Prolog
Dua garis, dua buah stik yang dipegang Adel menunjukan kalau ia positif hamil. Sungguh bukan keinginannya. Bukan juga menolak kodrat Tuhan sebagai seorang wanita untuk mengalami hamil dan melahirkan. Bukan pula tidak bersyukur karena banyak di luar sana sudah bertahun-tahun menikah, tidak juga diberi kesempatan untuk hamil.
Namun, tidak dalam kondisi ini. Menikah dengan status single atau belum menikah. Bukan karena ia gadis liar atau berpacaran yang kebablasan melainkan karena tipu daya seorang pria. Jebakan cinta satu malam yang akan merubah dunianya.
Bab 1
Erangan pelan keluar dari bibir Adel. Perlahan ia mengerjap dan memijat dahi. Merasakan kepalanya berdenyut nyeri.
“Kepalaku,” gumamnya. Tidak lama ia terbelalak menyadari bukan berada dalam kamarnya. Kamar ini tampak asing meski terlihat mewah. Bukan hanya bingung berada dalam kamar yang tidak ia kenal, ternyata dirinya hanya menggunakan selimut tanpa ada sehelai kainpun di baliknya.
“Ini … apa yang terjadi?”
Potongan ingatan semalam pun tersusun bagai puzzle yang berserak. Semalam ia menemani perwakilan tim marketing menjamu rekanan perusahaan yang baru saja melakukan kontrak kerja sama.
Setelah dari resto mereka berpindah ke karaoke dan ….
“Astaga, Adel, kenapa bisa beg0 begini sih,” ujar Adel memukul pelan kepalanya mengingat ia ikut mencicipi minuman yang disodorkan rekan kerja dan dorongan atasannya.
Dengan alasan menghargai permintaan atasannya, Adel berniat hanya meminum seteguk nyatanya ia terbangun di kamar asing dan tanpa busana. Kedua matanya seakan ingin keluar dari tempatnya menyadari ia tidak berpakaian. Kemana dress yang ia kenakan semalam serta pakaian dalam dan siapa pula yang melepasnya.
‘Tunggu, aku tidak melakukan sesuatu yang salah ‘kan,’ batinnya dan baru menyadari ada rasa perih di bawah sana. Potongan ingatan kembali menyeruak bagai berputar di benaknya.
Seorang pria berada di atas tubuhnya lalu mereka bercumbu. Meski sempat mengatakan jangan, tapi ia terlena dan entah apa lagi ia tidak ingat. Di tengah rasa galau dan penyesalan, terdengar suara pintu dan aroma sabun yang menguar di hidungnya.
“Sudah bangun?”
Refleks Adel menoleh.
“Pak Za-hir.”
Mendadak suaranya gagap. Bukan hanya terkejut dengan keberadaan Zahir -- atasannya. Manager divisi marketing tempatnya bertugas sejak dua bulan lalu sebagai karyawan baru yang masih dalam masa magang.
Zahir bertelanj4ng dada dengan handuk melilit di pinggang. Tubuh kekar dan otot bisep juga trisep begitu menantang bukan hanya menarik dipandang. Ingin sekali Adel berlari ke arah pria itu, mengulurkan tangannya menyentuh balutan otot dan bergelayut manja di sana.
Siapa yang tidak tertarik dengan Zahir. Semua wanita di kantor pasti sepakat kalau pria itu luar bisa. Posisi bagus, penghasilan bisa dipastikan menjanjikan dan wajah tampan bagai pemeran drama yang sering wara wiri di layar televisi. Tidak satu atau dua staf rekan kerja Adel atau dari divisi lain, sengaja menarik perhatian dan bersikap agresif pada pria itu dan sekarang ia berada satu kamar dengan Zahir bahkan menatap langsung bagian tubuh yang selalu menarik perhatian dan selama ini tertutupi.
‘Lalu, pria semalam yang … apa dia Pak Zahir.’
Adel langsung menutup mulut dengan kiri karena akan berteriak, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang selimut agar tidak merosot turun. Zahir mendekat dan duduk di tepi ranjang. Aroma sabun seakan menggelitik hidung dan tercium begitu menenangkan.
Tatapannya teduh dan senyum yang sanggup meruntuhkan jiwa. Sungguh pagi yang membingungkan sekaligus menyenangkan. Tangan Zahir terulur menyentuh helaian rambutnya dan menyelipkan ke belakang telinga. Membuat debaran jantung Adel bertalu-talu bagai genderang perang.
“Kamu makin menggemaskan dan lucu.”
Menggemaskan adalah kata yang menarik, seakan ia wanita yang spesial dan berbeda dan membuat tertarik Zahir, tapi kata lucu mengingatkan pada tokoh aneh atau tidak biasa dari figur animasi atau tokoh film dan drama.
“Pak Zahir, semalam kita … kenapa saya tidak ….”
Tidak sanggup meneruskan pertanyaannya, seharusnya Zahir bisa menangkap apa yang membuatnya gelisah, secara pria itu sangat cerdas sebagai pemimpin divisi dan dengan ide-ide cemerlang bahkan terlihat berwibawa dan diplomatis ketika menyampaikan arahan atau memimpin rapat.
“Yah, semalam kita melakukannya.”
Mendengar itu Adel langsung berbaring dan menarik selimut menutupi seluruh tubuh termasuk wajahnya. Oke, Zahir memang tampan, tapi dia bukan perempuan murahan yang harus senang dengan kejadian semalam dengan atasannya. Ini bukan kisah novel atau roman picisan.
Kehormatan yang selama ini dia jaga dan akan dipersembahkan untuk pria berstatus suami yang tentu saja dengan perasaan cinta. Namun, pengakuan Zahir dan ketidak nyamanan di tubuhnya terutama di bawah sana. Membuktikan kalau ia sudah tidak lagi suci.
Perlahan air matanya pun meleleh. Bagaimana masa depannya nanti. Isak tangis tidak bisa dihindari. Hancur, rasanya ia malu menemui ayahnya karena tidak bisa menjaga diri.
Ya Tuhan, batinnya pilu.
“Hei, Adelia.”
Selimut di wajah Adel disingkap oleh Zahir. Akan menarik untuk menutupi lagi wajahnya karena malu sedang menangis dan malu dengan apa yang terjadi. Namun, Zahir menahan selimut itu.
“Bukan salahmu, tapi kita sama-sama mabuk. Aku minta maaf,” ujar Zahir lalu tangannya mengusap air mata Adel.
“Tapi pak, kita melakukannya tanpa cinta dan ini pertama kalinya untuk saya. Seharusnya saya berikan pada suami saya nanti.”
“Maaf, seharusnya aku bisa menahan diri. Hanya saja, selama ini kamu begitu menarik dan membuat penasaran. Mungkin aku ada rasa suka denganmu, entahlah. Yang jelas kita akan lalui ini bersama.”
“Maksud Bapak?”
“Kita bisa mulai dengan saling mengenal dan meningkatkan hubungan bukan sekedar atasan dan bawahan, mungkin kekasih. Yang jelas aku akan tanggung jawab,” seru Zahir.
Penuturan pria itu cukup menenangkan bagai oase di gurun pasir dan memberikan kesejukan. Ada perasaan lega, bukan karena penawaran Zahir meski bukan pernyataan cinta secara langsung. Yang jelas pria itu akan bertanggung jawab. Sungguh pria idaman.
“Bapak serius mau tanggung jawab?”
“Hmm.” Zahir tersenyum meyakinkan dan membuat penampilannya semakin sempurna. “Sekarang bangunlah. Kamu perlu mandi atau mau aku bantu?” Bukan hanya menatap, Zahir bahkan mengerlingkan matanya.
Mungkin wajah Adel sudah merona karena malu. Ternyata pepatah ada hikmah di balik setiap kejadian, benar adanya dan ia mengalami sendiri. Semalam dengan atasannya akan berlanjut pada saling mengenal dan tanggung jawab, itu artinya mereka akan menikah.
“Ayo,” ucap Zahir sudah beranjak dari ranjang dan berdiri.
“Saya, bisa sendiri,” sahut Adel.
“Oke. Setelah ini kita sarapan, kamu butuh makan. Energimu sudah terkuras semalam, kamu luar biasa ya.”
Oh, tidak. Maksudnya aku galak di ranjang. Apa ini pujian atau hinaan, batin Adel.
“Jangan malu, justru laki-laki suka dengan perempuan yang bisa memberikan kepuas4n,” tutur Zahir masih dengan senyum memikatnya.
Tersenyumlah dan nikmati rayuanku, yang jelas aku puas sudah dapatkan tubuhmu. Tanggung jawab, jangan mimpi, batin Zahir.
\=\=\=\=\=
Hai ketemu lagi dengan karya aku,,, baca terus sampai tamat ya, 🥰🥰
Bab 2
“Adel!”
Mendengar namanya dipanggil, Adel pun menoleh. Ternyata Mona. Kebetulan sekali ia ada perlu dengan rekan yang juga temannya. Sama-sama dalam proses magang kerja sebagai staf marketing.
Ada hal yang perlu dia konfirmasi dengan Mona. Kejadian malam yang ia lewati bersama Zahir. Seingatnya, saat di karaoke Mona yang memaksanya mencicip minuman. Bahkan menyodorkan gelas berisi cairan lakn4t dan memabukan itu.
Menarik tangan Mona lalu membawanya ke arah toilet menjauh dari antrian lift. Tidak mungkin membicarakan malam di mana ia kehilangan mahkotanya di tempat umum dan didengar oleh banyak orang.
“Ish, ini mau ngapain ke toilet. Nanti aja di atas, udah waktunya absen.”
“Ikut aku.”
Di ujung koridor, tepat di depan janitor beberapa meter dari toilet. Cukup jauh untuk mereka bicara, tanpa didengar orang lain. Kebetulan saat itu malam sabtu lalu weekend dan baru kali ini mereka bertemu lagi.
“Ponsel kamu nggak aktif,” seru Adel.
“Oh. Chargernya rusak. Lagian weekend, aku fokus selonjoran sambil nonton drakor.” Mona dengan acuh mengedikan bahu. “Kenapa sih, serius amat?”
Mona menatap heran dengan sikap Adel.
“Seharusnya kita nggak ikut ke karaoke dan kamu paksa aku minum.”
“Yaelah Del, cicipin doang.”
“Tapi aku mabuk.”
“Sama, aku juga rada oleng. Padahal minum hanya satu gelas doang,” sahut Mona tanpa rasa bersalah. “Terus kamu kemana, ninggalin aku. Mana senior kita mukanya pada mesum gitu.”
“Hah, ninggalin kamu?”
“Iya. Kamu tuh dipanggil Pak Zahir, terus keluar ruangan. Nggak lama beliau pamit lalu pergi dan kamu nggak balik lagi,” tutur Mona. Adel merespon dengan menggaruk kepalanya. Ia tidak mengingat momen tersebut.
“Kalian janjian atau gimana?” tanya Mona lagi. “Jangan bilang pergi bersama. Ya ampun, apa aku melewatkan sesuatu?”
“Bukan begitu. Aku ….” Adel berdecak. Ia ragu menceritakan apa yang terjadi malam itu atau tidak.
“Kenapa sih?”
Petugas cleaning service mendekat akan menuju janitor. Adel dan Mona pun bergeser.
“Kita ke atas aja, nanti ngobrol lagi,” ujar Adel sambil berlalu meninggalkan tempat mereka bicara dan kembali menuju lift.
“Penasaran deh. Ada apa sih?” Mona mensejajarkan langkah Adel. “Kamu sama Pak Zahir ketemu lagi di luar atau dia antar kamu pulang?”
Adel menggeleng pelan. Karena kenyataannya lebih dari sekedar bertemu dan diantar pulang. Ia sudah menyerahkan segalanya dan mempertaruhkan masa depannya pada pria itu.
“Sumpah Del, malam itu Pak Zahir keren banget. Waktu dia lepas jasnya terus nyanyi, udah mirip penyanyi papan atas. Sayangnya Cuma satu lagu, terus pergi. Tapi, aku curiga dia perginya bareng kamu,” bisik Mona karena mereka sudah berdiri mengantri lift terbuka dan membawa ke lantai tujuan.
“Kita bicarakan nanti,” sahut Adel. Ia setuju dengan pernyataan Mona. Zahir memang keren, bahkan momen dimana pria itu hanya menggunakan handuk dan otot tubuh serta dada bidang yang terekspos masih teringat jelas dalam pikirannya.
Akhirnya pintu lift terbuka, bersama dengan Mona dan karyawan lain memasuki kotak besi tersebut.
Adel mengingat kembali janji Zahir agar hubungan mereka lebih akrab dan semakin dekat juga akan bertanggung jawab. Wajahnya mendadak merona bahkan ia mengulum senyum. Meski belum ada perasaan cinta, tapi wanita mana yang tidak terlena dan terpesona dengan Zahir juga janjinya. Sangat manis.
“Kamu bayangin apa?” Mona berbisik sambil menyikut lengan Adel yang spontan langsung menggeleng cepat.
Keluar dari lift mereka menuju ke arah kiri di mana wilayah divisi marketing berada. Melewati area ruang kerja Zahir. Ada ruang tunggu dan meja sekretaris. Terlihat pintu ruang kerja terbuka dan sang sekretaris sudah sibuk di mejanya. Sepertinya Zahir belum datang.
Dada Adel mendadak sesak. Bukan karena kesal atau mengidap penyakit. Namun, perasaan yang seakan merambat naik dan memenuhi rongga dada dan berpusat dan jantung yang berdebar tidak bisa. Bahkan ada rasa menggelitik di perutnya, membayangkan ia dan Zahir menjadi pasangan yang saling mencinta atau ia sudah mulai jatuh cinta. Entahlah.
Baru saja tiba di kubikelnya, ada arahan di grup chat kalau pagi ini akan ada rapat. Adel tersenyum karena ia dan Zahir akan bertemu lagi dengan suasana yang berbeda. Bukan hanya sebagai atasan dan bawahan saja ada urusan lain antara mereka, urusan hati.
“Kamu kenapa sih, senyum-senyum gitu. Kayak orang jatuh cinta aja,” ujar Mona.
Adel berdehem dan langsung mengalihkan fokusnya. Meletakan tasnya lalu menghidupkan komputer. Mengenyahkan sementara bayang-bayang mengenai Zahir.
Fokus Adel, bukan saatnya memikirkan Pak Zahir, batinnya.
Nyatanya Mona malah menggeser kursinya lebih dekat.
“Kamu aneh, serius aneh. Pasti ada hubungan dengan malam itu. Sebenarnya kalian ada apa?”
“Kalian?” tanya Adel sambil menoleh.
“Iya, kamu dan Pak Zahir.”
“Ngaco kamu.” Adel langsung berdiri, berniat menuju pantry. Ia perlu air minum, untuk menuntaskan dahaganya. Namun, rasanya rancu. Entah serius dahaga membutuhkan air minum atau dahaga yang lain. Kasih sayang, mungkin.
Adel, hentikan. Mudah sekali kamu jatuh cinta, ucap Adel dalam hati.
Tiba di pantry, Adel mengambil gelas dan menyeduh teh dan mengaduknya untuk melarutkan gula. Ia menghela nafas. Ada rasa sesal dan malu yang masih tertinggal, karena ia harus memulai hubungannya bersama Zahir dengan cara yang salah.
“Mbak, tehnya tumpah.”
Adel terkejut dan tersadar dari lamunan. Ternyata ia mengaduk berlebihan dan air tehnya malah tumpah.
“Biar saya yang bersihkan, mbak Adel geser dulu. Nanti saya buatkan lagi.”
“Aduh, Mas Abi. Maaf ya, saya melamun.”
Abimanyu dengan wajah datar sigap menyeka meja yang basah dan membuatkan ulang teh manis untuk Adel.
“Sudah tugas saya mbak. Tadi saya siapkan ruang rapat dulu, jadi belum bisa bawakan minum.”
Abimanyu meletakan cangkir di hadapan Adel lalu saling tatap. Meski tugasnya sebagai OB, tapi Abimanyu menjadi idola juga di divisi marketing juga divisi lain. Tentu saja karena wajahnya yang tampan. Mungkin jika dipakaikan setelan mewah sudah mirip CEO dan tidak disangka kalau dia hanya seorang OB.
Bisa dibilang tim marketing memiliki dua orang idola, Zahir dan Abimanyu. Jika Zahir lebih supel, ramah dan terlihat penyayang. Membuat wanita ingin sekali menjadikan sandaran hidup. Abimanyu cenderung dingin dan acuh, berkesan misterius.
Adel mengernyitkan dahi menyadari kalau wajah Abimanyu tidak asing. Ada kemiripan dengan seseorang, tapi entah siapa.
“Mbak,” tegur Abimanyu. “Saya memang tampan, tapi jangan segitunya juga. Kelamaan menatap saya, nanti jatuh cinta.”
“Hah!”
\=\=\=\=\=\=\=
Lanjut ya ....
Bab 3
Sudah berada di ruang rapat, Adel dan Mona duduk bersisian. Hampir semua tim sudah berada di ruang rapat. Mengelilingi meja yang dibuat melingkar di mana paling ujung adalah tempat Zahir.
“Abi, nggak ada snack-nya?”
Adel yang tadinya menunduk sambil menggoyangkan pulpen yang dia pegang pun menoleh. Rupanya Abimanyu memasuki ruangan dan membagikan air mineral.
“Tidak ada instruksi untuk siapkan snack, mungkin rapatnya tidak lama,” sahut Abimanyu.
Adel mengingat ucapan Abimanyu saat di pantry agar tidak menatapnya terlalu lama khawatir ia jatuh cinta. Saat ini pria itu berdiri di antara dirinya dan Mona, meletakan botol air di hadapannya dan menoleh. Mereka kembali beradu tatap, refleks Adel langsung mengalihkan pandangan dan menunduk. Tatapan mata Abimanyu sebenarnya teduh bagai lautan dan ia khawatir bisa tenggelam di dalamnya.
“Selamat pagi.”
“Selamat Pagi, Pak.” Serempak peserta rapat menjawab sapa Zahir yang baru saja memasuki ruangan.
Tentu saja Adel langsung menatap pria itu dan mengikuti pergerakannya berjalan memasuki ruangan lalu menempati kursi yang tersedia. Bahkan saat Zahir menatap seluruh tim yang hadir dan sempat menatap ke arahnya sepersekian detik, ujung bibir pria itu tertarik membentuk senyum meski tidak terlalu kentara.
Lagi-lagi Adel mengulum senyum. Mona mendekat dan berbisik. “Ada sesuatu diantara kalian dan kamu harus cerita.”
“Iya, nanti.”
Zahir menjadi pusat perhatian sebagai pemimpin rapat dan Adel menatap pria itu, sebagian pikirannya menerawang. Suara yang sedang mengarahkan timnya terdengar seperti alunan syair cinta begitu syahdu dan mengetuk hati.
Di tengah penjelasannya, tatapan Zahir sempat tertuju pada Adel dan cukup lama. Mata mereka seakan bicara dan mengungkapkan banyak kalimat.
“Terima kasih atas kerja sama kita semua. Bukan saya yang luar biasa, tapi kerja tim ini yang luar biasa. Semangat terus untuk menaklukan pasar dan realisasikan kerjasama sebanyak-banyaknya.”
Salah satu peserta rapat bersorak dan semua mendukung dengan tepuk tangan.
“Dan terima kasih juga untuk rekan kita yang sebelumnya mendampingi saya menyelesaikan kontrak kerja sama. Terutama untuk Adelia dan Mona, ini tugas pertama kalian dan sukses. Saya akan berikan rekomendasi untuk HRD agar menyegerakan kontrak kerja kalian, cukup sudah masa magang kalian.”
“Yes, terima kasih Pak Zahir,” teriak Mona sambil tepuk tangan begitu pula yang lain dan Adel hanya tersenyum sambil mengangguk.
Hikmah lain dari kejadian malam itu, rasanya Adel ingin ikut berteriak bersama Mona. Namun, ia tahan rasa itu. Ia ingin merayakannya hanya dengan Zahir, di waktu yang tepat.
Zahir pun mengarahkan dan menjelaskan rencana kerja berikutnya serta proses mengingatkan apa yang sudah terjadwal dan date line lalu mengakhiri pertemuan.
“Adel, bawa ke ruangan saya kerja sama yang kemarin.”
“Baik, pak,” ujar Adel lalu mengulum senyum padahal Zahir sudah berlalu pergi tanpa membalas ucapannya begitupun dengan sebagian peserta rapat.
“Hei, kalian mau kemana?” tanya Desi, salah satu senior di divisi marketing pada Adel yang sudah berdiri begitu pun dengan Mona. “Malah diam, saya tanya kalian mau kemana?”
Adel dan Mona sempat saling tatap, tidak menduga kalau pertanyaan itu untuk mereka.
“Oh, balik ke meja kita, Mbak,” sahut Adel.
“Rapikan dulu ruangan ini!” titah Desi.
“Tapi mbak, ‘kan bisa minta Abimanyu," cetus Mona.
Adel menyenggol lengan Mona agar mengiyakan saja instruksi dari seniornya itu.
“Masa training kami hampir selesai, Pak Zahir mau bantu kontrak kerja kami dipercepat.”
“Tapi belum ‘kan? Ya udah kerjain aja. Jangan karena sudah terlibat pada proyek besar lalu besar kepala. Buktikan saja apa kalian masih kreatif dan inovatif, saya nggak yakin.” Desi tersenyum sinis lalu keluar dari ruang rapat.
“Awas lo,” gumam Mona.
“Udah, ayo kita rapikan.” Adel menuju ujung meja tempat Zahir lalu mematikan proyektor.
“Aduh, Del, aku ke toilet dulu ya. Mules.” Mona bergegas sambil memegang perutnya.
Adel hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berusaha menggulung layar proyektor. Terdengar pintu terbuka.
“Cepat banget, katanya mulas,” ujar Adel lalu menoleh. Ternyata bukan Mona yang datang lagi melainkan Abimanyu. Masih dengan gaya acuh dan dingin langsung memasukan botol air mineral ke dalam plastik sampah yang dia bawa.
Adel kembali menggulung layar dan ternyata macet. Berusaha menarik dan menatap di mana salahnya sampai tidak tergulung sempurna.
“Jangan ditarik dulu!”
Refleks Adel menoleh, ternyata Abimanyu sudah berdiri di belakangnya dan begitu dekat. Perbedaan tinggi tubuh mereka yang berbeda membuatnya harus agak mendongak Tangan Abimanyu memperbaiki posisi tali penarik.
“Yang ini tidak boleh terbelit.”
Aroma maskulin dari tubuh Abimanyu menguar di hidung Adel, ada aroma kayu-kayuan yang ramah di hidung.
“Sudah, coba tarik lagi.”
Gegas Adel menarik dengan cepat, apalagi ia merasa Abimanyu sedang menatapnya.
“Jangan terlalu cepat, nanti tidak seimbang dan tiangnya roboh.”
“Oh.”
“Apa mbak Adel selalu gugup atau karena dekat dengan saya?” tanya Abimanyu dan cukup mengganggu.
Adel kembali menoleh. “Nggaklah, saya nggak gitu.”
“Oke.”
Abimanyu melanjutkan kembali membersihkan meja dan membawa plastik berisi botol air mineral.
“Dih, nggak jelas,” gumam Adel. Sudah selesai dengan urusan menggulung layar ia pun meninggalkan ruangan.
Abimanyu menoleh saat Adel melewatinya menuju pintu dan menyunggingkan senyum.
***
“Hah, serius?” tanya Mona.
“Iya, aku sama Pak Zahir … one night stand,” sahut Adel lirih. “Seharusnya malam itu aku nggak minum.”
“Tunggu, tapi dia nggak tinggalkan kamu gitu aja ‘kan?”
“Ya nggak sih. Dia masih ada waktu aku bangun. Sumpah, kalau dia udah pergi aku nggak akan tahu siapa yang sudah lakukan itu dan yang penting dia bilang mau tanggung jawab.”
“Bagus dong,” cetus Mona dengan suara agak tinggi.
Adel langsung memberi isyarat agar Mona bicara pelan. “Jangan kencang nanti ada yang dengar.”
“Bagus dong kalau Pak Zahir mau tanggung jawab, bisa jadi dia memang sebelumnya sudah tandai kamu. Suka atau pengagum gitu.”
“Masa sih? Tapi kalau benar begitu, kenapa harus pakai cara salah sih. Harusnya pendekatan normal saja, aku juga nggak mungkin menolak,” tutur Adel malu-malu.
“Jadi, kamu udah bukan peraw4n?” tanya Mona lirih dan dijawab Adel dengan gelengan. “Pak Zahir pake pengaman nggak?”
“Mona, apaan sih.”
“CK, ini serius. Malam itu dia pakai pengaman atau nggak. Gimana kalau nggak pake, terus bulan depan kamu hamil. Jangan kelamaan minta dia cepat tanggung jawab, tapi tanggung jawab yang dimaksud kayak gimana?”
Adel terdiam memikirkan ucapan Mona tadi. Benar juga, bisa saja dia hamil kalau Zahir tidak memakai pengaman. Dia pun tidak sadar akan hal itu dan tidak mengerti apakah malam itu dalam periode subur atau tidak.
“Del,” panggil Mona menyadarkan Adel dari lamunannya. “Ngelamun sih, pasti mikirin Pak Zahir. Waktu rapat juga kelihatan banget kamu ngeliatin dia terus, taunya terpesona.”
“Masa sih, aku nggak gitu deh.”
“Kayaknya kamu jatuh cinta ya. Jatuh cinta sama Pak Zahir. Gimana, dia mainnya kuat nggak?”
“Mona, udah ah. Jangan bahas ini.”
Wajah Adel sebenarnya merona karena Mona membahas masalah yang agak tabu untuk diperbincangkan dan benaknya masih sibuk dengan kekhawatiran kalau yang terjadi di malam itu akan mengakibatkan ia berbadan dua. Meski Zahir akan bertanggung jawab, tapi akan lebih baik kalau ia tidak hamil di luar nikah.
“Adel, diminta ke ruang bapak, sekarang. Ngerumpi saja kalian,” pekik Desy.
“Oh, iya mbak.” Adel pun berdiri dan mengeluarkan map dari tasnya. Aku ke ruangan Pak Zahir dulu.”
“Cie-cie.” Mona terkekeh setelah mengejek, sedangkan Adel yang mengerucutkan bibirnya lalu menatap sekeliling berharap tidak ada yang mendengar dan tahu apa yang dibicarakan oleh mereka. “Jangan kentara banget kalau kamu suka sama dia. Biasa aja, kalau perlu jual mahal.”
“Iya.”
Sampai di depan ruang kerja Zahir, sekretaris pria itu mempersilahkan Adel masuk. Mengetuk pintu dan membukanya. Adel terpaku saat berada di tengah pintu menatap Zahir dan mendengar apa yang diucapkan pria itu, cukup mengusik hati dan pikiran.
\=\=\=\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!