Senja menatap malas sesosok pemuda tengah bergelung manja di atas ranjang. Pemuda tampan tanpa baju itu masih menikmati alam mimpinya, padahal matahari sudah hampir tinggi.
“Langit, bangun!” Senja menghuyung tubuh Langit, tetapi pria itu tak kunjung bangun.
Beberapa kali terus memanggil dan menghuyung tubuh Langit, sama sekali tak mempan. Senja mendengkus kesal, kemudian berdiri.
Perlahan Senja bergerak ke kamar mandi dan kembali sembari menenteng sebuah gayung berisi air. Gadis cantik berseragam SMA itu mendekat dan mulai mengguyur tubuh pemuda tak berbaju di atas ranjang tersebut.
Byur ...
“Banjiir banjiir!” Langit memekik dan langsung melompat di atas kasur.
Senja bertolak pinggang sembari menatap Langit yang tengah berdiri di atas ranjang. Pria itu mengibas rambutnya yang basah, kemudian tersadar jika itu bukanlah banjir.
“Kamar ini beneran bisa banjir kalo lo masih belum mandi. Mandi sekarang!” gerutu Senja.
Langit menatap Senja, kemudian ia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, kembali berbaring.
“Lima menit lagi aja, Ja,” ucap Langit serak.
“Lima menit lima menit, gitu aja terus. Tiap pagi alesannya lima menit, tau-tau satu jam! Cepat berdiri, masuk kamar mandi, bisa telat ini.” Senja berceloteh sembari menarik lengan sang kekasih sekaligus tunangannya itu.
Adegan seperti ini sudah terjadi semenjak mereka masuk SMP. Jadi selama bertahun-tahun keseharian Senja di pagi hari adalah membangunkan Langit, pemuda tampan yang menyandang status sebagai tunangannya.
“Aku tadi malem tidurnya jam dua, Ja. Masih lengket ini, susah dibuka,” gumam Langit masih memejamkan mata.
“Ck, kamu main game lagi sama Neo dan Ace?” gerutu Senja.
“Iya, tapi—”
“Gak ada tapi-tapi, duduk dan mandi sekarang. Buka mata, atau gue guyur sama air satu ember, mau lo? Bener-bener banjir ini kasur ntar. Cepet mandi!” Senja kembali menarik tangan Langit untuk segera duduk.
Pria tampan tak berbaju itu duduk dengan mata masih terpejam. Langit tidur tak pernah pakai baju, hanya menggunakan bokser sepaha dan kondisi itu sudah biasa dilihat oleh Senja setiap harinya.
“Mata aku lengket banget, Sayang,” gumam Langit begitu serak, ia memang masih mengantuk.
“Siapa suruh tidur malem, begadang mulu karna main game. Udah aku bilang, jangan main game terus, kemarin kamu bilangnya mau tidur, ternyata boong,” celoteh Senja gemas.
“Neo sama Ace setannya, mereka godain aku terus,” jawab Langit malah menyalahkan dua sahabatnya.
“Kalo gitu berarti iman kamu lemah, kegoda sama setan macam mereka. Ck, cepet berdiri dan mandi!”
“Mata masih aku lengket.”
“Tinggal dibuka, cepet, aku siapin seragam kamu.” Senja berusaha menarik Langit untuk berdiri, ia kesulitan karena kekuatannya tak sebanding dengan tubuh besar Langit.
“Udah berkali-kali aku kasih tau, bangunin aku itu harusnya pake kelembutan, gak gini. Jangan jadi calon istri durhaka, banguninnya dicium kek, atau di-elus gitu,” celoteh Langit dengan kepala tertunduk sembari melangkah ke kamar mandi.
“Elus elus, yang ada kamu makin nyenyak tidurnya. Udah, masuk cepet.” Senja mendorong punggung Langit untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Langit membalikkan tubuhnya, ia menatap Senja dengan mata masih setengah terpejam. Detik berikutnya Langit menunduk sehingga wajahnya berdekatan dengan wajah sang kekasih.
“Morning kiss-nya?” pinta Langit serak manja.
Senja mendorong wajah Langit, setelahnya mendorong dada sang tunangan untuk masuk ke dalam kamar mandi.
“Ntar kalo udah mandi, aku kasih morning kiss. Cepet, aku tunggu di bawah.” Senja langsung menutup pintu kamar mandi itu.
“Banyak-banyak, ya, morning kiss-nya!” teriak Langit dari dalam kamar mandi.
Senja menggulir bola mata malas. “Mandi aja cepet lo,” gerutunya.
“Kamu udah berapa kali dari tadi panggil lo-gue, Sayang? Mau aku sosor mulutnya ke situ sekarang, hem?”
“Ck, cepet aja mandi, Langit Sayaang!” sahut Senja gemas.
“Baiklah, Senja Sayaang.”
Senja kembali menggulir bola matanya. Ia bergerak ke arah lemari baju di kamar Langit, lalu meraih seragam sekolah sang tunangan. Menyiapkan seragam Langit juga merupakan keseharian Senja, meski mereka berdua baru bertunangan, belum menjadi suami istri.
“Langit udah bangun, Sayang?”
Senja mengangguk sembari mendekat ke arah ruangan makan. “Udah, Bunda. Katanya tadi malem dia main game lagi sama Neo dan Ace. Bandel banget.”
Lusi tertawa mendengar gerutuan Senja. Wanita paruh baya yang masih cantik itu adalah ibu kandung Langit.
“Tiap hari kena jewer gak kapok-kapok dia. Bunda juga heran,” ucap Lusi menggelengkan kepalanya tak habis pikir akan tingkah putranya.
“Lain kali jangan cuma dijewer, ditampol juga.”
Dua wanita berbeda generasi itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria paruh baya ber-jas putih mendekat dan mencium kening Lusi sebelum duduk di salah-satu kursi meja makan.
“Pagi, Yah,” sapa Senja.
“Pagi juga, Sayang. Hari ini kasurnya banjir lagi, ya?”
Senja terkekeh mendengar kalimat pria paruh baya itu. Lukman adalah ayah kandung Langit, ia seorang dokter di salah-satu rumah sakit di kota Jakarta.
Rumah Senja dan rumah Langit berhadapan, biasa disebut tetanggaan. Orang tua mereka berdua memang sudah bersahabat sedari zaman sekolah. Sehingga ketika Lusi dan Fema—ibu Senja sama-sama hamil, mereka berkomitmen untuk menjodohkan anak mereka jika jenis kelamin mereka berbeda.
Rupanya saat brojol benar-benar berbeda jenis kelamin. Sehingga secara tidak langsung, Langit dan Senja pun dijodohkan kemudian ditunangkan saat mereka masih umur sepuluh tahun. Jadi, tak heran hubungan mereka sudah begitu dekat, sedari kecil selalu bersama, ditambah dengan Neo dan Rance yang biasa dipanggil Ace.
“Hari ini sarapan di sini, ‘kan, Ja?” tanya Lusi kepada Senja.
“Iya, Bun, tadi aku udah bilang sama Mama dan Papa juga.”
“Senjaaa!”
“Astaga!” Tiga insan di ruangan makan itu terlonjak terkejut oleh suara melengking seseorang.
Lusi menggeleng melihat anak pertamanya yang selalu heboh. “Luna, udah berapa kali Bunda bilang, jangan suka teriak-teriak.”
Luna cengengesan. “Maap, Bun. Aku saking eksaiteeet, mwehehe.” Ia beralih menatap Senja, kemudian duduk di samping calon adik iparnya tersebut. “Ja, gue kemarin dapet diskon tas besar-besaran!”
“Beneran lo, Kak? Kenapa gak ajak gue?”
“Gue diajakin temen, tiba-tiba aja sih kita, ke mall pulang kampus. Gila, tas-nya yang diskon cakep-cakep, Jaaa!”
Setiap hari biasanya Senja dan Langit akan sarapan bergantian, antara di rumah Senja atau di rumah Langit. Tidak ada yang menyuruh, itu semua terjadi sebagai kebiasaan mereka sedari masuk sekolah.
Beberapa menit setelah aksi heroik Senja membangunkan Langit. Akhirnya pria itu turun dengan seragam sekolahnya yang tak rapi. Iya, tidak rapi, baju tidak dimasukkan ke dalam celana, dasi terpasang asal, rambut pun hanya dibiarkan begitu saja tanpa disisir. Beruntungkan pria itu tetap tampan dengan kondisi seperti apa pun.
“Kasian amat gue sama Senja, cewek cantik, berbakat, pinter. Eh, malah harus dapet pasangan berandal bandel kayak begitu,” decih Luna melirik Langit sinis.
Langit menoleh ke sekitar, seakan mencari sesuatu. “Bun, kayaknya kita perlu panggil ustadz. Rumah kita perlu dirukiyah, masa pagi-pagi gini aku udah denger suara kuntilanak?”
Luna melotot menatap Langit yang tersenyum mengejek ke arahnya, sedangkan yang lain hanya tertawa. Mereka sudah biasa melihat perdebatan Langit dan Luna, sebagaimana interaksi kakak dan adik normal pada umumnya, mereka selalu bertengkar.
“Sayang, nanti aku ada latihan basket pulang sekolah.” Langit berbicara sembari meraih helm kecil untuk Senja.
Mereka kini bersiap untuk berangkat ke sekolah setelah beberapa menit lalu selesai sarapan. Langit membantu memasangkan helm ke kepala Senja.
“Jam berapa? Apa nanti aku pulang nebeng sama Duri aja?” tanya Senja mendongak menatap Langit.
“Gak usah, aku anter kamu pulang dulu, terus balik lagi ke sekolah.”
“Kalo gitu aku bareng Duri aja.”
“Gak, aku anter kamu.”
Senja mendengkus malas. “Kamu beneran mau latihan basket, ‘kan?”
“Iya, kamu gak percaya sama aku?” Langit menyahut sembari memasang helm fullface miliknya.
“Enggak, karna kamu sering bohongin aku.”
Langit terbahak mendengar itu, ia kembali membuka helm fullfacenya yang sudah sempat terpasang. “Ayo buka lagi helm kamu, morning kiss-nya belum jadi.”
Senja berdecak ketika Langit ikut membuka helm yang sudah terpasang di kepalanya. Pria itu menundukkan kepala dan menyodorkan pipi kepada Senja.
Satu ciuman di pipi kiri dan satu ciuman di pipi kanan, kebiasaan yang harus ada setiap pagi bagi Langit. Hanya sebatas itu, tidak lebih.
Satu ciuman di pipi kiri dan satu ciuman di pipi kanan, kebiasaan yang harus ada setiap pagi bagi Langit. Hanya sebatas itu, tidak lebih.
“Oke, sekarang ayo kita berangkaat!” Langit menaiki motor sport biru kesayangannya, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu sang tunangan naik.
Setiap paginya sepasang insan itu berangkat ke sekolah bersama. Meski mungkin ada masanya mereka berangkat terpisah, misal karena Langit terlalu kebo dan sulit dibangunkan, biasanya Senja akan berangkat duluan karena kesal.
“Pegangan yang kuat, Sayang.”
“Ini udah kuat, Langit. Ayo aja cepet, ntar keburu telat.”
“Baca doa dulu.” Langit mengangkat kedua telapak tangannya seakan betulan membaca doa sebelum berkendara, meski Senja tahu pria itu hanya mengucapkan kata ‘bismillah’ lalu disudahi dengan kata ‘amin’.
Itu sudah lebih dari cukup, dari pada tidak sama sekali. Begitulah kata Langit.
***
“Ngit.”
Langit mengangkat kepala dari meja ketika mendengar seseorang memanggilnya. Ia menatap Neo sedang menaik-turunkan alisnya seakan memberi kode.
“Apaan?”
“Jam kosong,” ucap Neo tersenyum lebar.
Langit menegakkan tubuhnya dan menatap keadaan kelasnya. “Pak Jenggot gak masuk?”
“Enggak, kucingnya melahirkan,” jawab Neo.
“Cewek apa cowok?” celetuk Rance di samping Neo.
“Kayaknya sih betina, biar bisa beranak pinak lagi. Gue yakin, Pak Jenggot sekarang pasti lagi joget kesenengan,” sahut Neo.
“Udah dikasih nama, belum?” tanya Rance lagi.
“Kagak tau, gue niatnya mau kasih pilihan nama sama Pak Jenggot. Besok kalo dia ke sekolah, gue bilang, deh,” sahut Neo tersenyum lebar.
“Emang lo mau kasih nama apa?” tanya Rance terus penasaran.
“Pilihan nama pertama adalah Jungkir, nama kedua Balik. Kalo anaknya dua, ya kasih aja keduanya.”
Rance mengerutkan keningnya. “Jungkir balik, dong?”
“Iya, soalnya kata Pak Jenggot kucingnya itu ‘kan suka jungkir balik waktu hamidun. Keren ‘kan?”
“Iya, sekeren bulu idung lo.” Langit tiba-tiba menyahut dan berdiri, lalu bergerak ke luar kelas.
“Eh, mau ke mana lo?” teriak Neo.
“Nyebat.”
“Ah, mantep. Gas ‘lah!” Neo berdiri dan menyusul Langit, tentu Rance pun ikut.
Tiga inti geng motor Berandal itu akhirnya keluar kelas karena jam kosong. Padahal mereka harusnya mengerjakan tugas mencatat materi dari guru yang dipanggil Pak Jenggot tadi.
Langit Sadewa adalah ketua geng motor Berandal tersebut. Neo Patopias adalah wakilnya, sedangkan Rance Akbar adalah panglima tempur geng motor Berandal.
Selain sebagai para inti geng motor Berandal, mereka bertiga juga merupakan petinggi murid nakal seantero SMA Galaksi ini. Langit terbilang sebagai ketua murid bandel yang suka bolos, merokok dan berkelahi. Padahal tunangannya adalah ketua OSIS di sekolah itu.
Senja sebagai ketua OSIS SMA Galaksi, harus menjadi super galak menghadapi Langit, tunangannya sendiri. Menertibkan pacar atau tunangan sendiri itu merupakan tugas paling melelahkan bagi Senja, karena Langit tiada jera meski setiap hari dijewer.
“Mau ke mana?”
Pergerakan Langit terhenti ketika seseorang berdiri tepat dihadapannya. Baru saja mereka bertiga tiba di depan pintu kelas, Senja sudah melipat kedua tangan di depan dada. Tatapan tajam Senja membuat tiga pria itu tak dapat berkutik.
“Mau ke mana?” tekan Senja mengulang pertanyaannya.
“Katanya Langit mau nyeba—hmmp.” Kalimat Rance terputus karena Langit tiba-tiba membekap mulut pria itu.
Langit tersenyum manis kepada Senja sembari menatap kesal ke arah Rance. “Aku tadi mau liat udara pagi, Sayang.”
“Ini udah siang, Langit Sadewa” sahut Senja malas.
“Maksudnya udara pagi yang masih nyangkut di dahan pohon, Ja. Tadi gue liat udara paginya melambai-lambai di sono.” Neo menyahut sembari menunjuk sebuah pohon di samping lapangan outdor.
Senja mendengkus mendengar jawaban tak masuk akal Neo. Ia sebenarnya sudah tahu niat awal tiga pria itu, cukup dengan kalimat Rance yang terputus.
“Masuk!” titah Senja singkat.
“Aku kayaknya mau ke kamar mandi dulu, mau buang air kecil, jad—”
“Maa-suk!” sela Senja melotot.
Langit meneguk salivanya pelan. Ia melirik Neo dan Rance yang mematung di tempat.
“Ekhm, oke, ayo masuk,” ajak Langit melirik Neo dan Rance.
“Katanya lo mau ke kamar mandi, gak jadi pipis?” tanya Rance menatap Langit kembali masuk ke dalam kelas.
“Jadi, dalem mulut lo,” sahut Langit ketus.
Neo tertawa ngakak sembari ikut masuk. Rance menatap dua sahabatnya dengan wajah tak berdosa, ia mengedikkan bahu kemudian melirik Senja.
“Kenapa? Masuk sono,” titah Senja.
Bagi Senja, mengurus Rance lebih gampang dari pada mengurus Neo apalagi Langit. Buktinya kini pria itu mengangguk dan masuk dengan patuhnya.
Tiba-tiba Rance menghentikan langkah, kemudian kembali ke arah Senja. “Ini rokok gue, punya Neo sama Langit juga di situ.”
Senja melongo melihat sebungkus rokok diberikan oleh Rance kepadanya. Tak jauh berbeda dengan Langit dan Neo, dua pemuda itu cengo melihat Rance kembali dan duduk tanpa beban.
“Bangke, gorok temen sendiri dosa kagak?” gerutu Neo menatap Rance kesal, seakan ingin mencekiknya.
Langit malah memikirkan tatapan Senja saat ini. Ia meneguk salivanya kasar ketika Senja bersiap masuk ke dalam kelas sembari menatapnya dengan tajam.
“Mati gue,” gumam Langit bersiap untuk kabur.
“Sayaang, ke sini dulu, deh.” Senja tersenyum manis ke arah Langit sembari mendekat ke kursi belakang di mana Langit berada.
Tentunya senyum itu bukanlah senyum manis yang didambakan, melainkan rambu-rambu bahaya. Di mata Langit, senyum Senja tak ubah bak penyihir dengan mata berkilat merah.
“A-anu ... aku tadi dipanggil Pak Jenggot buat bantu kucingnya lahiran.” Langit berjalan mundur ketika Senja terus mendekat.
“Kucingnya udah lahir,” sahut Rance membuat Langit melotot sedangkan Neo mendengkus.
“Lo bisa diem aja kagak?” gerutu Neo kepada Rance.
“Langit,” panggil Senja dengan nada rendah.
“Iya, Sayang?” Langit tersenyum kaku ketika punggungnya membentur tembok.
“Ke sini!” titah Senja.
“Nanti aja, deh. Aku harus ke toilet dulu, maaf, Sayaang!” Langit akhirnya kabur, berlari kencang ke arah pintu kelas.
Senja mengejar pria itu dengan rambut ke atas dan mata seakan memancarkan laser merah. “Langiiiit! Ke sini lo sekaraaang!”
Aksi kejar-kejaran sepasang kekasih itu akhirnya kembali terjadi untuk hari ke sekian kalinya. Itu semua bukanlah pemandangan aneh di SMA Galaksi, bahkan semua orang sudah sangat biasa menonton adegan berubahnya Senja jadi penyihir dan Langit sebagai anak kelinci.
“Pak, maaf, pinjem dulu sapunya bentar, Pak.” Senja tiba-tiba mengambil sapu dari seorang petugas kebersihan sekolah, kemudian kembali berlari sembari mengangkat tangkai sapu. “Laangiiit! Berentiii!”
“Maa-aaap, Sayaaang! Hari ini gak bakal ngerokok lagi! Tapi besok gak janjii!”
“Awas aja lo Langiiit!”
Jika orang-orang biasa dikejar dengan tangkai sapu oleh emaknya. Maka Langit berbeda, ia dikejar oleh tunangannya dengan tangkai sapu.
“Ampuun, Jaa! Maaap!”
Sekencang-kencangnya Langit melarikan diri, ujung-ujungnya pasti akan kena jewer juga.
“Ayo, ngerokok di depan aku, coba.” Senja menyodorkan sebatang rokok kepada Langit sembari bertolak pinggang memegang tangkai sapu.
Langit menatap ngeri sang tunangan yang tampak sangar. Senja benar-benar galak jika menghadapi Langit, tetapi hasilnya pria itu tak kunjung kapok.
“Aku tadi udah janji gak bakal ngerokok hari ini, Sayang,” sahut Langit berubah cupu.
Senja berdecih. “Jadi besok ngerokok lagi, gitu ‘kan?”
Langit cengengesan sambil menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. “Gak tau, tapi gak bisa janji. Mudah-mudah besok aku dilindungi dari marabahaya—eh, maksudnya dilindungi dari godaan syaiton yang terkutuk.”
Senja menatap malas kekasih sekaligus tunangan nakalnya itu. “Kamu tiap hari emang digodain setan, iman lemah.”
“Makanya, harusnya kamu itu selalu ada di samping aku biar aku gak digodain setan lagi. Kamu ‘kan malaikat aku, kalo deket kamu, godaan setan gak mempan sama aku,” ucap Langit tersenyum lebar ke arah Senja.
“Ha-ha-he-he lo! Koreknya mana?” Senja mengulurkan tangannya meminta korek api kepada Langit.
Langit merogoh saku celananya kemudian memberikan korek api itu dengan wajah ragu. Senja langsung menyambar benda penghasil api tersebut. Ini tentunya bukan sitaan pertama, tetapi sudah ke sekian kalinya.
“Kalo emang gak mau ngerokok, biar gue yang ngerokok.” Senja mengangkat ujung rokok itu dan bersiap menjepitnya dengan kedua bibir.
Tentu hal itu membuat Langit melotot, ia langsung menyambar sebatang rokok di tangan Senja dan membuangnya. “Apa-apaan kamu? Gak boleh, rokok itu bahaya, gak sehat buat kamu.”
Senja tersenyum sinis. “Itu lo tau, kenapa masih ngerokok?”
Langit seketika terdiam, ia kembali menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. “Itu, aku—”
“Apa, kebal sama penyakit, iya?”
Langit menggeleng sembari cengengesan. Melihat itu, Senja kembali mendengkus kesal.
“Katanya mau jadi dokter, tau rokok bahaya, masih aja dikonsumsi,” gerutu Senja kesal. “Angkat kaki!”
Tanpa membantah, Langit langsung mengangkat sebelah kakinya. Ia masih merasa ngeri melihat tangkai sapu di tangan sang kekasih. Baru beberapa menit lalu tangkai sapu itu sempat menyapa pantatnya dan itu terasa begitu perih.
“Angkat tangan juga!”
Langit mengangkat jari telunjuknya ke atas. Senja melotot melihat itu.
“Yang bener, emangnya lo mau dangdutan? Angkat dua tangan dan pegang telinga!”
“Makanya aba-abanya yang jelas, dong, Sayang.” Langit mulai membawa dua tangannya ke daun telinga.
Mereka berdua kini tengah berada di lapangan sekolah. Tempat sakral sepasang kekasih itu setiap harinya, di mana Senja selalu memberi hukuman kepada Langit di lapangan outdor sekolahan.
Pemandangan itu disaksikan oleh beberapa murid yang berada di luar kelas. Termasuk Neo dan Rance, mereka melihat itu dari lantai atas sembari tertawa ngakak.
“Ngit, sekalian goyang dombret!” teriak Neo dari atas.
Senja dan Langit mendongak ke arah sumber suara. Mereka melihat Neo tengah memutar tubuh memperagakan goyangan yang dimaksud. Para murid lainnya tertawa melihat tingkah Neo.
“Goyang ngebor juga boleh! Ngit, liat gue, Ngit!” teriak Neo lagi.
“Ck, berisik,” gerutu Langit, ia memilih terus memandangi wajah cantik Senja. “Sayang, cari tempat yang teduh, di sini panas, aku gak bakal lari, kok.”
Senja menggulir bola matanya malas. Ia kembali mendongak dan menatap Neo serta Rance.
“Kalian berdua turun!” teriak Senja membuat goyangan Neo terhenti.
“Kita?” Neo menunjuk dirinya dan Rance bergantian.
“Iya, siapa lagi? Atau mau masalah ini gue kasih ke kepala sekolah, biar orang tua kalian dipanggi?” ancam Senja membuat Neo melotot.
“Anjir, jangan-jangan! Gue turun sekarang!” teriak Neo panik. “Bisa dipotong lagi uang jajan gue. Ini karna lo, nih,” gerutunya menatap Rance.
Rance tetap tenang, ia melangkah tanpa beban ke arah tangga untuk turun. Neo terus menggerutu di sela langkahnya menuruni tangga.
“Ce, lo kok anteng banget tiap mau dihukum, heran gue,” ucap Neo melirik Rance.
Rance ikut menoleh dan menatap Neo. “Terus mau gimana lagi? Ngereog?”
Neo berdecak kesal. “Dasar kipas angin!”
Akhirnya tiga murid nakal itu dihukum bersama di lapangan sekolah. Setiap harinya hukuman mereka berbeda-beda, kadang lari keliling lapangan, kadang membersihkan WC dan berbagai hal lainnya.
“Astaga Langit, kamu keringetan. Biar aku bantu lap.” Tiba-tiba seorang gadis datang dan mengelap keringat Langit dengan tisu.
Langit menepis tangan gadis itu dan memilih berpindah tempat. “Jangan deket-deket gue!”
“Aku cuma kasian sama kamu tau. Liat, kamu keringetan gini, cewek itu emang keterlaluan. Aku juga bawa air minum buat kamu, ini aku bukain.” Gadis itu membuka tutup botal air mineral di tangannya.
Duk ... byur ...
“Aaaa!” Gadis itu memekik ketika air di dalam botol tersebut tumpah membasahi tubuhnya.
“Ups, sorry. Kaki gue kesandung batu, lo gak papa? Eh, udah basah, ya? Maaf, ya.” Senja tersenyum manis kepada Mayang, gadis di depannya yang selalu mencoba mendekati Langit.
Mayang menggeram menatap tajam ke arah Senja. Ia mengepalkan tangannya marah.
“Lo sengaja, ‘kan?” teriak Mayang tak terima.
“Enggak, beneran kesandung batu,” sahut Senja santai.
Mayan menatap ke belakang, tak ada batu di lapangan basket itu. “Gak ada batu, lo harus tanggung jawab!”
Senja itu menunduk menatap lapangan yang ditatap Mayang. “Oh, mungkin batunya udah sembunyi, takut ketemu gorila.”
“Pfft, gorila pakai make up,” celetuk Neo menahan tawa.
Mayang menggeram, ia menatap Senja tajam. “Lo yang gorila, parasit! Awas lo!”
Senja menatap kepergian Mayang yang terburu-buru pergi dari sana karena tubuhnya sudah basah. “Cih, parasit? Kebalik kali, udah tau cowok punya pacar, masih aja digangguin,” decih Senja.
Senja menoleh ke arah Langit yang tengah tersenyum. “Apa lo senyum-senyum, sok ganteng lo!”
Langit tertawa melihat wajah kesal Senja. “Bukan sok ganteng, tapi emang ganteng,” balasnya sembari menyugar rambut.
“Dih.” Senja menatap Langit dengan bibir miring. “Hukuman kalian diperpanjang jadi satu jam lagi!”
“Lah!” Tiga pria itu melotot terkejut melihat Senja pergi dari sana dengan wajah kesal.
“Ja, kita kagak ikutan, loh! Ja, Langit aja yang diperpanjang hukumannya!” teriak Neo diangguki Rance.
“Kaki gue lemes, Ja!” sambung Rance.
“Aku makin keringetan ini, Sayaang! Honey bunny sweetie!” teriak Langit membuat Neo dan Rance menatapnya geli.
“Biar sekalian itu cewek balik dan lap keringet lo!” ketus Senja tak mau tahu. “Kamu keringetan, iki binti lip, yiii! Iuuuh!”
Neo dan Rance menoleh kesal ke arah Langit.
“Ulah lo, nih! Harusnya hukuman kita udah selesai,” gerutu Neo diangguki Rance.
“Kenapa jadi gue? Harusnya yang salah itu Ace, ngapain dia pake kasih rokoknya ke Senja?” balas Langit melirik Rance tak kalah kesal.
Neo pun akhirnya ikut mengangguk dan menatap Rance. “Bener, lo biang masalahnya. Pake acara kasih rokoknya ke Senja.”
“Ck, gue ‘kan niatnya mau jujur,” sahut Rance tanpa dosa.
“Bapak kau jujur! Basah ketek gue, bangsul!” teriak Langit kesal.
“Gue tempeleng juga lo. Dasar kipas angin!” gerutu Neo.
Beberapa waktu kemudian, tiga pemuda itu berbaring di tepian lapangan yang teduh. Mereka tampak kelelahan dengan peluh bercucuran di seluruh tubuh.
“Bener-bener si Senja, sampe basah ke dalem-dalem. Tuhaan, mana ke sekolah kagak bawa kolor, lagi,” celoteh Neo sembari mengibaskan bajunya karena gerah.
“Gue bawa.”
Langit dan Neo serentak menoleh ke arah Rance dengan wajah terkejut serta tak percaya.
“Anjir, lo bawa kolor ke sekolah? Buat apaan?” tanya Neo heran.
“Buat gambar.”
“Gambar pake kolor?” tanya Langit cengo.
“Iya, buat warnain gambarnya,” sahut Rance.
Langit dan Neo saling tatap sejenak, sebelum akhirnya mengumpat bersamaan.
“Itu color, pensil warna, tai lo!” umpat Langit serasa ingin menempeleng Rance.
“Emang iya, ‘kan? Gue salah apa?” sahut Rance tanpa dosa, Langit pun hanya bisa menarik napas penuh kesabaran.
“Lo salah karna lo napas, asu! Bangke emang ini anak,” gerutu Neo gemas.
“Untung gue penyabar,” ujar Langit lelah. Pria itu menoleh ke samping dan menggeram melihat Senja tengah berbicara bersama seorang pria. “Bedebah itu lagi,” desisnya.
Neo dan Rance menoleh ke arah Langit yang sudah berjalan cepat bak mengejar setan.
“Dih, baru aja dia bilang penyabar. Sekarang otw nonjok orang,” celetuk Neo berdiri dari duduknya.
“Ayo, sebelum Langit ngamuk beneran.” Rance berjalan cepat menyusul Langit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!