NovelToon NovelToon

Rahim Yang Tergadai

Dalam Pangkuan Sang CEO

"ITU DIA!"

Di klub malam yang ramai dan penuh gemerlap cahaya, seorang wanita mendorong troli dengan langkah cepat dan napas memburu. Tangannya erat menggenggam pegangan troli, seolah berlari melawan waktu. Namun tiba-tiba, seorang pria menghalangi jalannya. Tanpa ragu, wanita itu menghempaskan troli dengan keras hingga menahan pria tersebut agar tidak bergerak. Dengan wajah tegas, ia menembus kerumunan dan masuk ke dalam ruang VIP.

Nafasnya memburu, tubuhnya menahan pintu dengan sekuat tenaga. Namun, matanya tertumbuk pada pria yang berdiri di hadapannya—tatapan tajam dan sorot mata dingin seolah siap menerkam.

"DIA ADA DI DALAM!"

Teriakan itu menggema, membangkitkan adrenalin wanita itu. Ia melepas cepolan rambutnya, membiarkan helaian panjangnya terurai liar, lalu berlari menghampiri pria bermata tajam tersebut. Tanpa sepatah kata, ia meloncat ke pangkuan pria itu dan membelakangi pintu dengan tubuhnya.

BRAK!

Pintu terbanting dengan keras ketika tiga pria berbadan besar membukanya paksa. Mata mereka mengelilingi ruangan, hingga berhenti pada pria dan wanita yang kini duduk bersama. Salah satu dari mereka melangkah maju, namun kedua lainnya menahannya.

"Apa kalian ingin m4ti?" Suara pria bertubuh tegap itu dingin dan mengancam.

Ketiganya segera tunduk dan berkata, "Maaf, Tuan Raffa. Silakan lanjutkan keseruan Anda." Mereka pun mundur dan menutup pintu, bergegas mencari wanita itu di ruangan lain.

Saat ruangan terasa aman, wanita itu menarik napas lega, menatap pria bernama Raffandra Mahendra yang kini memegang pinggangnya dengan kuat. Nafas mereka saling bertemu, hidung mereka pun hampir bersentuhan.

"Eum ... terima kasih sudah menolongku," ucap wanita itu dengan suara bergetar, berusaha turun dari pangkuan Raffa.

Namun, pria itu menariknya lebih dekat. Refleks, tangan wanita itu menekan d4da bidang Raffa.

"Berani sekali kamu mengganggu kesenangan, saya."

"Ma-maaf, anggap saja hari ini Anda berbuat baik terhadap sesama manusia yang bernapas," jawab wanita itu, memaksa bangkit.

Raffa melepaskan tangannya. Ia menatap kepergian wanita itu dengan ekspresi dingin, lalu membenarkan jas abu-abu yang dikenakannya. "Dasar wanita gil4," gumamnya sebelum melangkah pergi.

Sebenarnya, Raffa berada di klub malam bukan untuk bersenang-senang. Ia tengah membicarakan kerja sama bisnis dengan rekannya. Namun, kehadiran wanita itu yang tiba-tiba duduk di pangkuannya tanpa izin membuat suasana menjadi kacau.

Di perjalanan pulang, Raffa menyetir dengan santai, pikirannya melayang entah ke mana. Sampai mobilnya memasuki gerbang rumah yang terbuka lebar. Alisnya berkerut saat melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman. Dengan cepat ia menghentikan mobil dan turun.

Matanya terus menyapu mobil itu. Tidak salah lagi, itu adalah mobil milik keluarganya. Bergegas, Raffa masuk dan mencari sosok yang dirinya duga tengah berada di dalam rumahnya saat ini. Matanya menangkap pasangan paruh baya yang duduk di ruang keluarga seolah tengah menunggu kepulangannya.

"Sudah pulang?" suara tajam seorang wanita memecah keheningan.

"Ma, kenapa datang tanpa kabar?" jawab Raffa pelan, berusaha mengendalikan emosinya.

Tania, istri dari Ferdi Mahendra, dia terlihat berdiri dan menatap putranya. Tatapannya dingin menvsuk.

"Haruskah Mama mengabari putra Mama yang sudah melupakan keluarganya?" Suaranya mengandung kecewa dan kesal.

Raffa menarik napas panjang, "Kalau aku pulang, pertanyaan Mama pasti tentang menikah. Aku belum siap, Ma. Mama datang hanya untuk itu, kan? Aku muak."

Langkahnya hendak naik ke lantai atas, namun terhenti oleh suara keras Tania.

"Umurmu sudah 35 tahun, Raffaaaa! Adikmu sudah punya lima anak, kamu malah belum menikah juga?! Mama hanya punya satu anak laki-laki, seharusnya Mama dulu hamil lagi agar ada penerus marga Mahendra, biarlah dengan resiko besarnya. Tapi sekarang Mama sudah tidak bisa hamil lagi. Jadi kamu lah yang terbebani, karena kesalahan Mama. Mama minta maaf Raffa,"

Raffa menghela napas berat, "Ma ...,"

Tania berlalu pergi, sementara Raffa berdiri dengan hati yang terasa remuk menatap kepergian sang Mama. Ferdi mendekat dan menepuk pelan bahu putranya.

"Kami tidak bermaksud membebanimu, Raffa. Kami hanya ingin nama Mahendra terus berlanjut. Tapi kalau kamu memilih untuk tidak menikah, itu keputusanmu. Kebahagiaanmu yang utama, bagi Papa. Hanya saja, kami ingin melihat kamu versi kecil. Tapi jika kamu putuskan untuk tidak menikah, Papa akan hargai."

Setelah kata-kata itu, Ferdi pergi meninggalkan Raffa yang menatap kosong. Bukan karena ia tak ingin menikah, tapi hatinya sudah terkunci pada cinta yang pernah hancur dan kini telah menjadi milik orang lain. Sulit baginya untuk membuka hati lagi.

"Maaf, Ma, Pa ... aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna," lirihnya, naik ke kamar dengan hati penuh luka.

.

.

.

Akhirnya, Arexa sampai juga di kosannya. Dia sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, tiba-tiba seseorang meneriaki namanya dengan penuh kepanikan.

"Rexaaa!"

Arexa berbalik, menatap wanita itu dengan bingung, "Ada apa, Bu?"

"Meira jatuh dari sepeda dan sekarang dibawa ke rumah sakit sama Bu Tiwi!"

Arexa tercekat, tanpa pikir panjang ia berbalik dan langsung naik ojek yang dia naiki tadi. Bahkan ojek itu belum sempat pergi dan kabar tentang putrinya membuatnya harus bergegas ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Arexa membayar ojek dengan tangan gemetar dan berlari masuk. Di lorong panjang itu, kepanikan terpancar dari matanya. Ia mendekati resepsionis dan bertanya tentang kamar putrinya.

"Arexa!"

Suara Bu Tiwi memanggilnya, wanita gemuk itu melambaikan tangan. Arexa pun menghampiri dengan penuh cemas, "Bagaimana kronologi nya, Bu? Kenapa Meira bisa jatuh?"

Bu Tiwi menghela napas, wajahnya penuh penyesalan. "Meira tiba-tiba merasakan sakit di d4da saat main sepeda di halaman rumah, lalu pingsan dan jatuh. Maaf, Rexa. Ibu tidak tahu kalau dia akan kambuh."

Arexa terduduk lemah di kursi tunggu, menatap wajah Bu Tiwi yang terlihat lelah dan bersalah. Pagi sampai malam, Arexa harus bekerja demi menghidupi putrinya yang terkena penyakit jantung bawaan lahir. Sehingga dia terpaksa menitipkan Meira pada tetangganya. Tapi walaupun ia bekerja seharian tanpa jeda, ia tetap tak bisa memberikan perawatan terbaik untuk putrinya. Berhutang sana sini sudah ia lakukan, membuat hidupnya penuh dengan tekanan.

"Maafkan Ibu, Rexa,"

Arexa menarik tangannya yang menutup wajahnya, lalu menatap Bu Tiwi dengan senyuman tipis penuh pengertian. "Ini musibah, justru aku yang harus berterima kasih karena ibu mau dititipkan Meira. Tak apa, dia pasti baik-baik saja."

Tiba-tiba, dokter keluar dari ruangannya, "Keluarga pasien?"

"Saya Dok, bagaimana keadaan putri saya?" tanya Arexa dengan suara gemetar.

Dokter menatapnya penuh empati dan mengajak Arexa masuk ke ruangannya. Mengetahui pembahasan yang sepertinya akan serius, membuat Arexa merasa tak tenang. Ia menatap Bu Tiwi lebih dulu sebelum mengikuti Dokter tersebut. Di sana, dokter menunjukkan rekam medis Meira.

"Sejak bayi, Meira didiagnosis dengan kelainan jantung bawaan. Ada lubang di dinding jantungnya yang tidak menutup sepenuhnya."

Dokter memperlihatkan hasil ekokardiogram di layar. "Obat-obatan hanya menjaga agar jantung tidak bekerja terlalu keras. Sekarang tubuhnya mulai lemah. Operasi adalah satu-satunya jalan."

Tubuh Arexa bergetar, dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Putrinya yang masih kecil harus menjalani operasi besar. "Berapa biaya operasinya, Dok?"

Dokter menghela napas, "Dua ratus juta, bisa juga lebih. Kamu harus menyiapkan dana paling sedikit, dua ratus juta. Itu sudah termasuk biaya perawatan pasca operasi."

Arexa terdiam, lemas. Pikiran dan harapannya seolah terkoyak. Ia menggenggam tangan sendiri, berbisik lirih, "Dari mana lagi aku bisa meminjam uang sebesar itu ...,"

Air mata hampir jatuh, tapi ia menahan. Wajah polos Meira terbayang jelas di matanya, menjadi sumber kekuatan sekaligus kesedihan yang mendalam.

Dalam sunyinya, Arexa berjanji pada dirinya sendiri ... apapun yang terjadi, dia akan berjuang demi putrinya. Karena Meira bukan hanya tanggung jawabnya, tapi alasan mengapa ia terus bertahan di dunia ini.

______________________________________

Rahim Yang Tergadai

Arexa menunggu putrinya sadar. Ia duduk di kursi sebelah ranjang pasien sambil tangannya menggenggam tangan kecil putrinya. Hanya rawat inap kelas bawah yang mampu ia pilih. Bahkan, untuk biaya rawat inap kali ini pun ia tidak tahu dari mana akan mendapatkan uangnya.

"Kamu enggak coba buat ajukan kartu kesehatan biar pengobatan Meira gratis, Xa?" tanya Bu Tiwi yang sejak tadi ikut menunggu dengan cemas.

Arexa menggeleng pelan, "Sudah, Bu. Tapi ditolak. Data Meira tidak lengkap, dan itu membuatku kesulitan mendaftarkan pengobatannya."

Bu Tiwi menghela nafas panjang, "Ibu gak bisa bantu apa-apa selain tenaga."

Arexa tersenyum lemah, "Ibu sudah sangat membantu aku dan Meira. Terima kasih banyak. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan ibu."

Ibu Tiwi tersenyum haru, lalu memeluk Arexa erat. "Yang kuat pokoknya kamu ya. Dunia ini memang keras, tapi ingat kamu adalah cahaya Meira."

Arexa memejamkan mata, mengangguk penuh haru. Setelah pelukan keduanya terlepas, Bu Tiwi pamit pulang. Ia tak bisa lama meninggalkan suami dan anaknya.

Setelah kepergian wanita itu, Arexa kembali fokus pada Meira. Ia membenarkan letak selimut tipis anak itu dan memastikan semuanya aman. Tak lama, Meira membuka matanya dan menatapnya dengan tatapan lemah. Ia berusaha membuka masker oksigennya, tapi Arexa segera menghalanginya.

"Mei ... masih dengar Bunda sayang? Dengar ya?" Tanya Arexa dengan suara bergetar penuh haru.

Anak itu hanya diam, menatap Arexa tanpa keceriaan seperti biasanya. Hal itu tentu membuat Arexa semakin sedih.

"Bunda lagi usaha buat Meira sembuh. Bunda panggil suster sebentar ya, Meira tunggu sebentar." Arexa beranjak pergi, meninggalkan Meira yang masih menatapnya dalam.

"Mei ... buat bunda lepot lagi yah," batinnya dengan sedih.

.

.

.

Dokter menyarankan agar Meira segera dioperasi. Jika tidak, risiko akan semakin parah. Arexa tidak tahu harus meminjam kepada siapa. Bahkan, setiap hari hidupnya hanya dikejar oleh orang yang menagih hutang. Hutang yang terpaksa ia ambil demi memberikan pengobatan untuk putrinya.

Di tengah keterpurukannya saat ini, Arexa harus kembali bekerja. Ia menitipkan Meira pada suster yang berjaga dan bergegas ke perusahaan tempat ia bekerja sebagai office girl. Namun kali ini, ia merasa sangat lelah dan kehilangan semangat.

Seperti biasa, ia membersihkan satu per satu toilet di setiap lantai. Salah satu toilet yang sedang ia bersihkan sengaja ia tutup pintunya. Tak lama, beberapa karyawan wanita datang dan mulai berbincang.

"Sayang ya, ganteng tapi belok. Padahal, banyak perempuan cantik."

"Kata siapa CEO kita belok?"

"Ck, dia itu gak pernah tertarik sama perempuan. Perempuan mana pun masuk ke ruangannya aja enggak boleh. Mau kalian tampilkan gunung kembar kalian pun, gak bakal dia tergiur. Heran deh."

"Seganteng gitu, mau deh aku kasih dia anak. Walau belok kan butuh penerus."

"Hahaha, ngarang aja. Udah yuk, takut didengar karyawan lain."

Arexa mendengar obrolan para wanita itu, tapi ia tetap fokus membereskan pekerjaannya. Baginya, obrolan seperti itu sudah biasa didengar. Sudah dua tahun ia bekerja di sini, dan tak pernah sekalipun bertemu dengan pemimpin perusahaan.

"Arexa!" Teriak rekan kerjanya sesama office girl dengan senyuman hangat ketika Arexa keluar dari toilet.

"Gimana keadaan Meira? Sudah ... sehat?" Tanyanya dengan penuh rasa penasaran.

Arexa menggeleng, "Dokter menyarankan agar Meira segera dioperasi. Karena obat-obatan sudah tidak mempan lagi. Tapi aku harus menyiapkan dana setidaknya 200 juta untuk biayanya."

Raut wajah rekan profesinya itu berubah kaget, "200 juta? 200 ribu saja mikir-mikir cari dari mana lagi." Gumamnya, lalu ia teringat sesuatu. "Eh, nggak coba pinjam ke perusahaan aja? Aku dengar, kemarin si Jamal pinjam tuh 5 juta uang ke si Bos."

"Masa sih? Tapi aku butuh 200 juta, bukan 5 juta." Balas Arexa sambil menggeleng.

"Ck, coba dulu! Siapa tahu kan dikasih, nggak ada salahnya mencoba kan?"

Arexa menghentikan pekerjaannya, ia mengangkat tangan dan menata kembali peralatan kerja. Benar juga kata temannya, kenapa ia tidak mencoba mengambil bantuan dari tempat ia bekerja? Tak ada salahnya bukan? Lagian, ini untuk putrinya yang sakit.

.

.

.

Biasanya Raffa datang siang hari, tapi pagi itu ia sudah datang ke kantor. Para karyawan pun heboh dengan kedatangan sang bos dan langsung berpura-pura sibuk. Raffa tahu apa yang karyawannya lakukan saat dirinya tidak ada, namun ia memilih mengabaikannya dan masuk ke ruangannya.

"Apa agenda saya hari ini, Henry?" Tanya Raffa pada asistennya sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi besar.

"Tidak ada pertemuan, tapi Anda harus menandatangani beberapa berkas," jawab Henry.

Raffa mengangguk dan kembali membuka laptopnya. Kepalanya terasa sedikit sakit setelah semalaman kurang tidur. Perkataan Tania terus menghantuinya. Ia merasa bersalah, tapi juga kesal karena orang tuanya tak mengerti perasaannya.

Tok!

Tok!

Henry, asisten Raffa itu pun membuka pintu dan mempersilakan Arexa masuk dengan membawa secangkir kopi. Biasanya office boy yang melakukannya. Namun kedatangan Arexa tentu jadi pertanyaan.

"Apa office boy sedang sibuk sehingga kamu yang datang?" Tanya Henry setengah berbisik pada Arexa. Ia tahu CEO mereka sangat suka wanita yang masuk ke ruangannya.

Arexa terlihat gugup, "Y—ya," padahal ia datang agar dapat bertemu dengan bosnya, bukan atas suruhan rekan kerjanya.

"Kopinya sudah sampai? Berikan, kenapa lama sekali." Ucap Raffa tanpa mengangkat pandangannya. Tatapannya tetap fokus pada laptop di hadapannya.

Arexa datang mendekat, meletakkan perlahan cangkir kopi itu di atas meja. Henry memantaunya, tapi tiba-tiba ia mendapat telepon dan memutuskan keluar dari ruangan. Kini, hanya tersisa Arexa dan Raffa saja dalam ruangan penuh keheningan itu.

"Tuan," suara wanita itu terdengar pelan.

Raffa yang sedang sibuk tiba-tiba terhenti. Tubuhnya menegang, pandangannya terangkat dan menatap penuh pada Arexa yang menunduk sambil meremas tangan.

"Kamu? Siapa yang menyuruhmu datang ke sini, hah?" Raffa terlihat marah, berdiri dan menatap tajam wanita itu.

Arexa mengenggam tangannya dengan kuat, perlahan mengangkat pandangan dan menatap Raffa yang kini memandangnya dengan ekspresi dingin.

"Tu—tuan?" Raut wajahnya berubah kaget, dirinya tak mengira akan bertemu dengan pria semalam yang membantunya.

Raffa mengerutkan kening dalam, dia merasa familiar dengan wajah wanita itu. "Kamu ... wanita malam tadi kan?" Tebaknya. Ia ingat jelas. Meski wajah wanita itu semalam tertutup make up tebal, tapi Raffa ingat rambut pirang wanita itu.

Arexa semakin mencengkram tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Raut wajah dingin Raffa membuat suasana menjadi sangat mencekam.

"Apa maumu, huh?" Desis Raffa kesal.

Arexa berdehem, "Tuan, saya ingin meminjam uang untuk pengobatan putri saya, Tuan."

Raffa menarik nafas kasar, kembali duduk di kursi besar dan mengatur nafasnya. "Mana suamimu? Suruh dia yang membiayai anak kalian. Tidak punya uang tapi sok punya anak, ck. Orang tua kejam," desisnya dengan nada sinis.

"Saya ... tidak punya suami."

Raffa mematung, mengangkat pandangannya dan melihat Arexa yang kini berani menatapnya. "Untuk itu, saya mohon dengan sangat. Saya butuh uang demi pengobatan putri saya yang akan dioperasi. Saya mohon, saya mohon, Tuan."

Arexa menundukkan kepala, mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Air matanya terus mengalir, pikirannya hanya tertuju pada putrinya. Raffa adalah harapan terakhir agar putrinya segera ditangani.

Melihat itu, Raffa pun tak tega. Ia menghela nafas dalam, mengambil cek dari lemari mejanya. "Berapa nominal yang ingin kamu pinjam?"

"200 juta."

Mendengar nominal yang sangat besar itu, membuat mulut Raffa terng4nga. Namun ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi dingin, seolah hal yang didengarnya tidak masuk akal.

"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam, bagaimana aku bisa percaya padamu? Memangnya ... apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan? Tentu, di dunia ini tak ada yang gratis,"

"Rahim saya, Tuan," ucap Arexa tanpa ragu, membuat Raffa terkejut setengah m4ti.

Arexa memberanikan diri mengangkat pandangannya, menatap Raffa yang kini terlihat syok. "Saya tidak memiliki apapun yang berharga selain diri saya. Banyak yang tahu bagaimana Anda, Tuan. Walaupun Anda memiliki pemikiran berbeda, pasti Anda membutuhkan penerus, bukan? Jika dalam waktu satu tahun saya tidak dapat mengembalikannya ... saya akan menanggung konsekuensinya."

Raffa terdiam, "Apa maksud perkataannya?" batinnya.

Arexa tersadar dengan apa yang dikatakannya. Wanita itu takut Raffa marah dan memecatnya. Dengan cepat ia meminta maaf.

"Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud menawarkan hal seperti itu. Jika Anda tidak berkenan, tidak masalah. Terima kasih atas waktunya." Arexa berbalik, ingin segera meninggalkan ruangan.

"Tunggu!"

Arexa menghentikan langkah, hatinya berdebar. Tanpa ia sadari, Raffa sedang menulis sebuah nominal di cek dan merobek kertasnya. Suara robekan itu membuat raut wajah Arexa berubah.

"Saya setuju."

"Apa?" Arexa berbalik, menatap Raffa yang berdiri sambil mengulurkan sebuah cek. Ia berjalan cepat menuju meja Raffa dan mengambil cek yang disodorkan itu. Dengan tangan bergetar, Arexa meraih cek tersebut dan menatapnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"100 juta dulu, sisanya akan saya berikan setelah kamu menandatangani kontrak kerja sama kita. Setelah resmi, rahimmu sudah tergadai."

Arexa mengangguk pelan. Tanpa pikir panjang, ia bergegas pergi membawa cek itu. Kini, waktunya semakin sempit. Ia harus segera mengatur waktu agar uang itu bisa sampai di rumah sakit, dan putrinya bisa segera menjalani operasi. Betapa bahagianya hati Arexa saat itu. Apapun yang harus ia korbankan, bahkan menggadaikan tubuhnya sendiri, tidak masalah asalkan anaknya sembuh, ceria, dan bisa kembali hidup seperti anak lainnya.

Langkah Arexa yang terburu-buru menjauh meninggalkan ruang itu, membuat Raffa terdiam sejenak. Ia kembali duduk, menutup matanya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia lakukan. Bayangan wajah Arexa, dengan rambut pirangnya yang acak-acakan, terus menghantui pikirannya.

"Kenapa ... aku berpikiran soal anak? Tapi emamg itu kan yang keluargaku tuntut. Bukan soal pasangan dan perasaanku, tapi ini soal ... penerus." Raffa kembali membuka matanya, menatap lurus kedepan.

Perjanjian(Menikah)

Arexa harus segera membayar biaya awal operasi agar dokter bisa menjadwalkan operasi secepat mungkin. Bagaimana mungkin ia tidak merasa tidak senang? Putrinya akan sembuh dan menjadi anak normal seperti anak-anak lain pada umumnya.

"Mei lapal loh," ucapnya sambil mengg4ruk pipinya. Sejak tadi ia tidak diperbolehkan makan, dan itu membuatnya kesal.

"Sebentar ya, kata dokter kan gak boleh makan dulu. Jantung Meira ini sebentar lagi akan diobati dokter, supaya Meira bisa seperti anak lain. Bisa lari-larian, lompat, Meira suka bermain kan? Setelah ini, nggak ada hambatan lagi buat Meira bermain," ucap Arexa dengan lembut, sambil memegang tangan kecil putrinya yang begitu kurus.

Dertt!

Dertt!

Ponselnya berdering. Arexa meraih ponselnya dan segera menatap layar yang sudah retak itu. Terlihat nomor yang tak dikenal menghubunginya. Takut itu adalah penagih hutang, ia pun memilih tak menjawabnya. Namun, sebuah pesan masuk membuat matanya terbelalak.

"Temui saya sekarang untuk mengambil sisa uang yang kamu butuhkan."

Arexa membuka mulutnya, syok. Tatapan matanya terlihat berair. Ia lekas memasukkan ponselnya ke dalam tasnya dan memandang putrinya yang terlihat linglung.

"Mei, Meira sama suster dulu sebentar ya. Bunda akan segera kembali, oke? Bunda janji, setelah Meira sembuh Bunda akan belikan apapun makanan kesukaan Meira, oke?"

"Bunda janji?"

"Janji." Balas Arexa dengan tatapan yakin. Arexa pun berlalu pergi, meninggalkan putrinya yang kembali dipeluk dalam keheningan.

"Minum ael putih juga nda boleh, cengcala kali dili ini," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar dengan pasrah.

.

.

.

Raffa tengah duduk di sebuah kafe sambil menyeruput kopinya dalam diam. Pria itu sudah menunggu kedatangan Arexa sejak tadi. Di depannya, terdapat beberapa lembar kertas perjanjian yang sudah disiapkannya untuk wanita itu. Sesekali, ia menatap jam tangannya.

"Satu menit lagi dia gak datang, aku akan—"

"Maaf Tuan, saya terlambat." Arexa datang dengan napas terengah-engah. Ia langsung duduk di hadapan Raffa dengan nafas tersengal.

Raffa mengerutkan keningnya melihat kondisi Arexa yang tampak seperti baru saja berlari marathon. "Kenapa lama sekali? Saya sudah menunggumu sejak tadi," ucap Raffa dengan nada kesal.

Arexa mencoba mengatur nafasnya, "Maaf, saya berlari. Kebetulan kafe ini dekat dari rumah sakit."

Raffa memanggil pelayan untuk memesan kembali, "Memangnya putrimu di rawat dirumah sakit apa?" tanya Raffa sebelum mengambil buku menu yang pelayan sodorkan.

"Kasih Bunda."

Raffa membuka matanya lebar, ekspresinya tampak syok. "Dekat, kamu bilang?! Dengan mobil saja 10 menit, dan kamu berlari?!"

Arexa mengernyit sambil mengg4ruk kepalanya yang tak gatal. Raffa menghela napas kasar dan menatap pelayan yang siap mencatat pesanannya. Ia pun memesan beberapa menu untuk Arexa, karena tak tega melihat wanita itu harus berlari dengan jarak yang cukup jauh.

"Saya tak bisa lama di sini, karena malam ini putri saya akan segera dioperasi. Berkat Anda, putri saya bisa menjalani operasi, terima kasih." ujar Arexa setelah napasnya mulai teratur.

Raffa mengangguk, ia mengeluarkan sebuah map berwarna coklat dan menyerahkannya pada Arexa. Wanita itu membuka map itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata, sebuah kontrak yang telah Raffa buat.

"Jika kamu hamil dalam waktu 6 bulan dan memberikan saya seorang bayi, 200 juta itu menjadi milikmu. Selain itu, kehidupanmu dan putrimu akan terjamin sampai kamu melahirkan," terang Raffa dengan nada yang membuat Arexa membulatkan matanya.

"Maksudnya ... saya menjual bayi saya pada Anda?"

Raffa menggeleng, "Bukan menjual, saya hanya meminjam rahimmu untuk pertumbuhan calon anak saya sebelum siap lahir ke dunia. Tak hanya 200 juta, jika kamu berhasil memberi saya seorang putra, akan saya tambahkan 300 juta untukmu."

"Apa? Tiga ratus juta?" Arexa memasang ekspresi syok, mulutnya meng4nga lebar.

Raffa mengambil pena dari saku jasnya dan memberikannya pada Arexa. "Tanda tangani, jika setuju. Jika tidak, kembalikan uang 200 juta itu dalam waktu 3 bulan."

Arexa menatap kembali kontrak yang Raffa berikan. Ia tengah menimbang keputusannya saat ini. Jika dirinya memberikan pria itu seorang bayi, maka dia akan mendapatkan 200 juta secara cuma-cuma. Ia tak perlu mengganti uang 200 juta itu. Dalam waktu 3 bulan, mana bisa ia mengembalikan 200 jutanya? Di samping itu, jika bayi yang dikandungnya adalah anak laki-laki, Raffa akan memberikannya tambahan uang sebesar 300 juta. Uang itu akan ia gunakan sebagai biaya hidup kedepannya.

Namun disisi lain, ia harus menyerahkan bayi yang dikandungnya nanti. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Arexa memutuskan untuk menandatangani kertas itu. Raffa tersenyum puas, dengan ini ia akan mendapatkan sesuatu tanpa harus melibatkan perasaan.

"Sudah," ucap Arexa sambil menyerahkan kertas kontrak itu.

Raffa meraihnya, "Berapa usiamu?"

"22 tahun," jawaban wanita itu membuat Raffa hampir tersedak lud4hnya sendiri.

"22 tahun?! Lalu ... usia putrimu?"

"Baru 4 tahun, ada apa?"

Raffa terdiam mendengar jawaban Arexa. Usia putri wanita itu 4 tahun, sedangkan usianya baru 22 tahun. Raffa heran, dan itu artinya wanita itu memiliki anak di usia yang sangat muda. Sedangkan dirinya sudah berusia 35 tahun. Apakah dirinya bisa dikatakan sebagai ped0fil?

"Tapi kamu tahu bukan, bayi tabung boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Maka dari itu, menikahlah dengan saya."

"Menikah?" Pekik Arexa dengan mata membulat sempurna. Ia kembali menatap isi perjanjian dan tak ada bahasan menikah di sana.

"Di kontrak tak ada aturan untuk menikah kan?!"

Raffa mengangguk, "Memang nggak ada, tapi di negara ini syarat bayi tabung harus sudah menikah. Bagaimana bisa kamu memberi saya anak? Atau, kamu mau pakai cara alami? Tanpa menikah pun jadi, tapi ... saya ingin anak yang sah hasil pernikahan."

"Cara alami?" Bingung Arexa.

Raffa mengerutkan keningnya, "Dia sudah punya anak, tak mungkin hal seperti ini saja tidak tahu. Sudahlah, aku juga tidak mau membuatnya dengan cara alami," batin Raffa.

"Cepatlah, kamu mau tidak? Jika tidak, kembalikan lagi uang itu." Gemas Raffa karena Arexa terus diam saja.

Arexa menghela napas kasar, "Ya, pernikahan terjadi sampai bayi itu lahir saja kan?"

Raffa mengangguk, "Tugasmu kumpulkan berkas identitasmu agar saya dapat mengajukan pernikahan kita."

Raffa lekas berdiri, memberikan sebuah cek dengan nilai yang sama. Arexa menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Raffa telah membantunya, seolah membuka harapan baru bagi kehidupan putrinya.

"Dan ini, kembali lah ke rumah sakit dengan taksi. Tubuhmu sudah kurus, bisa-bisa angin melemparmu jauh." Raffa menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah sebelum berlalu pergi, meninggalkan Arexa yang terdiam memandangi uang yang Raffa berikan.

"Katanya CEO kejam, tapi hatinya seperti hello kitty." gumamnya.

.

.

.

Operasi yang dijalani Meira berjalan dengan lancar, walaupun Arexa harus menunggu dengan cemas dan penuh harapan. Setelah dokter keluar dan mengabarkan berita baik, Arexa langsung mengucap banyak ungkapan bahagia.

Setelah menjalani masa observasi, Meira akhirnya dipindahkan ke ruang rawat. Begitu sadar, anak itu langsung meminta minum. Arexa rasanya ingin menangis melihat putrinya yang kini sudah selesai menjalani operasi.

"Meira makan yang banyak ya, kalau sudah sembuh bisa main lagi," ucap Arexa sambil menyuapi anak itu dengan bubur yang rumah sakit berikan.

Suapan pertama masuk, tapi suapan kedua Meira memalingkan wajahnya. "Bica nda, ganti ke naci uduk bu Lomlah? Nda ada laca itu bubul, cudah cakit tambah cakit dili ini," ucap Meira dengan lirikan menggemaskannya.

Arexa mencoba bubur itu dan rasanya memang tidak enak. "Eum ... makan dulu, nanti setelah pulang dari rumah sakit kita beli nasi uduk bu Romlah ya," bujuk Arexa.

"Kalau nda boleh, naci padang aja yah? Enak kali itu, buat dili ini cemangat belnapas," Meira masih mencoba bernegosiasi.

"Meira ...,"

"Nda, Mei nda mau. Pelut ini nda menelima bubul cakit begitu, bunda. Pelut Mei cukanya naci uduk, naci padang, naci bakal, naci opol, naci ...,"

Segala macam nasi anak itu sebutkan. Sampai-sampai, Arexa menutup wajahnya dengan lesu. Perutnya bahkan lapar, tapi ia harus memastikan putrinya makan agar bisa minum obat.

"Arexa,"

Arexa menoleh, begitu juga dengan Meira. Tatapan keduanya jatuh pada dua orang pria dengan warna jas hitam yang senada. Arexa terlihat syok, ia bergegas berdiri ketika secara tak terduga Raffa mendatanginya bersama Henry.

"Tuan?"

Raffa menoleh, memandang Meira yang terlihat terbengong sambil menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Hal itu terus ia lakukan sampai kepala anak itu terasa pusing.

"Apa berkasmu sudah siap?" Tanya Raffa.

Arexa mengangguk, ia mengambil berkas yang di perlukan dan menyerahkannya pada Raffa. "Tadinya saya akan membawanya besok ke kantor. Tapi ... Anda sudah datang," ucapnya.

Raffa menerimanya dengan pelan, lalu melihat berkas yang Arexa berikan. Henry mendekat dengan membawa paper bag makanan hangat bosnya itu belikan juga sebuah boneka. Arexa terlihat sungkan saat Henry memberikannya. Kecuali Meira yang terlihat antusias memandang paper bag dengan aroma makanan itu.

Saat Raffa tengah serius membaca berkas itu, tiba-tiba ia mendapatkan sesuatu yang janggal. "Kartu keluargamu, kenapa hanya ada namamu? Putrimu?" tanya Raffa heran.

Arexa berdehem, "Lagi proses pengajuan, cukup sulit karena harus mengurus akta nya."

Raffa menghela napas kasar, "Pemalas, ada ya orang tua pemalas seperti ini? Padahal, anakmu membutuhkan identitas," sindir Raffa dengan tajam. Arexa hanya diam menunduk sambil memainkan jari jemarinya.

"Yasudah, saya datang hanya untuk data ini saja." Raffa memandang Meira, terlihat anak itu tampak senang dengan boneka yang diberikan.

Raffa lalu berlalu pergi, Henry yang melihat bosnya pergi pun segera menyusulnya. Meninggalkan Arexa yang menghela napas sesak dan kembali memandang putrinya yang terlihat senang.

"Bunda, cuapi Mei, cucah makan cendili." Ucap anak itu dengan penuh semangat.

Arexa menata makanan yang Raffa bawakan. Ia melihat bubur ayam yang pastinya rasanya lebih enak. Seolah-olah pria itu tahu apa yang dibutuhkan putrinya. Gegas, ia membuka kotak bubur itu dan menyuapi putrinya.

"Nah ini, baluuu belacaaaa! Mei laca, lumah cakit ini kecal liat olang cakit, makanya di kacih makanan nda enak bial cepat pelgi dali cini," seru Meira dengan semangat, dan kembali melahap bubur yang Arexa suapkan.

"Bunda, makan juga." Arexa memberikan kotak makan yang lain. Itu khusus untuk Arexa.

Arexa menerimanya. Hari itu ia bisa makan dengan baik. Sangat tak mudah, di usianya yang 22 tahun dirinya merasakan hidup yang sangat berat. Mungkin, tak semua orang bisa memikulnya.

.

.

.

.

.

"Selamat, kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri." ucap seorang petugas sambil menyerahkan dua buku nikah pada mereka.

Hari pun berlalu, dan kini keduanya telah melangsungkan pernikahan singkat. Arexa menerima buku nikahnya, dia membuka buku itu dan tampak fotonya bersama dengan Raffa. Tak ada acara spesial, keduanya hanya menikah di gedung pernikahan secara singkat. Asal status keduanya berubah.

Raffa beranjak berdiri dan keluar dari ruangan lebih dulu. Disusul oleh Arexa yang bergerak cepat menyusul pria itu. Sedangkan di luar ruangan, Henry tengah menunggu bersama Meira. Kini, kondisi anak itu sudah semakin membaik dan hanya tinggal proses pemulihan saja.

"Bunda!" seru Meira dengan semangat, ia menunjukkan es krimnya yang pasti Henry yang membelikannya.

"Tuan Henry, terima kasih banyak," ucap Arexa pada asisten Raffa.

Henry mengangguk canggung, sambil matanya mengintip Raffa yang terlihat tidak suka dengan ucapan Arexa pada dirinya.

"Henry membelinya dengan uang saya," desis Raffa.

Arexa menoleh, "Oh maaf, terima kasih Tuan Raffa."

Raffa membalas singkat, "Sama-sama."

Henry meng4nga tak percaya, hanya demi pujian sebuah es krim, bosnya terlihat bangga. Mungkin, semua pria suka pujian wanita?

"Ayo Meira, kita pulang." Arexa memanggil putrinya mendekat.

"Kalian, pulang bersama saya."

"Heuh?" Arexa bingung.

Raffa memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, dan menatap Arexa dengan tatapan dingin.

"Saya harus pastikan, kamu tidak kabur bukan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!