NovelToon NovelToon

Kemelut Di Istana Juragan

Bab 1

"Kamu harus menolong Bapak, Wulan. Beberapa tahun ini, Bapak selalu gagal panen. Juragan Nata sudah banyak membantu Bapak. Sekarang Bapak harus berterimakasih kepadanya, tapi dia tidak mau uang. Dia mau kamu, Wulan," ucap Asep, seorang laki-laki paruh baya yang tengah bingung atas permintaan sang juragan.

Wulan mengangkat wajah, tak ada senyuman, tak ada keterkejutan, riak wajahnya terlalu datar dan dingin. Ada pancaran kebencian di kedua maniknya yang berwarna coklat.

"Jadi, Bapak meminta Wulan turun gunung hanya untuk ini? Menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki tiga istri. Terkenal dingin dan kejam, memperlakukan istrinya dengan buruk. Kenapa Bapak tidak menyuruh Sari yang menikah? Bukankah dia anak Bapak juga?" protes Wulan tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar.

Gadis berkulit kuning langsat yang tengah duduk di kursi kayu terperanjat mendengar ucapan Wulan. Dia Sari, adik tiri Wulan yang selalu dimanja oleh Asep.

"Tidak! Kenapa harus aku? Kamu anak pertama Bapak, sudah seharusnya berbakti sama Bapak!" hardik gadis itu dengan emosi yang meluap-luap.

Wulan tersenyum sinis, tanpa memandang wajah memuakkan di depan matanya itu. Bertahun-tahun lamanya, ia dibuang ke gunung Munding setelah kematian ibunya. Tak pernah dipedulikan, hidup atau mati. Sekarang, dia harus berbakti? Dunia ini sungguh sebuah lelucon.

"Berbakti? Kata-kata ini bukankah seharusnya diucapkan kepada kamu sendiri, Sari? Aku tidak perlu berbakti kepada siapapun karena sejak kecil aku tinggal sendiri di gunung tidak ada yang merawat. Sedangkan kamu ... bukankah ini waktunya kamu untuk berbakti?" Wulan melirik tajam pada adik tirinya itu.

Sari terhenyak, apalagi saat melihat kedua mata Wulan yang begitu tajam menghujam. Dia terlalu menakutkan, bukan?

"Bapak, kamu tidak pernah menganggap ku anak. Kamu membuang ku ke gunung dan membiarkan aku dimakan binatang buas. Sekarang, Bapak meminta bakti dariku? Apa itu pantas, Bapak?" Wulan mengalihkan pandangan pada laki-laki yang tengah gugup itu.

Terlalu malu pada apa yang telah dia lakukan di masa lalu. Keputusan membuang Wulan adalah atas perintah istri barunya yang tak ingin mengurus Wulan.

"Kamu tidak usah protes, Wulan. Ini keinginan juragan Nata sendiri yang mau menikahi kamu. Dia yang milih kamu," ucap Patma, ibu tiri Wulan yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di dekat anaknya.

Wulan mendengus, bagaimana mungkin keinginan sang juragan? Sementara mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Semua penduduk desa Munding tahu hanya ada Sari di rumah itu.

"Iya, Wulan. Itu juragan Nata sendiri yang mau menikah sama kamu," tambah Asep membenarkan ucapan istrinya.

Sari tersenyum sinis, membayangkan hidup Wulan menderita di istana juragan dia merasa sangat puas.

"Ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin juragan Nata ingin menikahi aku, sementara dia tidak pernah mengenal aku? Kalian hanya mengada-ada agar aku mau menikah dengannya, bukan?" ujar Wulan menahan segala amarah yang menggumpal di dalam hati.

Patma mendengus, Asep menghela napas panjang.

"Dasar keras kepala! Kamu tidak punya pilihan dan tidak diizinkan protes, Wulan. Di sini kamu tidak punya hak bicara. Semua keputusan ada pada kami. Lusa kamu akan menikah dengan juragan Nata. Titik!" tegas Patma tak ingin dibantah.

Wulan mengepalkan tangan kuat-kuat, emosi bergejolak di dalam dada membuat sesak dan sakit. Mereka semua kejam, suatu hari nanti Wulan akan melampiaskan dendam yang ia simpan selama lebih dari sepuluh tahun itu kepada mereka.

"Baik. Aku akan menikah, tapi Bapak harus memenuhi syarat dariku," ujar Wulan mengangkat wajah menatap sang bapak.

"Baik. Apa syaratmu?" Asep menyanggupi permintaan anaknya.

"Aku ingin mengambil alih tanah warisan milik ibuku. Semuanya tidak boleh kurang!" ucap Wulan menyentak mereka bertiga.

Tanah warisan mendiang ibunya Wulan adalah setengah harta dari yang mereka miliki. Tanah yang selama ini mereka gunakan untuk berladang dan menghasilkan uang. Bagaimana mungkin mereka akan memberikannya begitu saja?

"Tidak mungkin! Kamu jangan berharap mengambil alih tanah itu!" tolak Patma berang.

Wulan tersenyum sinis, menatap ibu tiri dengan penuh kebencian.

"Jika begitu, kamu nikahkan saja anak kesayangan kamu itu. Jangan minta aku untuk menikah. Aku akan kembali ke gunung, hidup tenang sendirian." Wulan menyematkan senyum di bibir, terlihat lesung di pipi yang sama persis seperti ibunya.

"Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah dengan juragan kejam itu! Siapa yang mau masuk ke sarang singa hanya untuk mati?" Sari meradang, menolak dengan keras.

"Ya sudah, kalian tebus saja hutang kalian sendiri. Aku dengar, semua harta, rumah, dan apa yang kalian punya belum cukup buat menebus kebebasan kalian," ujar Wulan kali ini dengan senyum lebar tersemat.

Mereka bungkam, yang dikatakan Wulan memanglah benar. Semua yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menebus hutang. Wulan beranjak, hendak kembali ke gunung.

"Bagaimana ini? Dia akan pergi, tidak mungkin Sari yang menikah dengan juragan itu? Aku tidak rela!" bisik Patma dengan cemas.

Mereka menatap punggung Wulan yang semakin menjauh, mendekati pintu rumah. Benar-benar akan pergi.

"Tunggu, Wulan! Kita bisa bicarakan lagi, jangan pergi!" cegah Asep yang tak ingin kehilangan semuanya.

Wulan menghentikan langkah, berbalik menatap ketiganya.

"Jadi, kalian setuju memberikan tanah warisan ibuku?" katanya dengan senyum manis tersemat.

"Kami bisa memberikannya, tapi tidak bisa semua. Bagaimana jika kita bagi separuh-separuh?" ucap Asep lagi tawar menawar dengan sang anak.

"Tidak! Aku ingin semuanya!" tegas Wulan seraya kembali berbalik.

"Argh, baik, baik. Semuanya ... semuanya akan kami serahkan setelah kamu menikah dengan juragan," ucap Asep berjanji.

"Baik. Kamu harus berjanji!" Wulan mengeluarkan sebuah kertas kosong yang terbuat dari kulit hewan.

"Cap jari di sini, gunakan darahmu!" katanya menekan pada bagian bawah kertas itu.

Dengan terpaksa Asep menggigit ujung jarinya, membubuhkan cap di atas sana. Wulan terlihat puas, berbalik dan akan datang lagi lusa.

"Sialan!"

Bab 2

"Kamu yakin mau memberikan tanah itu sama Wulan?" protes Patma tak terima dengan keputusan suaminya.

"Mau bagaimana lagi? Itu memang hak Wulan dari ibunya. Lagi pula, kamu mau Sari yang menikah dengan juragan, atau kita hidup gelandangan?" ujar Asep kesal.

Dia serba salah sendiri, keputusan apapun sama-sama membuatnya rugi. Patma menghentak-hentakkan kaki kesal, tak menyangka Wulan yang tinggal di gunung akan memiliki pikiran seperti itu.

"Kamu tenang saja, setelah dia menikah dengan juragan. Aku pastikan, tanah itu tetap aku yang akan mengelolanya. Dia tidak akan sempat menanyakan itu karena sibuk harus melayani sang juragan," ujar Asep dengan yakin.

Keduanya tertawa puas dengan rencana licik yang mereka susun.

"Kamu benar-benar licik, Kang! Tapi aku suka," rayu Patma dengan puas.

Kamu ditakdirkan untuk tetap berada dl bawah kakiku, Wulan. Sama seperti ibumu yang tidak berguna itu.

Dia tersenyum sinis, sungguh hitam hatinya.

****

Di gunung, di dalam sebuah gubuk bambu sederhana, hidup seorang wanita separuh baya. Hanya sebatang kara tanpa suami dan tanpa anak. Setiap hari hanya menyulam sebuah kain, entah akan diberikan kepada siapa kain itu? Kemudian, sepi mulai menepi saat Wulan hadir menemani hidupnya. Dia Darsih, satu-satunya orang yang tinggal di gunung Munding.

"Ibu!" Wulan datang membawa sekeranjang sayuran dari bawah gunung. Itu adalah kali pertama dia turun gunung atas permintaan ayahnya.

"Wulan, kamu sudah pulang? Bagaimana, kenapa ayahmu meminta pulang, Nak?" serbu wanita itu yang segera menghampiri Wulan setelah menyimpan kain yang disulamnya.

"Bu, bapak minta aku nikah sama juragan Nata," ucap Wulan seraya mendesah berat.

Tak apa yang terpenting baginya dia bisa mendapatkan kembali tanah warisan sang ibunda.

"Terus bagaimana, Nak? Kenapa bapak kamu menikahkan kamu sama laki-laki yang sudah beristri?" tanya Nyai Darsih sembari mengelus rambut panjang Wulan.

Ada senyum bercampur air mata di sana, terlalu sulit menjelaskan bagaimana perasaan wanita itu saat ini.

"Aku dijadikan tebusan hutang, Bu, tapi tidak apa-apa. Dia menyanggupi syarat yang aku pinta, Bu," ucap Wulan meski hati menjerit sakit, menolak pernikahan itu.

"Kamu berhasil mengambil tanah warisan ibu kamu?" tebak Nyai Darsih menatap lekat wajah ayu Wulan.

Gadis itu menoleh padanya, mengangguk tanpa hasrat. Ia mendesah berat, semua itu harus dia lakukan untuk menyelamatkan tanah tersebut.

"Baguslah kalau begitu. Bapakmu semakin serakah. Tanah itu adalah hak kamu, tapi dia malah ingin menjualnya," ujar Nyai Darsih geram.

"Ya, asal bisa mendapatkan tanah warisan itu, apapun akan aku lakukan," ucap Wulan dengan tegas dan penuh keyakinan.

"Perlu kamu tahu, Nak. Juragan Nata tidak seperti yang dikatakan di luaran sana. Kejam dan dingin, juga suka menyiksa istri-istrinya. Itu tidak benar. Kamu akan tahu setelah masuk rumah besar itu nanti," beritahu Nyai Darsih misterius.

Ia terhenyak, dunia itu terlalu banyak rahasia yang Wulan tidak ketahui. Dia Wulan, gadis berusia delapan belas tahun, lugu dan cantik. Berkulit kuning langsat, matanya sedikit bulat dengan manik coklat yang meneduhkan. Rambutnya panjang dikepang dua, meski tinggal di gunung Wulan memiliki kulit yang bersih.

"Wulan akan mengingat setiap nasihat Ibu." Senyum sinis terbentuk, sekilas ia seperti seorang penyihir dengan dendam kesumat di dadanya.

Pancaran kebencian jelas terlihat di kedua manik itu. Wulan seperti seorang Dewi perang yang siap bertempur di medan laga.

Bab 3

"Juragan meminta pesta pernikahan yang mewah. Semua biaya ditanggung oleh juragan sendiri, besok jangan sampai ada kesalahan. Kalau tidak ingin juragan marah," ucap Kang Sumar, kepala pelayan yang diutus juragan untuk mengantarkan barang-barang lamaran ke rumah Asep.

Dengan wajah sumringah, mata berbinar-binar, Asep dan istrinya menatap rakus pada kotak yang berisikan seperangkat perhiasan mengkilap.

"Ba-baik, Kang Sumar. Katakan pada juragan kami pasti tidak akan mengecewakan," sahutnya tak sabar ingin menikmati barang-barang milik Wulan itu.

Kang Sumar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, tanpa dipersilahkan ia duduk di bangku kayu di ruang tamu rumah Asep. Sang empu saling melirik satu sama lain, bertanya-tanya di dalam hati mengapa tidak segera pergi.

"Saya menunggu Neng Wulan, memastikan calon istri juragan sendiri yang menerima barang-barang lamaran ini. Ini juga atas perintah juragan," ucapnya menjelaskan tanpa diminta.

Asep gugup, tapi istrinya mendengus kesal. Sari yang sejak tadi mengintip di balik pintu kamarnya pun ikut merasa jengah dengan sikap Kang Sumar. Dia tergiur dengan kilau menyilaukan emas di dalam kotak tersebut.

"Sial! Si tua bangka itu bukannya cepat pergi. Kenapa malah duduk, sih?" Sari mengumpat kesal, menghentak-hentakkan kaki sambil berjalan mendekati ranjang.

"Ta-tapi, Kang, Wulan tidak ada di sini. Kemarin dia pulang ke gunung, katanya tidak mau tinggal di sini," ucap Asep berbohong.

"Saya tidak mau tahu, sebelum ketemu neng Wulan saya tidak akan pergi," ucap Kang Sumar keukeuh.

Asep dan istrinya saling berbisik satu sama lain, bingung harus melakukan apa untuk mengusir lelaki seusianya itu. Beberapa saat menunggu, sesosok bayangan muncul perlahan mendekati pintu yang terbuka. Dia Wulan, gadis jelita yang mengenakan kebaya sederhana berwarna coklat muda datang tanpa diundang.

Kang Sumar beranjak, mendekati Wulan penuh takzim seolah-olah ia adalah nyonya istana yang harus dihormati.

"Neng Wulan? Memang benar kabar yang beredar. Neng Wulan memang cantik jelita, kembang desa Munding. Mutiara yang tersembunyi di puncak gunung dan tidak tersentuh. Perkenalkan, saya Sumar, kaki tangan juragan Nata datang mengantarkan barang lamaran untuk Neng Wulan," ucap Kang Sumar sedikit membungkuk memberi penghormatan kepada Wulan.

"Oh, saya kira tidak akan ada barang-barang lamaran. Kang Sumar, saya mau tanya. Semua ini apa ada catatannya? Terus apa besok boleh saya bawa ke rumah juragan?" tanya Wulan dengan polos.

Kang Sumar tertawa, sementara Asep keringat dingin mendengar pertanyaan itu. Mengumpat dan menyumpah-serapahi Wulan karena ingin membawa semua barang itu bersamanya.

"Oh, tentu saja. Neng Wulan boleh membawa semuanya karena ini semua punya Neng Wulan sendiri. Pemberian juragan, dan ini semuanya sudah saya catat tidak kurang satu pun," jawab Kang Sumar seraya memberikan secarik kertas yang terbuat dari kulit kambing.

"Terima kasih banyak, Kang." Wulan menerima kertas tersebut dan menyimpannya di pinggang.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Neng. Kebaya pengantin sudah disiapkan, jangan pakai yang lain. Kalau tidak juragan akan marah, itu juragan sendiri yang milih," ingat Kang Sumar sembari melirik istrinya Asep yang begitu tergiur dengan bahan brokat mewah yang tergeletak di atas meja.

Wulan mengangguk, mengumpulkan semua barang-barang lamaran dan menyimpannya ke dalam kotak kayu yang sudah ia siapkan.

"Apa kamu benar-benar mau bawa semuanya ini, Wulan? Bapak rasa tinggalkan saja di rumah. Kami pasti akan menjaganya untukmu," rayu Asep berharap Wulan akan setuju.

Wulan mendengus, apalagi saat melihat wajah serakah ibu tirinya itu. Tak akan dia meninggalkan satu barang pun di rumah itu.

"Sebaiknya Bapak tidak ingkar janji, besok surat tanah warisan ibu harus Bapak berikan pada Wulan," ujar Wulan seraya membawa kotak itu masuk ke kamarnya.

"Anak kurang ajar! Anak durhaka!" umpat Asep kesal.

****

Esok hari, Wulan mengenakan kebaya yang diberikan juragan. Dengan dandanan sederhana, rambut disanggul, dan dipasangkan untaian bunga melati segar. Wulan yang cantik, semakin bersinar.

"Harusnya kebaya itu aku yang pakai. Kebaya bagus itu terlihat jelek di tubuhnya," umpat Sari kesal melihat sosok Wulan yang duduk anggun di depan cermin.

Dua orang dayang dikirim langsung dari kediaman juragan, memastikan penampilan Wulan sempurna di hari pernikahannya. Ia beranjak, dituntun kedua dayang itu keluar dari kamar.

"Wulan, sado mang Ujang tidak besar. Kamu tidak keberatan kalo kita semua naik di sana, 'kan?" ujar Asep saat melihat Wulan keluar.

"Neng Wulan akan dijemput oleh Kang Sumar sendiri. Kalian tidak perlu khawatir," ucap salah satu dayang seraya membawa Wulan keluar ketika suara kuda terdengar meringkik.

Sado Kang Sumar sudah terparkir di halaman, dibantu kedua dayang Wulan menaikinya. Di bawah tatapan iri Sari serta ibunya.

"Dia cuma istri penebus hutang, kenapa juragan memperlakukannya dengan istimewa?" kesal Sari cemburu.

"Kamu jangan iri. Sekarang dia seperti ratu, tidak tahu setelah masuk ke rumah itu akan seperti apa nasibnya. Semua orang tahu seperti apa juragan Nata itu," ucap Patma mencibirkan bibir.

Sari tersenyum sinis, dia sangat menantikan kabar itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!