Rinai hujan masih terdengar mengalun merdu. Rintihannya bersatu dengan hembusan sang bayu. Memeluk malam dengan hawa dingin yang membelenggu.
Hawa dingin alami dari rinai air langit yang turun ke bumi beserta hawa dingin buatan yang keluar dari sebuah pendingin ruangan, nyatanya tidak berpengaruh apapun terhadap dua sosok manusia yang terlihat sedang berada di salah satu kamar hotel di kota ini.
Selimut, bed cover, dress berbahan sifon dengan motif bunga sakura, kemeja, dan celana terlihat berserakan di atas lantai. Ranjang di salah satu kamar hotel yang sebelumnya terlihat begitu rapi, saat ini mulai terlihat begitu berantakan. Sebagai pertanda bahwa sebelum detik ini, telah terjadi sebuah pergulatan tubuh yang begitu menggairahkan.
Tubuh dua manusia itu terkulai lemah di atas ranjang berukuran king size. Bulir-bulir peluh di pelipis keduanya masih mengalir deras hingga membasahi tiap sudut wajah. Keduanya saling mendekap seakan tidak ingin saling melepaskan satu sama lain.
Varen sedikit merenggangkan pelukannya dari tubuh Ranum. Hingga kini pandangan keduanya saling beradu. Dahi lelaki berusia dua puluh lima tahun itupun sedikit berkerut.
"Hei, mengapa wajahmu ditekuk seperti itu Num? Jauh berbeda dari saat kita bercinta tadi."
Ranum sekilas menarik sudut bibirnya ke atas namun untuk kemudian kembali seperti semula. Meskipun baru saja ia mereguk kenikmatan ragawi bersama sang kekasih, namun jauh di lubuk hati terdalamnya, wanita itu merasa berdosa sekali.
"Aku tidak apa-apa Ren!"
Ranum menggeser posisinya untuk duduk di tepian ranjang. Ia tarik selimut agar bisa menutupi tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang. Wanita yang sama usianya dengan Varen itupun nampak hanyut dalam pikirannya sendiri.
Melihat keanehan sikap yang ditunjukkan oleh Ranum, membuat Varen keheranan. Ia memilih untuk merapatkan tubuhnya untuk bisa lebih dekat dengan sang kekasih. Varen peluk tubuh Ranum dari belakang yang kebetulan wanita itu memunggunginya.
"Ada apa Num? Mengapa tiba-tiba kamu banyak diam seperti ini? Padahal saat bercinta tadi, kamu selalu meracau yang membuatku bergairah. Ada apa Sayang? Ayo ceritakan kepadaku."
Ranum membuang napas sedikit berat. Ingin rasanya ia menyembunyikan kegelisahan yang ia rasakan namun sepertinya ia tidak mampu untuk menanggungnya sendirian.
"Ren, apa kamu benar-benar akan bertanggung jawab jika sampai terjadi sesuatu kepadaku? Kita sama sekali tidak memakai pengaman Ren!"
Senyum tipis tersungging di bibir lelaki itu meskipun tidak dapat dilihat oleh Ranum. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Ranum.
"Num, sudah berapa lama kita pacaran? Sudah enam bulan bukan? Selama enam bulan itu apa pernah sekalipun aku tidak menepati janji yang aku ucapkan kepadamu? Tidak kan? Jadi, apa yang membuatmu masih meragu terhadapku?"
"Tapi ini dua hal yang berbeda Ren. Mungkin untuk janji yang lainnya kamu tidak pernah mengingkari. Namun bagaimana jika tentang kehamilan yang bisa saja terjadi setelah kita melakukan hal ini?"
Kenikmatan sesaat yang Ranum rasakan, dalam beberapa menit saja berubah menjadi kegelisahan dan juga ketakutan. Mendadak ingatannya tertuju pada cerita para wanita yang hamil di luar nikah yang tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari lelaki yang menghamili mereka. Ranum merasa takut jika sampai hal itu juga terjadi kepadanya.
"Ranum..." Varen mencium mesra ceruk leher kekasihnya ini. "Aku tidak seperti lelaki yang ada di luar sana, yang tidak memiliki tanggung jawab. Aku berjanji akan bertanggung jawab jika nantinya kamu mengandung benih cinta kita."
Ranum menoleh ke arah samping di mana wajah Varen begitu dekat dengannya. Hanya berjarak beberapa inchi saja.
"Kamu janji Ren, akan bertanggung jawab jika sampai aku hamil?"
"Iya Ranum, aku janji. Aku akan segera menikahimu jika kamu memang mengandung benih cintaku."
Kobaran kegelisahan yang sempat Ranum rasakan kini seakan padam setelah dihujani oleh janji manis yang terucap dari bibir Varen. Senyum manis wanita itupun kembali terbit menghiasi bibir mungilnya.
"Aku berharap seperti itu Ren. Semoga kamu benar-benar menepati janjimu ini."
"Itu sudah pasti Ranum, kamu tenang saja." Varen menyelipkan anak-anak rambut milik Ranum di belakang telinga. Senyum seringai muncul di bibirnya. "Masih ada banyak waktu sebelum kita check-out, bagaimana jika kita lakukan sekali lagi di kamar mandi?"
Ranum hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya meringis menahan sensasi rasa perih di bagian inti. "Tidak Ren. Milikku masih terasa sakit sekali."
"Hmmmmm.... Baiklah kalau begitu Num. Namun berjanjilah kapan-kapan kita akan bercinta lagi."
Ranum hanya bisa terdiam dan membeku. Perhatiannya kali ini bukan lagi tertuju pada permintaan Varen tapi pada bercak merah yang terlihat membekas di sprei.
Kehormatan, kesucian, kepe*rawanan yang selama ini Ranum jaga bahkan dijaga baik-baik oleh kedua orang tuanya dengan tidak mengizinkannya untuk pacaran, kini sudah ia berikan kepada Varen. Sosok lelaki yang sudah menjalin hubungan selama enam bulan dengannya.
Selama enam bulan ini, Ranum terpaksa harus menyembunyikan hubungannya dengan Varen dari kedua orang tuanya. Karena bagi mereka pantang mengizinkan sang anak untuk berpacaran. Bagi orang tua Ranum, pacaran tidak akan pernah membawa kebaikan.
Ranum bangkit dari posisi duduknya. Ia ayunkan tungkai kaki untuk menuju kamar mandi. Di bawah deras air shower, wanita itu membersihkan diri dari peluh dan juga sisa-sisa cairan hasil pergumulannya dengan sang kekasih.
***
Sisa-sisa air langit masih menetes membasahi bumi. Meski intensitasnya sudah tidak selebat seperti sebelumnya, namun akan tetap membuat basah tubuh manusia jika berada di bawahnya.
Erlangga berjalan mondar-mandir di depan teras. Berkali-kali ia melirik ke arah jam dinding yang berada di ruang tamu. Hatinya digelayuti oleh rasa cemas dan rasa marah karena di jam setengah dua belas malam seperti ini anak sulungnya belum juga tiba di rumah.
"Pergi ke mana anak itu? Sudah larut malam seperti ini belum juga sampai rumah!"
Erlangga bermonolog lirih masih sambil menyibukkan diri berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Merasa jenuh dengan aktivitasnya, lelaki paruh baya itu memilih untuk duduk di sebuah kursi rotan yang berada di teras. Wajah lelaki itu sungguh terlihat mengerikan. Meskipun ia merasa cemas namun amarah dari wajahnya terlihat jauh mendominasi.
"Pak, ayo masuk. Kita tunggu Ranum di dalam. Ingat, Bapak tidak boleh terkena angin malam, apalagi baru saja turun hujan."
Ratri yang sebelumnya berada di ruang tamu, memilih untuk menyusul sang suami. Ia mengajak Erlangga untuk masuk ke dalam. Wanita itu teramat khawatir akan kesehatan Erlangga.
"Tidak Bu, aku akan tetap menunggu Ranum di sini. Anak itu benar-benar kurang ajar. Tengah malam seperti ini masih juga belum sampai rumah. Kemana dia?"
Erlangga seakan abai dengan kesehatannya. Yang ada di dalam pikiran lelaki paruh baya itu hanya putri sulungnya yang sampai detik ini masih belum juga tiba di rumah. Pikiran-pikiran buruk pun juga turut berseliweran dalam benak lelaki itu.
"Tapi Pak ... Bapak juga harus ingat akan kesehatan Bapak. Jangan sampai kondisi cuaca di luar yang dingin seperti ini membuat penyakit Bapak kambuh lagi. Ayo masuk. Kita tunggu Ra...."
Perkataan Ratri terpangkas kala tiba-tiba terdengar deru suara mesin motor yang berada di antara rintik air hujan. Ia dan sang suami sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Erlangga bergegas bangkit dari posisi duduknya dan mendekat ke arah sosok perempuan yang tengah turun dari motor itu yang mana sedari tadi ia tunggu kepulangannya.
"Dari mana saja kamu Num? Mengapa baru sampai rumah?!!" pekik Erlangga dengan suara menggelegar di sela-sela rinai air hujan.
.
.
.
Plakkk!!!!
"Anak macam apa kamu ini Num? Mengapa tengah malam seperti ini kamu baru sampai rumah!!"
Erlangga melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Ranum kala wanita itu menginjakkan kakinya di teras. Kesabaran Erlangga seakan sudah terkikis habis melihat sikap putrinya yang sudah berada di batas kewajaran ini.
"Bapak!!!" pekik Ratri saat melihat Erlangga sedikit kalap karena telah menampar sang anak. Wanita paruh baya itu bergegas menghampiri Ranum dan mencoba untuk melindunginya dari amukan sang suami. "Kenapa Bapak menampar Ranum? Sungguh tidak pantas hal itu Bapak lakukan kepada anak Bapak sendiri!"
Ratri tak kalah berteriak lantang ketika melihat begitu mudahnya sang suami menampar Ranum. Sebagai seorang ibu yang sudah bertaruh nyawa melahirkan Ranum ke dunia, membuat hati wanita paruh baya itu berdenyut nyeri melihat Ranum diperlakukan secara kasar oleh ayahnya sendiri.
"Tamparan itu sangat pantas didapatkan oleh anak tidak tahu aturan seperti ini, Bu. Dia ini anak perempuan, bisa-bisanya kelayapan sampai larut malam seperti ini. Mau jadi apa dia, hah? Mau jadi pela*cur?"
"Cukup Pak, cukup!" teriak Ranum yang sepertinya sudah tidak tahan melihat keberingasan sang ayah. Ia melepaskan diri dari pelukan Ratri. "Selama ini aku merasa terkekang karena sikap Bapak yang terlalu overprotective. Aku ingin bebas seperti teman-temanku yang lain, Pak. Aku ingin menikmati masa-masa mudaku dengan melakukan apapun yang aku mau."
Dengan lantang, Ranum melontarkan kata demi kata di hadapan sang ayah. Sebuah gejolak rasa yang bersemayam dalam dada yang mungkin cukup membuat Ranum merasa tersiksa. Sikap overprotective dari sang ayah yang membuat Ranum seperti hidup di dalam penjara dunia.
"Apa kamu bilang? Kamu merasa terkekang dan ingin bebas?" tanya Erlangga dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. "Kebebasan seperti apa yang kamu mau, hah? Apakah kebebasan seperti halnya kamu bebas melakukan apapun tanpa ada aturan yang mengikat? Apakah seperti itu?"
"Aku sudah dewasa, Pak. Aku berhak menentukan kemana langkah, arah dan tujuanku. Aku tidak mau diatur-atur lagi!"
Apa itu hormat kepada orang tua? Apa itu larangan berkata kasar terhadap orang tua yang tertulis di dalam kalam-kalam cinta Sang Maha penggenggam kehidupan? Semua seakan dilupakan oleh Ranum, hingga membuat wanita itu berani berteriak lantang seperti kesetanan di hadapan sang ayah.
Kedua bola mata Erlangga semakin membulat sempurna. Ada kilatan amarah yang terlihat begitu jelas di dalam sorot mata lelaki paruh baya itu. Kata demi kata yang keluar dari bibir Ranum ini seakan sudah mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang ayah yang seharusnya dihormati dan ditaati. Terlebih dia adalah salah satu pemuka agama yang begitu disegani di tempat tinggalnya.
Tangan Erlangga sedikit terkepal. Emosinya sudah memuncak tepat di atas ubun-ubun. Ucapan Ranum sudah seperti setetes bensin yang mengenai percikan api amarah dan siap membakar seluruh rasa sabar yang ia punyai. Lelaki itu mengayunkan tangan dan...
Plak... Plak!!!!
"Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu melawan Bapak. Durhaka kamu Num!"
Plak... Plak...
"Bapak hentikan!!"
Ratri kembali memeluk tubuh putri sulungnya. Air mata wanita paruh baya itu semakin deras mengalir melihat sang suami yang semakin hilang kendali. Keberadaan Ratri lah yang seketika bisa menghentikan kekalapan Erlangga.
"Ibu mohon hentikan Pak! Kasihan Ranum. Dia pasti sangat kesakitan Bapak jadikan bahan pelampiasan amarah Bapak."
Dengan derai air mata, Ratri membuat sebuah permohonan kepada sang suami untuk menghentikan kekalapannya. Hati wanita paruh baya itu semakin teriris perih ketika melihat sudut bibir sang anak mulai mengeluarkan setetes darah.
"Terus, terus saja bela anak pembangkang ini Bu. Sikap Ibu inilah yang membuat anak ini semakin tidak punya aturan dan menjadi anak durhaka karena berani menentang Bapak!"
Lagi, Erlangga meneriakkan salah satu wujud amarahnya. Mata dan hati lelaki itu sudah terlanjur gelap sehingga tidak bisa memakai nuraninya lagi untuk memperlakukan sang anak dengan lembut.
"Cukup Pak! Ranum anak Bapak, ada darah Bapak yang mengalir di tubuhnya. Apa Bapak tega menghajar Ranum sebrutal ini?"
Dengan derai air mata yang deras, Ratri mencoba memberikan sebuah peringatan. Berharap, Sang suami bisa sadar dan meredakan emosi yang berhasil menguasai raga.
"Tapi anak ini sudah sangat keterlaluan Bu! Aku tidak pernah mengajarinya menjadi anak pembangkang seperti ini!" teriak Erlangga masih dengan emosi yang merajai.
Ratri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia paham jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat dengan sang suami. Wanita paruh baya itu memapah tubuh Ranum untuk ia bawa masuk ke kamar. Menjauhkan sang anak dari pandangan Erlangga yang ia yakini bisa sedikit meredam amarah sang suami. Rasa-rasanya akan sangat memalukan jika sampai para tetangga melihat keributan yang terjadi.
"Duduklah Nak!"
Ratri mendudukkan Ranum di bibir ranjang. Ia tatap lekat wajah Ranum sebelum akhirnya ia keluar dari kamar sang anak. Wanita paruh baya itu menuju dapur untuk mengambil es batu yang akan ia gunakan untuk mengompres pipi Ranum.
"Kamu sebenarnya dari mana Nak? Mengapa sampai larut malam seperti ini dan bahkan tidak ada kabar sama sekali? Bapak dan Ibu khawatir."
Dengan perlahan, Ratri mengompres sudut bibir Ranum dengan es batu yang dibalut dengan kain serbet. Darah yang sebelumnya setitik, kini semakin deras menetes yang disertai dengan robekan kecil di sana. Kondisi sang anak inilah yang semakin membuat jantung Ratri berdenyut nyeri.
Ranum hanya bisa terpaku. Tubuhnya membeku. Lidahnya kelu tak sanggup untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu. Pandangannya kosong ke arah Ratri dengan seutas rasa yang tiada menentu.
"Sekarang istirahatlah Nak. Maafkan sikap bapak yang mungkin sangat kasar. Bapak memang salah namun semoga kamu bisa memahami bahwa itu adalah bentuk kekhawatiran bapak kepadamu. Bapak khawatir akan keadaanmu."
Ratri menggenggam tangan Ranum dengan erat. Sorot mata wanita itu memancarkan binar cinta dan kasih sayang yang begitu kentara untuk sang putri. Sedangkan Ranum masih tetap bungkam meskipun sudah berkali-kali sang ibu mengajaknya berbicara.
Ratri mulai beranjak dan mengayunkan tungkai kakinya untuk meninggalkan kamar Ranum hingga tubuh wanita paruh baya itu menghilang di balik pintu.
"Maafkan Ranum ya Bu. Ranum sudah melakukan kesalahan besar. Ranum sudah mengecewakan ibu dan bapak."
Suara Ranum lirih bergetar yang hanya bisa ia dengar sendirian. Bola matanya mulai berembun dan memunculkan titik-titik air di sudut mata. Rasa bersalah, rasa berdosa seakan kian menghimpit dada membuat bulir-bulir bening itu menetes perlahan. Dadanya seakan begitu sesak dan kepalanya seakan begitu pening kala bayang-bayang suram dan kelam yang akan ia jalani di hari esok nanti.
"Maafkan Ranum Bu. Maafkan Ranum!"
***
Usai keluar dari kamar, Ratri kembali ke teras untuk menghampiri sang suami. Nampak Erlangga tengah duduk di kursi rotan. Wajahnya mendongak dengan kepala bagian belakang ia sandarkan di dinding.
"Apakah selama ini aku terlalu mengekang anak-anakku Bu? Aku hanya takut jika sampai anak-anakku terjerumus ke dalam lembah nista dan sesat. Ibu tahu sendiri kan bagaimana pergaulan anak-anak zaman sekarang?"
Dada Erlangga masih naik turun sebagai pertanda jika lelaki itu masih berusaha keras untuk menguasai gejolak emosinya. Meskipun rasanya begitu puas bisa melupakan amarahnya, namun di sudut hati pria itu dirundung oleh perasaan bersalah karena sudah berbuat kasar terhadap putri sulungnya.
"Sudah Pak, sekarang Bapak juga istirahat. Udara di luar teramat dingin, Ibu takut jika sampai asma Bapak kambuh ketika udara dingin seperti ini."
Hati Erlangga sedikit melunak. Kali ini ia turuti perkataan sang istri. Pria itu beranjak dari posisi duduknya dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh Ratri di belakang tubuh sang suami.
"Bu Ratri!"
Ratri yang baru saja akan menutup pintu rumah seketika ia hentikan aktivitasnya itu kala tiba-tiba salah seorang tetangga memanggil namanya. Suara itulah yang juga membuat Erlangga menghentikan langkah kakinya dan ikut mencari tahu apa yang akan dilakukan oleh tetangganya ini.
"Pak Kasim? Ada apa Pak?" ucap Ratri saat melihat tetangganya yang bernama Kasim melintasi depan rumahnya.
"Ah tidak apa-apa Bu. Saya hanya ingin tanya. Apa Ranum sudah tidak bekerja di pabrik lagi?" tanya Kasim langsung pada pokok persoalan.
Ratri dan Erlangga saling beradu pandang. Dahi keduanya sama-sama mengernyit seakan tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Kasim ini.
"Ranum masih bekerja di pabrik kok Pak. Memang kenapa ya Pak?" tanya Ratri yang semakin penasaran.
"Oh begitu? Ya sudah Pak, Bu, mungkin tadi saya salah lihat," jawab Kasim yang justru membuat Ratri dan Erlangga semakin bertanya-tanya.
"Maksud pak Kasim apa? Tolong katakan yang jelas!" ujar Erlangga memberikan sebuah titah.
"Tadi saya melihat perempuan masuk ke dalam hotel yang ada di pusat kota Pak, Bu, dan perempuan itu perawakannya mirip sekali dengan Ranum. Saya kira itu memang Ranum yang mungkin sudah pindah kerja."
"Hotel?" lirih Erlangga.
Kedua bola mata Erlangga terbelalak sempurna. Api amarah yang sebelumnya sempat padam, kini seakan kembali menyala setelah Kasim menyampaikan berita yang sungguh mencengangkan. Pikiran-pikiran buruknya kembali berkeliaran di dalam kepala. Khawatir jika sampai sang anak melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma kesu*silaan.
"Tapi mungkin saya salah lihat Pak, Bu. Kalau begitu saya pamit!"
Kasim berlalu pergi meninggalkan sepasang suami-istri yang masih berada dalam mode tercengang itu. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing yang mungkin sama buruknya dengan apa yang terjadi.
"Anak kurang ajar itu ke hotel? Apa yang dilakukannya di sana?" lirih Erlangga dengan telapak tangan yang mengepal.
.
.
.
"Pak, stop! Jangan lagi Bapak ganggu Ranum. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu!"
Ratri mencegah Erlangga yang hampir saja menggedor pintu kamar Ranum. Selepas Kasim memberikan sebuah berita yang cukup membuatnya tercengang, Erlangga ingin segera menanyakan hal itu secara langsung kepada Ranum. Sehingga semua menjadi terang benderang dan tidak akan meninggalkan sejuta tanya dalam benak.
"Tapi Bapak ingin menanyakan langsung kepada Ranum Bu. Pikiran Bapak sungguh terusik setelah kedatangan pak Kasim. Jangan-jangan benar Ranum pergi ke hotel!"
Ratri mendekat ke arah sang suami. Ia usap lengan tangan Erlangga mencoba untuk memenangkan hati dan juga pikirannya yang masih diselimuti oleh kabut emosi.
"Kita tanyakan besok Pak. Malam ini biarkan Ranum beristirahat. Kasihan Ranum Pak, dia masih shock dengan apa yang Bapak lakukan tadi."
"Tapi Bu..."
"Pak, Ibu mohon! Kali ini saja. Biarkan Ranum istirahat. Besok kita tanyakan langsung ke anaknya."
Ratri menarik lengan tangan Erlangga dan memandu suaminya ini untuk masuk ke dalam kamar. Meskipun dalam hati dan juga benak Ratri sendiri juga menyimpan rasa kalut namun ia berusaha untuk tetap tenang.
"Ibu percaya jika kamu tidak akan mungkin melakukan hal itu Nak, dan yang dilihat oleh pak Kasim pasti bukan kamu."
Ratri bermonolog dalam hati sembari menutup pintu kamar pribadinya untuk bersegera mengistirahatkan diri.
***
"Iya kemarin aku lihat perempuan yang perawakannya mirip sama anaknya pak Erlangga masuk ke hotel bersama seorang lelaki."
"Ah masak iya? Salah lihat kamu Pak, mana mungkin anaknya pak Erlangga masuk ke hotel bersama lelaki? Tidak mungkin itu."
"Sebenarnya aku juga masih ragu, tapi dari perawakannya mirip sekali dengan Ranum anaknya pak Erlangga."
Seusai sholat subuh, di pelataran musholla yang tidak terlalu luas itu terlihat Kasim tengah berbincang dengan Supri. Keduanya berbincang mengenai sosok wanita yang kemarin dilihat oleh Kasim yang mirip sekali dengan Ranum. Meski sedikit ragu, namun Kasim lebih condong meyakini bahwa yang ia lihat itu benar-benar Ranum.
Erlangga yang baru saja keluar dari musholla, sayup-sayup mendengar perbincangan dua tetangganya itu. Semalaman ia sungguh tidak bisa memejamkan mata. Informasi yang disampaikan oleh Kasim sungguh mengusik hati dan pikirannya. Ia pakai sandal merk swallow nya kemudian menghampiri Kasim dan Supri.
"Belum pulang Pak?" tanya Erlangga sekedar berbasa-basi.
"Eh anu, belum Pak," jawab Kasim sedikit terkejut dan gagap. Lelaki itu sedikit tak enak hati jika sampai Erlangga tahu bahwa ia dan Supri tengah membicarakan Ranum.
"Sedang membahas apa Pak Kasim?" tanya Erlangga pula. Meski sejatinya ia sudah tahu akan apa yang menjadi pokok pembicaraan tetangganya ini.
Kasim terhenyak. Sungguh ia merasa kikuk dan sedikit tak enak hati.
"Itu Pak, bukan apa-apa kok. Bukan hal yang penting." Kasim menyikut Supri yang ada di sebelahnya. "Betul kan Pri?"
"I-iya Pak. Tadi hanya membahas si Parno yang belum juga membajak sawah saya. Padahal sudah dari tiga hari yang lalu saya menyuruhnya," ujar Supri berbohong.
Erlangga hanya tersenyum kecut melihat kedua tetangganya yang sudah salah tingkah ini. "Anak saya tidak mungkin ada di hotel seperti yang kemarin dilihat oleh Pak Kasim. Saya tahu betul bahwa anak saya adalah anak baik-baik dan tidak mungkin berkeliaran di hotel dengan seorang pria."
Tubuh Kasim dan Supri terpaku dan sedikit membeku. Tidak menyangka bahwa Erlangga tahu akan apa yang mereka bicarakan.
"Kalau begitu saya duluan Pak. Assalamualaikum."
Erlangga mengakhiri pembicaraannya dengan Kasim dan Supri. Tungkai kaki lelaki yang sering menjadi imam musholla itu terayun menyusuri jalanan kampung yang terbuat dari paving block. Hatinya sedikit bergejolak. Ia ingin segera menemui sang anak untuk meminta penjelasan terkait penglihatan Kasim.
***
"Mbak bangun, sholat subuh dulu!"
Ranes, gadis belia berumur enak belas tahun itu masuk ke kamar sang kakak sembari membawakan teh hangat dan juga singkong rebus yang sudah disiapkan sang ibu. Gadis itu berjalan ke arah jendela dan mulai menyibak kain gorden yang masih tertutup rapat. Langit pagi yang mulai terang, terbias melalui kaca jendela kamar.
Tubuh Ranum masih meringkuk di bawah selimut tebal. Matanya masih terpejam rapat. Perempuan itu nampak begitu kelelahan sehingga kehadiran sang adik di kamar pun tidak berhasil membangunkannya dari lelap tidurnya.
Ranes mendekat ke arah ranjang sang kakak. Ia duduk di tepian ranjang dan menyibak selimut yang masih lekat membungkus tubuh Ranum. Ranes tersenyum ngilu melihat sudut bibir sang kakak yang sudah membiru karena memar. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi semalam. Yang ia tahu hanya sang kakak bertengkar dengan sang ayah semalam tanpa tahu apa yang menjadi akar permasalahannya.
"Mbak, ayo bangun! Udah siang. Mbak belum sholat subuh kan?"
Ranes sedikit mengguncang tubuh Ranum hingga membuat tubuh Ranum menggeliat. Wanita itu mulai mengerjapkan mata dan berupaya untuk meraih kesadarannya.
"Apa sih Nes. Aku masih ngantuk!" sahut Ranum dengan ekspresi malas.
"Sholat subuh dulu Mbak, ini udah siang. Nanti bapak marah-marah kalau melihat mbak Ranum jam segini belum bangun."
Ranum memutar bola matanya malas. "Aku lagi dapet Nes. Aku gak sholat!"
Entah setan apa yang merasuki tubuh Ranum sampai ia berbohong perihal haid di hadapan sang adik. Wanita itu seperti benar-benar malas untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Ranes mengernyitkan dahi. "Mbak haid? Bukankah baru satu minggu yang lalu mbak Ranum mandi junub? Sekarang kok udah haid lagi?"
Ranes sungguh dibuat bingung oleh Ranum. Padahal jelas-jelas baru minggu yang lalu sang kakak mandi wajib. Ranes merasa saat ini sang kakak tengah berbohong.
"Ckkckkckk.. Kamu ini kenapa ikut campur urusan haid-ku sih Nes? Sudah, sudah sana keluar. Aku lagi haid jadi gak sholat."
Ranum berdecak kesal melihat sang adik yang begitu bawel dan ikut campur perihal haidnya. Pagi ini ia benar-benar merasa malas sekali untuk mengerjakan sholat hingga akhirnya ia memilih berbohong.
"Tapi Mbak kan ba..."
"Oh jadi setelah kamu jadi anak durhaka, anak pembangkang, sekarang kamu juga jadi hamba Allah yang melupakan kewajibannya? Benar-benar keterlaluan kamu Num!"
Perkataan Ranes terhenti kala tiba-tiba terdengar suara sang ayah menggema memenuhi langit-langit kamar. Bola mata gadis itu membulat sempurna dengan bibir menganga setelah melihat sang ayah berjalan menuju ranjang Ranum.
"Ayo bangun anak pembangkang!" teriak Erlangga sembari menarik lengan tangan Ranum. Sontak tubuh wanita yang sebelumnya masih meringkuk di atas ranjang kini beralih posisi menjadi terduduk. "Apa kamu tidak malu dengan Ranes. Dia justru lebih nurut dan lebih rajin beribadah daripada kamu!"
Ranum terhenyak. Kelopak mata yang sebelumnya masih enggan untuk terbuka kini terbuka lebar setelah diperlakukan seperti ini oleh sang ayah.
"Tidak perlu Bapak banding-bandingkan antara aku dengan Ranes. Aku bukan dia dan dia bukan aku. Aku punya jalan hidup sendiri Pak!" teriak Ranum yang tak kalah lantang dari Erlangga.
Ada sepercik rasa tidak terima di dalam batin Ranum jika harus di banding-bandingkan dengan sang adik. Terlebih sang bapak selalu saja memuji Ranes perihal kepatuhannya dan prestasinya di sekolah.
Plak.. Plak..!!
"Bapak sudah!" teriak Ranes melihat sang ayah kembali kalap menampar Ranum.
"Dasar anak kurang ajar. Semakin ke hari kamu semakin tidak bisa diatur Num! Jangan-jangan yang diucapkan pak Kasim bahwa dia melihatmu masuk ke hotel bersama seorang pria juga benar, hah?!!!"
Ranum dibuat terkejut setengah mati mendengar ucapan Erlangga. Dia sungguh tidak menyangka jika keberadaannya di hotel kemarin dilihat oleh salah satu tetangganya.
Mendadak tubuh Ranum membeku dan lidahnya kelu. Ia tidak tahu harus menjawab dengan apa interogasi dari sang ayah ini. Meski sebelumnya ia begitu lantang melawan sang ayah dengan suara keras, namun kali ini ia benar-benar takut jika apa yang ia lakukan bersama sang kekasih kemarin terbongkar secepat ini.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!