NovelToon NovelToon

Anak Tiri Terbuang Menjadi Istri Tangguh Duda Killer

BAB 1. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

HARAP BACA SINOPSIS DULU YA 🌼

🌹 [Visual Azelia Sayersz Raymond]

🌹[Visual Azelio Sayersz Raymond]

Malam itu, langit bergemuruh dahsyat. Seorang wanita menyeret sebuah koper. Ia berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah, namun langkahnya terhenti ketika seorang gadis kecil memeluk kakinya dengan erat.

"Mama... Mama mau ke mana? Jangan pergi, Ma. Kasihan Papa sama Azura. Kalau Mama pergi, gimana nasib kita?"

Isak tangis putri pertamanya pecah. Ia memeluk sebelah kaki ibunya sekuat tenaga. Memohon agar Ibunya tak pergi. Namun, ekspresi dingin wajah sang ibu membuat anak itu ketakutan. Tatapan itu begitu menakutkan sehingga hatinya menciut. Ia hanya bisa terus memeluk kaki ibunya, berharap keajaiban datang dan mengubah keputusan sang ibu. Namun…

BRUKH!

“Singkirkan tangan kotormu itu. Sudah saya bilang, saya bukan lagi Ibumu!”

Jdarr! 

Ucapan wanita itu bagai sambaran petir yang menghancurkan harapan putrinya. Akan tetapi, gadis kecil itu tak menyerah.

“Bohong! Mama jangan bohong. Mama jangan bilang begitu. Mama… ayo masuk ke rumah. Jangan pergi… kasihan Papa sama Azura masih butuh Mama,” tangisnya makin kencang.

“Cih, lepaskan!” bentak wanita itu. Dengan kasar, ia mendorong tubuh rapuh putrinya hingga nyaris terjatuh.

“Tunggu, Mama. Kasih tahu dulu di mana adik bungsu Hira?” tanya gadis kecil itu bernama Sahira.

Dengan tatapan sinis, wanita itu berkata, “Adik bungsumu sudah mati.”

Degh!

Nafas gadis kecil itu tercekat. Matanya melebar dan tubuhnya membeku mendengar itu.

“Sekarang jangan ganggu saya lagi! Sana masuk saja lihat Ayahmu yang cacat itu!” 

Gadis kecil itu didorong kembali, kali ini ia tersungkur ke tanah. Baju tidurnya kotor dan telapak tangannya sedikit berdarah.

“MAMAAA!!” teriak Sahira buru-buru mengejar Ibunya namun wanita itu sudah pergi bersama pria lain. 

Gadis kecil itu berlari masuk. Ia menuju ke kamar Ayahnya. Air matanya makin tumpah melihat Ayahnya yang lumpuh terjatuh dari kursi roda. Adik kecilnya, Azura yang masih tiga tahun, tampak menangis tersedu-sedu dalam pelukan sang Ayah.

Pria lumpuh itu dengan tatapan iba, ia mengulurkan sebelah tangannya. Sahira lekas memeluknya.

“Papa… kenapa Mama pergi? Apa salah kita? Kenapa Mama pergi sama laki-laki itu? Adik bungsu Sahira juga masih hidup, kan?” Isak Sahira, namun sang Ayah tak berkata apa-apa dan hanya memeluknya dengan erat. Ibu mereka telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.

12 tahun kemudian.

Sahira telah dewasa dan Azura sudah tumbuh besar. Tanpa sosok Ibu, dua gadis itu menjalani hidup mereka dengan baik berkat kerja keras Pak Andersson, Ayah mereka yang sudah tidak lumpuh lagi. Meskipun Pak Andersson terkenal galak pada orang lain, tapi ia adalah Ayah yang baik untuk anak-anaknya.

Sayangnya, Azura yang tak pernah melihat Ibunya, ia mulai merindukan wanita itu. Ia sering menanyakan di mana Ibunya, tapi Sahira dan Pak Andersson tak pernah mau menjawabnya. Sehingga ia memutuskan mencari sendiri Ibunya.

Saat membersihkan kamar Ayahnya, gadis itu tak sengaja menemukan foto Ibunya. Senyum sumringah langsung terukir di bibirnya.

“Ternyata Ibuku wanita cantik. Tapi kenapa Ayah sama Kakak menyembunyikannya?” Azura bingung. Dari penampilan Ibunya yang seperti model, seharusnya tak ada alasan Ibunya dibenci.

“Azura… kenapa kau lama sekali—” ucap Sahira terputus, ia kaget mendapati Azura menemukan foto keramat itu.

Cepat-cepat, Azura menyembunyikan foto itu ke belakang punggungnya. Akan tetapi, Sahira merebut foto itu lalu ia membuangnya ke tempat sampah.

“Kak, kenapa foto Ibu dibuang?” tanya Azura, pandangannya tertuju pada kertas terkoyak-koyak itu..

“Memang pantas dibuang! Dia juga bukan Ibu kita! Dia perempuan jahat!” ujar Sahira dengan amarah yang meledak.

“Tidak, Kak. Kakak salah! Perempuan itu jelas Ibu. Mukanya masih sedikit mirip denganku. Terus ada cincin pernikahan di jarinya yang sama seperti Ayah. Kakak jangan bohong lagi. Azura tidak akan tertipu kedua kalinya,” ucap Azura sambil memukul dadanya yang sesak.

“Kakak, Azura nggak mau diam lagi. Azura udah nggak tahan lagi. Kakak tahu nggak kehidupan Azura di sekolah? Azura selalu dihina anak tanpa Ibu, anak haram, anak yatim. Padahal Ayah kita masih hidup, tapi mereka masih saja menghina Azura. Kakak juga sering dipanggil perawan tua! Aku nggak terima, Kak!”

Amarah Azura akhirnya terlampiaskan, air matanya jatuh kian membasahi wajahnya membuat Sahira membisu diam. Ekspresi Sahira menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Kehidupan adiknya yang dikira baik-baik saja, ternyata juga mengalami hal yang serupa.

“Kak… tolong ceritakan padaku tentang Ibu,” mohon Azura meraih tangan Sahira.

Sahira mengepal tangan. Permintaan sang adik sangat berat. Sahira takut, perasaan Azura akan semakin terluka mengetahui kelakuan asli Ibunya. Tapi ternyata, dugaan Sahira salah. Azura justru merasa Ibu mereka tak sepenuhnya jahat. Gadis polos itu mengira Ibu mereka pergi karena terpaksa.

“Terpaksa? Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Sahira cukup kecewa.

“Kak, siapa tahu Ibu diancam sama pria itu. Makanya Ibu milih pergi daripada kita dan Ayah terluka,” tutur Azzura.

Sahira yang duduk di sebelah adiknya, ia sontak berdiri. “Jangan bodoh, Azura. Ibu jelas-jelas pergi setelah ketahuan selingkuh. Kakak lihat dengan mata kakak sendiri! Ibu waktu itu nggak melawan saat masuk ke dalam mobilnya!” bentak Sahira marah besar, tampak jelas dari sorot matanya yang menakutkan.

Azura pun berdiri lalu membalas ucapan kakaknya. “Kak, tolong… jangan langsung berpikir seperti itu dulu. Sebaiknya kita cari kebenarannya sama-sama. Gimana kalau kita cari Ibu sekarang, Kak? Siapa tahu Ibu sudah berubah,” saran Azura berharap kakaknya bersedia.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kalau Ibu sudah berubah, Ibu sudah kembali pada kita, Ra.”

Sayang, Sahira tak percaya membuat Azura merasa kecewa.

“Kakak selalu begini. Selalu bilang aku bodoh. Kakak memang lebih pintar dari ku, tapi jangan menghinaku lagi. Azura juga manusia, Kak. Punya perasaan, nggak seperti kakak yang nggak pernah mikirin perasaanku! Cuma Ayah yang selalu kakak perhatikan! Apa karena wajah Azura mirip Ibu, karena itulah Kakak nggak mau bantu aku?”

“Kakak sebenarnya benci Azura, kan? Iya kan, Kak?!” 

“Stooop, Azura! Kau sudah kelewatan! Kakak tidak pernah membencimu. Justru Kakak sayang,” ungkap Sahira menepuk dadanya yang sakit. Adik yang ia rawat mati-matian, begitu teganya berkata demikian tentangnya.

“Bohong! Bohong! Kalau kakak sayang, seharusnya kakak ceritakan tentang Ibu. Kak Sahira pembohong! Kakak jahat!” teriak Azura marah sampai urat di wajahnya terlihat jelas.

PLAK!

Satu tamparan itu mengubah suasana menjadi hening sesaat. Azura terkejut, begitu pula Sahira tak menyangka dirinya akan memukul adiknya sendiri.

“Arghhhh!!! Azura benci Kakak!” teriak Azura. Ia berlari keluar, meninggalkan Sahira yang jatuh berlutut di lantai. Wanita muda itu menutup matanya. Sudah lama ia menahan air mata itu tapi kali ini air matanya tak bisa terbendung lagi. Ia merasa sangat bersalah telah melukai adiknya.

“Hira, ada apa denganmu, Nak? Kenapa kau menangis?” tanya Pak Andersson yang sudah berdiri di ambang pintu.

Sahira berdiri lalu memeluk Ayahnya. “Maafin Hira, Yah. Hira udah nggak bisa lagi jaga rahasia Ibu dari Azura,” jawabnya membuat Pak Andersson terdiam, mulai cemas.

“Kalau begitu, mana adikmu?” tanya pria berkacamata hitam itu mendorong pelan bahunya, menatap wajah sendu putrinya.

“Barusan Azura keluar, Ayah tidak lihat?” 

Pak Andersson menggeleng, membuat tangisan Sahira terhenti lalu panik.

“Yah, kita harus cari Azura! Hira takut dia nekat pergi dari rumah,” mohon Sahira. Benar saja gadis itu sudah melarikan diri dan pada akhirnya dikabarkan hilang. Hal itu membuat Pak Andersson kena serangan jantung.

“Ayah!!” pekik Sahira, ia secepatnya mengirim Pak Andersson ke rumah sakit sebelum terlambat. 

____________

Novel ketiga Mom Ilaa, spin off dari novel Zander-Sahira (Ibu Susu)

Fokus ke cerita kelakuan si kembar, Azura, Joeson dan tingkah konyol mereka. Semoga kalian suka ya..

Like, komen, subscribe, vote 🌹 biar Mom Ilaa semangat nulisnya sampai tamat.

BAB 2. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

Dua Minggu kemudian, Azura yang seharusnya ke sekolah, kini gadis itu masih mencari alamat rumah Ibunya. Seharian ke sana sini tiada henti, rumahnya akhirnya berhasil ditemukan. Wajah Azura terpancar kebahagiaan. Dengan penampilan sederhana, Azura memberanikan diri menekan bel pintu.

“Wow, besar juga rumah Ibu. Pasti Ibu sekarang sudah banyak uang sampai punya rumah sebesar dan secantik ini. Kalau Ayah sama Kak Sahira pindah ke sini, pasti hidup kita akan lebih baik lagi,” gumam Azura, gadis 15 tahun itu berharap ia disambut hangat oleh sang Ibu. 

“Tapi kenapa rumahnya sepi ya? Apa Ibuku lagi nggak ada di rumah?” lanjutnya menekan bel lagi. 

Tak lama menunggu, pintu di hadapannya terbuka lebar. “Hm, siapa?” tanya seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana, ia asisten rumah itu.

“Sa-saya mau ketemu sama Ibu… eh maksudnya Bu Arisha, Bi,” jawab Azura sambil memperbaiki maskernya. Sengaja ia tak memperlihatkan wajahnya karena ia ingin memberikan kejutan kepada Ibunya. Jantung Azura serasa berdebar-debar cepat. Kerinduannya semakin membuncah.

“Dengan tujuan apa?” tanya Bibi itu lagi.

“Saya mau menyampaikan sesuatu dan harus disampaikan langsung pada beliau,” jawab Azura sesopan mungkin. 

“Ya sudah, kau duduk di sana, biar saya panggilkan Nyonya dulu.” Bibi itu menunjuk ke sofa dan Azura pun duduk manis di sana.

“Ibu… gimana ya reaksi Ibu saat melihatku? Apa Ibu senang? Sudah 12 tahun berlalu, pasti Ibu juga rindu padaku,” gumam Azura, mulai gugup.

“Hai, kau siapa?” Azura mengalihkan pandangan matanya ke arah teriakan seseorang. Ia berdiri saat gadis yang membentak itu menghampirinya. 

“Kau siapa? Ngapain ada di rumahku? Kau pengemis baru, ha?” Katanya cukup tajam dan menyakitkan. Dengan tatapan selidik, gadis galak itu menatap Azura dari bawah kaki hingga ujung kepala.

“Sa-saya pelajar, Kak,” jawab Azura agak takut.

“Pelajar? Haha…” Gadis galak itu tertawa. “Mana ada pelajar yang bajunya kotor, dekil dan bau sepertimu. Jujur aja kau ke sini mau ngemis, kan?” lanjutnya dengan sombong.

“Saya memang pelajar kok,” sentak Azura kesal.

“Halahhhh… nggak usah mengelak, sekarang bilang aja berapa yang kau mau? Mau seratus? Lima ratus? Atau lima puluh ribu yang ini doang?” makinya sambil menyodorkan uang berwarna biru. 

PLAK!

Gadis itu tercengang sebab Azura berani menepis tangannya. Ia menatap penuh amarah Azura, tetapi Azura juga tak kalah amarah darinya.

“Aku tidak butuh apa-apa. Uangmu tidak ada gunanya bagiku. Sebaiknya kamu pergi sana dan abaikan saja aku di sini,” kata Azura tak takut karena sangat kesal direndahkan. Ia sudah lelah dicaci maki di sekolah, sekarang ia tak mau dihina lagi oleh orang lain.

“Kau! Memang kurang ajar! Kau yang seharusnya pergi!” Gadis yang wajahnya berbintik merah itu, ia ingin menarik ikat rambut Azura, tapi seorang gadis lain datang memisahkan mereka.

“Stop! Stop! Kenapa kalian berdua bertengkar, sih? Ini rumah, bukan ring tinju. Kalau kalian mau berantem, di luar saja sana,” cerocos gadis berkacamata itu. “Kak Calsa, tadi mau ke rumah teman, kan?” lanjutnya ke Calsa—yang merupakan anak tiri Arisha dari suami keduanya.

“Cih, awas kamu, sialan!” Tunjuk Calsa ke Azura sebelum ia keluar dari rumah.

Azura membuang nafas panjang. Ia tak perlu repot-repot lagi mengeluarkan jurus colok matanya. Namun anehnya, gadis di depannya itu terasa berbeda dari gadis cerewet tadi.

“Kamu siapa?”

Azura dan gadis berkacamata itu sontak terkejut karena mereka saling menunjuk satu sama lain.

Gadis berkacamata mata itu menunduk lalu tertawa, sama halnya Azura yang tertawa. Lalu, mereka bertatapan lagi dan merasakan sesuatu yang sama, merasa mata mereka mirip. Azura mencabut maskernya lalu gadis itu juga melepaskan kacamata tebalnya. 

Sontak, mereka saling menunjuk lagi. “Eh… kok mirip?” Ucapan mereka hampir serempak.

Azura menggaruk kepala. Seingatnya, ia tak pernah tahu punya saudara kembar, begitu pula gadis berkacamata itu.

“Nama kamu siapa? Kalau aku, Aina. Sepertinya kita kebetulan mirip ya, haha…” ucap Aina tertawa bodoh sambil mengulurkan tangannya, mengajak Azura berkenalan. 

“Aku Azura, tapi kayaknya ini bukan kebetulan deh,” kata Azura menerima uluran tangan Aina.

“Kenapa bilang begitu?” tanya Aina memasang kacamatanya.

“Soalnya aku ke sini mau bertemu Ibuku,” jawab Azura.

“Ibumu? Memang siapa nama Ibumu?” 

“Arisha Velyna.”

“Itu nama Ibuku juga,” ucap Aina terlonjak kaget.

“Ehh… kalau begitu… kita ini…”

“Kembar?” ucap Azura dan Aina serempak lagi dengan ekspresi tak percaya. Mereka saling mendekat, saling mencubit pipi. Dan tanpa sadar, air mata mereka menetes.

“Astaga… kenapa malah nangis sih, haha…” Aina mencoba menghapus air matanya namun setiap diusap, air matanya terus membasahi pipi. Aina pun terkesiap karena Azura yang tiba-tiba memeluknya.

“Kakak,” bisiknya membuat hati Aina bergetar aneh. Aina menatap Azura lalu membalas pelukannya. Isak tangisnya pecah. Ia tak tahu mengapa itu terjadi. Ia seperti merasakan sesuatu yang bergejolak di hatinya, sesuatu yang sudah lama terkubur dan kini meledak. 

Beberapa menit kemudian, keduanya kembali tenang.

“Kalau kita memang kembar, kenapa kita sampai berpisah? Kenapa orang tua kita tidak bersama?” tanya Aina. Kepalanya sudah dipenuhi banyak pertanyaan.

Di saat Azura hendak bicara, tiba-tiba Arisha datang membuat perhatian Azura teralihkan kepadanya.

“Ibu…” lirih Azura sambil menyunggingkan senyum bahagianya namun wanita itu tak menunjukkan reaksi seperti yang Azura bayangkan. Wanita itu mendekat tanpa eskpresi. Langkahnya terlihat anggun tetapi entah mengapa auranya sombong sekali.

“Mama?!” Aina berlari, memeluk Arisha.

“Aina, masuk ke kamar, sayang,” kata Arisha pada Aina dengan kelembutan.

“Tidak, Ma. Aina nggak mau. Sekarang Aina sudah tahu kalau ternyata Aina punya saudara…” 

“Bukan, dia bukan saudaramu. Mama tidak kenal dia,” potong Arisha membuat kedua gadis itu melongo. Azura dan Aina tak habis pikir Ibu mereka akan mengatakan hal sejahat itu. 

“Ibu… ini aku… Azura, anak Ibu juga. Ibu nggak ingat sama Azura, Kak Sahira, Ayah?” ucap Azura dengan suara bergetar. Hatinya sesak dan nafasnya memburu.

“Anak? Kau mungkin salah orang. Saya tidak punya anak lain di luar sana,” elak Arisha lalu menyuruh Bibi mengeluarkan Azura.

“Bi!! Bawa dia keluar dari rumah ini. Lain kali jangan sembarang membawa masuk pengemis lagi. Bikin mata saya sakit, cepat!!”

“Tunggu, Ma! Jangan usir dia!” pekik Aina segera berdiri di hadapan Azura lalu merentangkan tangan.

“Aina, Mama sudah bilang, sana masuk kamar!” ujar Arisha dengan lantang dan tegas, namun Aina tak mau. “Mama, jangan marah dulu. Tolong jelaskan ke Aina, apa benar Aina sama gadis ini saudara kembar? Jika benar itu, tolong jelaskan yang sebenarnya alasan Mama pisah sama mereka dan kenapa Mama bisa menikah sama Ayah tiriku, Ayah Kak Calsa!” ujar Aina menuntut penjelasan. Matanya merah dan rahangnya mengeras. Ia sangat marah mendengar hinaan yang Ibunya lontarkan ke Azura. 

“Aina!” bentak Arisha. “Kau benar-benar bikin Mama kecewa. Sudah tidak sopan panggil Papa seperti itu. Papa kan Ayah kandungmu, bukan Ayah tirimu, Nak! Sana masuk ke kamar sekarang juga!” perintah Arisha menunjuk ke lantai atas.

“Aina nggak salah, Mama yang salah dan bikin Aina kecewa! Mama yang aku kira baik, ternyata tega ninggalin keluarganya demi harta!”

PLAK!

Aina sangat terkejut, karena tamparan yang seharusnya mendarat ke wajahnya malah mendarat ke wajah Azura yang mencoba melindunginya dari tangan Arisha. Arisha juga tak menduga Azura akan membiarkan pipinya dipukul daripada Aina terluka.

“Azura…” lirih Aina lalu dadanya terguncang melihat wajah Azura terluka akibat tamparan Ibunya. Azura berlari, ia pergi dari rumah itu tanpa mengatakan apa-pun.

“AZURA!!!” Aina ingin mengejar, tapi Arisha segera mencekal kedua tangannya ke belakang. Sementara Bibi, ia secepatnya menutup pintu. Aina menangis kecewa hingga akhirnya jatuh pingsan. Sedangkan Azura, terus berlari dengan air mata berlinang.

“Kejam… kejam… Ibu kejam!” Azura berhenti di tepi jalan, ia bertengkuk lutut, menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua kekecewaan dan penyesalan di hatinya. Azura bangkit, berlari kembali untuk segera pulang ke rumah Ayahnya. Ia berjanji tidak akan kembali ke sana lagi dan akan meminta maaf pada Ayah dan Kakaknya. Namun sayang, Azura sudah terlambat. Rumah kosong tanpa tanda-tanda kehidupan Pak Andersson dan Sahira.

“Ayah… Kakak!! Ayah!!! Kakakkk!! Di mana kalian!” Teriak Azura mencari mereka namun jejaknya pun tak ada. “Kenapa kalian semua pergi tinggalkan aku… Ayah, Kakak … maafkan Azura.” Azura jatuh berlutut, berusaha menahannya tapi air matanya tak mau menetes ke pipi. “Azura janji nggak akan ninggalin kakak sama Ayah lagi.”

__________

BAB 3. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

10 tahun kemudian.

Kini Azura menjadi wanita dewasa. Ia cantik, mandiri, baik, dan tangguh. Ia menjalani kehidupannya sendirian dengan kerja keras dan tekad. Meskipun ada banyak rintangan dalam hidupnya, ia tak pernah menyerah. Ia selalu bangkit dengan harapan yang kuat. Azura yakin suatu hari nanti ia akan berhasil menemukan Ayah dan saudaranya. Tak lupa, ia bertekad balas dendam kepada keluarga baru Ibunya setelah ia sukses nanti.

Sekarang ia bekerja di taman margasatwa. Seperti biasa, ia selalu memakai masker untuk menutupi bekas lukanya. Saat ia melepas masker, seorang anak kecil diam-diam mengikutinya.

"Huh... cuaca hari ini panas banget... rasanya mau lompat ke kolam sekarang," keluh Azura di depan rekan kerjanya yang sedang bersantai di bangku kosong di bawah payung besar.

"Hahaha... baru seminggu masuk kerja, kamu sudah nggak bisa tahan. Belajar dulu gih ke senior di tempat ini, misalnya ke aku," canda Leni, teman seperjuangan Azura. Sudah lima tahun mereka berteman dan hubungan mereka sudah seperti saudara kandung.

"Kamu sih enak, Len. Gajinya lebih gede dari anak bawang kayak aku yang gajinya cuma segini. Apa aku sampaikan saja ke ketua biar gajinya dinaikkan sedikit? Tapi gaji segini sudah cukup hidupi satu orang sepertiku sih, haha..." balas Azura tertawa lalu menyimpan amplop tipis ke dalam sakunya.

"Malah kamu yang enak tahu, hidup sendirian saja. Nggak kayak aku yang harus hidupi tujuh orang di rumah, apalagi mereka masih kecil-kecil," celetuk Leni.

"Waduh, aku nggak tahu kalau kamu punya adik sebanyak itu. Baiklah, malam ini aku yang traktir makan deh, gimana..." ucap Azura terhenti ketika tangan mungil menarik ujung jaket seragamnya.

"Oh... siapa anak ini, Azura?" bisik Leni memandangi wajah anak laki-laki itu yang amat menggemaskan namun matanya memancarkan suatu kerinduan yang dalam pada seseorang.

Baru saja Azura hendak menjawab, anak itu tiba-tiba memanggil Azura dengan panggilan yang membuat dua wanita itu terkejut bukan main.

"Mama..." panggilnya dengan polos memeluk Azura.

"Mama?" Kening Azura dan Leni berkerut, bingung.

Leni berjongkok, ia mengajak anak itu bicara. "Maaf ya, Adik, teman kakak belum pernah menikah, belum punya anak juga. Adik mungkin salah orang."

Anak itu menggeleng-geleng dan meraih telapak tangan Azura. "Mama, ayo pulang baleng Jilo." Ajaknya memohon dengan mata berembun.

"Maaf ya, Dik. Saya bukan Ibumu," ucap Azura dengan lembut. Namun, anak itu tak mau melepasnya.

"Mama, Jilo lindu Mama. Ayo pulang sama Jilo." Ia terisak dan berusaha menahan air matanya.

"Leni, sepertinya dia hilang dari Ibunya. Kamu urus dia ya, aku mau antar kunci kandang ini ke penjaga sana," bisik Azura ingin segera melanjutkan tugasnya.

Leni mengangguk paham, dengan cepat menggendongnya. Anak itu pun berontak hebat melihat Azura pergi. Ia berteriak sekeras-kerasnya.

"MAMAA! JANGAN PELGI!"

Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, tampan, gagah, dan punya tatapan tajam yang misterius datang ke tempat Leni.

Leni yang sedang menjaga anak langsung berdiri dari kursi. Ia terpesona pada pria itu. "Busett... pria keren ini Ayahnya? Gila, ini mah sugar daddy! Pasti dia orang kaya," batin Leni. Sayang sekali, Azura tak ada di tempatnya sehingga ia tak bisa melihat pria tampan itu.

Namun, kekaguman Leni runtuh begitu pria itu menatapnya sinis, dingin, dan penuh kekesalan. "Terima kasih Anda sudah menjaga putra saya, tapi mengapa mata anak saya merah seperti ini? Siapa yang sudah berani membuatnya menangis?" Suara baritonnya yang khas membuat Leni ketakutan. Di balik wajahnya yang nyaris sempurna, pria tampan itu menakutkan.

"Maaf, putra Anda menangis karena mencari Ibunya, Tuan," jawab Leni dengan sopan.

Pria itu menghela napas, lalu ia menggendong putranya. "Papa sangat khawatir padamu, Jilo. Untung kamu baik-baik saja. Jika kamu sampai hilang, Papa pasti sudah mengosongkan tempat ini. Sekarang kita pulang ke rumah," tutur pria itu serius membuat Leni makin takut. Pria itu bukanlah orang biasa. Leni lalu melirik ke anak perempuan di samping pria itu yang wajahnya persis dengannya, tak lain adik kembar anak laki-laki itu.

"Ndak mau, Papa. Jilo mau cali Mama." Jilo kembali berontak, sementara adik kembarnya hanya diam sambil mengusap-usap matanya, mulai mengantuk. Ia tak bisa fokus lagi mendengar kakaknya marah-marah.

"Jilo! Papa sudah bilang, Mama Jilo sudah nggak ada. Mama sudah pergi ke surga. Sekarang kita pulang."

"Huaaa... Papa bohong! Mama masih hidup, belum mati!" tangis anak itu pecah membuat Leni yang mendengar semua itu pun merasa kasihan. "Ternyata duda ditinggal mati istrinya, sayang sekali. Anak-anaknya lucu tapi Ibunya sudah meninggal," lirih Leni duduk kembali ke kursinya.

"Meninggal? Siapa yang kamu maksud, Len?" Azura datang dan sempat mendengar keluhan sahabatnya.

"Itu si anak yang tadi, ternyata Ibunya sudah meninggal."

"Kasihan sekali... kalau begitu, siapa yang menjemput dia?"

"Ayahnya yang datang. Kamu tahu? Ayahnya keren banget! Spek Daddy... daddy gitu deh. Orangnya ganteng, kaya, suaranya itu loh... bikin jantung mau lepas. Kalau dia nyari istri, aku yang akan nawarin diri duluan," pungkas Leni antusias membuat Azura terbahak-bahak.

"Ampun deh, kalau sudah bahas laki-laki ganteng, powernya langsung berapi-api."

"Aduh... Ra, kamu sih mana mengerti soal cowok. Tahunya kerja, kerja, kerja. Lain kali, aku ajak kamu deh ke kencan buta. Siapa tahu ada cowok yang cocok buat kamu di sana, gimana?" saran Leni, tapi Azura menolak cepat.

"Nggak usah deh, aku lagi fokus nyari Ayah sama kakakku yang masih hilang, Len. Kita bahas itu kapan-kapan saja, ya."

Leni mengangguk paham, ia lupa temannya sedang kesulitan mencari keluarganya yang sudah 22 tahun hilang. Namun, satu pertanyaan terlintas di benaknya. Ia menahan langkah Azura sebelum wanita masker itu keluar lagi.

"Tunggu, Ra. Aku mau nanya sesuatu nih."

"Hm, soal apa?" Azura melepas maskernya sejenak.

"Kamu kan masih punya saudara yang tinggal sama Ibumu. Gimana kabar dia sekarang? Apa kalian masih sering ketemu di belakang Ibumu? Kalau masih, coba deh kamu minta bantuan dia buat nyari Ayah sama kakakmu," tutur Leni panjang lebar, tahu sedikit cerita masa lalu Azura.

Azura menunduk lesu membuat Leni bingung. Leni pun merasa bersalah tak sengaja membuka luka Azura yang belum sembuh.

"Dia sudah lama meninggal, Len. Aku sudah nggak bisa ketemu sama Aina lagi." Perlahan air mata Azura berlinang.

"Bahkan waktu pemakaman Aina, aku nggak diizinkan ikut sama Ibu. Aina sangat baik, kenapa orang sebaik dia harus pergi duluan? Kenapa bukan aku saja atau Ibu..." Azura tak kuasa melanjutkan ucapannya lagi. Air matanya berlinang deras. Ia menangis ke dalam pelukan Leni. Azura sangat terpukul atas kepergian Aina, saudaranya yang berhati malaikat, lembut, dan sangat memperhatikan hidupnya.

"Aku nggak tahu lagi, gimana nanti kasih tahu hal ini ke Ayah sama Kak Sahira tentang kematian Aina. Aku takut mereka malah benci aku..." Di luar, Azura selalu tampak ceria namun tak ada yang tahu luka dan derita yang ia simpan sedalam ini. Hanya Leni satu-satunya tempat ia mencurahkan semuanya.

"Aku seharusnya jaga Aina, tapi aku gagal, Len..." Isak Azura, suaranya bergetar, napasnya tersengal, dan hatinya hancur.

Leni mencoba menenangkan Azura walau air matanya juga ikut menetes mendengar semua itu. Hatinya sakit, tapi lebih sakit lagi yang Azura rasakan.

"Aina sangat ingin bertemu Ayah, tapi hal itu sudah tidak bisa terwujud, Len. Ini salahku, harusnya aku bawa pergi saja Aina dari keluarga itu." Sudah tiga tahun Aina pergi, Azura belum rela menerima kematiannya, apalagi Aina sering disiksa di rumah itu semenjak mereka bertemu. "Aina punya impian, tapi ia berakhir menikah di usianya yang masih muda. Mereka semua jahat! Aku nggak akan pernah maafin mereka."

Leni tertegun melihat api dendam di tatapan Azura. Ia bisa merasakan gejolak amarah dan kebencian Azura pada Ayah tirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!