NovelToon NovelToon

Gadis Incaran Gangster Hyper

Bab 1

Lampu-lampu neon berkelip, musik berdentum, dan lantai dansa dipenuhi orang yang larut dalam malam.

Seorang pria berambut hitam duduk santai di sofa, kemeja gelapnya terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidang yang membuat beberapa wanita malam melirik penuh minat. Namun tatapannya kosong, seolah hiruk-pikuk sekeliling tidak berarti apa-apa.

Teman-temannya bersorak sambil bernyanyi, ada yang tertawa sambil menenggak minuman, ada pula yang menari bersama wanita-wanita penghibur.

“Cole, kau tidak butuh wanita untuk menghiburmu?” seru salah seorang temannya.

Cole hanya meneguk minumannya sebelum menjawab, “Kau tahu sendiri. Saat mereka mendekat, yang kurasakan hanya jijik, bukan kenikmatan.”

Temannya, Dicky, terkekeh hambar. “Itu gawat. Mungkin sebaiknya kau periksa ke dokter. Siapa tahu ada yang salah denganmu.”

Cole menggeleng perlahan. “Tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan penyakitku.”

"Cole, bendamu sudah tersimpan selama tiga puluh tahun, tidak pernah dipakai. Bukankah sangat disayangkan?" goda temannya itu.

"Dia tidak ada reaksi dengan wanita mana pun," jawab Cole.

"Jadi, kau hanya akan menjadi perjaka tua," ujar Dicky dengan mengejek.

***

Sementara itu, di sisi lain klub, seorang gadis baru saja melangkah masuk. Tatapannya penuh tujuan, seolah sedang mencari seseorang yang hanya dia kenal. Setelah melewati lorong sempit yang ramai, ia akhirnya membuka pintu sebuah ruang karaoke.

Di dalamnya, ia mendapati seorang pria tengah bermesraan dengan seorang gadis cantik. Pemandangan itu membuat langkahnya terhenti.

Gadis itu berdiri kaku di balik pintu, telinganya menangkap jelas percakapan di dalam ruangan.

“Will, kau dan Lillian akan segera menikah. Setiap malam kau datang ke sini bersama Ryna, apa kau tidak takut dia akan tahu?” tanya temannya dengan nada setengah heran.

Will menyandarkan tubuhnya ke sofa, jemarinya memutar gelas minumannya santai. Senyum meremehkan tersungging di wajahnya.

“Gadis itu sangat mencintaiku. Kalau pun dia tahu, dia pasti akan berlutut dan memohon padaku. Kau tidak tahu, aku bahkan pernah menamparnya hanya karena dia memecahkan cangkir pemberian mantanku. Dan apa yang dia lakukan? Menangis dan memohon agar aku tidak meninggalkannya.”

Dari balik pintu, Lillian meremas ujung bajunya erat-erat. Tubuhnya bergetar, matanya panas oleh air mata yang tertahan.

“Bagaimanapun dia sudah bersamamu selama tiga tahun. Tidak mungkin kau sama sekali tidak ada perasaan terhadapnya,” ujar Roy, temannya, dengan nada sedikit tercampur rasa iba.

Will tertawa rendah, gelap, penuh kesombongan.

“Roy, dengar baik-baik. Dia tidak bisa dibandingkan dengan mantanku. Dia hanya gadis polos yang mudah dibohongi. Setiap kali aku meninggalkannya demi menemui mantanku, dia hanya diam, menerima. Baginya aku ini segalanya. Tanpaku, dia tidak bisa hidup. Kalau bukan karena wajahnya yang cantik, mana mungkin aku bertahan sampai sekarang?”

Roy mengangkat alis, seolah terkejut dengan keburukan yang diucapkan sahabatnya. “Dia memang cantik… bahkan lebih cantik dibandingkan mantanmu. Tapi apa kau sudah pernah menyentuhnya?”

Will menyeringai, tatapannya dingin. “Gadis penakut seperti dia? Aku belum sentuh saja dia sudah gemetar ketakutan.”

Di balik pintu, Lillian menutup mulutnya dengan tangan. Jantungnya terasa diremas, nafasnya tercekat. Selama ini ia percaya cinta Will tulus, namun kenyataannya—ia hanya bahan ejekan.

“Will Han… aku tidak menyangka, bagimu aku hanya gadis bodoh yang bisa kau permainkan,” batinnya bergetar.

Tanpa bisa menahan amarah, Lillian mendorong pintu hingga terbuka lebar. Semua kepala menoleh.

“Lillian!” seru Roy kaget, hampir tidak percaya gadis itu ada di sana.

Will, sebaliknya, hanya menatap dengan sinis. “Untuk apa kau datang ke sini? Aku sedang bersenang-senang.”

Air mata jatuh di pipi Lillian, tapi suaranya bergetar tegas. “Will Wang… aku baru sadar, aku bodoh karena mencintaimu.”

Tangannya meraih botol minuman di meja, tanpa ragu diangkat tinggi. Dan dengan hentakan penuh amarah—

Brak! Botol itu menghantam kepala Will, pecah berhamburan.

“Ahhh!” Will menjerit kesakitan, tangannya menekan kepala yang berdarah akibat pecahan botol.

Aksi Lillian membuat musik berhenti, suara tawa menghilang, dan semua yang sedang bernyanyi maupun menari sontak terdiam. Mata mereka terarah pada gadis yang berdiri dengan tatapan penuh luka.

“Will Han, dengar baik-baik—mulai sekarang, kita putus,” ucap Lillian lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas.

Will menyeringai meski wajahnya meringis menahan sakit. “Putus? Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Kalau kau berani putus, ayahmu sendiri yang akan membunuhmu.”

Lillian mengepalkan tangannya, dadanya naik-turun menahan emosi. “Aku lebih rela mati dibunuh… daripada hidup bersama bajingan sepertimu.” Dengan itu, ia berbalik meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.

Roy bersandar ke sofa sambil mendesah. “Wah… gadis polos dan bodoh yang kau sebut tadi ternyata menyimpan amarah yang menakutkan.”

Salah satu teman Will terkekeh getir. “Kelinci yang baik pun akan menggigit jika dipaksa ke sudut.”

Roy menatap Will yang masih menekan lukanya. “Will, sepertinya kali ini dia tidak main-main. Apa kau tidak menyesalinya?”

Will tertawa dingin, meski darah masih mengalir di pelipisnya. “Menyesalinya? Untuk apa? Lihat saja… besok dia pasti datang kembali, berlutut dan memohon padaku. Seperti biasa.”

---

Di lorong, Lillian melangkah cepat dengan mata berkaca-kaca. Namun langkahnya terhenti ketika ia bertabrakan dengan seorang pria tinggi yang baru keluar dari ruangan lain.

Tubuhnya hampir terjatuh, tetapi sebuah tangan besar segera melingkar di pinggangnya, menahan dengan kokoh. Aroma alkohol samar tercium dari pria itu.

Cole menatap lurus ke wajah Lillian, jarak mereka begitu dekat. Di balik tatapan sayunya, ia menangkap mata indah yang penuh air mata. Hatinya berdesir—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kenapa? Kenapa aku bisa merasakan sesuatu… hanya karena menyentuhnya?" batinnya terkejut.

Lillian tersadar, buru-buru mendorong dada pria itu. “Lepaskan!” suaranya parau. Ia kemudian berlari menjauh, meninggalkan Cole yang masih berdiri terpaku, menatap punggungnya yang kian hilang di ujung lorong.

Beberapa saat kemudian, Lillian tiba di sebuah hotel. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel.

“Aku sudah sampai. Kau ada di kamar nomor berapa?” tanyanya dengan suara parau.

“Lillian? Suaramu… kau menangis? Apa kau baik-baik saja?” sahut suara seorang wanita di seberang sana, penuh kekhawatiran.

“Aku tidak apa-apa. Cepat katakan, di mana kamarmu?” desaknya.

“Lantai tujuh, nomor 428. Aku menunggumu di sini.”

“Baiklah,” jawab Lillian singkat. Ia segera menuju lift dan menekan tombol menuju lantai tujuh.

Setibanya di koridor, ia melangkah sambil menelusuri deretan pintu. “428… di mana?” gumamnya lirih.

Namun sebelum sempat menemukan kamar itu, sebuah tangan tiba-tiba menariknya kasar ke dalam ruangan gelap.

“Lepaskan!” Lillian menjerit, tubuhnya meronta.

Seorang pria memeluknya erat, napasnya terengah. “Bantu aku… aku akan membayarmu berapa pun yang kau minta,” ucapnya terburu-buru.

Lillian terperanjat. “Aku bukan pelacur! Lepaskan tanganmu!”

Pria itu justru mengangkat tubuhnya ke pundak. “Aku akan bertanggung jawab.”

Lillian terhempas di atas kasur. Gelap menyelimuti ruangan, hanya detak jantung mereka yang terdengar. Pria itu cepat mengikat satu tangan Lillian ke besi ranjang agar ia tak bisa kabur.

“Lepaskan aku! Aku mohon padamu!” suara Lillian pecah, penuh ketakutan.

Pria itu menatapnya dari dekat, tubuhnya bergetar menahan sesuatu. “Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu… aku akan bertanggung jawab sepenuhnya.”

Ia menunduk, jari-jarinya meraih kancing kemeja sendiri.

"Gawat… aku tidak bisa menahan diri saat bersentuhan dengannya," batin pria itu, sebelum melepaskan kemejanya. Otot-otot perut yang tegas dan dada bidangnya terlihat samar di kegelapan.

Bab 2

Cole menahan dagu gadis itu, bibirnya dengan kasar menempel pada bibir Lillian. Gadis itu berusaha menghindar, namun genggaman Cole membuatnya tak bisa bergerak.

“Lepaskan aku… tolong lepaskan aku!” suara Lillian pecah, air matanya mengalir deras. Tangan kirinya menahan dada pria itu dengan panik, mencoba mendorongnya.

Namun Cole justru semakin terhanyut. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar oleh dorongan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

“Kenapa… kenapa hanya dengan gadis ini aku menjadi gila?” gumamnya parau, seolah tak sadar pada tindakannya sendiri.

Lillian menangis tersedu, tubuhnya bergetar hebat. “Jangan… jangan lakukan ini… aku mohon,” ratapnya dengan suara putus asa.

Cole melepaskan pakaian gadis itu satu persatu hingga tanpa sehelai benang. Lillian semakin berteriak ketakutan. Cole mencium leher dan menurun hingga ke belahan dada gadis itu

"Tidak!" teriak Lillian.

Tangan kirinya ditahan oleh Cole yang melumat benjolan dada yang bulat dan kenyal milik gadis malang itu.

Nafsu yang semakin memuncak membuat Cole langsung melepaskan celananya dan langsung melakukan penyatuan dengan gadis itu.

"Aahh!" jeritan Lillian yang kesakitan.

Cole bergerak maju mundur di atas tubuh gadis itu dengan perlahan dan menikmati goa sempit yang begitu menjepit senjatanya.

Pria itu melanjutkan ciumannya dan menahan dagu gadis itu, ia meguasai seluruh tubuh Lillian dan menikmatinya dengan brutal. Gerakannya semakin cepat di bawah sana membuat gadis itu semakin kesakitan.

Perasaan hancur dan sakit dirasakan oleh gadis itu.

Tangisan dan teriakan, diabaikan oleh Cole yang dibakar hasrat.

"Hentikan, sakiit!" tangisan Lillian.

"Bukankah kau bekerja di sini, kenapa jual mahal, aku bisa membayarmu dengan harga yang tinggi. Asalkan aku puas," ujar Cole yang bergerak semakin cepat.

Ruangan gelap membuat Lillian tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya dada bidang dan tubuh kekar pria itu yang menindihnya.

"Aku bukan jual diri, kau salah orang," ucap Lillian yang menangis histeris.

Namun Cole tidak peduli, dan bergerak maju mundur dengan cepat sehingga mencapai puncak kenikmatan.

"Hentikan!" teriak Lillian.

Cole yang telah melepaskan hasratnya, merasa puas dan mengeluarkan senjatanya.

Cole berdiri dari ranjang, napasnya masih terengah. Ia meraih dompet, lalu meletakkan sebuah kartu di meja samping kasur.

“Kartu itu berisi seratus juta Yuan. Kalau kau patuh, aku akan memberimu lebih. Aku akan menghubungimu lagi.”

Ia membuka ikatan tangan Lillian, lalu bangkit tanpa menoleh.

Air mata Lillian jatuh deras, tubuhnya gemetar hebat. Ia meraih selimut untuk menutupi dirinya, suaranya pecah penuh kebencian.

“Aku bukan wanita murahan… aku membencimu!”

Cole menahan dagu Lillian sekali lagi, menatapnya dengan sinis.

“Semua wanita berharap bisa berada di atas ranjangku. Jangan sok suci. Mulai sekarang, kau milikku. Aku tidak suka berbagi benda yang masih ingin kupakai dengan pria lain.”

“AKU BUKAN WANITAMU!” jerit Lillian, wajahnya penuh air mata.

Cole tersenyum tipis, lalu melepas dagunya.

“Kalau merasa bayarannya kurang, kau bisa minta lagi. Menjadi wanitaku adalah keinginan banyak orang. Nikmati saja keberuntunganmu.”

Dengan nada angkuh, ia melangkah ke kamar mandi.

Lillian menutup wajah dengan kedua tangannya, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. “Kenapa… kenapa aku harus mengalami kejadian ini…” gumamnya di antara isak.

Beberapa saat kemudian Cole keluar dengan pakaian rapi. Ia menyalakan lampu kamar, namun ranjang itu sudah kosong. Gadis itu pergi.

“Ternyata sadar diri juga,” ujarnya dingin.

Tepat saat ia hendak keluar, pintu terbuka dan seorang pria masuk, Julian, asistennya.

“Bos,” sapanya dengan hormat.

“Ada apa?” tanya Cole singkat.

“Gadis tadi baru saja pergi. Sepertinya dia menangis… dari keluarga mana dia? Apakah Bos berniat menikahinya?” tanya Julian hati-hati.

Cole menatapnya dengan tatapan tajam. “Jangan konyol. Gadis seperti itu tidak layak jadi istriku. Aku menemukannya di klub malam. Dia hanya untuk kesenangan, bukan untuk dijadikan istri. Setelah bosan aku akan meninggalkannya."

Julian menoleh ke arah ranjang. Matanya menangkap noda merah di sprei yang berantakan. Ia mengerutkan kening, lalu menatap Cole.

"Bos, kenapa menurutmu dia tidak layak menjadi istrimu, sedangkan dia adalah gadis perawan?" tanya Julian sambil menunjukan ke arah bercak darah itu.

Cole tertegun. Matanya membesar, pandangannya tertuju pada bercak merah di ranjang. Untuk pertama kalinya malam itu, senyum angkuhnya menghilang.

"Sepertinya dia bukan pekerja club," ujar Julian yang kemudian meraih kartu pemberian Cole tadi.

"Bos, dia juga tidak mengambil uangmu," kata Julian.

Cole terdiam sesaat hampir tidak percaya dengan apa yang dia alami.

"Cari gadis itu sampai dapat, dalam satu jam aku ingin datanya!" perintah Cole.

Bab 3

Mansion keluarga Mei

Lillian yang baru kembali ke rumahnya berjalan perlahan menuju ruang keluarga. Setiap langkah terasa berat karena rasa sakit di bagian bawah tubuhnya masih belum reda. Ia berusaha menahan ekspresi perih itu, tidak ingin kedua orang tuanya curiga dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Di ruang tamu yang mewah dan dipenuhi cahaya lampu kristal, tampak seorang pria paruh baya dengan wajah berwibawa duduk bersandar di sofa, sementara di sampingnya seorang wanita cantik berpenampilan elegan menatap penuh cemas. Mereka adalah orang tua Lillian, Anthony Mei dan Lucy Wen.

Lucy segera berdiri begitu melihat putrinya. Sorot matanya tajam meneliti setiap detail penampilan Lillian yang terlihat kusut dan mata sembab.

"Lillian, apakah Will menyakitimu?" suara Lucy bergetar, penuh kekhawatiran. "Kenapa penampilanmu sangat berantakan?"

Lillian menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. Ia duduk perlahan, menundukkan kepala agar tidak langsung menatap mata ibunya.

"Ma, Pa..." suaranya lirih namun tegas. "Aku tidak mau meneruskan hubungan ini. Will sudah berselingkuh... dia bahkan masih dekat dengan mantan kekasihnya. Selama ini, dia hanya menganggapku sebagai mainan."

Lucy terhenyak, menutup mulutnya dengan tangan, sedangkan Anthony mengernyit dalam. Ia menatap putrinya dalam-dalam, seolah ingin memastikan kebenaran kata-katanya.

"Keluarga Han tadi menghubungi Papa," kata Anthony dengan nada berat. "Will masuk rumah sakit akibat luka di kepalanya. Mereka penasaran... apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kau sampai melukainya dengan botol?" ia berhenti sejenak, menatap tajam Lillian. "Besok kau harus ikut dengan Papa untuk menemui mereka. Will akan pulang besok karena lukanya tidak berat. Jadi, kita ke rumah mereka saja."

Lillian langsung menggeleng keras. "Aku tidak sudi bertemu dengannya lagi!" serunya dengan mata berkaca-kaca.

Lucy yang sedari tadi menahan amarah akhirnya bersuara lantang. Ia meraih tangan Lillian, menepuknya pelan. "Lillian tidak perlu ikut. Biarkan kami saja yang pergi. Aku tidak sudi pria seperti itu menikahi putri kita. Dia hanya akan menghancurkan hidupmu."

Namun Anthony menghela napas panjang, ekspresinya penuh pertimbangan. "Lucy, tidak bisa begitu. Lillian tetap harus ikut. Dia harus menjelaskan semua yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Aku yakin kedua orang tua Will juga akan mengerti, meski mereka selalu memanjakan anak itu. Ada satu orang lagi yang harus kita waspadai."

Lucy menatapnya dengan kening berkerut. "Siapa?"

Anthony menatap istrinya dengan sorot mata tajam, seolah menyimpan rasa takut yang jarang terlihat pada dirinya. "Kakak Will. Apa kau sudah lupa dengan kakaknya yang terkenal kejam itu? Dia seorang gangster yang tidak pernah ragu menyakiti siapa pun yang menentangnya."

Lucy terdiam sejenak, kemudian wajahnya berubah pucat. Ia teringat sosok lelaki berwajah dingin yang pernah ia lihat. "Aku baru ingat... selama ini aku hanya sekali melihatnya. Kalau tidak salah, namanya adalah... Cole Han."

Anthony mengangguk mantap. "Benar. Oleh karena itu, kita harus mendatangi keluarga mereka. Lillian harus berterus terang agar tidak ada kesalahpahaman yang bisa memperburuk keadaan. Kita semua tahu, Will hanyalah anak manja yang terlalu sering dimanjakan oleh ibunya. Tapi Cole Han..." ia menghentikan kalimatnya, menatap ke arah Lillian dan Lucy bergantian. "Cole Han berbeda. Dia kejam, dingin, dan sangat berbahaya. Kita tidak bisa menyinggungnya sedikit pun, jika tidak... taruhannya bisa jadi nyawa."

"Walau mereka beda ibu, tapi hubungan mereka sangat dekat. Adik satu-satunya dilukai olehmu, Lillian. Sebagai kakak, Cole Han pasti akan maju untuk membalaskan dendam," kata Anthony Mei, menatap putrinya dengan wajah serius. Suaranya berat, seolah menyimpan kekhawatiran besar.

Lillian terdiam sesaat, jantungnya berdegup kencang mendengar nama itu lagi. Perlahan, ia mengangkat wajahnya.

"Ma, Pa, biar aku ikut dengan kalian," ucapnya dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan. "Aku akan menjelaskan semuanya sendiri... dan sekaligus memutuskan pertunangan ini. Aku tidak mau menjadi mainan Will selamanya."

"Lillian," kata Anthony, "bagaimanapun juga, dua keluarga sudah menjalin hubungan yang sangat dekat sejak dulu. Kali ini mungkin saja akan memengaruhi hubungan kita dengan mereka. Proyek yang sedang berjalan bisa saja dibatalkan. Selain itu, kita mungkin harus membayar ganti rugi kepada mereka."

Lucy langsung menoleh pada suaminya dengan tatapan tajam, seolah menolak semua logika bisnis yang ia dengar. "Aku lebih rela menghamburkan uang itu daripada melihat putri kita menikah dengan pria seperti Will. Kalau bukan karena hubungan kita dengan keluarga Han begitu dekat, aku pasti sudah menampar Will karena sudah membuat Lillian menangis!" Nada suaranya meninggi, penuh emosi seorang ibu yang tidak tahan melihat putrinya tersakiti.

Lillian yang sedari tadi menahan tangis akhirnya tidak kuat lagi. Air matanya menetes pelan, sementara tubuhnya sedikit gemetar. Lucy segera meraih tangan Lillian, menggenggamnya erat dengan penuh kasih sayang.

"Lillian, jangan takut," katanya lembut. "Mama akan melindungimu. Apa pun hasilnya besok, Mama akan selalu mendampingimu."

Mendengar itu, Lillian langsung memeluk ibunya erat, mencari kehangatan yang bisa menenangkan hatinya.

"Terima kasih, Ma," bisiknya di sela tangis yang pecah.

"Pa, Ma, maafkan aku, aku tidak bisa memberitahu kalian tentang kejadian tadi. Pria itu aku tidak mengenalnya. Bahkan tidak bisa melihat wajahnya. Aku berharap kejadian ini berlalu begitu saja. Anggap saja mimpi buruk yang aku kubur selama-lamanya," batin Lillian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!