Di atas tebing terjal yang menghadap hamparan lembah luas, seorang pria berdiri tegak bagai patung perunggu.
Angin senja berkibar liar, membuat jubah hitam berhias aksen emas yang melekat di bahunya berderai seakan hidup. Setelan militernya berkilau oleh cahaya matahari terakhir, dihiasi lencana kehormatan tertinggi yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.
Topi yang menunduk sedikit menutupi mata kirinya, namun satu mata yang terlihat cukup untuk membuat siapa pun mengerti: inilah pria yang dijuluki dunia sebagai Jenderal Perang, Alexander Kruger!
Wajahnya keras, dingin, dan gagah—sebuah wajah yang ditempa perang sejak belia.
Sanchez, asistennya, berdiri satu langkah di belakang. Tatapannya muram. Baginya, pria di hadapannya bukan sekadar atasan, melainkan sosok yang menjadi panutan hidupnya.
“Saya dengar Anda sudah mendapatkan kembali ingatan Anda yang hilang, Jendral Kruger. Apakah benar Anda akan pensiun hari ini?”
Sang Jenderal tidak menoleh. Matanya tetap menatap ke horizon yang memerah. “Sudah lima belas tahun lamanya aku mengabdi pada negara. Sekarang, sudah saatnya aku kembali mengambil kehidupanku yang dulu."
Sanchez terdiam, ia tahu betul jika pria di hadapannya ini adalah monster mengerikan yang hidup dan besar di tengah medan perang. Sejak ia berusia 10 tahun, hingga kini usianya menginjak 25 tahun.
Sudah tak terhitung berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya.
Sanchez mengepalkan tangan. “Pasukan Naga masih membutuhkan Anda, Jenderal! Mereka lahir dan hidup untuk Anda. Tanpa Anda, siapa yang akan menuntun kami?”
Akhirnya, Sang Jenderal menoleh. Tatapan dingin itu menghantam Sanchez seperti bilah baja. “Pasukan Naga kini telah menjadi pasukan terkuat di seluruh negara bagian. Kalian bisa menghadapi siapapun tanpa bantuanku.”
Sanchez tercekat. Ada getir di matanya. "Saya mengerti... Anda telah menghabiskan masa kecil anda di medan perang. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan seperti itu. Saya minta maaf karena tidak memahami kondisi Anda."
Sang Jenderal hanya terdiam. Angin yang bertiup membuat pita emas di bahunya berkibar, seakan menjawab untuknya: masa lalu itu sudah ditakdirkan.
"Kalau begitu, bolehkah saya tahu nama asli Anda?" tanya Sanchez, ia tahu jika nama yang Sang Jenderal pakai selama ini adalah nama pemberian dari seseorang karena ia kehilangan ingatannya.
Sang Jenderal terdiam sejenak sebelum menjawab: "Nama asliku Leon Vargas... selanjutnya, jika kita bertemu, kau bisa memanggilku Leon."
"Nama yang indah..." Sanchez menahan air matanya yang nyaris terjatuh. Perlahan, ia mengangkat tangan, memberi hormat terakhir. “Jika ini adalah jalan yang Anda pilih… Maka saya tidak akan menghentikan Anda. Tapi, bolehkah saya tahu… kemana Anda akan pergi setelah semua ini?”
Hening.
Hanya suara angin menyapu tebing.
Sang Jenderal membuka sarung tangan hitamnya, menatapnya sejenak sebelum menyelipkannya ke saku.
“Aku akan kembali ke tempat asalku... Tempat segalanya dimulai. Ke tempat yang membuatku lebih memilih medan perang daripada kehidupan biasa," katanya datar, namun sarat akan makna
Sanchez menunduk dalam. Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa dirinya tidak akan pernah benar-benar mengenal pria ini. Semua yang diketahui dunia hanyalah sosok naga perkasa di medan tempur.
Tapi apa yang tersembunyi di balik dinginnya mata tajam itu? Tidak ada yang tahu.
Hanya satu yang jelas: hawa membunuh yang menyelubungi sang Jenderal tetap terasa kuat, bahkan disaat ia berbicara tentang pensiun.
Seolah-olah naga itu hanya memilih untuk tidur sejenak—bukan mati sepenuhnya.
"Beri hormat!"
Dari kejauhan, barisan pasukan naga terlihat berdiri tegap di kedua sisi. Lebih dari lima puluh prajurit berpakaian seragam hitam dengan lambang naga emas di dada, memberi penghormatan serentak.
Wajah-wajah keras yang ditempa medan perang tampak gagah, dada membusung, gigi mengertak, namun mata mereka basah. Tidak ada suara tangis, hanya kesunyian berat yang menggantung di udara.
Mereka menatap ke depan, menahan gejolak hati. Seakan seluruh tubuh mereka menolak kenyataan bahwa pemimpin yang membentuk mereka… akan segera pergi.
Sang Jenderal melangkah maju. Sepasang mata tajamnya menyapu seluruh pasukan. Cahaya matahari menyalakan pita emas di bahunya, seolah dunia sendiri menunduk memberi hormat.
Ia berdiri tegak, suaranya lantang, dalam, dan menggetarkan dada tiap prajurit.
“Sepuluh tahun kita berdiri di medan darah. Sepuluh tahun kita menantang dunia. Dan hari ini… aku berdiri di hadapan kalian bukan lagi sebagai panglima, tapi sebagai saksi—bahwa kalian, pasukan naga, telah menjadi kekuatan yang tak tertandingi di bawah langit ini!”
“Kalian bukan hanya prajurit. Kalian adalah legenda hidup. Bayangan yang membuat musuh gemetar, cahaya yang membuat kawan merasa aman. Dunia tahu namaku… tapi sebenarnya, kekuatan sejati ada pada kalian!”
“Mulai hari ini, aku menyerahkan api pertempuran pada kalian. Jangan bergantung pada satu naga… jadilah naga itu sendiri! Kalian bukan lagi pasukan yang mengikuti bayanganku. Kalian adalah pasukan yang akan menulis sejarah dengan darah dan kehormatan kalian sendiri!”
Sang Jenderal berhenti sejenak, menatap ke langit yang memerah, lalu menurunkan pandangannya pada wajah-wajah setia di hadapannya.
“Ingatlah… selama napas kalian masih berhembus, nama pasukan naga akan abadi. Dan aku… akan semangatku akan selalu bersama kalian!”
Suara sang Jenderal menggelegar. Tubuh para prajurit bergetar. Dada mereka bergemuruh oleh api yang membakar jiwa.
Mereka menoleh serentak, mengangkat tangan ke udara, dan suara lantang memecah senja: “HIDUP JENDERAL ALEXANDER KRUGER!!”
Sorakan itu mengguncang bumi, bergema di lembah, seakan seluruh dunia ikut mendengar nama sang naga agung.
Sanchez menunduk, dadanya bergetar. Ia sadar… tidak akan pernah ada lagi sosok seperti pria itu.
....
Beberapa hari kemudian...
Suara mesin pesawat bergemuruh lembut, lampu kabin redup. Leon duduk di kursinya dengan penuh wibawa. Satu kaki disilangkan di atas yang lain, lengan kirinya bersandar santai pada sandaran, sementara tangan kanannya memegang sebuah novel yang berjudul Rebirth of the Trash Hero.
Matanya tajam, bulu mata lentik, memindai setiap baris tulisan dengan tenang. Aura dingin namun memikat itu terpancar kuat—membuat siapapun yang melihatnya merasa kecil.
Di kursi sebelahnya, seorang wanita berambut sebahu melirik curi-curi pandang. Wajahnya manis, bibirnya sedikit bergetar, pipinya memerah. Ada sesuatu yang menekan dadanya setiap kali melihat ketenangan Leon.
Leon menutup bukunya perlahan, lalu menoleh kearah gadis itu dengan matanya yang tajam.
“Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
Wanita itu tersentak kecil. “Ah… i-itu… aku hanya… aku juga suka novel itu. Sama sepertimu.”
Leon mengangkat alis tipis. Bibirnya melengkung sinis. “Aku tidak menyukainya.”
Wanita itu membelalak. “Eh? Kenapa? Bukunya… cukup bagus, kan?”
“Karakter utamanya bodoh.” Leon menegakkan tubuh. Suaranya datar tapi tegas. “Dia diperlakukan sebagai sampah, diinjak, dihina. Namun ketika musuh-musuhnya jatuh, ia malah memaafkan mereka atas nama kemanusiaan.”
Wanita itu menelan ludah. “Tapi… bukankah musuh-musuhnya sudah mengakui kesalahannya?”
Leon menyipitkan mata. “Pertobatan tidak menghapus luka. Luka tetap ada. Darah tetap tertumpah. Satu-satunya jalan adalah dengan menghancurkan mereka sampai tak bersisa.”
Suara Leon dingin, tapi bergetar seperti palu yang menghantam dada wanita itu. Ia mencoba tersenyum, meski gugup. “Mungkin… penulisnya hanya ingin memberi pesan positif,” ucapnya setengah ragu.
Leon mendengus pelan, menatap nama penulis novel di sampul depannya dengan inisial VV.
“Kalau memang benar, maka penulisnya lebih bodoh dari yang aku bayangkan. Berusaha membuat tokoh ‘baik hati’ padahal cuma lemah. Buku ini sampah. Aku tidak akan pernah membeli karya lain dari penulis ini.”
Wanita itu terdiam. Wajahnya menegang. Jantungnya berdegup keras. Ia menggenggam erat rok yang menutupi pahanya.
"A-ah... Begitu ya..." ucap si wanita sambil tertawa getir. Karena tanpa disadari oleh Leon… wanita yang duduk di sampingnya adalah penulis dari novel yang dia baca.
“Hadirin yang terhormat, selamat datang di Lunebridge City. Waktu setempat menunjukkan pukul 16:35 dengan cuaca cerah dan suhu 21 derajat Celsius. Terima kasih telah terbang bersama kami, semoga perjalanan Anda menyenangkan.”
Pesawat berguncang halus saat roda menyentuh landasan. Suara gesekan ban terdengar, lalu perlahan melambat hingga berhenti. Lampu sabuk pengaman padam, penumpang segera berdiri, membuka bagasi kabin, suara koper dan tas saling bertabrakan.
Leon tidak terburu-buru. Ia bangkit dengan tenang, menarik koper hitam polos dari bagasi atas, lalu menutupnya kembali. Tanpa menoleh, ia melangkah keluar mengikuti arus penumpang.
Di sampingnya, wanita itu cepat-cepat merapikan rambut dan pakaiannya. Jantungnya masih berdegup kencang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang ditinggalkan percakapan singkat sebelumnya.
Di ruang kedatangan bandara yang ramai, orang-orang berlalu-lalang dengan koper dan telepon di tangan mereka. Leon berjalan lurus, tatapannya tajam, auranya membuat orang-orang tanpa sadar menyingkir dari jalannya.
Tiba-tiba—
“Hei tunggu!”
Suara itu terdengar jelas di tengah keramaian. Leon berhenti. Perlahan ia menoleh. Dari kejauhan, wanita cantik berambut sebahu tadi berlari kecil sambil menahan tas di pelukannya.
Leon menatapnya dingin. “Oh, wanita dengan selera yang buruk?”
Wanita itu terhenti beberapa langkah di depannya. Nafasnya sedikit terengah, tapi matanya yang berani menatap balik. “Aku punya nama. Virelia Vanesa, itu namaku!”
Leon mengangkat alis tipis, ekspresinya tidak berubah. "Apa aku harus tahu namamu?"
Virelia menggigit bibirnya sesaat, lalu tersenyum kaku. “Y-ya, Karena aku tidak ingin kau mengingatku dengan julukan aneh itu."
“Itu tidak menjamin aku akan mengingatmu selama itu.”
Virelia terkekeh pelan, meski hatinya selalu tertusuk oleh sikap dingin Leon. “Kalau begitu… mungkin ini bisa membantu.” Ia mengeluarkan sebuah kertas kecil dari tasnya, lalu menuliskan angka dengan cepat. Ia menyodorkannya dengan tangan yang sedikit gemetar.
Leon melirik kartu itu sekilas. “Nomor telepon?”
“Ya.” Virelia mencoba tersenyum alami. “Kalau… kau butuh seseorang untuk bicara, atau sekadar butuh rekomendasi novel. Anggap saja… itu sebagai permintaan maafku karena mengganggumu tadi di pesawat.”
Leon menatap kartu itu lama, lalu mengambilnya tanpa ekspresi, menyelipkannya ke dalam saku jasnya. “Aku jarang butuh orang lain. Jadi jangan berharap aku akan menghubungimu.”
“Aku tahu,” Virelia membalas dengan nada lembut, meski sedikit getir.
Sejenak, keheningan jatuh di antara mereka. Lalu Leon mengangguk singkat, tanda pamit. Ia berbalik, melangkah masuk ke keramaian bandara, sosoknya tenggelam namun tetap menonjol di antara manusia lain.
Virelia berdiri mematung, memandangi punggung tegap itu. Bibirnya berbisik nyaris tanpa suara.
“…Dia… pria tertampan yang pernah kutemui..." Matanya sedikit berkilau, senyum samar terukir di wajahnya. “Seperti pangeran yang keluar dari novel.”
...
Di luar, malam mulai turun. Leon masuk ke dalam sebuah taksi, duduk bersandar dengan wajah datar sambil memberi petunjuk supir taksi akan tempat tujuannya.
Leon duduk dengan sikap tenang, namun jemarinya menggenggam erat lututnya. Dari balik kaca jendela, ia melihat kota yang tak pernah benar-benar berubah. Indah, megah, penuh kehidupan—namun bagi Leon, setiap sudutnya menyimpan bekas luka terdalam.
'Sudah lima belas tahun lamanya…' gumamnya dalam hati. 'Dan semuanya masih sama...'
Kenangan masa kecil berkelebat. Suara teriakan, tatapan penuh hinaan, dan dinginnya dinding batu keluarga D’Arvenne.
Leon Vargas adalah anak kedua dari Celine D’Arvenne—putri keluarga bangsawan sekaligus konglomerat terbesar di kota Lunebridge—dan Marcus Vargas, seorang pria biasa yang dipandang rendah. Pernikahan mereka adalah noda bagi nama besar D’Arvenne.
Leon masih bisa mengingat dengan jelas wajah ayahnya. Pria sederhana, hangat, pekerja keras, namun selalu dipandang rendah oleh keluarga D’Arvenne. Meski ditolak, Marcus tetap tersenyum demi istri dan kedua anaknya.
Di usia tujuh tahun, Leon menyaksikan langsung tubuh ayahnya terbujur kaku. “Kecelakaan,” begitu kata mereka. Tapi bahkan sebagai anak kecil, Leon tahu jika itu bukanlah kecelakaan biasa. Itu adalah pesan.
Pesan bahwa orang biasa tidak pantas menyentuh darah D’Arvenne.
Kematian Marcus memaksa Celine kembali ke rumah besar keluarganya. Di sanalah neraka dimulai. Setiap langkah Leon disambut tatapan jijik. Setiap kata yang diucapkan mengandung racun.
“Anak yang tak diinginkan.”
“Sampah.”
“Aib keluarga.”
Sejak hari itu, hidupnya berubah menjadi neraka.
Siksaan fisik. Penghinaan. Penolakan. Tiada hari tanpa luka.
Tangan-tangan dingin pelayan yang diperintah menampar, menendang, hingga mendorongnya ke tanah. Leon hanya bisa menggertakkan gigi, menahan air mata yang terbakar.
Satu-satunya cahaya baginya adalah ibu dan kakaknya, Julius. Sang kakak selalu berdiri di hadapannya, menahan pukulan yang seharusnya jatuh ke tubuh Leon.
“Jangan takut, Leon. Suatu hari kita akan bebas,” bisiknya setiap malam, menenangkan Leon dikala susah tidur.
Namun cahaya itu pun tak bertahan lama. Ibunya jatuh sakit, tubuhnya melemah karena tekanan yang tak pernah berhenti dari keluarganya. Tidak ada dokter yang dipanggil, tidak ada obat yang diberikan. Ibunya meninggal perlahan, dibiarkan begitu saja.
Julius pun menghilang tak lama setelah itu. Ada yang mengatakan ia pergi meninggalkan adiknya yang tidak berguna. Ada yang berbisik ia bunuh diri. Namun, tidak ada jawaban pasti.
Yang tersisa hanyalah kesunyian dan dinding batu dingin yang terus menghina keberadaannya.
Sejak hari itu, Leon belajar satu hal—
Bahwa belas kasih tidak akan menyelamatkan siapa pun.
Bahwa kelembutan hanya akan diinjak.
Dan bahwa satu-satunya cara agar tidak dihancurkan adalah dengan menjadi lebih kuat… lalu menghancurkan mereka terlebih dahulu.
'Keluarga D'Arvenne… cepat atau lambat, nama itu akan musnah dari kota ini...' ucap Leon dalam hatinya, mematangkan sumpah yang telah lama ia pendam.
“Tuan, kita sudah sampai,” suara sopir taksi memecah lamunan Leon.
Leon menatap keluar jendela, pemandangan indah dari sebuah villa megah sontar menerpa wajahnya.
Lampu-lampu kristal dari villa yang lebih mirip istana itu memantulkan cahaya terang, menembus gelapnya malam. Suara musik klasik mengalun samar, bercampur dengan tawa dan obrolan banyak orang.
Jelas sedang terdapat sebuah pesta besar di dalam sana.
Supir taksi menoleh lagi, wajahnya dipenuhi keraguan. "Tuan, apa ini benar tempat yang Anda tuju? Ini adalah Villa keluarga D'Arvenne, malam ini mereka sedang mengadakan pesta ulang tahun kepala keluarga mereka. Hanya orang yang diundang yang bisa—”
Tanpa basa basi, Leon langsung menyelipkan uang tunai ke saku sang sopir dan berkata “Aku tidak salah tempat," ucapnya. “Dan aku tidak butuh undangan untuk masuk kesana.”
Supir itu terdiam. Ada sesuatu dalam suara Leon—tegas, tak terbantahkan. Ia menoleh kearah sakunya, jelas terlihat beberapa lembar uang seratus dollar disana, jauh dari tarif taksi miliknya.
"Aku tidak pergi lama. Tunggu aku disini," ucap Leon sembari keluar dari mobil.
Sang sopir hanya mengangguk sopan, menahan rasa gembira dalam hatinya. “Baik Tuan! Hati-hati.”
Leon menatap villa besar itu dengan sarat emosi, koper hitam miliknya masih melekat di tangannya.
'Sepertinya kalian masih bisa menggelar pesta setelah semua yang terjadi,' batin Leon, dingin. 'Akan kupastikan ini akan menjadi pesta terakhir yang bisa kalian nikmati...'
Di depan gerbang utama villa, terlihat beberapa penjaga bersetelan hitam berdiri tegak. Tatapan mereka tajam, penuh kewaspadaan. Salah satunya maju begitu melihat sosok Leon yang melangkah mendekat.
Ini sedikit mencurigakan bagi mereka karena biasanya tamu undangan akan datang memasuki halaman villa dengan mobil mewah mereka.
Leon semakin mendekat, salah satu penjaga yang lebih muda maju sambil berkata. "Mohon perlihatkan undangan Anda, Tuan."
Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, sorot matanya dingin namun penuh wibawa.
Penjaga muda itu memberanikan diri menghadang Leon dengan kedua tangan terentang. “Tuan, jangan salahkan kami. Kalau Anda terus memaksa, kami akan panggil semua penjaga—”
Langkah Leon berhenti tepat di depan penjaga muda itu. Sorot matanya menajam, seolah menembus jiwa si penjaga.
Penjaga muda itu mendadak kehilangan kata-kata. Nafasnya tercekat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tubuh kekarnya tampak rapuh di hadapan tatapan yang begitu dingin.
Leon menunduk sedikit, menyesuaikan tubuhnya yang lebih tinggi, suaranya rendah namun tegas. “Aku tidak butuh undangan untuk menghadiri ulang tahun kakekku sendiri.”
Kata-kata itu jatuh bagaikan petir di telinga mereka. Penjaga muda tampak kebingungan, ia tahu seluruh anggota keluarga D'Arcenne tapi tidak mengenali Leon sama sekali.
Namun penjaga tua yang sejak tadi memperhatikan sontak terbelalak. Matanya gemetar ketika menatap wajah Leon, dari kerah bajunya yang sedikit terbuka, ia dapat melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding.
“Tidak mungkin... Le-Leon D'Arvenne…” bisiknya pelan.
Sorot mata Leon sontak mengarah pada penjaga tua tersebut. "Jangan sebut nama keluarga itu di namaku," ucapnya dingin.
"Ma-maafkan saya!" balas si penjaga tua sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, penuh ketakutan.
Wajah penjaga muda itu seketika memucat. Ia menoleh cepat ke arah seniornya, lalu kembali menatap Leon dengan bingung, hampir tak percaya.
Leon melangkah pergi seolah tak terjadi apapun.
Penjaga muda itu refleks menghampiri seniornya dan bertanya: "Saya tidak tahu ada anggota keluarga lain, siapa sebenarnya dia?"
Penjaga tua itu bangkit dengan susah payah, wajahnya masih pucat pasi. "Kau anak baru disini, jelas tidak tahu. Anak itu-tidak, pria itu seharusnya sudah mati lima belas tahun yang lalu. Tapi tidak kusangka ternyata dia masih hidup dan kembali..."
"Anda mungkin salah mengenalinya? Tidak mungkin orang yang mati lima belas tahun lalu kembali hidup-hidup!"
Penjaga tua itu menatap punggung Leon yang pergi menjauh, dengan suara getir ia berkata. "Itu benar-benar dia, tidak salah lagi. Meskipun telah banyak berubah, tapi ada satu hal yang membuatku yakin jika itu adalah dia."
"Apa itu?" tanya si penjaga muda.
Penjaga tua itu diam sejenak sebelum menjawab. "Bekas luka jeratan tali di lehernya..."
...
Sementara itu, di dalam aula utama villa.
Pesta ulang tahun kepala keluarga D'Arvenne digelar dengan begitu megah. Lampu kristal berkilau di atas langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat ke arah para tamu yang berdandan mewah.
Musik orkestra mengalun lembut, mengiringi gelak tawa dan percakapan hangat disana. Para pelayan berjas putih hilir-muncul membawa nampan penuh gelas anggur dan hidangan mewah.
Di tengah keramaian itu, duduklah seorang pria tua di kursi roda: Djin D’Arvenne, kepala keluarga saat ini. Rambutnya penuh uban, wajahnya keriput, namun sorot matanya tampak ramah.
Setiap cucu yang mendekat disambut dengan senyum hangat dan tepukan lembut di kepala mereka.
“Kakek, ini untukmu!” seru Marry, cucunya yang berusaha tujuh tahun sambil menyerahkan kotak hadiah kecil berbungkus pita emas.
“Hahaha… manis sekali. Terima kasih, Sayang.” Kakek Djin menerima hadiah itu dengan tangan bergetar, lalu mengusap kepala cucunya dengan penuh kasih.
Di sekitarnya, anak-anak Kakek Djin berkumpul, masing-masing menunjukkan sikap khas milik mereka.
Antony D’Arvenne, anak sulung, pria berwibawa dengan jas hitam elegan. Tubuhnya tegap, wajahnya keras, dan senyum yang dibuat-buat. Semua orang tahu dialah pewaris yang digadang-gadang akan meneruskan nama besar keluarganya.
March D’Arvenne, anak kedua, pria gondrong dengan cincin emas di hampir semua jarinya tampak sibuk bercakap dengan seorang teman sambil sesekali tertawa karir.
Anak laki-laki ketiga yang tidak hadir, June D'Arvenne. Diberi nama June karena lahir di bulan juni—tiga bulan setelah kelahiran March di bulan maret dari ibu yang berbeda.
Anak keempat seorang wanita, Lucienne D’Arvenne, tampak masih muda dan menawan dengan lipstik dan gaun merahnya.
Satu lagi yang tidak hadir dan mulai terlupakan sejak kematiannya. Celine D'Arvenne.
"Apa yang dilakukan si brengsek June sampai-sampai tidak bisa menghadiri ulang tahun ayahnya?" bisik Lucienne dikala senyumannya menyambut tamu.
"Jaga bicaramu, Lucy. Jangan membuat ayah malu," balas Antony sembari menyeruput wine miliknya.
"Tapi ini sudah keterlaluan. Tidak bisakah dia meluangkan sedikit waktunya yang tidak berharga untuk hadir bersama kita disini?"
"Bicara seperti itu, tapi putrimu sendiri belum juga datang."
"Jangan khawatir, dia akan segera datang," balas Lucienne dengan nada sinis.
Pat!
Sebuah tangan tiba-tiba merangkul bahu mereka berdua dari belakang, itu adalah March yang datang usai berbincang dengan teman-temannya. "Kenapa kalian bisik-bisik seperti itu? Apa kalian membicarakanku?"
"Jangan bersikap seolah-olah kita berdua akrab, bajingan..." balas Antony sambil memelototi March.
Senyum khas malah merekah di wajah pria modis itu meskipun mendapat ancaman langsung dari calon kepala keluarga. "Kita bersaudara meskipun beda ibu, bagaimana mungkin kita tidak akrab? Ah, Antony, ngomong-ngomong bagaimana kabar istrimu? Kau tahu jika aku merindukannya, bukan? Lain kali ajak dia main ke tempatku."
Wajah Antony memerah penuh amarah mendengar ucapan dari adiknya itu, bagaimana tidak, baru seminggu yang lalu dia mengetahui fakta jika istrinya sering pergi ke tempat March untuk bercinta. Hal itu membuat Antony sangat murka, namun ia tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.
"March, dasar bajingan bejat. Apakah bercinta dengan kakak iparmu membuatmu begitu tertantang?" balas Lucienne tak tahan dengan sikap semena-mena kakak keduanya itu.
"Ah, Lucy. Jangan bilang kau juga ingin bergabung dengan kami?" sahut March dengan nada menggoda.
"Menjijikan..." kata Lucienne, menepis lengan March dan pergi begitu saja.
"Lihatlah, dia tersipu malu hahaha," March tertawa pelan. Ia kemudian melirik ke arah kerumunan tamu yang sedang bercengkerama riang di sisi ruangan.
Di tengah lingkaran itu, berdiri seorang pemuda tampan dengan setelan jas abu-abu tua. Senyum ramahnya membuat para nona muda terpikat, sementara para pria tampak kagum dengan tutur katanya yang berwibawa.
March mengangkat gelas winenya, menunjuk dengan dagu. “Lihat, Antony. Itu kebanggaanmu, bukan?” ujarnya sinis namun dengan nada seolah memuji. “Alric, putra sulungmu. Lulus dari akademi kedokteran dengan nilai tertinggi, bukan begitu? Hahaha… mungkin ayah akan menghadiahinya sebuah rumah sakit pribadi agar bisa bermain-main dengan jarum suntik.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!