NovelToon NovelToon

Ku Buat Kau Menyesal, Mas!

01. Satu Tahun berlalu

Sudah genap satu tahun Aluna menyandang status sebagai Nyonya Pramudya. Namun, gelar itu sama sekali tidak membuat hidupnya lebih indah. Barra masih tetap sama dingin, kaku, dan seakan tidak peduli bahwa ada seorang istri yang menunggunya di rumah setiap malam.

Setiap hari Aluna selalu mencoba mencari perhatian, meski sering berakhir dengan kecewa. Kadang ia sengaja terlambat pulang, kadang ia menggoda teman pria mereka di pesta, bahkan pernah ia sengaja mengenakan gaun yang paling disukai banyak pria hanya untuk melihat reaksi suaminya. Namun semua sia-sia. Barra tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, bahkan seakan tidak melihat usaha Aluna sama sekali.

Malam itu, Aluna kembali mencoba. Dia duduk di ruang kerja Barra, melipat tangan di dada dengan wajah cemberut.

“Barra,” panggilnya, suaranya dibuat manja.

Pria itu bahkan tidak mengangkat wajah dari dokumen di hadapannya.

“Hm?”

“Aku tadi makan malam sama Andra. Dia bilang aku makin cantik.” Aluna menekankan kalimat terakhir, berharap ada sedikit reaksi.

Tapi Barra hanya menandatangani berkasnya.

“Baguslah kalau begitu,” jawabnya singkat.

Aluna terdiam, dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa dia bukan boneka yang hanya dipajang di rumah besar ini, tapi lidahnya kelu. Perlahan, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia membalikkan tubuh, berjalan keluar, meninggalkan suaminya yang bahkan tidak menyadari betapa hancurnya hati seorang istri yang terus berusaha dicintai.

Aluna masih terduduk di ruang tamu dengan wajah penuh kekecewaan. Air matanya belum kering ketika suara pintu kamar kerja terbuka. Barra keluar dengan langkah tergesa, ponsel menempel di telinganya.

“Ya, saya segera ke sana … tunggu di tempat biasa,” suara Barra terdengar jelas, dingin, penuh kepastian.

Aluna buru-buru berdiri, menghampiri pria itu. “Barra, kamu mau ke mana? Ini sudah hampir tengah malam,” tanyanya dengan nada cemas bercampur curiga.

“Menemui klien,” jawab Barra singkat tanpa menoleh.

“Klien? Jam segini?” Aluna menahan pergelangan tangan Barra, memaksanya berhenti sejenak. Matanya menatap penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menenangkan hatinya.

Namun, Barra hanya menarik tangannya dengan kasar, lalu melangkah lagi. “Jangan ikut campur.”

Pintu utama terbuka dan tertutup keras, meninggalkan Aluna yang berdiri mematung di ruang tamu yang luas tapi terasa hampa. Tangannya mengepal erat, tubuhnya bergetar menahan perasaan yang campur aduk marah, kecewa, sakit hati, sekaligus masih mencintai.

'Satu tahun …'batinnya.

'Satu tahun aku mencintai pria itu. Satu tahun aku berbakti pada pernikahan ini. Aku menyiapkan sarapan setiap pagi, menunggunya setiap malam, merelakan tubuhku, bahkan mengubur semua egoku hanya untuknya. Tapi, apa balasan yang kudapat? Tatapan dingin, kata-kata singkat, bahkan sapaan pun tak pernah.'

Aluna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isak kecil lolos, menyesakkan dadanya. Yang tak pernah ia tahu malam itu bukanlah malam biasa. Malam itu menjadi awal dari kembalinya mimpi buruk yang selama ini dijauhkan Kakek Haryanto darinya.

Sementara itu di tempat lain.

Bandara malam itu dipenuhi cahaya lampu neon yang berkilauan, ramai dengan para penumpang yang baru tiba dari penerbangan internasional. Barra berdiri tegap di depan pintu kedatangan internasional, jas hitamnya rapi, wajahnya tegas seperti biasa.

Tak lama, seorang gadis berwajah cantik dengan senyum menawan melangkah keluar. Rambut panjangnya tergerai, tubuhnya dibalut gaun sederhana namun elegan, dialah Miska saudara tiri Aluna.

“Kak Barra…” suara lembut itu terdengar, seakan membawa nostalgia yang selama ini disembunyikan.

Barra menoleh, matanya berbinar untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Senyum tipis muncul di wajah yang selama setahun hanya menunjukkan dingin pada istrinya.

Tanpa ragu, Miska berlari kecil dan langsung memeluk Barra. Seolah-olah pria itu bukan kakak iparnya, melainkan pria yang sudah lama dinantikan dengan penuh rindu. Barra tidak menolak, bahkan seakan menikmati kehadiran gadis itu. Di balik pelukan hangat itu, Miska diam-diam mengeluarkan ponselnya, mengangkatnya sedikit ke samping. Sebuah foto dirinya dan Barra yang tampak akrab pun terabadikan. Beberapa menit kemudian, foto itu terkirim ke ponsel ponsel Aluna.

Aluna yang masih duduk di ruang tamu, menunggu Barra pulang dengan mata sembab, mendengar getaran ponselnya. Ia membuka pesan, dan detik berikutnya wajahnya pucat.

Layar menampilkan foto Barra bersama Miska. Senyum manis Miska tampak begitu polos, seakan sedang bersama pria yang benar-benar mencintainya.

[Kak, terima kasih sudah menjaga Barra untukku. Sekarang aku sudah pulang.]

Jantung Aluna serasa diremas. Matanya berkaca-kaca, dadanya bergemuruh. Tangannya bergetar menggenggam ponsel. Namun, ia tidak membalas. Hanya menutup layar dan meletakkan ponsel itu di meja. Air matanya jatuh, satu demi satu.

'Jadi benar … dari awal yang ada di hati Barra hanyalah Miska.'

Aluna memeluk dirinya sendiri, seakan mencoba menahan perih yang menelannya hidup-hidup. Aluna menyeka air matanya kemudian, lalu bangkit dari sofa menuju kamarnya.

Malam itu rumah besar Pramudya milik suaminya terasa hening. Aluna duduk di sisi ranjang, memandangi gelas air putih yang baru saja ia letakkan di atas nakas. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya penuh tekad.

'Jika cinta tidak bisa kudapat dengan cara yang baik, maka aku akan merebutnya ... dengan cara apapun.'

Pukul sebelas lebih, pintu kamar terbuka. Barra baru pulang. Wajahnya tampak lelah, jas dilepaskan begitu saja, lalu ia masuk ke kamar mandi. Air terdengar mengalir sebentar, sebelum pria itu keluar dengan rambut masih sedikit basah.

Barra menoleh pada ranjang, melihat Aluna terlelap. Ia menghela napas panjang. Berniat untuk tidur di ruang tamu, seperti biasa. Namun sebelum keluar, kebiasaan lamanya memanggil, ia mengambil gelas air putih di atas nakas, meneguknya hampir tandas.

Belum sempat melangkah ke pintu, tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Nafasnya berat, matanya mendelik ke arah gelas kosong di tangan, lalu pada sosok Aluna yang masih berbaring. Dengan langkah terguncang, ia mendekat, lalu mencengkeram bahu istrinya. “Kau … kau memberi aku obat?!” suaranya berat, penuh amarah.

Aluna tersentak, pura-pura terbangun. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Barra…” suaranya lembut, matanya berair, namun di dalam hati ia berbisik penuh ambisi, 'Jika aku tidak bisa mendapatkan hatimu, maka aku akan mendapatkanmu dengan cara ini.'

Barra berusaha keras menolak gejolak dalam tubuhnya. Namun tatapan Aluna, sentuhan tangannya, dan kehangatan yang semakin dekat membuat pertahanannya runtuh. Malam itu, akhirnya ia tak kuasa lagi menahan. Aluna tersenyum di balik desahannya, menikmati setiap detik.

'Akhirnya, kau jadi milikku, Barra.'

Setelah semuanya usai, Barra terlelap dalam kelelahan. Aluna masih terjaga, dengan tatapan penuh kemenangan, ia mengusap lembut wajah suaminya, lalu mengambil ponselnya.

Sebuah foto Barra yang tertidur di pelukannya pun terabadikan, dengan cepat, ia kirimkan foto itu kepada Miska.

[Dia ada di sisiku, bukan di sisimu. Jangan coba-coba merebut apa yang sudah jadi milikku.]

Di rumah keluarga Wijaya, Miska yang sedang bersiap tidur menerima pesan itu. Saat foto itu muncul di layar, wajahnya memerah, tangannya gemetar. Teriakan melengking lepas dari mulutnya, memenuhi kamar mewahnya.

“Aku tidak akan kalah darimu, Aluna!” pekiknya sambil menghantam meja rias hingga cermin bergetar.

02. Lepas perawan

Sinar matahari masuk menembus tirai kamar besar keluarga Pramudya. Barra sudah berdiri di depan cermin, rapi dengan jas kerjanya yang elegan. Wajahnya tegas, sama sekali tak menunjukkan bekas dari malam panjang yang baru saja terjadi.

Di ranjang, Aluna baru saja membuka mata. Tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya berat karena kelelahan. Ia tersenyum tipis melihat sosok suaminya, berharap pagi itu berbeda, berharap Barra akan menyapanya dengan lembut untuk pertama kalinya.

Namun yang terdengar justru suara dingin, menusuk hati.

“Pergilah ke apotek, minta obat kontrasepsi darurat. Aku tidak ingin kau hamil.”

Aluna terdiam, senyum di wajahnya lenyap seketika, berganti dengan sorot mata yang berkaca-kaca.

“Barra…” suaranya bergetar, “apa arti selama setahun kita bersama? Apa aku benar-benar tak bisa membuatmu jatuh cinta padaku, walau sedikit saja?”

Barra menoleh, matanya tajam dan dingin.

“Aluna, sejak awal aku sudah bilang di hari pertama pernikahan kita. Aku tidak mencintaimu. Aku mencintai Miska.”

Ia mendekat, suaranya semakin rendah tapi menusuk, “Kalau saja kakekmu tidak mengirim Miska ke Inggris, mungkin aku sudah bersamanya. Kehidupannya di sana tidak baik … dan aku yakin itu ulahmu.”

Aluna terperanjat, darahnya berdesir.

'Dia menuduhku?' kedua tangan Aluna terkepal erat.

Tawa getir lolos dari bibirnya, lalu berganti dengan senyum sinis. Ia turun dari ranjang, berdiri di hadapan Barra dengan tatapan tajam.

“Tak perlu takut aku akan hamil, Barra. Aku tidak akan pernah hamil anak darimu.”

Barra terdiam, wajahnya tetap dingin. Tepat saat itu ponselnya berdering. Ia melirik layar, nama Miska terpampang jelas.

[Kak Barra…] suara lembut gadis itu terdengar di ujung sana, [aku sakit lagi … lambungku kambuh. Bisa temani aku ke rumah sakit?]

Tanpa berkata sepatah pun pada Aluna, Barra mengambil kunci mobilnya, lalu berbalik menuju pintu.

“Barra! Jangan pergi! Aku masih ingin bicara denganmu!” Aluna berteriak, suaranya pecah, penuh amarah sekaligus putus asa. Namun Barra tetap melangkah, pintu kamar terbanting, langkah kakinya terdengar semakin jauh. Dari balkon lantai dua, Aluna melihat mobil hitam Barra meluncur keluar. Cleo, asisten setia pria itu, sudah menunggu di kursi depan.

Aluna berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, giginya bergemeletuk menahan sakit hati. Air matanya jatuh, bercampur dengan api kemarahan yang mulai membara.

'Baiklah, Barra. Jika hatimu hanya untuk Miska, maka aku akan membuatmu menyesal telah meremehkanku.'

Rumah sakit swasta itu terasa tenang dengan aroma antiseptik yang khas. Barra berjalan cepat di lorong, jasnya masih rapi, wajahnya penuh kecemasan. Di dalam ruang perawatan VIP, Miska sudah berbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat namun tetap cantik dengan balutan rambut panjang yang tergerai di bantal putih.

Begitu pintu terbuka, Miska menoleh. Senyum tipis muncul di bibirnya meski tubuhnya gemetar menahan sakit.

“Kak Barra … kamu datang,” bisiknya lirih.

Barra segera menghampiri, menarik kursi dan duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Miska dengan hati-hati.

“Tentu saja aku datang. Kau sudah minum obat?” suaranya lembut, berbeda seratus delapan puluh derajat dari cara ia berbicara pada Aluna di rumah tadi pagi.

Miska menggeleng pelan. “Aku menunggu kamu, Kak … aku takut sendirian.”

Sorot mata Barra melembut. Ia merapikan selimut yang menutupi tubuh Miska, lalu mengusap pelipis gadis itu dengan penuh perhatian.

“Kau tidak sendiri, Miska. Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu menderita lagi.”

Miska menatapnya dengan mata berkaca-kaca, memainkan peran gadis lemah tak berdaya yang selalu berhasil menyentuh hati pria.

“Kak Barra … kamu tahu, sejak dulu aku … hanya ingin bersamamu. Tapi semuanya terasa sulit. Kakak...” ia berhenti, menggigit bibir, pura-pura ragu untuk menyebut nama Aluna.

Barra menghela napas panjang. “Aku tahu, semua ini rumit ... tapi percayalah, jika bukan karena perjanjian keluarga, aku tak akan pernah menikah dengan Aluna.”

Miska tersenyum samar, hatinya puas. Ia tahu Barra sudah sepenuhnya ada di pihaknya. Suster masuk membawa obat, namun Barra sendiri yang membantu Miska duduk dan meminum obatnya dengan sabar. Bahkan setelahnya, ia menyuapi segelas air hangat dengan telaten.

“Tidurlah, aku akan tetap di sini menemanimu sampai siang nanti kita pulang," ucap Barra lembut. Miska memejamkan mata, senyum kemenangan masih tersungging di bibirnya.

Saat ini di rumah besar keluarga Wijaya siang itu terasa hangat. Aluna baru saja tiba, disambut hangat oleh Kakek Haryanto. Wajah tua pria itu tampak cerah melihat cucunya.

“Aluna, cucuku … akhirnya kau sempat datang. Kakek senang sekali melihatmu,” ucapnya sembari menggenggam tangan Aluna dengan penuh kasih. Aluna tersenyum lembut, menunduk hormat pada sang kakek. “Aku selalu ingin pulang, Kek. Rumah ini tetap rumahku.”

Belum lama mereka berbincang, suara mobil terdengar berhenti di halaman. Semua mata menoleh, dan tak lama sosok Barra masuk bersama Miska yang berjalan di sampingnya. Suasana ruang tamu seketika berubah. Tuan Haris, ayah Aluna, serta Tuti ibu Miska langsung menyambut keduanya dengan senyum lebar.

“Oh, Tuan Barra … kau benar-benar menantu yang baik,” puji Tuti dengan penuh arti. “Peduli sekali dengan adiknya Aluna, selalu menemaninya di mana pun.”

Aluna yang berdiri di sisi kakeknya hanya tersenyum getir. Bibirnya melengkung tipis, seakan setuju dengan ucapan itu, padahal hatinya penuh luka.

“Iya … suamiku memang sangat perhatian,” katanya lirih, namun cukup jelas untuk terdengar semua orang. Seketika Barra menoleh sekilas ke arah istrinya. Tatapannya datar, namun Aluna tidak gentar. Hari ini ia memang sengaja mengenakan gaun dengan potongan leher rendah. Bekas merah samar di kulitnya masih terlihat, tanda malam panjang yang mereka lalui.

Miska yang melihatnya membelalak kecil, rahangnya mengeras. Matanya memancarkan api cemburu yang ditahannya dengan susah payah. Di depan keluarga, ia tak bisa berbuat apa-apa. Aluna tersenyum sinis melihat reaksi adik tirinya. Perlahan ia berjalan mendekat, lalu dengan penuh kelembutan merangkul lengan Barra.

“Barra,” ucapnya manja, “bagaimana kalau kita makan siang bersama di sini? Aku ingin sekali duduk di meja makan dengan keluarga.”

Semua orang menatap mereka dengan senyum bahagia, seakan pernikahan itu penuh keharmonisan. Namun hanya Miska yang merasakan jarum menusuk hatinya, melihat Barra pria yang seharusnya untuknya berdiri dirangkul oleh kakak tirinya yang sejak dulu selalu merebut segalanya.

'Heh, panas kau kan?' Aluna melirik Miska sembari tersenyum penuh kemenangan.

"Ayo ... ayo, makan siang bersama," ajak Haryanto kepada semua orang. Aluna merangkul lengan suaminya dengan mesra dan membuat Miska begitu cemburu.

03. Kapan aku bisa melihat cinta dimatamu?

Mobil hitam keluarga Pramudya melaju membelah jalan sore itu. Barra duduk di balik kemudi dengan wajah kaku, sementara Aluna masih tersenyum tipis, puas karena berhasil membuat Miska terdiam di depan keluarga. Namun, tiba-tiba Barra menghentikan mobil mendadak di tepi jalan. Suara rem yang berdecit membuat tubuh Aluna sedikit terhentak ke depan.

Tanpa basa-basi, Barra membalik tubuhnya, kedua tangannya mendorong bahu Aluna ke sandaran kursi. Wajahnya dekat, sorot matanya tajam penuh amarah.

“Kau gila, Aluna?! Apa kau sengaja memakai gaun itu hanya untuk memamerkan … malam kita pada orang lain?” suaranya rendah tapi menghentak, penuh penekanan.

Aluna tidak menunjukkan rasa takut. Justru senyum kecil lolos dari bibirnya, tatapannya penuh tantangan.

“Kenapa? Kau takut, Barra? Bukankah kita suami istri sah? Apa salahnya orang tahu suami menyentuh istrinya?” Ia mencondongkan wajah, berbisik dengan nada menusuk, “Atau … kau takut karena Miska ada di sana?”

Nama itu membuat rahang Barra mengeras. Seketika ia melepas cengkeraman di bahu Aluna, menarik napas panjang. Ia kembali duduk ke kursinya, merapikan jasnya yang sempat berantakan, berusaha menahan gejolak dalam dirinya. Suara Barra terdengar dingin, penuh peringatan.

“Jangan pernah memancing amarahku, Aluna. Kau tidak tahu … apa yang bisa aku lakukan kalau aku benar-benar marah.”

Aluna terdiam, menatap sisi wajah suaminya yang kini kembali dingin seperti patung. Namun di dalam hatinya, ia justru tersenyum getir. Setidaknya untuk pertama kali, ia berhasil membuat Barra bereaksi, meski hanya dengan amarah.

Mobil akhirnya berhenti di halaman kediaman Pramudya. Barra turun lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun, langkahnya lebar dan penuh amarah yang belum reda. Aluna menyusul, berjalan perlahan dengan senyum tipis yang dipaksakan, seolah tak terjadi apa-apa.

Begitu masuk rumah, Barra langsung melepas jas dan meletakkannya di sofa. Ia membuka dasinya dengan kasar, kemudian meneguk air mineral yang disediakan Cleo di meja. Sorot matanya tak pernah sekalipun mengarah pada Aluna.

Aluna melangkah masuk dengan santai, menggantung tasnya di kursi. Ia mendekati Barra, meraih jas yang tergeletak sembarangan lalu menggantungnya rapi di gantungan baju. Gerakan sederhana itu justru membuat Barra semakin kesal karena ia merasa Aluna mencoba bertingkah sebagai istri yang baik.

“Barra…” suara Aluna pelan, nyaris berbisik.

Barra hanya mendengus, tak menoleh.

Aluna melanjutkan dengan nada getir, “Selama setahun aku bersamamu, apa benar tak ada sedikitpun ruang di hatimu untukku? Kau selalu menyebut nama Miska, tapi aku yang ada di sisimu setiap malam. Aku yang menunggumu pulang, aku yang menerima semua dinginnya sikapmu…”

Barra menaruh gelas dengan suara keras, menoleh cepat. Sorot matanya menusuk, membuat suasana ruangan menegang.

“Kau sendiri yang meminta semua ini, Aluna. Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Aku tak pernah mencintaimu, dan aku tak akan pernah.”

Aluna terdiam sejenak, bibirnya bergetar. Tapi kemudian ia tersenyum miring, menahan sakit hatinya dengan harga diri yang masih kokoh. Ia mendekat, menatap Barra tajam.

“Kalau begitu … biarkan aku yang membuatmu jatuh, Barra. Kau akan lihat, sekeras apapun kau menolak, suatu saat kau akan bertekuk lutut padaku. Bukan pada Miska.”

Ucapan itu membuat Barra membeku sesaat. Ia tahu Aluna tak main-main. Tapi sebelum ia bisa menjawab, ponselnya berdering. Nama Miska tertera jelas di layar. Tanpa ragu, Barra segera mengangkatnya, meninggalkan Aluna yang berdiri kaku dengan senyum getir di bibir.

'Miska? Lagi-lagi Miska?!' Aluna berteriak dalam hatinya saat mengetahui Barra kembali pergi menemui Miska.

Baru saja suara mobil Barra menghilang di halaman depan, Aluna menurunkan tubuhnya ke sofa dengan wajah tanpa ekspresi. Tangannya yang gemetar perlahan meraih ponsel di meja. Beberapa notifikasi pesan masuk, namun satu pesan paling mencolok membuatnya menegakkan tubuh.

[Undangan Resmi Ulang Tahun Perusahaan Pramudya Group]

Pesan itu dikirim oleh ibu mertuanya Aluna.

Aluna membuka pesan itu, matanya menyusuri tiap kata. Undangan digital dengan desain mewah dan eksklusif, ditujukan khusus atas nama Nyonya Aluna Barra Pramudya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung membentuk senyum samar. Tangannya mengusap perlahan permukaan layar ponsel, seakan mengusap sebuah peluang emas.

“Jadi ini kesempatan yang kau berikan padaku, Bu …” gumamnya lirih.

Dia tahu pesta ulang tahun perusahaan bukan sekadar acara formal, melainkan panggung besar. Semua mata keluarga besar, rekan bisnis, pejabat, dan kalangan sosialita akan tertuju padanya. Jika ia mampu tampil sempurna di sana, maka tak ada seorang pun bahkan Barra sendiri tak bisa meremehkannya lagi.

Aluna menegakkan tubuhnya, sorot matanya kembali tajam penuh ambisi. Ia teringat lagi ucapan Barra yang dingin, 'Aku tak pernah mencintaimu, dan aku tak akan pernah.' Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menyulut api yang semakin besar.

“Tunggu saja, Barra,” bisiknya sembari meremas ujung gaunnya. “Aku akan buktikan kalau aku bukan sekadar istri bayangan. Aku akan menjadi satu-satunya wanita yang pantas menyandang nama Pramudya. Dan kau … kau akan menyesali kata-katamu sendiri.”

Dengan senyum penuh perhitungan, Aluna berdiri dan melangkah ke arah lemari pakaian. Malam itu, ia mulai merancang segalanya gaun apa yang akan dipakai, siapa yang akan ia temui, dan bagaimana caranya membuat Barra melihat bahwa Aluna bukan wanita yang bisa ia singkirkan begitu saja.

[Andra, temani aku ke pesta ulang tahun perusahaan Pramudya, besok malam.] Andra adalah sahabat sekaligus rekan bisnis keluarga Wijaya, orang yang selalu membantu dan berpihak pada Aluna sejak dari dulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!