NovelToon NovelToon

Land Of Eldoria

01

Malam ini seluruh Negeri Eldoria terasa sangat dingin, sepertinya musim dingin akan segera tiba. Tapi tahun ini terasa sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, udaranya terasa sangat aneh karena hawa dingin ini terasa menembus sampai ke tulang, bahkan banyak orang yang lebih memilih mengurung diri di dalam rumah termasuk penghuni kerajaan Frostharbor, dimana tempat para elemen Es tinggal. Biasanya mereka tahan di cuaca dingin walaupun tinggal di dataran salju tapi sekarang rasanya sangat berbeda. Suhu tahun ini terasa tidak normal.

Frostharbor: Pelabuhan berlapis es tempat kapal berlayar di lautan beku, dan aurora memandu jalurnya, menciptakan pemandangan yang dingin dan menakjubkan. Kerajaan yang di pimpin oleh Raja Aphelion Frostine.

Malam semakin larut dan udaranya juga semakin dingin, tepat saat salju pertama turun, ada suara tangisan bayi dari salah satu kamar yang ada di istana kerajaan Frostharbor.

Wajah Raja dan Ratu sangat bahagia melihat putri kedua mereka yang baru saja lahir dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Di ruangan dengan lampu temaram ini hanya ada mereka berempat termasuk tabib yang membantu persalinan dan juga bayi kecil itu. Setelah tabib itu keluar meninggalkan kamar Ratu, tiba-tiba angin berhembus kencang membuat jendela terbuka lebar hingga memperlihatkan langit berwarna biru karena sinar bulan yang di sebabkan oleh gerhana bulan biru yang terjadi malam ini.

Sebuah kitab berwarna biru keunguan terbang di atas bayi itu. Sontak raja dan ratu sangat terkejut, mereka langsung menatap putri kecil mereka yang tampak tersenyum menatap kearah cahaya yang berasal dari kitab itu.

"P-putri kita." Ratu sontak membekap mulutnya melihat kejadian itu, ia lalu beralih menatap suaminya yang terlihat sama terkejutnya.

"Bagaimana aku bisa lupa jika sekarang adalah malam gerhana bulan biru." Ucap sang raja melihat jendela terbuka yang menampilkan birunya langit malam ini. Raja bergegas menutup jendela dengan rapat lalu kembali mendekati istri dan putrinya yang baru saja lahir karena takut jika ada yang mengetahui hal ini. Meskipun mereka yakin jika berita ini akan segera menyebar.

"Aku pernah mendengarnya, orang yang terlahir di malam gerhana bulan biru akan mendapatkan senjata atau kitab.... Dan putri kita mendapatkan kitab, yang sangat terlihat sangat tebal."

"Dari beberapa buku yang pernah ku baca, sepertinya kitab yang di miliki putri kita memang lebih tebal dari orang-orang sebelumya."

Bayi kecil itu seolah mengerti apa yang sedang di bicarakan orang tuanya, mata birunya bergerak kesana kemari mengikuti arah suara yang berasal dari orang tuanya. Saat Raja dan Ratu masih membicarakan hal itu, sebuah cahaya ungu kehitaman bersinar, membuat perhatian kedua orang dewasa itu teralihkan. Mata mereka kembali membelalak saat muncul sebuah sabit yang memancarkan aura yang sangat kuat, tanpa sadar mereka melangkah mundur karena pekatnya aura yang di keluarkan sabit itu.

"Hey hey, yang benar saja, nak.... Selain kitab apa kau juga mendapatkan senjata ini?" Selain terkejut, Aphelion juga panik saat merasakan aura yang di pancarkan sabit itu.

"Kenapa auranya pekat sekali? Kekuatan macam apa yang di miliki senjata ini?" Charlotte tidak kalah panik dari Aphelion.

"Bisa-bisanya dia tersenyum saat orangnya sedang menderita seperti ini." Aphelion menatap putri kecilnya yang kini tampak tersenyum, tidak seperti mereka, anak itu sama sekali tidak terganggu oleh aura yang di keluarkan sabit itu.

Belum selesai dengan rasa terkejutnya, Raja dan Ratu kembali di kejutkan oleh cahaya terang yang bersinar di dahi putri meteka. Perlahan terukir sebuah tanda di dahinya, membuat raja dan ratu saling menatap satu sama lain lalu kembali menatap putri mereka. Bahkan jika di perhatikan baik-baik warna mata bayi itu berwarna biru, bukan silver seperti kebanyakan pemilik Es lainnya.

"Tanda ini-" sang ratu tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi, tangannya mengusap tanda yang terukir apik di dahi putrinya.

"Sepertinya putri kita adalah salah satu dari ketujuh orang yang di ramalkan." Sahut sang Raja membuat Ratu meneteskan air matanya.

Perasaan mereka campur aduk, keduanya menangis sambil memeluk bayi kecil itu. Bukannya mereka tidak bahagia, hanya saja putri mereka baru saja terlahir dan sudah mendapatkan tugas yang berat. Tiba-tiba sang Ratu merasakan rasa pusing menghampirinya, dia mendapat penglihatan jika Devil akan menyerang istana ini untuk membunuh putrinya yang baru saja lahir.

"Tidakk!!!" Teriak Charlotte, tiba-tiba di kepalanya ada seputar kejadian mengerikan sampai membuatnya ketakutan.

"Ada apa? Kenapa kau berteriak?" Tanya Aphelion panik, ia sampai mengguncang tubuh Charlotte karena istrinya itu tidak mendengarnya.

"D-devil akan menyerang istana ini u-untuk membunuh putri kita." Charlotte memeluk erat bayinya, rasa takut muali memenuhi pikirannya.

Musuh umat manusia adalah penguasa kegelapan dan pemilik kekuatan hitam yang bisa di sebut iblis/ Devil. Mahkluk itu memiliki tanduk di kepalanya, membuatnya tampak mengerikan. Umumnya mereka memang memusuhi manusia, tapi mungkin ada beberapa Devil yang tidak menganggap manusia sebagai musuh, karena ada beberapa keturunan campuran yang menjadikannya anak setengah manusia dan Devil. Tapi manusia jarang sekali menemukan setengah Devil, mungkin mereka berpikir jika manusia akan memburunya karena bangsa mereka adalah musuh umat manusia.

Ratu memang memiliki kemampuan melihat masa depan dan masalalu, kemampuan yang jarang di miliki oleh orang lain. Selain ratu, Raja juga memiliki kemampuan healing tingkat tinggi. Jika kebanyakan orang biasanya memiliki kemampuan healing berwarna hijau, maka healing milik raja berwarna putih atau hampir transparan.

"Dengarkan aku, kita bisa menyelamatkan putri kita berkat kemampuanmu. Jadi tenanglah, kita akan menyelamatkan putri kita apapun yang terjadi, meskipun nyawaku taruhannya." Aphelion meraih wajah istrinya, meyakinkan jika semua akan baik-baik saja selama mereka memiliki kekuatan Charlotte.

"Lusa Devil akan sampai di istana ini." Ujar Charlotte, membuat suaminya mengangguk.

Baru saja Ratu merasa sedikit tenang, kembali muncul cahaya, kini ada seekor burung Phoenix dengan sayap berwarna putih dan merah. Sepertinya itu adalah Phoenix es dan api.

"P-phoenix?" Charlotte tidak menyangka akan ada hewan legendaris muncul di hadapannya.

"Anak ini benar-benar sangat di berkati oleh Tuhan. Sudah berapa kali dia mengejutkan kita? Sekarang sudah muncul Phoenix es dan api." Antara percaya dan tidak percaya jika putri mereka sangat di berkati. Aphelion menatap putrinya yang tampak sedang tersenyum pada Phoenix itu.

"Mulai sekarang dan seterusnya aku akan menjaga anak ini." Phoenix itu mengepakkan sayapnya dan terbang ke udara lalu menghilang. Tepat setelah Phoenix itu menghilang, ada sesuatu terjatuh ke lantai.

Aphelion mengambilnya, sebuah liontin seperti kristal yang bening dengan perpaduan warna merah dan biru di dalamnya seolah melambangkan Phoenix tadi. Setelah mengambilnya, Aphelion berjalan mendekat kearah istri dan anaknya, lalu memasangkan liontin itu pada bayi itu.

"Kita masih punya waktu. Tenanglah aku akan menjagamu." Raja berusaha menenangkan sang Ratu. Bagaimanapun juga mereka harus menjaga bayi yang baru lahir ini dengan hati-hati karena dialah yang akan memusnahkan Devil kelak.

"Theresa dan Ana juga?" Charlotte menatap suaminya dengan sisa air matanya.

Raja mengerutkan keningnya. "Ana?" Tanyanya dengan raut wajah yang bingung.

Ratu mengangguk. "Nama putri kedua kita, bagaimana menurutmu?" Tanyanya yang kini sudah mulai tenang. Terlihat sang Raja tampak berpikir, lalu mengangguk setuju.

"Celizana Blaze Frostine." Ujar Ratu memberitahu nama yang dia berikan untuk putri kedua mereka.

"Indah, apakah memiliki arti tertentu?" Raja tersenyum mendengar nama putrinya yang begitu indah, lalu beratnya apakah nama itu memiliki arti sehingga istrinya memilihnya.

"Aku baru memikirkan nama tengahnya saat Phoenix itu muncul." Jawab Ratu semakin membuat Raja penasaran, tapi masih tetap menunggu agar istrinya melanjutkan ucapannya.

"Blaze memiliki dua arti yang berbeda, salah satunya adalah api, dan makna lainnya sangat berkebalikan yaitu es/salju." Sambung Ratu. Jika Phoenix tadi adalah penjaga putri mereka, berarti sudah bisa di pastikan jika Ana juga memang memiliki elemen api.

"Sangat indah, semoga Tuhan selalu melindunginya." Puji Raja. Mereka berharap agar Tuhan selalu melindungi Ana, walaupun mereka tau jika jalan putri mereka akan sulit nantinya.

Raja kembali mendekap istri dan putrinya seolah memberikan rasa aman pada mereka berdua. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, seorang gadis berusia 4 tahun berjalan mendekati mereka bertiga.

"There." Ratu terkejut melihat putri pertamanya tiba-tiba datang karena ini sudah larut malam. Bukankah tadi gadis itu sudah terlelap di kamarnya.

Theresa Eirlys Frostine, putri pertama Raja Aphelion dan Ratu Charlotte. Nama tengahnya memiliki arti kepingan salju, Charlotte tidak asal memberinya nama itu. Saat lahir, Theresa sudah bisa membuat kepingan salju, karena itu Charlotte memberikannya nama tengan Eirlys, yang berarti kepingan salju.

"Ayah, ibu dimana adikku?" Tanya Theresa antusias, setelah menutup pintu kamar, kaki mungilnya berlari kecil menghampiri ranjang ibunya.

"Ohh, apakah dia adikku? Biarkan aku melihatnya." Lanjut Theresa menunjuk bayi yang ada di gendongan sang ibu.

"Oho, apakah kau senang karena menjadi seorang Kakak?" Tanya Raja seraya mengusak gemas rambut putri pertamanya.

"Yaa, tentu saja. Ayah, cepat bantu aku naik, aku mau melihat adikku." Jawab Theresa, dia meminta agar ayahnya membantunya untuk naik ke atas tempat tidur karena ranjangnya lumayan tinggi.

"Baik-baik tuan putri, tenanglah." Kekeh Raja melihat tingkah Theresa yang tampak antusias ingin melihat adiknya.

Raja mendudukkan Theresa di samping Ratu, mata gadis kecil itu berbinar melihat bayi kecil yang sedang terlelap di gendongan sang ibu. Tangan mungilnya mengusap rambut silver milik adiknya, lalu beralih ke pipi gembul bayi itu, Theresa tersenyum merasakan betapa lembutnya rambut dan kulit sang adik.

Semua pemilik elemen Es umumnya memang memiliki mata dan rambut berwarna putih/silver. Tapi Ana berbeda, mata anak itu berwarna biru padahal orangtuanya murni dari klan Es, atau mungkin saja karena anak itu terlahir saat malah gerhana bulan biru.

"Ayah, ibu, dia sangat lucu. Rambut dan kulitnya sangat halus, pipinya juga besar." Kagum Theresa menatap adiknya yang terlelap dalam pelukan sang ibu.

"Apa kau tau? Warna mata adikmu berwarna biru?" Aphelion menatap Theresa.

"Woahh, benarkah?" Tanya Theresa semakin antusias dan tidak sabar melihat mata adiknya, sayangnya saat ini bayi itu sedang tertidur.

"Iya, bukankah Ayah tidak pernah berbohong padamu? Sekarang lebih baik kau sapa dulu adikmu." Balas Aphelion, membuat Theresa mengangguk dan bergeser mendekati adiknya.

"Halo, adik kecil. Namaku Theresa, aku adalah Kakakmu." Celoteh Theresa yang tidak bisa berhenti mengusap rambut silver adiknya.

Theresa diam beberapa saat seolah sedang memikirkan sesuatu. "Kau bisa memanggilku kak There. Benar kan ayah, ibu?" Tanyanya beralih pada ayah dan ibunya.

Sang ratu tersenyum. "Eum, tentu saja. Wahh lihat Ana tersenyum, sepertinya dia menyukaimu, kak There." Ucapnya seraya melirik Ana yang tersenyum setelah mendengar ucapan Theresa, sepertinya bayi itu mengerti dengan apa yang di katakan kakaknya.

"Ana?" Tanya Theresa dengan kerutan di keningnya.

Charlotte mengangguk. "Nama adikmu, apakah bagus?" Tanyanya menatap putri pertamanya.

"Emm, tentu saja." Theresa mengangguk dengan senyum manis tanda jika dia setuju.

"Baiklah, Ana. Mulai sekarang kak There akan menjagamu." Seolah mengerti ucapan Theresa, bayi itu kembali tersenyum padanya.

"Kau benar-benar Kakak yang sangat baik, There." Puji Ratu seraya mengusap kepala putrinya.

"Tentu saja karena aku sangat menyayangi, Ana." Jawab Theresa antusias.

"Iya iya, sekarang kembalilah ke kamarmu." Karena sudah malam, Raja segera mengakhiri pembicaraan mereka, tapi Theresa malah menggelengkan kepalanya.

"Tidak mau, biarkan aku tidur di sini bersama Ana." Theresa memeluk erat adiknya yang berada di gendongan ibunya.

"Baiklah, cepat kemari. Kau tidur di sebelah ayah, biarkan Ana tidur di sebelah ibu." Raja hanya bisa pasrah, lalu menepuk tempat di sebelahnya agar Theresa berbaring di sana.

"Emm." Theresa mengangguk dan segera mendekat kearah ayahnya.

Seorang bayi perempuan yang terlahir pada gerhana bulan biru yang terjadi setiap 100 tahun sekali. Konon katanya, jika ada anak yang terlahir pada saat gerhana bulan biru akan mendapatkan kekuatan istimewa dan mendapatkan senjata yang bisa menebas/memotong apapun, juga ada beberapa kitab yang terdapat banyak mantra ajaib dan berbagai informasi di dalamnya, tapi orang-orang yang lahir di gerhana bulan biru sebelumnya hanya mendapatkan salah satu dari benda itu, jika bukan senjata, maka mereka hanya akan mendapatkan kitab. setiap orang yang terlahir pada gerhana bulan biru juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Entah kekuatan istimewa apa yang akan di miliki oleh putri kedua kali ini, tentu saja hal itu membuat orang-orang di kerajaan merasa bersyukur karena bayi itu terlahir di tanah mereka. Dimana tempat para elemen es, apalagi jika anak itu termasuk orang istimewa yang menguasai semua elemen, tidak bisa mereka bayangkan sedahsyat apa kekuatan tuan putri kedua ini.

Terakhir kali, tepatnya 100 tahun yang lalu saat peperangan terjadi, tapi tetap saja mereka kalah telak oleh Devil dan mengakibatkan kehancuran bagi Negeri Eldoria.

Sayangnya kebahagiaan keluarga Frostine berakhir singkat, lusa Devil benar-benar menyerang istana. Hampir setengah istana hancur karena penyerangan tiba-tiba itu, banyak korban berjatuhan. Sekitar 50 orang luka-luka dan 25 orang meninggal, meskipun begitu mereka tidak bisa menahan Devils memasuki istana ini.

Saat Devil berpikir sudah berhasil menerobos istana dan mereka tiba di ruangan Raja dan Ratu semua tujuan mereka untuk membunuh bayi itu akan terpenuhi. Tapi saat membuka ruangan itu, suara tangisan adalah hal pertama yang di dengar oleh Devil. Raja Aphelion dan Ratu Charlotte sedang menangis sambil memeluk bayi yang wajahnya sudah pucat.

"Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin mati!" Teriak Charlotte memeluk erat bayinya.

"Charlotte, tenangkan dirimu!" Aphelion berusaha menyadarkan istrinya yang sedang menangis histeris.

"Ana tidak mungkin mati! Bagaimana dia bisa meninggalkanku seperti ini!" Tumpah sudah air mata Charlotte, bayi yang baru saja dia lahirkan sekarang sudah pergi meninggalkannya secepat ini. Aphelion memeluk istrinya, mengerti bagaimana penderitaannya, tapi jika dirinya juga terlihat lemah lalu bagaimana dia bisa menguatkan Charlotte.

Apa ini? Devils seolah di permainkan. Mereka datang ke istana ini untuk membunuh bayi yang bisa menjadi salah satu ancaman bagi mereka, tapi saat tiba di sini ternyata bayi itu sudah meninggal sebelum mereka turun tangan. Rasanya sia-sia saja datang ke istana ini, karena sudah merasa di permainkan, pimpinan mereka menyuruh pasukannya mundur dan meninggalkan istana ini yang sudah setengah hancur akibat perbuatan mereka.

Setelah Devils pergi, berita kematian tuan putri kedua mereka sudah tersebar. Semua rakyat kerajaan Frostharbor sangat merasa sedih dan kehilangan. Apalagi sangat di sayangkan karena anak itu lahir di gerhana bulan biru yang terjadi 100 tahun sekali. Untuk mengenang putrinya yang sudah meninggal, Raja Aphelion mengumumkan nama putri keduanya yang bernama Ana di depan semua rakyat sebelum proses pemakaman. Aphelion tidak menyebutkan nama lengkap putrinya yang telah meninggal, tapi yang jelas, semua orang mengenalnya sebagai Ana, tidak ada informasi apapun lagi tentang bayi itu, mungkin karena baru lahir sudah meninggal. Rakyat juga berpikir jika mungkin saja Raja mereka sangat terpukul atas meninggalnya putri mereka, karena itu tidak terlalu banyak

"Ku serahkan putriku pada kalian berdua, tolong jaga dia, Acrus, Acresia." batin seseorang.

02

4 tahun kemudian.

Sepasang suami istri hidup di sebuah kota kecil yang ada di balik hutan lebat di bawah gunung Es. Kota itu adalah kota Misest, yang biasa di sebut kota hutan berkabut. Mereka adalah Acrus dan Acresia, sudah 4 tahun mereka tinggal di kota Misest ini. Hari sudah hampir gelap dan matahari juga sudah mulai tenggelam, tapi Acrus masih ada di halaman belakang rumahnya.

Acrus menatap tanpa rasa kasihan pada gadis kecil di hadapannya, dia adalah Liz, putrinya? Anak yang baru saja menginjak usia 4 tahun dua bulan yang lalu itu terlihat sangat kelelahan dengan tubuh penuh keringat padahal di sekitar mereka adalah dataran bersalju. Acrus melipat tangannya tanpa menghiraukan wajah melas Liz, saat ini ia sedang menemani gadis itu latihan, lebih tepatnya mengawasi dengan tegas dan tanpa ampun. Sedangkan Acresia hanya sesekali memperhatikan mereka lewat jendela dapur, wanita itu sedang memasak untuk makan malam. Sudah sejak pagi buta hingga saat ini matahari sudah terbenam, tapi latihan Liz belum selesai juga.

"Ayah, bisakah kita berhenti sebentar?" Tanya gadis kecil itu dengan tatapan memohon pada Acrus, berharap jika Ayahnya bersedia menyudahi latihannya.

"Tidak! Cepat lanjutkan, dan jangan mengeluh! Kau harus bisa menguasai 3 elemen lainnya dalam 3 bulan, tidak lebih dari itu!" Balas Acrus dengan suara tegas dan tidak mau di bantah lagi. Membuat Liz hanya bisa pasrah dan kembali melanjutkan latihannya.

Hari-hari Liz selalu seperti ini sejak ia berumur 3 tahun. Acrus sudah melatihnya dengan keras selama satu tahun ini, bahkan siapapun yang melihatnya akan merasa kasihan pada gadis kecil itu, di usianya banyak anak-anak yang bermain ke sana kemari, tapi tidak untuk Liz. Anak itu sudah harus berlatih di usianya yang masih kecil, bahkan Acrus sama sekali tidak menunjukkan rasa belas kasihan. Ibaratnya jika di bandingkan anak-anak lain, Liz sudah melampaui batasnya di usia anak-anaknya. Entah seperti apa dia 2 tahun kemudian, entah sekuat apa dia nantinya. Jika ini adalah dunia game, kekuatannya sudah bisa di anggap cheat. Selain dia anak yang berbakat, sepertinya Liz juga anak yang istimewa.

Saat usianya menginjak 3 tahun, Acrus dan Acresia pernah mengajak Liz ke suatu tempat seperti gereja untuk mengukur kemampuan anak itu. Dan seperti sebelumnya, keistimewaan Liz membuat Acrus dan Acresia tercengang. Anak itu tidak hanya memiliki keberuntungan yang bagus, tapi juga termasuk salah satu orang istimewa yang bisa menguasai semua elemen.

Padahal Acrus juga salah satu orang istimewa di klan es yang bisa menguasai lebih dari 3 elemen, tapi saat mengetahui Lizana bisa menguasai semua elemen membuatnya hampir tidak percaya. Bagaimana bisa ada anak yang di penuhi berkah seperti anak ini. Karena keistimewaan itulah, Acrus kelap melatih Liz dengan keras setiap harinya.

Saat ini Liz baru bisa menguasai 5 elemen yaitu Es, Api ,Air, Angin dan Petir. Masih ada 3 elemen lagi yang belum ia kuasai, karena itu Acrus tidak memberinya waktu untuk sekedar beristirahat. Padahal banyak anak seusianya yang belum bisa mengendalikan elemen, tapi Liz sudah menguasai 5 elemen. Tapi Acrus tidak pernah melihat hal itu, ia selalu mengatakan pada Liz jika dia harus menjadi lebih dari siapapun. Jika bisa mengeluh, Liz sudah bosan mendengar kata-kata itu dari Acrus. Dia ingin bermain seperti anak-anak lainnya, ia juga ingin memiliki teman.

Melihat Liz sedang melamun, membuat Acrus marah. "Kenapa melamun, cepat lanjutkan!" Bentaknya, membuat Liz sampai berjingkat kaget.

Liz melanjutkan latihannya, saat ini dia berusaha mengendalikan elemen cahaya, seperti yang di ketahui, elemen cahaya lebih sulit di pelajari dari beberapa elemen yang lainnya. Entah karena sudah sering di marahi atau sudah kebal dengan kata-kata menyakitkan dari Acrus.

Acrus menyudahi latihannya saat Acresia memanggilnya untuk makan malam. Liz langsung menjatuhkan tubuhnya ke tanah yang tertutupi oleh salju, matanya menatap bintang-bintang di langit yang berkelap-kelip, sangat indah. Baju dan tubuhnya sudah sangat kotor karena bercampur keringat dan debu, tapi anak itu masih betah tidur terlentang di atas tumpukan salju daripada menyusul Ayah dan Ibunya yang sedang makan malam di dalam. Lagipula percuma saja, walaupun mereka makan di meja yang sama, tidak ada pembicaraan sama sekali kecuali suara dentingan sendok yang memenuhi ruangan. Karena didikan Acrus, membuat Liz menjadi anak yang pintar dan cerdik, karena itu ia menyembunyikan sesuatu dari Acrus dan Acresia.

Sebenarnya Liz menyadari jika Acrus terobsesi membuatnya menjadi kuat, karena itu ia diam-diam menyembunyikan kekuatan barunya? Atau mungkin kekuatan itu memang sudah di milikinya dari dulu tapi baru dia sadari sekarang. Awalnya Liz belum yakin tenang kekuatannya yang saat ini masih ia sembunyikan. Liz bisa menguasai 5 elemen dalam waktu singkat bukan hanya karena latihan yang keras, tapi ia mempelajarinya dari Acrus dan Acresia, lebih tepatnya meniru. Acrus menguasai 4 elemen yaitu Es, Api, Air, dan petir, jadi bukan hanya karena latihan yang di berikan Acrus yang membuat Liz cepat menguasainya, tapi anak itu sebenarnya bisa meniru semua kekuatan yang ia lihat. Sedangkan elemen Angin, ia mempelajarinya dari Acresia saat ia diam-diam mengintip Ibunya yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah dengan bantuan elemen anginnya, tapi hanya sesekali Acresia akan melakukannya.

Bukankah ini sangat berbahaya baginya jika sampai Acrus dan Acresia mengetahui hal ini? Karena itu Liz berusaha menyembunyikan kekuatan uniknya, jangan sampai hari-harinya lebih buruk dari ini. Sekarang ia masih bersyukur karena malam harinya masih bisa tidur nyenyak, tapi ia tidak yakin saat orangtuanya mengetahui kekuatannya yang ia sembunyikan, Liz yakin bahkan untuk tidur saja ia tidak akan bisa. Jadi lebih baik ia menyimpannya sendirian, ya, itu lebih baik.

Angin mulai berhembus kencang, Liz segera masuk ke rumah untuk membersihkan tubuhnya. Selesai membersihkan tubuhnya, ia pergi ke meja makan, tapi Acrus dan Acresia sudah tidak terlihat, mungkin mereka sudah tidur lebih dulu seperti biasanya, padahal saat ia masuk mereka masih duduk di sana. Dengan wajah tertekuk, kaki mungilnya melangkah ke dapur, ia menarik kursi dan meletakkannya di depan tempat Acresia biasa menyimpan makanan. Liz naik ke kursi itu dan mengambil beberapa makanan, anak itu turun dari kursi setelah mengambil makanannya dan duduk di lantai dengan punggung yang di sandarkan di kaki kursi. Memakan makanan itu dengan perasaan hampa, sama seperti biasanya, hanya suara jangkrik yang menemaninya menghabiskan makan malamnya. Tatapan matanya terlihat kosong, tapi anak itu begitu lahap menyantap makanannya. Siapapun yang melihatnya pasti merasa kasihan, anak sekecil itu harus merasakan pahitnya kehidupan dimana anak-anak seusianya bebas melakukan hal yang di sukai.

Selesai makan, Liz langsung mencuci piringnya dan mengembalikan kursinya ke tempat semula. Sebelum pergi, ia menatap kamar orangtuanya sebentar lalu berlari kecil menuju kamarnya. Anak itu naik ke tempat tidurnya dan membalut tubuh kecilnya dengan selimut hingga menutupi tubuhnya. Meringkuk dengan balutan selimut, hal yang selalu ia lakukan setiap malam sampai benar-benar terlelap dalam tidurnya. Tapi anehnya keesokan harinya tubuh Liz akan kembali segar tanpa rasa lelah sedikitpun, bahkan setiap kali ia terluka saat latihan, keesokan harinya luka itu akan mengihlang tanpa bekas sedikitpun, karena itu dia bisa menjalani latihan keras setiap harinya.

03

Hari demi hari, bulan demi bulan selalu di penuhi latihan, tapi hari ini terasa aneh. Sejak pagi Liz belum melihat Acrus, kira-kira kemana Ayahnya itu pergi? Biasanya sebelum matahari terbit ia sudah di bangunkan oleh Acrus untuk latihan, tapi hari ini ia sampai bisa bangun jam 6 pagi, bisa di bilang pertama kalinya Liz bangun agak siang seperti sekarang setelah sesi latihannya di mulai saat ia menginjak usia 3 tahun. Liz sudah mencari Acrus ke seluruh rumah sampai ke halaman belakang, tempat biasa ia latihan bersama Acrus, tapi ia tetap tidak menemukan Ayahnya. Kaki kecilnya kembali berlari masuk ke dalam rumah untuk mencari Acresia yang mungkin ada di dapur.

"Ibu, Ayah pergi kemana?" Liz berlari kecil menghampiri Acresia, lalu bertanya pada wanita itu yang kini sedang berkutat dengan peralatan dapur.

"Menjemput temannya." Jawab Acresia tanpa menoleh atau melirik pada Liz.

Terlihat kerutan di dahinya, Liz mencoba memahami apa yang di katakan ibunya. "Menjemput? Apakah teman Ayah akan datang kemari?" Tanyanya setelah berhasil memahami ucapan Acresia, ia sampai menarik-narik ujung baju ibunya karena penasaran.

"Iya. Sudah jangan ganggu Ibu. Hari ini kau bebas melakukan apapun yang kau suka, cepat pergi Ibu sedang memasak." Acresia menghempaskan tangan Liz agak kasar dari bajunya. Terlihat keterlaluan memang, tapi karena sudah terbiasa membuat Liz hanya diam.

"Apa aku boleh main keluar?" Tanya Liz dengan mata berbinar seolah dia sama sekali tidak terganggu oleh sikap Acresia.

"Sudah Ibu katakan, lakukan sesukamu!" Ucap Acresia mulai menaikkan nada bicaranya, membuat Liz terkejut.

"Ya, baiklah, kalau begitu aku pergi dulu." Balas Liz tanpa protes lebih lanjut, ia melangkah mundur sebelum akhirnya berbalik berjalan membelakangi Acresia.

Sial! Walaupun sudah terbiasa, tapi anak malang itu masih tidak bisa mencegah air matanya menetes. Liz menggigit bibirnya yang bergetar, berusaha menahan tangisannya. Tangan mungilnya buru-buru mengusap air matanya saat kembali teringat jika Ayah dan Ibunya tidak menyukai anak yang cengeng. Karena takut Acresia mengetahui jika ia menangis, Liz berlari keluar dari rumah meninggalkan Ibunya yang masih memasak.

Sebenarnya Acresia menyadari saat Liz mengusap air matanya, tapi ia tidak tau harus berbuat apa. Dapat ia lihat anak itu sudah berlari kecil keluar dari rumah, sepertinya dia akan bermain dengan anak-anak lain. Setidaknya hari ini Liz bisa bebas bermain karena tidak ada latihan seperti hari-hari biasanya.

Sore harinya Lizana baru pulang setelah puas bermain. Orang-orang di kota kecil ini sangat baik padanya, bahkan di antara mereka tidak ada satupun yang bertanya atau menyinggung tentang mata birunya yang berbeda dari kebanyakan orang di kerajaan Frostharbor yang memiliki mata berwarna silver karena mereka memiliki elemen utama Es. Mereka mau menerimanya dengan senang hati, bahkan hari ini Liz keluar mengelilingi kota lagi setelah sekian lama, tapi semua orang masih menyapanya seperti terakhir kali ia berkeliaran di kota ini.

Mungkin karena penduduk kota jarang melihat Liz, mereka menahan anak itu cukup lama. Selain menanyakan kabarnya, mereka juga bertanya-tanya apa yang dia lakukan sampai tidak pernah lagi bermain keluar, Liz memberitahu mereka jika dia sedang menjalani latihan biasa, untungnya mereka tidak bertanya lebih lanjut. Saat pulang, Liz membawa banyak oleh-oleh yang di berikan beberapa pedagang yang ada di pasar, mereka memaksanya membawa itu semua karena dia jarang muncul. Liz dengan senang hati membawanya, tidak lupa ia mengucapkan terimakasih sebelum pulang dan dia akan mampir lagi kapan-kapan. Sepanjang jalan menuju rumah, Liz tidak berhenti tersenyum, wajahnya juga terlihat lebih baik dari sebelumnya, langkah kakinya sangat riang sore ini. Saat sampai di depan rumah, langkahnya tiba-tiba berhenti, keningnya berkerut melihat beberapa wajah asing yang ada di rumahnya.

"Liz, kenapa diam di sana? Cepat kemari!" Teriak Acrus, membuat Liz tersadar dari lamunannya.

"Ah, baiklah." Liz kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam meskipun ia masih kebingungan.

Liz berdiri di sebelah Acresia dan menarik kecil baju wanita itu. "Ibu, apakah mereka teman Ayah?" Tanyanya seraya melirik tiga orang yang baru ia temui.

"Apa yang kau bawa?" bukannya menjawab, Acresia malah balik bertanya pada Liz.

"Oh, ini? Orang-orang di kota memberikannya padaku, mereka bilang aku jarang bermain di luar karena itu mereka memberikan ini padaku selagi bertemu." balas Liz, ia menunjukkan beberapa buah-buahan dan sayuran yang ia bawa.

"Apa kau sudah berterimakasih pada mereka?" tanya Acresia.

Liz mengangguk. "Tentu saja." balasnya.

"Ya sudah, cepat letakkan di sana." perintah Acresia seraya menunjuk kearah meja. Liz menurut dan langsung menaruh semua barang bawaannya ke meja itu seperti yang di perintahkan ibunya.

"Liz, cepat kemari dan perkenalkan dirimu." ucap Acrus, membuat Liz mengangguk dan mendekat kearahnya. Setelah mendekat, Acrus mendorong pelan Liz ke depan temannya.

"Halo, Paman, Bibi, namaku Lizana, kalian bisa memanggilku Liz." Ucapnya memperkenalkan dirinya dengan sopan dan senyum ramah.

Teman Acrus yang di maksud adalah Aphelion dan Charlotte. Ya kalian tidak salah dengar, Raja dan Ratu datang ke rumahnya. Sudah bisakah kalian menebak apa yang sebenarnya terjadi?

Aphelion dan Charlotte menatap anak kecil berusia 4 tahun itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Anak itu tumbuh dengan baik, sekarang tampak lebih cantik, apalagi mata birunya yang langka.

Liz beralih menatap Acresia, lalu berkata. "Ibu, Bibi ini sangat cantik." Pujinya seraya menunjuk Charlotte, sampai membuat wanita itu terkekeh.

Charlotte mengusap kepala Liz, membuat anak itu kembali memperhatikannya. "Tapi menurut Bibi kau yang lebih cantik." Ucapnya seraya mencubit pipi gembul Lizana.

"Terimakasih." Ucapnya tersenyum ramah pada Charlotte. "Oh ya, nama Bibi siapa?" Sambungnya dengan kepala yang di miringkan untuk melihat lebih jelas wajah cantik Charlotte.

"Charlotte. Ini suami Bibi, namanya Aphelion." Ucapnya memberitahu siapa namanya, lalu memperkenalkan suaminya pada Lizana.

"Halo, Paman." Sapa Liz dengan senyum ramah.

"Senang bertemu denganmu, Liz." Raja mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

Liz melirik ke belakang Charlotte, ada anak perempuan yang terlihat lebih tua darinya. Matanya tidak bisa bohong jika ia penasaran dengan anak yang bersembunyi di belakang Charlotte.

Mengerti rasa penasaran Liz, Charlotte tersenyum lalu menarik putrinya ke depan. "Oh, ini anak Bibi, namanya Theresa. Dia lebih tua 4 tahun darimu." Ucapnya memperkenalkan Theresa pada Lizana.

"Halo, namaku Lizana, panggil saja Liz." Ucap Liz tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya pada Theresa.

Theresa yang awalnya takut-takut kini tersenyum senang. "Theresa. Kau bisa memanggilku Kak There jika mau." Ucapnya seraya meraih tangan Lizana.

"Baiklah, Kak There, senang bertemu denganmu." Balas Liz tersenyum manis pada Theresa.

"Boleh aku memelukmu?" Tanya Theresa tiba-tiba, tentu saja membuat Lizana kebingungan.

"Kenapa?" Tanya Liz bungung. "Ah baiklah jika Kak There mamang mau memelukku, peluk saja tidak apa-apa." Sambungnya saat melihat wajah Theresa yang tiba-tiba murung saat ia bertanya kenapa dia ingin memeluknya.

Bukannya Liz tidak mau di peluk oleh Theresa, dia hanya merasa terkejut. Walaupun Liz memang jarang bertemu orang, tapi meminta pelukan saat pertama kali bertemu membuatnya merasa bingung. Tapi saat melihat wajah sedih Theresa, entah kenapa ia merasa tidak tega.

Theresa langsung menarik Liz ke dalam pelukannya. "Terimakasih." Ucapnya di sela pelukannya.

"Eumm." Gumam Liz di sela pelukannya. Meskipun ia merasa bingung, tapi tetap membalas pelukan Theresa.

Rasanya menghangatkan, Liz merasa ini bukan pertama kalinya ia di peluk oleh Theresa, tapi ini kan pertemuan pertama mereka. Buru-buru ia menggelengkan kepalanya, bagaimana mungkin hal itu terjadi padahal ini hari pertama mereka bertemu.

Liz merasa kebingungan dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi, kenpa tiba-tiba teman Ayahnya datang mengunjungi rumah mereka, dan entah bagaimana menjelaskannya, Liz tidak mengerti dengan tatapan ketiga orang yang baru ia temui. Semua ini jadi sangat membingungkan untuk anak sekecil itu, hari-harinya sudah di penuhi dengan latihan, jadi Liz tidak terlalu memahami perasaan orang lain.

...🍁🍁🍁🍁🍁...

Malam harinya saat Theresa dan Liz sudah tertidur, meninggalkan 4 orang dewasa yang masih ada di ruang tamu. Mungkin saat ini sudah hampir tengah malam, tapi mereka berempat tidak menunjukkan rasa kantuk sama sekali, justru wajah serius yang mereka pancarkan.

"Terimakasih atas kebaikan kalian berdua, putri kami bisa tetap hidup karena kalian. Sekali lagi terimakasih banyak, Acrus, Acresia."

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata dan telinga yang melihat dan mendengar pembicaraan mereka, seseorang di balik pintu kembali ke tempatnya sebelum mereka menyadari kehadirannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!