Lian menutup novel tebal di tangannya dengan wajah masam.
“Ya ampun… ini tokoh perempuannya kenapa sih goblok banget?” gerutunya. “Udah disiksa, keluarganya dihukum mati, masih aja teriak ‘aku mencintaimu, Suamiku!’ Aduh, pusing pala Barbie.”
Ia melempar buku itu ke kasurnya lalu memelototinya dengan kesal. Hatinya panas bukan main. Gadis itu betul-betul tidak habis pikir. Jika ia yang jadi tokoh utama, pasti jalan cerita tidak akan sebodoh itu.
“Kalau aku jadi kamu,” Lian menunjuk buku itu dengan dramatis,
“udah kuhajar dulu suami jahatmu, kuhabisi sekalian, sudah kucincang suaminya pakai sendok, lalu kabur cari hidup baru. Gila cinta buta kayak gini… ih, bikin naik darah" gerutu Lian sambil menghentakkan kakinya di lantai kamar.
Novel kolosal di tangannya baru saja mencapai bagian paling menyebalkan sang tokoh utama, seorang selir cantik, rela dihukum demi cinta pada suami yang jelas-jelas gila kekuasaan. Lian meremas halaman novel itu dengan gemas.
“Dasar bego! Dicintai aja kok masih mau dihina begitu?!” batinnya keras.
Tiba-tiba, bzzzzt! —suara listrik menyambar. Colokan di dekat tempat tidurnya berasap. Lian bahkan tak sempat menjerit ketika sengatan listrik meluncur ke tubuhnya. Gelap.
Ketika ia membuka mata, langit-langit kayu ukir berwarna emas menyambutnya. Aroma dupa samar menari di udara. Di telinganya terdengar gemericik air dari taman.
Lian langsung duduk terlonjak. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan asing, langit-langit tinggi dihiasi lampu minyak, dinding dari batu, dan perabot bergaya kuno. Bukan kamar kosnya yang sempit, bukan pula abad modern.
Lian menunduk, melihat pakaian di tubuhnya. Gaun sutra panjang dengan bordiran emas, rambutnya terurai berat dihiasi tusuk konde.
“Eh, loh?! Kenapa cosplay begini?” kaget Lian
Belum sempat ia bingung lebih jauh, seorang dayang berlari masuk sambil menunduk.
“Selir An! Anda sudah sadar? Puji syukur pada langit!” seru dayang Yuyan tulus
“Selir… apa?!” Lian memekik. dayang yang sibuk menyalakan dupa dan merapikan selimutnya terlonjak kaget
Jantung Lian berdegup keras. "Selir An? Bukankah itu nama tokoh utama di novel yang tadi ia baca? Tokoh malang yang cintanya berakhir tragis?"
“Oke, jangan panik, jangan panik,” gumamnya. Tapi justru paniknya makin besar.
---
Hari pertama di tubuh Selir An berjalan kacau. Semua orang memandang rendah dirinya, dari dayang sampai pengawal. Bahkan kabarnya sang Kaisar suami yang tiran ingin segera menyingkirkannya.
Lian duduk termenung di paviliun. “Astaga, jadi beneran gue transmigrasi? Kok bisa? Mati kesetrum lalu nyemplung ke novel?!”
Ia mengusap wajahnya. Saat itu, sebuah pemandangan aneh melintas di kepalanya. Seperti kilasan singkat: seorang dayang berlari, tersandung, membawa nampan teh panas yang tumpah ke arah seorang selir lain.
Kilasan itu begitu jelas, membuat Lian tertegun.
“Eh? Itu… masa depan?” gumam Lian pelan
Tak lama, dari kejauhan, ia mendengar suara langkah tergesa. Seorang dayang benar-benar datang membawa nampan teh. Lian langsung ternganga.
“Waduh, jangan-jangan dia bakal jatuh—”
BRUK!
Benar saja, dayang itu tersandung. Teh mendidih tumpah, hampir mengenai selir yang duduk anggun di seberang.
“KYAAAA!!!” Selir itu menjerit. Namun di detik terakhir, dayang lain berhasil menahan nampan sehingga teh tidak mengenai tubuh sang selir.
...--------...
Sore hari, rasa gelisah membuat Lian mencari udara segar di taman. Di sana, sebuah guqin diletakkan di bawah paviliun. Entah kenapa, jari-jarinya terasa gatal.
“Aku nggak pernah belajar alat beginian… tapi kenapa rasanya aku bisa?” batin selir An atau Lian
Dan benar saja. Begitu jemarinya menyentuh senar, melodi lembut mengalun, seakan ia sudah berlatih puluhan tahun. Para pelayan yang kebetulan lewat menahan napas.
“Indah sekali…” bisik seorang pelayan muda, yang ternyata Yuyan matanya berkaca-kaca.
Lian menutup mata, membiarkan musik menenangkan hatinya. Tapi dalam hati ia masih kesal.
“Kalau benar aku masuk novel ini, berarti aku sekarang jadi istri si pria gila kekuasaan itu? Oh tidak! Aku nggak mau jadi bahan drama murahan. Kalau dia berani macam-macam, sumpah demi mi ayam bakso, aku racuni duluan!”
Pelayan muda itu tersentak, hampir menjatuhkan nampan bunga yang ia bawa. Racun? Astaga, apa Selir An berniat membunuh raja? pikirnya panik, namun ia menggigit bibir, memilih diam. Ada sesuatu dalam suara hati itu yang terasa jujur, penuh tekad, tidak seperti ancaman kosong.
Ia hanya bisa menunduk, menyimpan rahasia yang baru saja ia dengar.
Di sela-sela musik, Lian tersenyum tipis. “Paling nggak, di dunia baru ini, aku masih punya bekal.”
Selain musik, ia juga ingat satu hal lain, buku-buku pengobatan yang dulu ia suka baca. Ia memang tidak ahli, tapi cukup paham ramuan herbal sederhana.
“Ya, siapa tahu berguna,” gumamnya. Lalu buru-buru menambahkan dalam hati, “Eh, tapi jangan sampai bocor, nanti kedengeran lagi ”
Namun jauh di luar paviliun, pria muda masih mendengar samar-samar suara hatinya. Ia terdiam, lalu tersenyum kecil.
“Selir ini… berbeda. Sangat berbeda.”
Dan Lian belum tahu, bahwa suaranya yang bocor itu akan jadi awal dari kekacauan besar dan takdir baru yang menantinya.
---
Hari itu berakhir dengan kepala Lian penuh pertanyaan. Kenapa ia bisa melihat masa depan? Kenapa ia mendadak bisa bermain musik kuno? Kenapa semua orang memperlakukannya sebagai Selir An?
Dan yang lebih mengganggu kenapa ada beberapa orang menatapnya dengan wajah bingung, seakan tahu sesuatu yang ia sendiri tidak tahu?
“Selir tak berguna,” bisik mereka tiba tiba
“Disayang pun tidak, hanya pembawa sial.”
Lian menggertakkan gigi. "Jadi beginilah rasanya jadi tokoh yang kuolok-olok semalam…"
Lian menghela napas panjang, menatap langit senja.“Ya Tuhan… kalau ini mimpi, tolong bangunkan aku. Tapi kalau bukan… baiklah, novel ini akan kuubah jadi lebih seru! Aku, Lian, tidak akan jadi wanita bodoh yang dicampakkan!”
...----------...
Keesokan harinya, Yuyan buru-buru masuk ke kamar, Selir An untuk melaporkan sesuatu.
Dengan nafas yang tersengal-sengal Yuyan berbicara pada Lian, “Selir An, Yang Mulia memanggil Anda ke aula utama.”
Lian yang masih mengunyah kue manis hampir tersedak.
“Hah? Baru kemarin aku bangun, sekarang sudah diseret ketemu tokoh utama pria paling ngeselin sedunia? Mau ngapain coba? Apa dia mau mulai acara hina-hina selir versi live?” gerutu Lian tidak suka
Pelayan menunduk, tak berani menyela.
"Memangnya ada apa Yuyan, apa pria bodoh itu ingin bermain-main dengan ku?" ujar Lian sembari menaruh kue manisnya
"Maaf selir An hamba tidak tau" jawab Yuyan sopan
"Ya sudahlah bantu aku bersiap untuk bertemu pria gila itu" ujar Lian lalu bangkit dari tempat duduk nya
Bersambung
Aula utama menjulang megah. Pilar-pilar merah, lantai berkilap, dan takhta emas di ujung ruangan membuat Lian nyaris silau. Di sanalah duduk pria itu Raja Xuan, suaminya dalam novel.
Laki-laki itu tampan, tapi wajahnya dingin bagai es. Matanya tajam, penuh perhitungan, seolah siap menelan siapa pun yang salah bicara.
“Selir An,” suaranya dalam, menggelegar. “Kau masih hidup setelah pingsan dua hari. Bagus.”
“Ya ampun, kalimat pembuka macam apa ini?! Bukannya nanya kabar, malah kayak lagi ngecek ayam peliharaan. Hah, dasar suami tidak bermoral!” Lian menahan diri agar wajahnya tetap manis.
Raja Xuan menatapnya lama. Ada ketegangan aneh, seakan ia menunggu Lian tunduk dengan penuh kepasrahan.
Namun tiba-tiba, dari barisan belakang, seorang pria muda berpakaian panglima menunduk. Ia terlihat kaget, matanya melebar sesaat, lalu buru-buru menutupi ekspresinya.
"Apa barusan… aku mendengar suaranya? pikirnya panik. “Suami tidak bermoral”? Dia berani sekali membatin begitu!"
Pria itu, Panglima Chen Yun, adalah satu-satunya bawahan yang benar-benar tulus mengabdi tanpa pamrih. Dan entah kenapa, isi hati Lian bergema jelas di kepalanya.
Tapi ia memilih diam, menyimpannya sebagai rahasia.
Raja Xuan melangkah turun dari tahtanya, mendekati Lian. “Kau terlihat berbeda, Selir An. Biasanya kau menunduk ketakutan. Kini matamu berani menatapku.”
Lian mendengus dalam hati.“Ya jelaslah! Aku bukan Selir An asli. Kalau aku nurut dan lemah kayak dia, habis sudah riwayatku. Hmm… wajahnya sih ganteng, tapi sayang otaknya busuk. Seandainya aku bisa, pengin kutabok pakai sandal jepit.”
Panglima Chen Yun, lagi-lagi nyaris terbatuk mendengar batin Lian. Ia cepat-cepat menunduk lebih dalam agar tidak ketahuan sedang menahan tawa.
Sementara Raja Xuan hanya melihat Lian tersenyum manis. Ia tidak tahu di balik senyum itu ada “sandal jepit imajiner” yang siap melayang.
Pertemuan itu berakhir tanpa banyak kata, tapi Lian merasa bulu kuduknya meremang.
Saat ia keluar dari aula, Panglima Chen Yun, berjalan tak jauh di belakangnya. Ekspresinya rumit antara kagum, terkejut, dan geli.
"Selir An… tidak, perempuan ini… dia benar-benar berbeda. Dan suara hati itu… sungguh jujur, polos, meski tajam. Apa aku orang gila sampai bisa mendengar batinnya?"
Namun ia memilih diam. Suara itu, bagi Chen Yun, bagaikan rahasia yang harus dijaga.
-----
Sampai di kediamannya, Lian menghempaskan tubuh ke kasur empuk.
“Aduh, ya Tuhan. Aku harus tahan hidup dengan suami toxic begitu lama?!” ia mengeluh sambil menutup wajah dengan bantal.
Tapi kemudian ia teringat sesuatu, “Aku punya musik. Aku bisa mengobati. Dan entah bagaimana aku bisa lihat masa depan… Oke, Lian, ini kesempatanmu! Kalau hidupku jadi novel, maka aku yang pegang pena cerita ini!”
Ia tersenyum lebar, tak sadar bahwa dari kejauhan, Panglima Chen Yun, masih memikirkan suara hati yang ia dengar tadi.
Dan dalam diam, satu orang sudah mulai melihat Lian bukan sebagai selir malang… melainkan sebagai sesuatu yang lebih berbahaya sekaligus memikat.
---
Matahari pagi merambat lembut ke sela jendela istana. Burung-burung kecil berkicau, sementara pelayan mondar-mandir menyiapkan air hangat untuk mandi.
Lian masih malas-malasan di ranjang, memeluk bantal besar.
“Huff… kemarin ketemu suami gila itu bikin aku capek jiwa raga. Wajahnya memang paket lengkap, tampan, berwibawa, karismatik. Tapi sayangnya mental toxic, hati minus nurani, dan otak penuh ambisi. Aduh, kenapa nggak bisa ditukar aja sama pedagang bakso di depan rumah kosku? Lebih enak hidup sama abang bakso yang tiap ketemu bilang ‘bonus kerupuk, Neng’.”
Di luar, beberapa pelayan yang menunggu hanya melihat sang selir menghela napas panjang. Mereka tidak mendengar apa pun. Tapi di tempat lain, ada satu sosok yang tiba-tiba mengernyit, Yuyan
Ia sedang berada di kamar Lian untuk membantu Lian, ketika suara batin itu bergema jelas di telinganya.
Pedagang bakso? Kerupuk? Apa maksud Selir An? Yuyan terhenti, menahan tawa yang hampir pecah. Sejak kemarin, ia terus memikirkan fenomena aneh ini. Hanya dirinya yang mendengar suara jujur dari perempuan itu. Suara yang menusuk sekaligus… lucu.
Tanpa Yuyan tau bukan hanya dirinya yang bisa mendengar suara hati Lian, dia panglima Chen Yun juga dapat mendengar suara itu.
----
Siang itu, istana mengadakan jamuan kecil untuk menyambut utusan dari negeri tetangga. Para selir diundang untuk memperlihatkan bakat masing-masing.
Lian, yang baru saja “menetap” di tubuh Selir An, tentu saja kebingungan.
“Selir An, Yang Mulia menginginkan Anda tampil bermain musik,” bisik seorang pelayan sambil berlutut.
“M…musik?” Lian hampir terloncat.
“Ya ampun, ini lagi-lagi jebakan! Kalau aku salah petik satu senar aja, bisa-bisa kepalaku dipenggal. Padahal aku baru belajar kemarin sore!” ujar Lian kesal
Chen Yun, yang berdiri di sisi ruangan mengawal acara, mendengar batin itu. Ia menunduk cepat, berpura-pura menata sabuk pedangnya. "Baru belajar kemarin sore? Mustahil! Tapi… sejujurnya aku penasaran."
Lian melangkah ke depan. Di hadapannya, sebuah guqin besar sudah disiapkan. Semua mata tertuju padanya, termasuk Raja Xuan.
Ia menelan ludah. Jari-jarinya menyentuh senar. Anehnya, rasa gugup itu lenyap seketika. Melodi mengalun indah, bening, seakan langit sendiri ikut mendengarkan.
Alunan itu lembut namun tegas, penuh perasaan tapi juga bertenaga. Utusan asing tertegun, para selir saling pandang iri, dan bahkan Raja Xuan pun sempat mengangkat alis.
Chen Yun? Ia membeku di tempat, hatinya seperti disentuh alunan itu. Tapi justru saat itu, suara batin Lian muncul lagi.
“Ya ampun… ini tanganku yang main atau roh nenek moyangku? Kok bisa lancar banget? Hahaha! Kalau aku tahu begini, dulu aku buka les musik, bukan jadi budak kerjaan kantor!” batin Lian
Chen Yun dan Yuyan buru-buru menutup mulut dengan kepalan tangan, berpura-pura batuk. Untung semua orang fokus pada musik, jadi tak ada yang memperhatikan wajahnya yang merah menahan tawa.
Ketika musik selesai, ruangan hening sejenak, lalu disambut tepuk tangan meriah.
“Bagus,” ujar Raja Xuan singkat, tapi matanya jelas berbinar.
Sementara Lian hanya menunduk sopan, batinnya mendengus.“Bagus katanya? Halah, wajahmu aja kaku begitu, kayak habis makan pare mentah. Untung aku jago mendadak, kalau enggak, tamat sudah nyawaku.”
Dan sekali lagi, Chen Yun dan Yuyan mendengarnya jelas. Kali ini ia harus menggigit bibir bawah agar tidak ketahuan tersenyum lebar.
----
Sore harinya, seorang pelayan panik berlari ke kediaman Lian.
“Selir An! Selir An! Salah satu pengawal anda jatuh pingsan di halaman! Tidak ada tabib yang mau dipanggil!” seru seorang dayang panik
Lian terperanjat. “Pengawal pingsan? Duh, aku bisa apa coba? Eh, tapi tunggu… kemarin aku lihat kilasan masa depan Tabib tua. Waktu itu aku kayak tahu titik nadinya lemah. Apa ini berarti aku bisa… mengobati?”
Ia segera berlari keluar. Seorang pengawal besar tergeletak, wajahnya pucat. Nafasnya berat. Orang-orang panik mengerumuni.
Lian menyingkirkan mereka dengan gerakan tegas. “Minggir, biar aku coba!”
Semua melongo. Sejak kapan Selir An berani seperti ini?
Ia meraba nadi pengawal itu. Anehnya, kepalanya langsung dipenuhi gambaran ramuan herbal, daun ginseng, akar licorice, dan bunga kering tertentu. Seolah ada buku kedokteran kuno tertanam dalam otaknya.
“Wah, otakku kayak Google herbal. Oke, mari kita praktek!” ujar Lian senang
Chen Yun, yang kebetulan ikut datang mengawal, mendengar suara itu dan hampir terbatuk. "Google herbal? Apa lagi itu?"
Dengan sigap, Lian memerintahkan pelayan mengambil bahan-bahan di dapur istana. Ia menumbuk, merebus, lalu memberikan ramuan pahit itu pada pengawal.
Tak lama, wajah pengawal itu memerah, napasnya teratur kembali. Semua orang bersorak lega.
“Selir An… luar biasa!” seru salah seorang pelayan.
Raja Xuan yang diam-diam mendengar kabar itu mengernyit, tapi matanya jelas mengandung rasa ingin tahu.
Sementara Lian hanya mengibas tangannya, duduk kelelahan.“Ya Tuhan… kalau aku jadi dukun dadakan gini tiap hari, bisa kurus mendadak. Tapi lumayanlah, setidaknya aku nggak cuma selir manis-manisan. Aku dokter cantik sekaligus musisi berbakat, paket lengkap!”
Chen Yun menunduk dalam, menutupi senyum yang lagi-lagi tak bisa ia tahan. Suara hatinya benar-benar tak terduga kadang penuh tekad, kadang konyol, tapi selalu jujur.
Sedangkan Yuyan terkikik pelan di belakang Lian
Bersambung
.
Malam itu, Chen Yun berdiri di luar barak, menatap langit berbintang.
“Kenapa aku… bisa mendengar isi hati perempuan itu?” gumamnya lirih.
Ia tahu itu bukan hal biasa. Mungkin semacam anugerah, mungkin juga kutukan. Tapi satu hal pasti: suara itu tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun.
Jika Raja tahu, Selir An mungkin dianggap penyihir atau pengkhianat. Itu akan membahayakan nyawanya.
Chen Yun mengepalkan tangan. “Tidak. Aku harus menyimpan ini rapat-rapat. Suara hatinya adalah rahasiaku… dan mungkin, pedomanku.”
Karena, tanpa disadari Lian, isi hatinya yang blak-blakan sudah beberapa kali menolong Chen Yun. Dari cara ia menyebut raja “tidak bermoral”, hingga tekadnya untuk tidak menjadi selir lemah semuanya membuat Chen Yun melihat dunia istana dari sudut pandang baru.
----
Di sisi lain, Lian berbaring di ranjang, menatap langit-langit.
“Aku bisa musik. Aku bisa mengobati. Aku bisa lihat masa depan. Oke, Lian… sekarang tinggal satu hal, bagaimana caranya bertahan dari suami jahat itu.”
Ia berguling, menutupi wajah dengan bantal.
“Kalau saja aku bisa kabur, hidup jadi penjual kue di pasar. Hidup tenang, duit lancar, nggak perlu drama rebutan kekuasaan. Sayang ya, aku kejebak di novel kolosal. Jadi selir idaman satu istana? Hah, lebih tepatnya selir korban skenario!”
Chen Yun, yang sedang berpatroli tak jauh dari kediaman Lian, tersentak kecil saat mendengar suara itu lagi. Ia menatap kamar gelap tempat Lian beristirahat.
Diam-diam, senyum tipis muncul di wajahnya.
"Selir An… tidak, Lian… entah siapa pun kau sebenarnya, kau berbeda. Dan aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."
Pagi itu, Lian duduk di paviliun sambil memetik guqin dengan santai. Jemarinya sudah terbiasa menghasilkan melodi indah, meski otaknya justru sibuk memikirkan hal lain.
“Oke, Lian. Kamu nggak boleh nyaman-nyaman di sini. Ingat, ini novel kolosal yang isinya tragedi, bukan drama sinetron jam lima sore. Kalau aku cuma pasrah, endingku pasti mati tragis kayak Selir An asli. Jadi, apa solusinya? Jelas cerai! Tinggalkan suami toxic, buka usaha kue, dan hidup damai. Yes, rencana cemerlang.”
Yuyan yang ada di sana hampir tersedak ludah mendengar isi hati itu. "Cerai? Selir An ingin… bercerai dari Raja Xuan? Itu pemikiran paling berani yang pernah ia dengar sepanjang hidup."
Namun ia tetap diam, pura-pura sibuk menyangkan teh untuk Lian.
---
Lian menggigit bibir sambil menatap kolam teratai.
“Tapi gimana caranya cerai? Kalau aku tiba-tiba bilang ‘Yang Mulia, saya ingin pisah’, bisa-bisa kepalaku dipajang di depan gerbang istana. Hmm… berarti aku harus bikin rencana jangka panjang. Pertama, aku harus kumpulin bukti siapa saja yang bikin Selir An mati di cerita asli. Kedua, bikin Raja Xuan nyesel setengah mati sampai dia sendiri yang melepaskanku. Ketiga… kabur! Yuhu, hidup bebas.”
Ia hampir tertawa sendiri, tapi buru-buru menutup mulut.
Yuyan dan Chen Yun, yang baru datang sangat shock mendengar itu
Hari itu, Lian meminta izin mengunjungi perpustakaan istana. Para pelayan heran, tapi tidak berani menolak.
Ia berjalan di antara rak-rak kayu tinggi, jari-jarinya menyusuri gulungan kitab kuno.
"Aku harus mencari bukti bukti yang akan membuat keluarga ku jadi tersangka dalam tuduhan palsu itu, Aku harus tahu siapa dalangnya. Jangan-jangan bukan cuma suami gila itu, tapi ada konspirasi istana.”
Saat membatin itu, Chen Yun yang kebetulan ikut mengawal di pintu perpustakaan mengernyit. "Dalang? Konspirasi? Apa yang sebenarnya dia ketahui?"
Ia ingin bertanya, tapi menahan diri. Suara hati itu pasti rahasia.
----
Malamnya, Raja Xuan datang ke kediaman Lian. Kehadirannya membuat semua pelayan panik.
“Yang Mulia datang!” seru mereka serempak.
Lian buru-buru berdiri, menunduk sopan. Tapi dalam hati, ia bergumam:
“Ya ampun, suami gila ini datang lagi. Apa dia mau marah-marah? Atau mungkin pura-pura mesra? Hadeh, kalau bisa aku kasih brosur ‘Paket Cerai Bahagia’, udah aku sodorin dari kemarin.”
Chen Yun, yang ada di depan pintu, menunduk cepat. Hampir saja ia tertawa keras. Ia sampai menekan dada agar tidak ketahuan wajahnya merah.
Raja Xuan menatap Lian lekat-lekat. “Kau terlihat… berbeda lagi. Ada apa?”
Lian tersenyum sopan, tapi hatinya menjerit.
“Berbeda apanya? Aku cuma pengen hidup damai tanpa drama. Kalau bisa, kamu main catur aja sama dirimu sendiri, jangan ganggu aku!”
Chen Yun harus menggertakkan gigi supaya tidak memekik. Suara hati Lian benar-benar pedas, tapi entah kenapa justru terdengar lucu.
"Maaf yang mulia, maksudnya berbeda apa ?" tanya Lian dengan senyum walau hatinya berkata lain.
Raja Xuan, tidak tahu apa-apa, hanya mengernyit. “Hm. Aku akan memperhatikanmu.”
-----
Beberapa hari kemudian, seorang selir lain pura-pura sakit untuk menarik perhatian raja. Semua orang panik, tapi tabib yang datang malah kebingungan.
Lian maju dengan percaya diri. “Biar aku coba.”
Ia memeriksa nadi selir itu, lalu tersenyum tipis. “Dia tidak sakit. Hanya makan terlalu banyak kue kacang.”
Semua melongo.
“Hahaha, drama queen. Mau menarik perhatian raja dengan pura-pura pingsan, eh ketahuan makan kebanyakan. Kalau aku jadi raja, aku suruh dia lari keliling halaman tujuh kali biar perutnya lega.” batin Lian
Chen Yun dan Yuyan menutup mulutnya rapat-rapat. Untung semua sibuk dengan selir pingsan, jadi tidak ada yang melihat bahunya bergetar menahan tawa.
Ketika Lian kemudian memainkan musik untuk menenangkan selir itu, ruangan dipenuhi melodi lembut. Namun isi hati Lian tetap blak-blakan.
“Aduh, aku kayak penyanyi kafe gratisan. Main musik buat orang yang habis makan kebanyakan. Hidup macam apa ini?”
Titik Balik
Di balik semua itu, Lian terus menyusun catatan kecil di kepalanya.
Cari tahu siapa yang memfitnah keluarga Selir An.
2. Kumpulkan bukti perlahan.
3. Buat Raja Xuan menyesal kehilangan “istri berbakat” yang ternyata jauh lebih berguna daripada yang ia kira.
4. Akhirnya, minta cerai dengan posisi kuat.
“Ya, Lian, kamu jenius. Kalau raja sudah menyesal setengah mati, tinggal bilang ‘terima kasih, aku pamit’. Hahaha, puas sekali rasanya.” batin Lian tertawa bahagia
Chen Yun, yang mendengar itu semua dari jauh, menunduk dalam-dalam. "Dia benar-benar ingin meninggalkan raja… Tapi kenapa aku merasa… aku tidak ingin dia pergi jauh?"
Sementara itu, Raja Xuan sendiri mulai resah. Selir An yang dulu penurut kini penuh kejutan, bisa musik, bisa mengobati, bahkan bisa bicara berani.
“Apakah aku terlalu meremehkannya?” gumamnya dalam hati.
Ia tidak tahu bahwa perubahan itu adalah awal dari penyesalannya sendiri
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!