh, campur seneng, campur sedih. Sore itu, sebelum semua bubar, dia nekat nyamperin Arkana lagi.

“Arka!” panggilnya pelan.

Arkana berhenti, menoleh, agak kaget karena cewek ini lagi-lagi muncul.

Olivia menelan ludah, tangan gemetar. “Gue tau mungkin ini aneh, tapi… gue nggak mau nyesel.”

Arkana diam, nunggu.

Olivia menghela napas panjang. “Gue suka lo. Dari dulu. Gue tau lo mungkin nggak ngerasa apa-apa, atau bahkan nggak tau nama gue… tapi gue cuma pengen bilang. Biar gue bisa lega.”

Beberapa detik hening.

Arkana menatap Olivia, ekspresinya datar tapi matanya serius. Lalu dia cuma bilang pelan, “Makasih.”

"Nggak semua rasa harus dibalas kan? tapi setiap rasa harus dihargai." lanjutnya setelah diam beberapa detik.

Senyumnya tipis, lalu dia pergi begitu aja.

Olivia berdiri di tempat, nyesek tapi juga lega. “Setidaknya gue udah ngomong,” pikirnya waktu itu.

Flashback berakhir.

...----------------...

“Eh, kamu... kenapa diem di situ? Silakan duduk dulu,” suara salah satu senior yang menghentikan lamunannya.

Olivia kaget, buru-buru jalan ke arah bangku, pipinya merah. Tapi sebelum duduk, salah satu senior yang sepertinya memegang nama dan identitas para peserta nyeletuk,

“Olivia? Bukannya kamu sama Arkana itu satu sekolah dulu, ya? Kalian saling kenal?”

Semua mata otomatis melirik ke Arkana dan Olivia.

Olivia langsung panik. Arkananya diam, tatapannya datar, nggak ada respon. Olivia nggak tau kenapa, tapi impulsif banget, dia jawab cepat, “Eh... nggak kak, enggak kenal.”

Ruangan agak hening sebentar. Olivia buru-buru duduk, berharap nggak ada yang nanya lebih jauh.

......................

Sesi perkenalan mulai. Para kontestan diminta saling ngobrol biar cair suasananya.

Di sebelah Olivia, duduk seorang cowok berambut hitam pendek, wajahnya ramah banget, gampang senyum.

“Hai, gue Jevan,” sapanya sambil ngulurin tangan. “Fakultas Ekonomi. Lo?”

Olivia tersenyum kikuk, menyambut tangannya. “Olivia. Seni.”

“Ohh, seni. Pantes masuk barengan sama temen lo tadi tuh, Teresa, kan?”

“Iya, bener.”

Obrolan mereka ngalir ringan. Jevan tipikal orang yang gampang bikin orang nyaman. Dia bahkan sempet nyeletuk, “Gila sih, gue kira kontes kayak gini cuma gaya-gayaan doang. Ternyata aturannya ribet juga ya. Katanya selama kontes kita mesti tinggal di asrama bareng?”

Olivia kaget. “Hah? Tinggal di asrama?”

“Iya. Jadi biar lebih gampang koordinasi tiap tahap. Gue baru baca tadi di grup.”

Olivia cuma bisa nyengir. Dalam hati, “Ya ampun, harus satu atap sama Arkana juga, dong? Gimana kalau—” dia buru-buru stop pikirannya sendiri.

......................

Setelah sesi perkenalan agak cair, senior akhirnya membubarkan kumpul pagi itu. Para peserta bebas pulang atau kumpul bareng.

Jevan yang masih semangat, tiba-tiba nyeletuk, “Eh, Liv. Gue kenalin lo ke temen-temen yang lain, yuk. Biar tau.”

Olivia belum sempet nolak, Jevan udah narik dia ke arah dua orang lain yang lagi ngobrol.

“Liv, ini Devon—temen gue dari FISIP, sama Lea dari Psikologi. Nah, guys, ini Olivia dari Seni.”

Devon ngangguk cuek tapi ramah, Lea langsung senyum hangat. Mereka ngobrol sebentar soal fakultas masing-masing.

Tapi kemudian, Jevan nyeletuk lagi, “Eh, Arka, sini deh. Kenalan sekalian.”

Arkana yang dari tadi berdiri agak jauh akhirnya melangkah mendekat.

Olivia ngerasa napasnya ketahan.

Arkana ngulurin tangan sopan. “Arkana. Kedokteran Hewan.”

Olivia buru-buru nyambut, suaranya lirih. “Olivia. Seni.”

Ada jeda canggung. Mata mereka ketemu lagi. Olivia buru-buru lepasin tangannya.

Lea, yang nggak tau apa-apa, malah nanya polos, “Eh, kalian kan dulu satu sekolah, beneran gak saling kenal, ya?”

Olivia langsung tersenyum kaku. “Hmm… iya, gak kenal.” Lalu cepat-cepat pamit. “Sorry ya, gue nyamperin Teresa dulu. Dia udah keluar duluan.”

Tanpa nunggu jawaban, Olivia melangkah cepat keluar ruangan, meninggalkan mereka semua.

Di lorong, Olivia menempelkan punggungnya ke dinding, menarik napas panjang.

“Ya Tuhan… kenapa harus ketemu lagi sama dia di sini?”

Episode 3

Suasana sore itu agak mendung, tapi jalanan sekitar kampus tetap ramai. Mahasiswa lalu lalang, ada yang buru-buru pulang, ada yang nongkrong dulu di kantin atau warung depan. Olivia duduk di balik kemudi mobilnya, tapi matanya kosong menatap jalanan. Mesin mobil udah nyala dari tadi, AC dinginnya pun udah bikin kaca berembun tipis, tapi Olivia sama sekali nggak tancap gas. Tangannya malah sibuk mengetuk-ngetuk setir, gelisah.

“Kenapa gue bilang nggak kenal dia?” Olivia bergumam pelan, masih kaget sama dirinya sendiri. “Padahal… ya jelas kenal. Bahkan lebih dari sekadar kenal.”

Dia ngelirik kaca spion, tapi yang keliatan cuma wajahnya sendiri—datar, agak murung, kayak lagi ngedumel sama bayangan.

Dalam kepalanya, satu demi satu kenangan tentang Arkana muncul begitu aja. Dia inget gimana dulu di SMA, hampir setiap istirahat Arka nongol di lapangan futsal. Nomor punggung 18 jadi angka yang paling gampang nempel di kepala Olivia. Bukan karena angka itu punya makna besar buat dia, tapi karena setiap kali Arkana muncul dengan kaos futsal itu, rasanya satu lapangan cuma punya satu titik terang—dan itu Arka.

Dia inget gimana Arkana selalu mesen jus mangga di kantin, bahkan pas temen-temennya yang lain gonta-ganti pesenan. Jus mangga. Sesimpel itu, tapi Olivia selalu ngeh. Dan satu lagi yang paling nusuk, Arkana dulu punya cewek. Pacarnya, Laura. Cantik, supel, dan jelas banget kelihatan Arkana perhatian banget sama dia. Setiap kali mereka jalan bareng di koridor, Olivia selalu pura-pura sibuk main HP, padahal matanya nyolong liat. Hati remuk? Udah pasti. Tapi tetap aja, dia nggak bisa berhenti kagum.

Olivia menutup mata sebentar, kepalanya bersandar ke sandaran kursi. “Ya ampun, Liv. Kenapa sekarang harus ketemu lagi? Dan lebih parahnya, lo bilang nggak kenal. Bego.”

Akhirnya dia tancap gas. Tujuannya bukan pulang, tapi kafe kecil di dekat kampus. Bukan random, tapi janjian. Ada Stefan sama Nayla di sana—teman SMA-nya dulu yang sekarang juga satu universitas, bahkan satu kelas. Kafe itu udah jadi basecamp mereka bertiga buat sekadar nongkrong, nugas, atau gosipin orang.

Begitu Olivia masuk, bel kafe berdenting pelan. Suasana kafe cukup ramai, tapi masih ada meja kosong di pojokan tempat Stefan sama Nayla udah duduk. Stefan lagi asik ngaduk-ngaduk minuman sampai busanya meluap, sementara Nayla sibuk motret minumannya dari berbagai angle, kayak food blogger wannabe.

“Dateng juga lo,” Stefan langsung nyeletuk begitu Olivia duduk. “Gue kira lo kabur karena ketemu Arka.”

Olivia mendengus, melepas totebag ke kursi sebelah. “Apaan sih, lo?”

Nayla berhenti motret, senyumnya lebar. “Jadi beneran ketemu? Gue kira lo cuma halu doang. Cerita deh, gimana rasanya?”

Olivia ngelirik dua-duanya dengan tatapan tajam. “Lo pada udah tau, kan? Dari awal. Lo tau Arka ikut kontes itu.”

Stefan pura-pura sok polos, tangan diangkat kayak orang nggak salah. “Eh, jangan nuduh sembarangan dong. Gue cuma… hmm… mendukung lo ikut. Kebetulan aja Arka juga ikut.”

“KEBETULAN?” Olivia nyaris naik nada, untung masih inget dia lagi di kafe. “Lo yang dorong-dorong gue buat daftar, Stefan. Jangan-jangan emang lo tau dari awal Arka bakal ikut, ya?”

Stefan nyengir, nggak jawab. Justru itu makin bikin Olivia kesel. “Gila. Serius, kalo lo udah tau, kenapa nggak bilang dari awal ke gue? Gue bisa nolak ikut kalau tau ada dia.”

Nayla ikutan ngakak. “Lah, lo kenapa nolak? Malu ketemu mantan gebetan? Atau takut baper lagi?”

“MALU lah! Yaelah, Nay.” Olivia ngedumel sambil nutup wajah pakai tangan. “Lo pikir enak? Gue udah pernah bilang suka ke dia, dan cuma dijawab makasih doang habis itu pergi. Malu banget, sumpah. Sekarang ketemu lagi? Gue rasanya pengen kabur ke Jepang.”

Stefan dan Nayla saling lempar pandang, terus barengan ngomong, “Oh ya?”

Nada mereka kompak, ngeselin, kayak lagi ngegodain bocah. Olivia langsung melempar tatapan tajam. “Dih apaan deh? Gue sumpahin lo berdua.”

Stefan cengengesan, Nayla malah nahan tawa. “Ya gue kira lo udah move on beneran. Ternyata masih inget ya?”

Olivia mendelik. “Heh, enggak ya! Gue beneran udah move on kok.”

Stefan nyeruput minumannya pelan-pelan, terus nyeletuk, “Iya, iya. Move on. Makanya begitu lo liat dia, pasti lo langsung kaku berdiri kayak patung pancoran.”

“STEFAN!” Olivia nyaris lempar sendok ke mukanya. Nayla udah ketawa ngakak, sampai hampir keselek sendiri.

“Udah, udah,” Nayla masih cekikikan. “Tapi serius, Liv. Gue nggak nyangka lo masih kebawa gitu. Gue kira udah kelar sejak SMA. Apalagi lo sempet ke Jepang kan? Harusnya udah banyak hal baru yang bikin lo lupa.”

Olivia langsung ngibasin tangan. “Gue udah lupa kok. Cuma ya… malu aja. Bayangin deh, Nay. Lo pernah ngaku suka ke cowok, ditolak, terus beberapa tahun kemudian ketemu lagi. Dan lo spontan bilang nggak kenal. Itu bukan baper, itu trauma sosial.”

Stefan ngakak sampe nepok meja. “Trauma sosial katanya. Drama queen banget lo, Liv.”

Olivia ngerenggut, pura-pura ngeluarin HP biar nggak makin jadi bahan bully. Tapi dalam hati, dia tau mereka bener juga sih. Mungkin dia emang masih kebawa perasaan, bukan karena suka, tapi karena gengsi. Rasa malu itu terlalu kuat buat dihadapi.

Obrolan mereka berlanjut ke hal-hal lain. Suasana udah balik cair, Olivia udah bisa ketawa lagi. Sampai akhirnya pintu kafe berbunyi.

Bel berdenting. Olivia otomatis nengok. Dan jantungnya berhenti sepersekian detik.

Arkana masuk.

Dan dia nggak sendirian.

Di sampingnya ada cewek berambut panjang, cantik, dengan aura percaya diri. Senyum ramahnya langsung keliatan bahkan dari pintu. Olivia nggak perlu nanya siapa dia. Laura. Pacar Arkana waktu SMA. Cewek yang dulu bikin Olivia merasa nggak ada peluang sama sekali.

“Gila, semesta lagi iseng banget kayaknya hari ini,” Olivia berbisik, lebih ke dirinya sendiri.

Stefan langsung nyadar. Dia nyeletuk pelan sambil nyengir, “Nah, ini makin seru nih.”

Nayla melongo, lalu menoleh ke Olivia. “Itu… Laura, kan?”

Olivia cuma bisa ngangguk kecil, matanya masih terkunci ke arah mereka berdua. Arkana keliatan lebih dewasa, lebih berwibawa, sementara Laura masih sama cantiknya kayak dulu. Mereka jalan berdua ke meja kosong, keliatan akrab. Olivia ngerasa perutnya mual campur aneh, meskipun barusan dia bilang udah nggak ada rasa lagi.

Stefan sengaja ngeledek, nadanya dibuat-buat pelan. “Liv, ini kesempatan lo buat say hi. Ayo, gue support kok.”

“Lo beneran pengen gue mati berdiri, ya?” Olivia langsung nendang kaki Stefan di bawah meja. Nayla ketawa ngakak lagi, kali ini lebih keras.

Tapi di balik semua candaan itu, Olivia ngerasa dadanya sesak. Dia pengen banget pura-pura biasa aja, tapi ngeliat Arkana lagi duduk bareng Laura di kafe yang sama, jaraknya cuma beberapa meja… itu rasanya kayak luka lama kebuka lagi.

Olivia narik napas panjang. “Oke, Olivia. Tahan. Lo udah bilang tadi, lo nggak suka dia lagi. Jadi buktikan. Jangan sampe mereka liat lo panik.”

Tapi tangannya yang gemetar di bawah meja bilang hal sebaliknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!