NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Bella

BAB 1

17 tahun kemudian.

Isabella Elina Zamira, kini tumbuh menjadi gadis yang cantik, usia Bella saat ini sudah dua puluh dua tahun. Saat Bella duduk di bangku sekolah menengah pertama, Arumi kembali hamil.

Alvaro dan Arumi melakukan program bayi tabung demi mendapatkan bayi laki-laki, setelah Naka hasil buah cintanya dengan istri pertamanya, Alvaro ingin penerus berikutnya terlahir dari perut Arumi.

Namun, sayangnya kejadian naas yang menimpa Arumi membuat kandungannya keguguran, rahim Arumi pun terpaksa di angkat karena adanya kerusakan akibat kecelakaan yang dia alami.

*Flashback On*

Di sebuah taman terlihat Bella sedang duduk di trotoar yang berada di pinggir jalan bersama adiknya, Maureen. Mereka berdua sedang menunggu sang mama yang sedang membeli soto di warung tenda yang tak jauh dari mereka duduk.

Panas yang lumayan terik membuat tenggorokan Bella kering, dia butuh air minum untuk membasahi tenggorokannya. Bella menoleh kesana kemari mencari warung minum, setelah melihatnya dia berpesan pada sang adik.

"Maureen tunggu di sini dulu ya, jangan kemana-mana, kak Bella mau ke sebrang dulu beli minum" ucap Bella.

Maureen yang berusia 7th pun mengangguk patuh. Usai itu Bella menyebrang jalan menuju warung yang berada di sebrang jalan. Setibanya di warung, Bella membeli dua botol minuman untuk dia dan sang adik.

Maureen yang tidak hati-hati tiba-tiba menyebrang jalan, mamanya yang melihat itu segera mengejar Maureen. Tapi naasnya sebuah mobil dari arah kanan melaju kencang hingga.....

Brak…

“MAMA!” jerit Bella histeris, suaranya pecah ketika melihat tubuh mamanya, yang sedang hamil besar, terpental setelah ditabrak mobil.

Bella menjatuhkan botol air minum yang dia beli, dia berlari menghampiri mamanya yang tergeletak di jalan.

“Mama… bertahan Ma… tolong! tolong mama saya!” tangisnya meraung, memecah kepanikan di jalan raya.

Beberapa orang bergegas menghampiri Bella, berusaha membantu gadis itu. Tak lama mobil ambulan yang di hubungi oleh salah satu warga tiba di lokasi, tenaga medis segera mengangkat Arumi dan membawanya masuk kedalam ambulan. Bella dan sang adik pun ikut masuk kedalam mobil ambulan, dan duduk sambil menggenggam tangan ibunya.

Setibanya di rumah sakit, Bella langsung memanggil dokter.

“Dokter… tolong selamatkan mama saya, selamatkan juga adik bayi yang dikandungnya… saya mohon…” Bella memohon dengan wajah penuh air mata, suaranya parau.

Dokter dan perawat segera membawa Arumi ke ruang unit gawat darurat.

Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar. Alvaro dan yang lain tiba di rumah sakit.

“Bella!” suara Alvaro keras, penuh emosi. “Apa yang terjadi? Kenapa mama mu bisa tertabrak mobil?”

Bella berdiri kaku. Tatapan tajam ayah sambungnya terasa seperti belati menusuk dadanya. Tubuh mungilnya bergetar, kedua tangannya saling menggenggam erat.

“Ma… maaf Pa…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Mama tertabrak karena ingin menyelamatkan Maureen…” jawab Bella.

Alvaro terperanjat. Ia menoleh ke arah Maureen yang duduk di samping Bella, putrinya itu terlihat ketakutan.

Bella menunduk, air matanya mengalir deras. “Mama tadi memintaku menjaga Maureen… tapi aku haus… aku izin beli minum sebentar. Aku tidak tahu… ternyata Maureen malah berlari ke tengah jalan, ingin menyusulku…” suara Bella pecah, tubuhnya gemetar hebat.

“Maaf, Pa… aku tidak tahu semua ini akan terjadi…” ucap Bella menyesal.

Alvaro mengepalkan tangannya begitu kencang hingga urat di tangannya menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya penuh amarah bercampur kepedihan.

“Tidak bisakah kamu diam di tempat, Bella?!” suara Alvaro meninggi, membuat beberapa orang menoleh. “Setidaknya tunggu sampai mama mu kembali, setelah itu kamu bisa membeli minuman. Tanpa harus meninggalkan adikmu seorang diri"

Bella terisak keras, tubuhnya lunglai.

Alvaro mendekat, menunduk dengan tatapan tajam menusuk. “Kalau sampai terjadi sesuatu pada istri dan calon anakku… kamu harus bertanggung jawab Bella” peringatnya kepada Bella.

Bella terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah. Air matanya tak terbendung lagi. Hatinya remuk, seolah dunia runtuh menimpa bahunya yang masih terlalu kecil untuk menanggung semua itu.

Detik demi detik berlalu dengan menyiksa. Suara detak jam di lorong rumah sakit terdengar begitu nyaring, seakan mengukur setiap helaan napas Bella yang tersengal. Tangannya tak berhenti meremas ujung bajunya, matanya terus menatap pintu ruang tindakan yang masih tertutup rapat.

Alvaro mondar-mandir di depan ruangan, wajahnya tegang. Jason dan Julia ikut larut dalam kecemasan.

Tiba-tiba, pintu ruang tindakan terbuka. Seorang dokter keluar.

“Dokter…” Alvaro langsung menghampiri dengan langkah besar. “Bagaimana keadaan istri saya dan bayinya dok?” tanyanya, suaranya bergetar meski berusaha tegar.

Dokter menghela napas panjang, sorot matanya merunduk, seolah enggan menyampaikan kabar yang paling ditakuti.

"Kami harus segera melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa istri anda" ucap dokter.

“Apa maksud Anda, Dok?!” tanya Alvaro.

"Nyonya Arumi mengalami pendarahan tuan, bayi yang berada di dalam kandungannya sudah meninggal, dan sepertinya rahimnya juga rusak akibat benturan yang di alami nyonya Arumi" terang dokter.

"Maksud dokter?" tanya Alvaro.

"Kami harus melakukan operasi pembedahan, untuk mengeluarkan bayinya dan juga pengangkatan rahim nyonya Arumi. Jika tidak segera di lakukan, nyawa nyonya Arumi akan jadi taruhannya." terang dokter.

Bugh! Alvaro langsung meninju dinding di sampingnya, membuat semua orang terperanjat.

“Tidak!!!” jeritnya, matanya merah penuh amarah sekaligus kesedihan. Anak yang mereka nanti-nantikan kini telah tiada, padahal dia dan Arumi sengaja melakukan program untuk mendapatkan anak laki-laki. Tapi, kini harapannya telah sirna.

"Lakukan yang terbaik untuk istri saya dok, selamatkan nyawanya" ucap Alvaro dengan penuh harap.

"Kami akan berusaha sebaik mungkin tuan" jawab dokter.

Setelah mendapatkan izin dari Alvaro, dokter segera melakukan tindakan pembedahan.

Setelah ruang ruang operasi tertutup, Alvaro berbalik menatap Bella dengan tatapan penuh amarah. “Lihat apa yang sudah kamu lakukan, Bella! Karena kecerobohanmu, calon anakku pergi untuk selamanya! Mama mu juga harus kehilangan rahimnya.” sentak Alvaro.

"Pa… aku” Bella mencoba bicara, namun suaranya tersendat di tenggorokan.

“Mulai sekarang… jangan pernah panggil aku papa, karena aku bukan papamu” suara Alvaro bergetar, penuh kebencian yang menusuk.

Bella terdiam, tubuh kecilnya semakin gemetar. Rasa bersalah, kesedihan, dan penolakan itu menenggelamkannya, membuatnya tak tahu lagi ke mana harus berpijak.

*Flashback Off*

Semenjak peristiwa itu kehidupan Bella berubah. Keluarga Danendra yang dulu sangat menyayanginya kini semua berubah menjadi membencinya. Mereka semua mengucilkannya dan menganggapnya sebagai angin lalu.

Mamanya satu-satunya orang yang dia harapkan pun sama saja. Mamanya ikut marah dengannya, ikut mengucilkannya.

Shaka dan Naka yang dulu selalu bersama-sama juga ikut membencinya. Maureen yang menjadi penyebab tragedi berdarah itupun ikut membencinya juga.

Kaireen adalah satu-satunya orang yang masih baik dengannya, terkadang dia juga membela dirinya di hadapan keluarga besarnya.

BAB 2

Bella baru saja pulang kuliah dengan baju yang lusuh karena bekerja paruh waktu di restoran untuk sekedar membeli buku kuliahnya. Begitu memasuki rumah, suara keras mamanya langsung menyambutnya.

"Baru pulang? Dari mana saja kamu?” tanyanya tajam, duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecurigaan.

Bella menunduk, memeluk erat tasnya. “Aku… habis kerja paruh waktu, Ma. Uangnya untuk bayar keperluan kuliahku, ada buku yang harus aku beli” jawab Bella.

“Kerja?!” Arumi memotong kasar. “Bukankah aku sudah bilang, aku tidak peduli dengan pendidikanmu! Kamu tidak usah membuang-buang uang untuk itu. Cukup kau tahu diri tinggal di sini, dan jangan banyak bertingkah" ucap Arumi.

Bella menggigit bibirnya, menahan perih. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan mamanya. "Aku hanya ingin mewujudkan cita-citamu ma, dulu mama yang memintaku untuk sekolah tinggi" ucap Bella.

"Itu dulu, sebelum kamu membunuh anakku dan merusak rahimku" seru Arumi penuh kebencian.

"Tapi itu semua tidak sepenuhnya salahku ma, aku...." setiap kali Bella ingin menjelaskan, mamanya selalu memotong ucapannya.

"Berhenti membela diri Bella, waktu itu Maureen masih kecil, kamu yang lebih besar seharusnya menjaga adikmu tidak meninggalkannya sendirian" sentak Arumi.

Dari lantai atas, suara Maureen yang kini berusia delapan belas belas tahun ikut menimpali. “kau tidak bisa menyalahkan ku kak, semua terjadi karena kecerobohanmu" 

Ucapan itu menusuk hati Bella, membuatnya semakin terpuruk. Adiknya melimpahkan semua kesalahannya kepada dirinya.

"Maaf" hanya itu yang keluar dari mulut Bella, dia berlalu menuju kamarnya yang beradan di deretan kamar pembantu. Kamar yang dulu luas bak di negeri dongeng, kini berubah. Kamar yang Bella tempati sangat sempit dan juga panas. Tidak sebanding dengan kamar yang dia miliki dulu

Saat malam tiba, Bella duduk sendirian di teras belakang rumah, kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia memeluk lututnya, tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Mama…kenapa sekarang mama berubah, Aku lelah… aku ingin pergi dari rumah ini. Tapi… ke mana aku harus pergi?” bisiknya lirih.

Meski hatinya hancur, Bella bertekad untuk bertahan. Ia ingin membuktikan, suatu hari nanti, bahwa dirinya tidak bersalah. Bahwa ia berharga, meski tak ada lagi yang perduli.

“Pergi saja jika sudah tidak kuat, toh keberadaanmu juga tidak dianggap lagi di rumah ini,” ucap Naka dengan suara dingin, tanpa sedikit pun rasa iba.

Dulu, saat mereka masih kecil, Naka adalah pelindungnya, selalu membela Bella dari siapapun yang menyakitinya. Tapi sekarang, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Bella.

Dengan nafas tertahan, Bella mengangkat kepalanya, berusaha menahan gemuruh emosi yang hampir meledak. “Aku tidak salah, Naka,” suaranya bergetar namun penuh tekad. “Aku sudah jelaskan kepada kalian semua, ini semua karena kecerobohan Maureen sendiri, tapi kenapa kalian semua menyalahkanku” Matanya berkaca-kaca, bukan karena lemah, tapi karena rasa frustrasi yang bertahun-tahun terpendam. 

Di balik dinding-dinding rumah itu, yang dulu terasa hangat dan penuh kasih, kini berubah dingin penuh kebencian.

"Kamu memang bersalah, tidak seharusnya kamu meninggalkan anak kecil sendirian di pinggir jalan, Bella. Akibat ulahmu itu keluarga Danendra kehilangan salah satu pewarisnya" sahut Shaka yang ikut bergabung dengan mereka.

Bahkan Shaka yang dulu lebih menyayangi dirinya daripada sepupunya yang lain, kini dia berubah membencinya.

"Maaf." Suara Bella terdengar begitu lirih, hampir tak terdengar. Wajahnya yang dulu cerah kini suram, penuh luka yang tak terlihat oleh mata orang lain. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar, tetapi ia tahan.

Di hadapannya, Shaka berdiri kaku dengan tatapan dingin yang menusuk. Matanya yang dulu selalu penuh kasih kini berubah menjadi lautan kebencian yang dalam. Ia menarik napas panjang, menahan amarah yang menguasai dirinya, "Kenapa harus kamu, Bella?"

Naka berdiri di samping Shaka, wajahnya juga dipenuhi rasa kecewa yang sulit disembunyikan. Ia memandang Bella dengan mata yang hampir tak bisa dipercaya, seolah-olah semua yang pernah mereka lalui bersama kini hanyalah sebuah kenangan palsu.

Bella bangkit dari tempat duduknya, perlahan meninggalkan kedua saudaranya yang dulu pernah di menganggapnya sebagai keluarga. Tatapan mereka yang penuh permusuhan membekas tajam di hati Bella, seolah setiap langkahnya semakin menjauh dari harapan akan pengampunan.

Di balik pintu yang tertutup rapat, Bella menghela napas panjang, menahan rasa sakit yang merayap di setiap sudut hatinya. Ia tahu, kata maafnya belum cukup untuk menghapus luka yang sudah terukir selama bertahun-tahun, tapi ia tak bisa berbuat lebih dari itu. Kini, ia harus berjalan sendiri di jalan yang penuh duri ini, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang membelenggunya.

Bella menarik napas panjang, di ambilnya tas miliknya dan dia selempangkan ke bahunya.

"Aku tidak bisa terus menerus tinggal di rumah ini, aku harus menemui ayah. Siapa tahu dia mau menampungku untuk sementara waktu," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh sunyi malam.

Langkahnya pelan namun pasti menyusuri lorong rumah yang remang, udara dingin menusuk kulitnya yang tipis. Rasa takut dan harap bercampur menjadi satu, membuat dada Bella berdebar tidak karuan. Ia tahu pertemuan itu mungkin akan mengecewakan, tapi hatinya sudah tak sanggup lagi bertahan di tempat yang penuh luka ini.

Saat hendak membuka pintu depan, tiba-tiba suara Kaireen menghentikannya.

"Malam-malam begini kakak mau kemana?" tanya Kaireen.

Bella menundukkan kepalanya sejenak, jari-jarinya menggenggam erat tali tasnya. Wajahnya yang biasanya cerah kini memancarkan kelelahan dan kesedihan yang mendalam. "Kakak mau menemui sesorang jawabnya lirih.

"Siapa kak? Mau aku temani?" tawar Kairen.

"Tidak usah Kairen, kakak cuma mau ke rumah ayah Reza" tolak Bella.

Kairen menatap Bella dengan mata yang penuh tanya,"Kakak yakin? Bukankah selama ini om Reza tidak pernah mencari kakak?"

Bella menghela napas pelan, senyum kecut muncul di sudut bibirnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya."Tidak ada salahnya kakak mencobanya. Kakak pergi dulu, jangan beritahu yang lain," ucap Bella. Dia tidak ingin mamanya mengetahui apa yang dia lakukan.

"Hati-hati kak" ucap Kairen sambil menatap punggung kakaknya yang menjauh.

Bertahun-tahun kakaknya hidup dalam luka yang diberikan oleh keluarganya, membuat Kairen merasa iba. Dia berusaha merangkul kakaknya agar tidak merasa sendiri hidup di dunia ini. Berulang kali Kairen mencoba menyadarkan kedua orang tuanya supaya memaafkan Bella, tetapi tidak membuahkan hasil.

Sementara itu di luar Bella sudah naik keatas motor duduk di belakang, perlahan tukang ojeg yang dia sewa melajukan motornya menuju ke rumah sang ayah.

Bersambung.

Jangan lupa follow, komen dan like.

BAB 3

Sepanjang perjalanan bibir Bella terus bergerak lirih, berdoa meminta yang terbaik. Dia berharap ayah kandungnya yang selama ini hanya dia kenal saat masih kecil, mau membuka pintu hati dan menerimanya.

Matanya yang basah menatap pemandangan di sepanjang jalan, seolah mencari keberanian dalam setiap lekuk jalan yang dilalui. Setelah hampir satu jam menembus jalanan kota yang padat, motor yang dia tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah dengan pagar besi tinggi berwarna hitam yang tampak kokoh. Hawa dingin malam itu menyapa kulit Bella yang mulai berkeringat dingin, menandakan kecemasannya mulai melanda.

Bella turun dari atas motor. Dia memberikan uang ongkos dengan tangan yang sedikit gemetar dan menyerahkannya kepada pengendara ojeg.

Setelah ojeg itu pergi, Bella menatap pagar tinggi itu sejenak, lalu melangkah menuju pos penjagaan yang berdiri kokoh di sisi pintu masuk.

Kriett.....

Suara derit pintu besi yang dibuka oleh seorang satpam tua mengiringi langkah Bella yang semakin mendekat, sementara hatinya bergelora antara harap dan takut ditolak. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha menyembunyikan keraguan yang bergejolak di dalam dada.

"Permisi pak, selamat malam" sapa Bella dengan suara yang terdengar gugup.Wajahnya memerah, tubuhnya sedikit gemetar, seolah beban harapan dan kecemasan menekan pundaknya yang kecil.

"Kamu siapa? Dan ada keperluan apa kamu datang kemari?" penjagaan di rumah Reza cukup ketat, di boleh sembarang orang datang menemuinya.

"Saya Bella,... ingin bertemu dengan tuan Reza, pak." ucap Bella sopan.

"Maaf nona, sudah malam, tuan Reza tidak bisa menerima tamu" kata penjaga. Bosnya itu tidak pernah mau menerima tamu di atas jam delapan malam, kecuali sudah membuat janji, atau ada sesuatu yang penting.

"Bilang saja, saya Bella anaknya tuan Reza, ingin bertemu" ucap Bella dengan tatapan memohon.

Penjaga itu menatap Bella dengan mata yang sulit dibaca, diam sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Tunggu sebentar, Nona" ucapnya dan memcoba mengkonfirmasi terlebih dahulu.

Sementara menunggu, Bella menundukkan kepala, menarik napas panjang dan mengangkat kedua tangan dalam doa kecil, berharap ayahnya bisa menerima kedatangannya dengan tangan terbuka. Hatinya penuh dengan campuran rasa takut dan rindu yang membuncah.Suara motor dan hiruk pikuk kota seolah memudar, hanya ada kesunyian yang menusuk di antara pagar tinggi dan dinding rumah besar di depannya.

"Tuan Reza meminta anda untuk masuk" ucap penjaga setelah mendapat jawaban dari laki-laki itu.

Setelah gerbang di buka, dengan langkah gontai Bella berjalan menuju pintu utama rumah ayahnya. Dia merasa dunia tidak adil, di saat kedua orang tuanya hidup bahagia, dia harus menderita dengan semua kesalahan yang tidak pernah dia lakukan.

Ting Tong

Ting Tong

Ting Tong

Ceklek.....

Tak lama pintu rumah terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria paruh baya dengan tatapan tajam menatap Bella.

Bella menatapnya dalam-dalam, berusaha menyembunyikan getir yang sudah lama ia pendam.

"Ayah," suaranya hampir tak terdengar, namun penuh harap. Pria itu berhenti sejenak, menimbang apa yang harus ia katakan. Wajah kerasnya melembut, tapi matanya tetap penuh dengan keraguan.

"Masuklah, Kita bicara di dalam." ucap Reza dengan suara yang terdengar dingin.

Langkah Bella gemetar saat melangkah melewati pintu, merasakan aura dingin di sekitarnya.

"Ada apa kamu malam-malam datang kemari" tanya Reza ketika mereka berdua sudah duduk di ruang tamu.

Bella tidak langsung menjawab, dia menatap ayahnya dengan tatapan yang sulit di rumit.

"Katakan Bella, saya tidak memiliki banyak waktu untuk berbicara denganmu" desak Reza.

Bella menghela napas panjang, mencoba meredam denyut perih yang menggerayangi hatinya. Matanya menatap lurus kedepan menatap wajah ayahnya yang selama ini tidak pernah dia temui.

"Aku kesini ingin meminta tolong padamu, ayah," ucap Bella memberanikan diri"Izinkan aku tinggal di sini untuk sementara waktu. Nanti kalau aku sudah memiliki uang, aku akan pergi dari sini."

Reza menggeleng pelan, ekspresinya keras dan penuh ketegasan. "Maaf, saya tidak bisa. Saya tidak mau mengambil risiko atas keselamatan anak-anak saya. Saya takut mereka celaka sama seperti almarhum calon adikmu itu." Perkataan itu menusuk dalam hati Bella. Tangannya mengepal kuat sampai kuku menembus kulit telapak. Tubuhnya bergetar, tapi dia memaksa diri tetap diam, menahan amarah sekaligus kesedihan yang menggulung di dadanya.

Matanya menatap ke lantai, menahan air mata yang nyaris jatuh, sementara pikirannya berlari liar mencari jalan keluar dari penolakan itu. Ia merasa tertutup dan terasing dalam rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan terakhirnya.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi" pamit Bella tanpa memohon lebih lama lagi. Dia tidak mau mengemis di hadapan ayahnya.

Bella keluar dari rumah ayahnya, dan duduk di teras sebentar berusaha mengontrol kesedihannya.

Sementara itu di dalam Reza berdiri di balik jendela kaca yang agak buram, matanya tajam menatap sosok kecil yang sedang duduk termenung di depan rumahnya. Punggung putrinya yang kurus itu terlihat seperti bayangan yang tenggelam dalam sepi, terasing di antara keramaian yang tak pernah menyambutnya.

Reza mengernyit, namun bukan rasa iba yang mengisi dadanya, melainkan kebekuan yang sudah lama membeku, sebuah sikap dingin yang tak tergerakkan oleh kisah pilu anak yang selama ini tidak pernah dia anggap.

Semenjak memiliki anak dari Erika, Reza tidak pernah sedikit pun perduli dengan Bella. Padahal dulu pria itu sempat menyesal, dan ingin mengakui putrinya itu. Tetapi hati seorang mudah sekali berubah.

Tiba-tiba, suara lembut sang istri memecah keheningan, “Siapa, Mas?” Dia melangkah mendekati suaminya.

“Bella,” jawab Reza tanpa mengalihkan pandangannya. “Dia minta izin tinggal di sini. Tapi tenang saja, aku sudah menolaknya.”

Erika menghela napas, ekspresinya berubah menjadi campuran lega dan tegas. “Baguslah. Aku tak mau anak-anakku bernasib sama seperti adiknya itu.” Matanya menyipit, menegaskan bahwa baginya, keluarga harus dijaga agar tak celaka seperti yang terjadi pada Arumi dan calon anaknya yang di kandungnya.

Reza menoleh sebentar, memperhatikan wajah istrinya, lalu kembali menatap ke arah putrinya yang masih terdiam di luar sana, seolah dunia ini memang sudah menutup pintu untuknya. Di dalam hatinya, keheningan terus bergaung, menegaskan bahwa rasa iba takkan pernah datang untuk anak yang dianggapnya bukan bagian dari hidupnya.

Bella melangkah keluar melewati gerbang utama rumah ayahnya, tubuhnya gemetar dan dada terasa sesak. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya, membentuk jejak basah yang tak kunjung berhenti meski angin malam mencoba mengeringkannya. Senyum getir tersungging di bibirnya yang gemetar, seolah menantang kesedihan yang menyesakkan hati.

“Ternyata begini rasanya jadi anak broken home,” bisiknya pelan, rasa kecewa memenuhi perasaannya.

Kenangan tentang ucapan seseorang dulu terngiang di benaknya, 'Seburuk apapun kesalahan anak, orang tua pasti akan memaafkannya' Namun kata-kata itu tidak berlaku untuknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!