NovelToon NovelToon

Accidentally Yours

1. Tiba-tiba dijodohkan

Velora menatap layar monitor pasien dengan mata lelah. Shift malam di rumah sakit membuatnya hampir lupa kapan terakhir kali tidur nyenyak. Tangannya cekatan memeriksa catatan medis, memantau detak jantung pasien, dan memastikan dosis obat tepat.

Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, setelah hampir tiga tahun meniti kariernya, gadis 28 tahun itu terbiasa menghadapi situasi kritis dan membuat keputusan hidup-mati setiap hari. Rumah sakit adalah dunianya, tempat logika dan profesionalisme selalu menang atas emosi.

Namun pagi ini, ada sesuatu yang membuatnya hampir kehilangan fokus yakni Arvenzo Wardhana.

Pria itu muncul di lorong rumah sakit dengan setelan rapi dan tatapan dingin yang selalu membuat bulu kuduk berdiri. Velora sudah mengenal Arvenzo sejak satu tahun terakhir. Selama menjadi pasien VIP nya, ia tahu sifat Arvenzo yang arogan, perfeksionis, dan kadang menuntut perhatian ekstra tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda, lebih pribadi, lebih mengancam.

“Dokter Velora, bolehkah kita bicara sebentar di ruang kerjamu?” suaranya dingin tapi tegas.

Velora menelan ludah, menutup catatan pasiennya, dan mengangguk perlahan. Mereka berjalan menuju ruang kerjanya, tempat biasa ia meninjau kasus-kasus rumit atau konsultasi pribadi dengan pasien.

Begitu pintu tertutup rapat, Arvenzo berdiri di depan mejanya, menatap Velora lurus ke mata. Ia tampak dewasa, hampir 30 tahun, dengan aura dominan yang membuat Velora selalu merasa sedikit terintimidasi.

“Velora, saya tahu ini akan mengejutkanmu. Tapi kamu harus mendengarkan,” katanya, nada seriusnya membuat Velora merasa seluruh tubuhnya tegang.

Velora mengerutkan kening. “Maksudmu mendengarkan apa?” Suaranya gemetar meski ia berusaha terdengar tenang.

Arvenzo menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menatapnya kembali. “Dulu, kakekmu, tuan Atmadja, berhutang pada kakek saya. Tapi kakek saya tidak ingin dibayar dengan uang. Dia hanya ingin satu hal yakni cucu-cucu mereka dijodohkan suatu hari nanti.”

Velora menatapnya terbelalak. Napasnya terhenti sebentar. “Cucu-cucu kita? Maksudmu kita... kita dijodohkan tanpa aku tahu?”

Arvenzo mengangguk pelan. “Ya. Rencana awal mereka adalah untuk anak-anak mereka, tapi semua anak mereka laki-laki. Jadi rencana itu dialihkan untuk cucu-cucu mereka... Ya itu kita.”

Velora merasa dunianya runtuh. Napasnya tersengal, tangan gemetar memegang stetoskopnya. “Kamu bercanda, kan? Ini... ini gila! Aku bukan pion dalam permainan kalian!”

Arvenzo mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya dingin dan tegas. “Tapi itu kenyataannya. Kita memang akan menikah bukan karena cinta, tapi karena janji keluarga. Kamu bisa menolak, tapi itu akan membuat hidup keluargamu bermasalah ke depannya dan orang tuamu pun setuju dengan ini.”

Velora menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Hah... Kamu bercanda kan? Tidak mungkin orang tuaku setuju tanpa bilang apapun ke aku.”

Arvenzo menghela napas. “Kamu bisa tanyakan ke orang tuamu dan dua minggu lagi kita akan menikah tepat dua minggu dari sekarang. Tidak ada waktu untuk menolak, tidak ada waktu untuk menolak. Semua harus berjalan sesuai rencana kakek dan orang tua kita.”

Ketegangan di ruang itu semakin terasa. Velora menunduk, merasakan kepala pusing dan jantung berdegup cepat. Dua minggu. Hanya dua minggu untuk menyiapkan diri menghadapi hal yang bahkan ia tak pernah bayangkan.

Dua minggu untuk menerima kenyataan bahwa hidupnya, karier, kebebasan, bahkan identitasnya sebagai wanita mandiri akan berubah drastis.

Selain itu, Velora tahu Arvenzo juga mengetahui hubungannya dengan Ethan, kekasihnya yang sedang berada di Kanada menjalankan perusahaan keluarga. Arvenzo menatap Velora dengan dingin dan serius.

“Saya tahu kamu memiliki seorang kekasih dan kamu harus segera memutuskan hubunganmu dengan dia!” ucap Arvenzo. “Apalagi fakta bahwa kita akan menikah dua minggu lagi. Tidak ada waktu untuk tawar menawar!”

Velora menahan amarah, wajahnya memerah. “Ini tidak adil! Ethan, dia sedang jauh di Kanada, tidak mungkin aku memutuskannya! Kamu tidak bisa memaksaku seperti ini!”

Namun Arvenzo tidak goyah. Velora bisa melihat ketegasan itu bahwa pria ini sama sekali tak mau kalah. Bahkan ketika mengetahui akan dijodohkan dengan Velora, Arvenzo juga telah memutuskan kekasihnya sendiri tanpa banyak tanya.

Ia menerima perjodohan itu dengan kepala tegak, tanpa ragu, karena baginya, aturan keluarga adalah kenyataan yang harus dihadapi dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menentang takdir yang sudah ditetapkan.

Velora menunduk, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, tidak ada argumen yang akan mengubah keputusan keluarga mereka. Ia adalah dokter, wanita yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri tapi kini, hidupnya benar-benar di luar kendali.

Matanya menatap Arvenzo. Pria itu tampak tak peduli, seperti raja di dunianya sendiri, dingin, arogan, dan sulit ditaklukkan. Velora merasakan campuran amarah, frustrasi, dan entah kenapa rasa penasaran yang aneh.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” Velora bertanya, suaranya sedikit gemetar. “Kakek kita... kenapa harus kita? Kenapa bukan orang lain? Kenapa tidak sepupu-sepupuku yang lain saja.”

Arvenzo mencondongkan kepala, menatap lurus ke mata Velora. “Karena kita yang memenuhi syarat. Dan karena janji itu sudah ada sejak lama. Kamu mau atau tidak, kita harus memulainya sekarang. Dan ingat, dua minggu lagi kita akan menikah.”

Velora menunduk, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Hidupnya, yang biasa ia kendalikan dengan cermat, kini benar-benar berada di luar kendali.

Dan di balik semua kekacauan ini, satu hal jelas terasa seperti neraka yang ia hadapi hari ini justru akan membuka jalan bagi sesuatu yang sama sekali tak pernah ia bayangkan yakni cinta.

...****************...

Velora melangkah masuk ke ruang keluarga, tubuhnya masih tegang dan hati berdebar kencang setelah pertemuan yang mengejutkan dengan Arvenzo di rumah sakit tadi.

Pikiran tentang perjodohan yang tiba-tiba itu terus berputar, membuatnya sulit menenangkan diri, bahkan saat ia berada di rumah sendiri.

“Ini tidak adil! Kenapa kalian bisa seenaknya memutuskan hidupku?” serunya, suaranya meninggi, tangan gemetar menahan amarah. Ia menatap kakeknya, Atmadja, yang duduk di sofa dengan wajah tenang, seolah sudah mengantisipasi ledakan ini.

“Kamu harus mengerti, Velora,” ucap Atmadja pelan, suaranya berat dan penuh wibawa. “Janji itu sudah ada sejak lama. Ini bukan keputusan baru, bukan semata-mata ingin menyusahkan mu.”

“Janji lama atau tidak, aku tetap wanita dewasa yang punya hak memilih, Kek! Aku punya hidupku sendiri, dan aku tidak mau dipaksa menikah dengan orang yang bahkan baru aku kenal!” Velora menekankan kata-katanya, matanya membara.

Ibunya, Ariella, berdiri di belakang Velora, meletakkan tangan lembut di pundaknya. “Nak, Ibu mengerti kemarahan mu. Ibu juga akan marah kalau berada di posisimu. Tapi coba dengar dulu alasan mereka. Ini bukan sekadar permainan atau hobi mereka. Kakekmu ingin memastikan keluarga kita tetap terikat dalam kehormatan dan janji lama itu.”

Velora menepis tangan ibunya, tapi tak bisa menahan air matanya menetes. “Aku tidak peduli dengan kehormatan atau perjanjian lama! Aku ingin hidupku sendiri! Aku tidak mau jadi pion dalam permainan kalian!”

Ayahnya, Rendra, yang duduk di kursi dekat jendela, menatap Velora dengan serius tapi penuh kelembutan. “Ayah tahu kamu marah, dan itu wajar, Velora. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kadang hidup menuntut kita membuat keputusan sulit, bukan berdasarkan keinginan pribadi semata. Kita harus menghormati janji ini agar tidak menimbulkan masalah lebih besar di keluarga. Memang berat, tapi ini cara menjaga agar semuanya tetap berjalan dengan baik.”

Velora menunduk, napasnya tersengal. “Tapi aku merasa seperti kehilangan kendali atas hidupku sendiri. Semua orang seolah menentukan jalan hidupku tanpa menanyakan aku sama sekali.”

Dewi, sang Nenek duduk perlahan di kursi dekat Velora. Suaranya lembut, menenangkan, penuh kasih. “Velora, Nenek tahu ini berat. Tapi kadang hidup membawa kita ke jalan yang tak pernah kita bayangkan. Nenek juga dulu tidak suka dengan beberapa keputusan keluarga, tapi kita harus belajar menyesuaikan diri, bukan semata-mata melawan. Kamu bisa tetap memiliki suara, tapi ada hal-hal yang harus dijalani, setidaknya untuk sementara.”

Ariella meraih tangannya, menatap mata Velora penuh kelembutan. “Ibu tahu, nak. Itu wajar. Tapi ingat, keluarga kita selalu mencoba melindungi. Terkadang caranya keras dan tampak tidak adil. Tapi kamu harus percaya, mereka juga ingin yang terbaik untukmu, meski caranya berbeda dengan yang kamu harapkan.”

Velora menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Kata-kata ibu dan neneknya menembus amarahnya yang membara, sementara nasihat ayahnya menambah perspektif. Ia mulai memahami sisi lain dari janji lama yang membelenggu keluarganya, meski rasa frustrasi dan takut masih tetap ada.

Neneknya menepuk bahu Velora perlahan. “Jangan menolak semuanya dengan amarah, nak. Kadang hidup memaksa kita menjalani hal yang tidak kita pilih, tapi itu bukan berarti kamu harus menyerah. kamu tetap bisa berjuang, tapi tetap dengan hati yang tenang.”

Velora menatap neneknya, menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarahnya. Meski ia masih takut menghadapi Arvenzo dan dua minggu menuju pernikahan itu, setidaknya kini ia sedikit lebih siap menghadapi kenyataan, dengan suara dari ayah, ibu, dan nenek yang menyeimbangkan kemarahannya.

Tapi kemudian Velora menatap mereka dengan tegas, suaranya bergetar. “Tapi kalian lupa satu hal! Aku sudah memiliki kekasih! Ethan! Kami sudah bersama selama enam tahun! Apakah kalian pikir aku bisa begitu saja meninggalkannya hanya karena janji lama yang dibuat kakek dan kakek Arvenzo?!”

Atmadja tetap duduk tenang di sofa, tatapannya tegas. “Janji itu bukan sekadar soal pasangan, Velora. Ini soal masa depan keluarga kita. kamu harus memutuskan hubunganmu dengan Ethan sebelum jalan ini benar-benar dimulai. Kalau tidak, masalahnya akan lebih besar lagi dan bisa memalukan keluarga kita!”

Rendra menambahkan dengan nada tegas tapi lembut: “Ayah paham kamu mencintai Ethan. Tapi hidup kadang menuntut pengorbanan yang berat. Ini bukan soal perasaan semata. Keluarga menaruh kepercayaan pada keputusan ini. Jika kamu tetap bersikeras mempertahankan hubunganmu, itu hanya akan memperumit semuanya. Kamu harus memutuskan Ethan sekarang, sebelum semuanya terlambat.”

Velora terdiam sejenak, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menunduk, menahan emosi yang campur aduk antara cinta, marah, dan takut. “Kalian sungguh menginginkanku memutuskan Ethan demi janji yang bahkan aku tidak setuju sepenuhnya?”

Ariella menatap putrinya penuh kasih. “Nak, Ibu tahu ini tidak mudah. Kamu tetap bisa mencintai Ethan, tapi hidup harus tetap berjalan sesuai kebutuhan keluarga dan janji yang sudah ada.”

Velora menggigit bibirnya, air mata menetes. Hatinya berontak, tapi kata-kata Atmadja dan Rendra seperti batu besar yang menekan pikirannya. Ia tahu, menolak mereka bukan hanya soal memberontak, tapi juga akan menimbulkan masalah serius bagi seluruh keluarga.

2. Fitting baju pengantin

Pagi itu, Velora terbangun dengan kepala berat. Meski tidur cukup, pikirannya kacau setelah makan malam semalam di rumah keluarga Arvenzo. Dua minggu lagi, hidupnya akan berubah drastis. Dua minggu lagi, ia akan menjadi calon pengantin seorang pria yang baru ia kenal secara resmi semalam, Arvenzo Wardhana.

Pesan singkat dari Arvenzo masih terngiang di kepalanya. “Aku akan menjemputmu. Jangan terlambat.” Nada dingin, kaku, tegas. Bahkan hanya membaca kata-kata itu, Velora merasakan detak jantungnya meningkat.

Ia menarik selimut lebih erat, mencoba menenangkan diri. Pikiran tentang kurang dari dua minggu lagi memenuhi kepalanya. Bagaimana ia harus bersikap di hadapan pria yang dingin, kaku, dan tampak selalu mengendalikan setiap situasi? Bagaimana jika ia salah bicara atau salah bertindak?

Dengan langkah perlahan, Velora bangun, mandi, dan bersiap mengenakan pakaian yang nyaman untuk perjalanan ke butik. Ia memilih setelan sederhana, longgar, tapi tetap rapi. Momen ini terasa aneh... ia seorang dokter spesialis penyakit dalam, terbiasa menyelamatkan nyawa dan mengambil keputusan penting setiap hari, namun hari ini, ia harus tunduk pada urusan pribadi yang terasa begitu asing dan menegangkan.

Mobil hitam berhenti tepat di depan rumah Velora, Arvenzo sudah menunggu berdiri dengan setelan jas hitam rapi, rambut tersisir sempurna, wajah tetap dingin, tatapan menusuk.

“Siap?” suaranya pendek, dingin, tanpa basa-basi.

Velora menelan ludah. “Ya, aku siap.”

Selama perjalanan, mobil melaju di jalan-jalan yang mulai sibuk. Lampu lalu lintas berubah-ubah, suara klakson dan kendaraan lain terdengar samar. Velora menatap jalan di luar jendela, mencoba menenangkan pikiran yang kacau.

Arvenzo menyetir dalam diam, pandangan kadang menatap lurus ke depan, kadang sekilas menoleh padanya. Velora merasa diawasi setiap saat. Rasa frustrasi, penasaran, dan sedikit kagum bercampur. Pria ini benar-benar menegaskan dominasi dan ketegasannya, namun tetap memperhatikan batasan.

Velora menelan ludah. Ia sadar, sebentar lagi bukan hanya soal janji keluarga ini juga soal belajar menghadapi Arvenzo pria yang sulit ditebak, dingin, dan tegas.

Butik Diana, adik dari Mela ibu Arvenzo menyambut mereka dengan interior hangat dan mewah. Aroma parfum lembut dan lilin yang menyala memberikan kesan elegan dan nyaman. Rak-rak gaun pengantin tersusun rapi, tirai sutra berjatuhan, cermin besar memantulkan cahaya lembut, dan musik klasik mengalun pelan.

“Selamat pagi, Arven, Velora! Senang akhirnya bisa bertemu langsung. Kamu terlihat cantik sekali,” sapa Diana dengan senyum hangat.

Velora tersipu, merasa gugup. “Terima kasih, Tante...”

“Aduh cantiknya kamu ini, coba saja anak Tante yang cowok sudah dewasa, pasti Tante akan jodohkan sama kamu daripada sama pria kulkas itu," bisik Diana terkikik pelan. Velora hanya menanggapi dengan senyuman.

"Yuk, langsung ke ruang ganti,” ajak Diana.

Arvenzo tetap diam, wajah kaku, tangan disilangkan di atas dada. “Kamu tahu aturan,” katanya singkat. “Saya ingin semuanya cepat dan tepat!”

Velora menelan ludah, sadar bahwa pria ini tidak main-main.

Velora mencoba gaun pertama, klasik, putih, elegan, namun bagian dada terlalu rendah. Ia memutar tubuh di depan cermin, menatap bayangan dirinya, merasa canggung.

“Ini... terlalu terbuka,” gumamnya pelan.

Arvenzo menatap lurus ke gaun itu. “Setuju. Tidak pantas,” jawabnya dingin.

Diana tersenyum lembut. “Tidak masalah. Masih banyak pilihan, Velora. Kita bisa cari yang lebih elegan dan nyaman.”

Velora mengangguk, mencoba menenangkan diri.

Gaun kedua memiliki punggung terbuka lebar. Velora menatap cermin, menarik napas.

Arvenzo mencondongkan kepala sedikit. “Bagian belakang terlalu terbuka. Tidak cocok, ganti!”

Velora menghela napas panjang. “Aku tidak terbiasa dengan gaun pengantin modern seperti ini.”

Diana menepuk pundaknya. “Tenang, Velora. Kita akan temukan yang tepat. Kamu tetap terlihat menawan.”

Proses fitting berlangsung lama. Setiap gaun yang dicoba Velora, Arvenzo memberi komentar singkat tapi tegas, terlalu rendah, terlalu terbuka, terlalu berlebihan. Velora merasa frustrasi tapi mulai penasaran bagaimana pria ini menilai, bagaimana ia menegaskan standar, dan mengapa ketegasan itu membuatnya merasa diawasi tapi tetap dihormati.

Velora mencoba gaun ketiga terlalu berlapis, terlihat lebih tua dari usianya. Arvenzo mengangguk singkat: “Terlalu formal dan vintage. Tidak sesuai.”

Diana tersenyum lembut. “Tenang, Velora. Masih ada beberapa pilihan. Aku yakin kita akan menemukan yang tepat. kamu tetap cantik, percayalah.”

Gaun keempat kombinasi elegan, sopan, menonjolkan siluet tubuh tapi menutup bagian yang sensitif. Velora merasa nyaman.

Arvenzo menatapnya sesaat. “Bagus,” katanya singkat. Ekspresinya dingin tapi setuju.

Diana menepuk bahu Velora. “Lihat? Tante bilang kamu akan terlihat menawan. Percaya diri saja.”

Sepanjang proses, Arvenzo tetap dingin, kaku, tapi memperhatikan setiap detail, cara Velora bergerak, ekspresi wajahnya, reaksi terhadap gaun, dan bagaimana ia menyesuaikan diri. Velora mulai merasa sedikit penasaran mengapa pria ini begitu tegas namun tetap menghormati batasannya?

Velora menatap Arvenzo. “Apakah kamu benar-benar setuju dengan gaun ini?”

Arvenzo menatap lurus, menahan ekspresi. “Cukup memuaskan. Tidak ada yang perlu diubah.”

Velora menelan ludah, merasa lega tapi juga canggung. Di ruang ganti, ia menatap bayangan dirinya di cermin. Ia menarik napas panjang. Kurang dari dua minggu lagi akan menjadi ujian nyata, belajar menghadapi Arvenzo, menjalani perjodohan, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru.

Velora menyadari satu hal, meski Arvenzo dingin dan kaku, ia menegaskan aturan tanpa kasar, memperhatikan batasan, dan memastikan semua berjalan sesuai aturan. Ia tidak tahu apakah itu akan membuat hidupnya lebih mudah atau lebih sulit, tapi satu hal jelas Arvenzo akan selalu ada, mengawasi, menegaskan, dan menuntut kepatuhan.

Diana menepuk pundak Velora. “Selesai! kamu terlihat sempurna. Tante yakin keluarga akan menyukai pilihan ini.”

Velora tersenyum tipis, dan mengangguk pelan.

...****************...

Velora menghela napas panjang begitu mobil melaju keluar dari butik. Ruang fitting yang elegan dan hangat kini digantikan oleh hiruk-pikuk jalanan kota. Ia menatap keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya masih terasa hangat akibat sentuhan kain gaun yang baru dicoba dan detik demi detik, ia merasakan kenyataan hari pernikahannya semakin dekat.

Arvenzo tetap diam, menyalakan mobil dengan tenang. Tatapannya sesekali menoleh padanya, dingin, kaku, seolah menegaskan posisi dominannya.

“Kita akan ke restoran,” katanya akhirnya, suara rendah tapi tegas. “Kamu lapar?”

Velora menelan ludah. “Ya... sedikit.” Ia mencoba terdengar santai, padahal perasaan campur aduk. Fitting baju pengantin, komentar Arvenzo yang dingin, dan fakta bahwa ia akan menikah dengan pria ini membuatnya hampir tidak bisa berpikir jernih.

Mobil berhenti di depan restoran mewah, dan mereka turun. Arvenzo membuka pintu untuk Velora, tetap menahan ekspresi dinginnya. Velora menatapnya sejenak, merasa terganggu sekaligus penasaran pria ini selalu menjaga jarak emosional, namun selalu berada tepat di sisinya.

Mereka duduk di meja pojok restoran yang tenang. Pelayan segera datang, membawa menu dan menawarkan rekomendasi spesial. Velora memesan salad ringan, sedangkan Arvenzo memesan steak medium rare.

Sementara menunggu pesanan, suasana di meja terasa hening. Velora menatap tangannya sendiri, jantungnya masih berdebar setelah fitting tadi. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengulang urutan acara di kepala, fitting, pilihan gaun, komentar Arvenzo yang tegas tapi diam-diam memperhatikan.

Arvenzo tiba-tiba memecah keheningan. “Velora...”

Velora menoleh, sedikit terkejut oleh nada seriusnya. “Ya?”

Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap lurus ke matanya. “Kamu sudah memutuskan kekasih mu itu?”

Velora terdiam. Jantungnya serasa berhenti sejenak. “Apa maksudmu?” suaranya terdengar gemetar meski berusaha terdengar tenang.

Arvenzo menatapnya tajam, kaku, wajahnya tetap dingin. “Siapa lagi kalau Ethan, kekasihmu itu! Dengarkan baik-baik, Velora... saya tidak ingin pacarmu itu jadi masalah suatu hari nanti. Jangan sampai dia menjadi boomerang yang membuat keluargaku malu!”

Velora menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya tegang. Ia tidak menyangka Arvenzo akan mengingatkan hal ini lagi, dan nada suaranya tidak memberi ruang untuk debat.

“Arvenzo... aku masih… tidak tahu harus bagaimana,” jawabnya perlahan, berusaha menahan gemetar.

Arvenzo tetap menatapnya tanpa mengalihkan pandangan. “Kurang dua minggu lagi kita menikah. Saya tidak ingin ada rahasia atau ketidakjelasan yang bisa merusak segalanya. Kamu harus membuat keputusan. Sekarang! Sebelum semua ini menjadi lebih rumit.”

Velora menarik napas panjang. Kata-kata Arvenzo menekan pikirannya, membuatnya merasa tidak ada ruang untuk kesalahan. Ia tahu ia harus jujur, tapi hati kecilnya masih terikat pada Ethan. Namun di sisi lain, ia menyadari realitas yang dihadapinya, janji keluarga, posisi Arvenzo, dan fakta bahwa mereka akan menikah segera.

“Aku butuh waktu sebentar,” akhirnya Velora berani berkata, meski suaranya terdengar lirih.

Arvenzo mengangguk, tetap kaku dan dingin. “Saya beri waktu, tapi ingat... setiap hari yang kamu tunda, berarti risiko untuk keluargamu bertambah. Saya tidak menuntut perasaanmu, hanya kepastian. Jangan sampai kesalahan kecil menimbulkan masalah besar di kemudian hari.”

Velora mengangguk perlahan. Rasa tegang di dadanya semakin terasa. Ia menatap Arvenzo yang duduk di seberangnya kaku, dingin, tegas, dan penuh dominasi. Meski kata-katanya tajam, ada sesuatu dalam caranya menegaskan aturan yang membuat Velora merasa ia harus menyesuaikan diri.

Pelayan datang membawa pesanan mereka. Velora mengambil sendok salad dan mencoba mengalihkan pikirannya sejenak dengan makanan. Tapi matanya terus menatap Arvenzo, yang dengan tenang memotong steaknya.

Suasana di meja terasa hening, tegang, dan anehnya, membuat Velora merasa ia benar-benar berada di dunia baru yang belum pernah ia alami, dunia di mana keputusan pribadinya diawasi, dinilai, dan ditegaskan oleh seorang pria yang dingin tapi tak bisa diabaikan.

Setiap gigitan terasa berat. Pikiran Velora terbang ke Ethan di Kanada, memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan keadaan ini. Tetapi di sisi lain, tatapan Arvenzo yang tajam seakan berkata bahwa tidak ada alasan untuk menunda keputusan lebih lama lagi.

Velora menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, makan siang ini bukan sekadar waktu untuk makan, ini adalah awal dari fase baru dalam hidupnya, di mana ia harus menghadapi Arvenzo, membuat keputusan sulit tentang Ethan, dan menyiapkan diri menghadapi pernikahan yang semakin dekat.

Arvenzo meneguk air mineralnya, menatapnya sekali lagi, dingin, kaku, tanpa senyum. “Pikirkan baik-baik, Velora. Keputusanmu hari ini akan menentukan bagaimana dua minggu ke depan berjalan. Jangan sampai keluarga saya malu karena ketidakjelasan atau kesalahan kecil!”

Velora mengangguk lagi, kali ini lebih tegas. Dalam hatinya, ia berjanji untuk berpikir matang tidak terburu-buru, tapi juga tidak menunda. Dua minggu ke depan akan menjadi titik balik hidupnya, dan ia harus siap menghadapi semua konsekuensinya.

3. Memutuskan Ethan

Sesampainya di rumah sakit, Velora segera menuju ruang praktek spesialis penyakit dalam. Ia mengganti jas putih, mencuci tangan dengan teliti, dan menyiapkan catatan pasien. Tidak ada waktu untuk merenung lama, shift siang menuntut fokus penuh.

“Selamat siang, Dokter Velora,” sapa perawat yang menunggu di depan ruang praktek.

“Siang,” balas Velora, suaranya terdengar tegas meski dalam hati ia masih terguncang.

Pasien pertama masuk, seorang pria paruh baya dengan tekanan darah tinggi dan diabetes. Velora memeriksa tensi, meninjau catatan medis, dan menanyakan keluhan terbaru. Tangannya cekatan, setiap gerakan penuh ketelitian. Ia menulis resep, memberikan saran diet, dan memastikan pasien memahami instruksi medis.

Pasien berikutnya seorang wanita muda yang menderita infeksi saluran pernapasan. Velora mendengarkan gejala dengan seksama, memeriksa paru-paru, dan memberikan obat serta saran istirahat.

Seiring jam berjalan, daftar pasien terus berdatangan. Velora tetap fokus, berbicara dengan tenang, mengarahkan perawat, dan memastikan setiap pasien merasa didengar dan diperhatikan.

Meski begitu, di sela-sela instruksi medis dan catatan, pikirannya sesekali melayang. Bayangan Ethan muncul, senyumnya yang hangat, cara ia selalu mendukung Velora, percakapan panjang mereka di akhir pekan, dan kenangan enam tahun penuh cinta yang kini harus ia hadapi dengan keputusan yang begitu berat.

Setelah sesi praktek selesai dan semua pasien diperiksa, Velora menutup catatan terakhirnya dan duduk di kursi ruangannya. Kepalanya terasa berat, tangan masih hangat dari menulis resep. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

“Bagaimana aku harus melakukannya?” gumam Velora, matanya menatap meja. “Enam tahun bersama Ethan dan sekarang aku harus memutuskan dia begitu saja?”

Ia menutup mata sejenak, merasakan gelombang rasa bersalah dan kebingungan menghantamnya. Ethan tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka tidak bertengkar hebat, tidak ada masalah besar, hanya kebahagiaan dan kenyamanan yang selalu mereka bagi bersama.

Velora menunduk, menyandarkan kepala di tangan. “Dia pasti akan bingung atau bahkan terluka. Kenapa aku harus menghancurkan sesuatu yang begitu sempurna?”

Hatinya terasa sesak. Ia sadar bahwa keputusan ini bukan semata-mata soal perasaan pribadinya, tapi juga karena janji keluarga dan perjodohan dengan Arvenzo yang sudah dipastikan akan terjadi dalam dua minggu.

“Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya tanpa membuatnya merasa dikhianati?”

Velora membuka kembali catatan medis yang tadi ia gunakan, mencoba mengalihkan pikiran, tapi matanya terus menatap layar kosong. Bayangan Ethan muncul di setiap sudut pikirannya, senyum hangat, tawa ringan, cara ia memegang tangannya saat mereka sedang bahagia.

Hatinya berteriak, tapi logika dan realita menekannya, ia harus membuat keputusan, dan keputusan itu akan memengaruhi hidupnya, Arvenzo, keluarganya, dan Ethan.

Velora menutup mata lebih lama, merasakan air mata hampir menitik. Ia menyadari satu hal, memutuskan Ethan bukan sekadar mengatakan 'selesai'. Ini soal menyusun kata-kata, menyusun alasan, dan memastikan bahwa meskipun hati Ethan terluka, ia tetap merasa dihargai dan dicintai.

Ia menepuk wajahnya, menarik napas dalam-dalam. “Aku harus kuat... aku harus bisa. Untuk diriku, untuk keluargaku, dan untuk semua yang akan terjadi dalam dua minggu ke depan.”

Velora bangkit dari kursi, menatap jendela ruang praktek. Sinar matahari siang menembus tirai, menciptakan bayangan lembut di lantai. Dua minggu lagi hidupnya akan berubah, dan ia tahu keputusan tentang Ethan akan menjadi momen paling berat. Namun satu hal jelas di hatinya, ia tidak bisa menunda, tidak bisa menghindar.

...****************...

Malam itu, Velora pulang ke rumah setelah shift panjang di rumah sakit. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tidak pernah berhenti. Bayangan Arvenzo, pesan peringatan yang dibuat pria itu dan Ethan yang masih menempati hatinya membuat malam itu terasa semakin berat.

Sesampainya di kamar, Velora menutup pintu dan duduk di tepi ranjang, menatap ponsel di tangannya. Nama Ethan terpampang di layar. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu panggilan ini akan menjadi percakapan paling sulit yang pernah ia lakukan.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggilan video. Layar menyala, dan wajah Ethan muncul, tersenyum hangat meski terlihat lelah.

“Hai sayang! Kamu baru pulang kerja ya? Bagaimana kabar dan pekerjaan kamu hari ini?” sapanya, nada lembut.

Velora menarik napas panjang, suaranya serak. “E-Ethan... aku ingin bicara tentang kita.”

Ethan langsung serius. “Tentang kita? Velo sayang, apa yang terjadi? Kamu terdengar sedang tidak baik-baik saja. Ada masalah?”

Velora menunduk, berusaha menenangkan gemetar tangannya. “Aku... harus mengakhiri hubungan kita.”

Wajah Ethan langsung berubah. Matanya membesar, alisnya mengerut, bibirnya sedikit terbuka. “Apa?! Velora, kamu sedang bercanda? Setelah enam tahun? Kamu memutuskan aku begitu saja? Tanpa alasan yang jelas? Kamu harus beri tahu aku kenapa!”

Velora menelan ludah, menunduk lebih dalam. “Aku tahu ini berat... tapi aku merasa ini harus kulakukan. Maafkan aku, Ethan.”

Ethan menegakkan tubuhnya, suaranya mulai meninggi. “Tidak! Kamu tidak bisa memutuskan aku begitu saja! Enam tahun itu bukan waktu yang cepat! Aku harus tahu alasanmu, Vel! Aku tidak bisa hanya menerima begitu saja!”

Velora menutup mata sejenak, menahan air mata. “Ethan, aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, aku harap kamu mengerti. Maafkan aku...”

Ethan menatapnya tajam, nada suaranya parau tapi tegas. “Tidak! Aku tidak akan diam! Kamu tetap kekasihku sampai kapanpun, Velora! Aku pantas tahu alasanmu, dan kamu tidak bisa lari dari ini begitu saja!”

Velora menelan ludah, tangannya gemetar menahan ponsel. Hatinya sakit, tetapi ia tahu, jika ia terus berbicara, ia tidak akan bisa mengambil langkah yang harus dilakukan. Ia menarik napas panjang, menatap Ethan melalui layar.

“Aku harus melakukan ini, Ethan. Aku tidak bisa lagi bersamamu lagi. Tolong, percayalah, aku tidak bermaksud menyakitimu,” katanya, suaranya hampir berbisik.

Ethan menggertakkan rahang, matanya berkaca-kaca. “Jangan lakukan ini, Velora! Kamu tidak bisa begitu saja meninggalkanku tanpa alasan yang jelas! Aku tidak akan menerima keputusanmu begitu saja!”

Velora menekan tombol akhir panggilan dengan tangan gemetar. Layar ponsel gelap. Ia menunduk, menekan ponsel ke dadanya, dan dengan berat hati membuka menu pengaturan kontak. Ia menekan opsi blokir nomor Ethan. Napasnya tersengal, dada terasa sesak.

“Maafkan aku... aku harus melindungi semua orang, termasuk diriku sendiri,” gumam Velora pada dirinya sendiri, air mata jatuh tanpa suara. Ia tahu keputusan ini akan menyakitinya sendiri, tetapi dua minggu ke depan, pernikahan dengan Arvenzo akan menjadi kenyataan, dan ia tidak bisa membiarkan Ethan menjadi boomerang yang memperumit semuanya.

Velora menatap jendela kamarnya yang gelap, memejamkan mata sejenak. Malam itu sunyi, dan hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Ia tahu, langkah selanjutnya akan lebih sulit menghadapi Arvenzo, menghadapi janji keluarga, dan menahan rasa bersalah terhadap Ethan.

...****************...

Di sisi lain kota, Arvenzo duduk santai di bar mewah, lampu redup memantulkan cahaya kristal dari gelas-gelas di sekelilingnya. Di sampingnya, dua sahabatnya, Zayden dan Niko, meneguk minuman sambil terus menatapnya dengan ekspresi penuh penasaran.

“Lo, jadi beneran lo bakal nikah dua minggu lagi?” tanya Zayden, mencondongkan tubuhnya, nada setengah tak percaya.

Arvenzo meneguk minumannya pelan, tetap dingin. “Hm... Dan kalian pikir gue mau? Gue cuma nerima kenyataan. Lo pada tahu kan drama keluarga kayak gimana, gue nggak bisa nolak, tapi gue juga nggak banyak nanya.”

Niko tertawa kecil, menepuk bahu Arvenzo. “Gila, Bro... lo santai banget, sumpah! Gue kalau gitu panik duluan atau malah pergi kabur ke luar negeri.”

Zayden menepuk bahunya. “Salut sama lo yang langsung nerima gitu aja tanpa drama atau nolak dulu kayak di sinetron!”

Ketiganya bercanda ringan, tapi malam itu ketenangan Arvenzo terganggu saat seorang wanita muncul menghampiri meja mereka. Dia mengenakan pakaian seksi, langkahnya mantap, dan matanya memancarkan kemarahan.

“Arven!” suaranya tegas, penuh amarah dan kecewa. “Apa maksud kamu mutusin aku gitu aja?! Aku mau tau, apa aku nggak cukup memuaskan kamu di atas ranjang?”

Arvenzo tetap tenang, menatapnya dingin, ia menarik napas pelan, menyesal tapi tetap tidak menunjukkan rasa bersalah. “Leona... gue udah jelasin beberapa hari lalu, kita itu udah nggak cocok. Ini keputusan terbaik buat kita. Jangan bikin ribet!”

Leona semakin dekat, wajahnya memerah karena marah dan frustrasi. “Nggak, Arvenzo! Kamu nggak bisa ninggalin aku gitu aja, hubungan kita udah satu tahunan lebih! Aku butuh jawaban! Apa aku kurang memuaskan kamu atau aku harus operasi biar dada aku tambah besar lagi?!”

Zayden dan Niko hampir menyemburkan minuman dalam mulut mereka mendengar ucapan Leona yang begitu terang-terangan. Sedangkan Arvenzo santai meneguk minumannya, matanya tetap dingin.

Pasti banyak orang mengira ia sempurna, tapi kenyataannya, ia sama normalnya seperti pria lainnya. Ia punya kebutuhan biologis, naluri, dan dorongan manusiawi.

Tidak sebaik orang pikirkan, tidak selalu bisa menahan semua perasaan atau keinginan. Tapi Arvenzo selalu menutupinya dengan kontrol total dan aura dominan, sehingga orang jarang melihat sisi manusianya itu.

“Leona! Gue udah bilang, kita ini udahan. Lo harus pergi sekarang, atau gue minta security bantuin usir lo dari sini!”

Leona terdiam, terkejut oleh ketegasan dan aura dominan Arvenzo. Ia menatapnya sekali, matanya berkaca-kaca, lalu akhirnya menghela napas berat dan melangkah pergi, meninggalkan bar tanpa sepatah kata.

Zayden menepuk bahunya lagi. “Gila, lo kejam banget, padahal kan dia salah satu wanita yang sering muasin lo!”

Arvenzo menatap mereka, tenang. “Biarlah, gue juga udah muak sama dia yang suka ngatur hidup gue. Dan bentar lagi gue mau nikah, gue nggak mau ada gangguan dan drama di marahin sama kakek dan orang tua gue gara-gara punya pacar padahal udah nikah.”

Zayden dan Niko hanya mengangguk, setengah kagum, setengah terhibur. Mereka bertiga kembali menyesap minuman masing-masing.

......................

Kalian juga bisa mampir ke novel :

Nama pena : Sylvia Rosyta

Judul : Jadi Kesayangan Suami Konglomerat

Ceritanya tak kalah seru dan menarik😍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!