“Cepat bawa Kevia sebelum ayah tirimu pulang,” bisik Rima, matanya menyipit penuh kebencian. “Kalau produser itu puas, kau akan jadi artis terkenal. Dan hidup gadis sialan itu… akan hancur. Ibunya yang penyakitan itu juga ikut hancur.”
Riri tersenyum licik. “Baik, Ibu. Tenang saja.”
Mobil melaju di gelap malam, dengan Kevia duduk kaku di kursi samping. Ia menunduk, jemarinya meremas ujung dress mini ketat yang dipaksakan ke tubuhnya. Pakaian itu asing, memalukan, dan menyiksa. Riasan tebal di wajahnya terasa bagai topeng yang mengurung dirinya.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah klub malam, jantung Kevia berdegup kencang.
"Riri, kenapa berhenti di sini?" tanya Kevia gelisah.
Riri tersenyum yang lebih mirip seringai. "Karena di sinilah tempat pestanya."
"Tapi--"
"Cepat keluar!” bentak Riri.
“Ri… aku nggak nyaman pakai baju kayak gini—”
“Turun! Kalau kau menolak, ibuku tak akan membawa ibumu cuci darah.” Tatapan Riri dingin, penuh ancaman.
Hati Kevia seketika menciut. Demi ibunya, ia menelan ketakutan dan melangkah turun.
Lampu neon berkedip-kedip, suara musik berdentum, dan kerumunan orang menatap mereka.
High heels yang baru pertama kali ia kenakan membuat langkahnya goyah, sementara tatapan para pria menusuk setiap lekuk tubuhnya.
Riri menggandeng lengannya dengan kasar, menyeretnya masuk melewati lorong penuh asap rokok dan sorak-sorai tawa.
“Ahh!”
Bugh!
Kevia memekik saat tubuhnya oleng, tumit tinggi yang asing di kakinya membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia menabrak dada seorang pria bertubuh kekar yang kebetulan berpapasan.
“M-maaf…” ucap Kevia gugup, wajahnya memerah.
Pria itu menunduk menatapnya. Sekilas, sorot matanya tampak menilai tubuh Kevia, membuat darahnya membeku. Namun di balik cahaya remang, matanya justru terpaku pada dada Kevia yang memakai dress dengan bagian dada terbuka.
Kevia buru-buru menutup dadanya. Malu dan tak nyaman membuatnya makin gugup.
Riri mendengus, lalu buru-buru menarik Kevia. “Jangan bikin masalah!” ia menyeret Kevia lagi, tak peduli pada sorot tajam pria itu.
Beberapa langkah kemudian, mereka berhenti di depan seorang pria paruh baya berjas mewah.
Namun dari sofa tak jauh di sana, pria bertubuh kekar tadi masih mengawasi. Mata dinginnya mengikuti setiap langkah Kevia Bukan karena tergoda, tapi karena ia mungkin tahu siapa gadis itu… dan siapa yang akan tertarik mendengarnya.
Senyum tipis pria paruh baya di depan Riri dan Kevia terukir, pandangannya turun naik, menelanjangi dengan tatapan yang membuat perut Kevia mual.
"Tempat ini... pria itu...Apa—apa Riri dan ibunya benar-benar menjualku?"
Jantung Kevia berdegup tak karuan. Seharusnya ia hanya menemani Riri ke pesta, tapi kenapa langkah mereka berakhir di sebuah klub malam dengan cahaya lampu temaram yang terasa asing?
“Selamat malam, Om,” sapa Riri ramah, seolah sudah akrab.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari sofa kulit hitam. Matanya hanya melirik Kevia sekilas, cukup untuk membuat bulu kuduk Kevia berdiri.
“Barangnya bagus… aku suka.” Senyumnya mengandung arti yang tak Kevia mengerti, tapi perutnya benar-benar mual.
“Tentu saja, Om,” sahut Riri dengan tatapan penuh kemenangan.
Kevia semakin gelisah. Batinnya menjerit, "Kenapa Riri bicara seperti itu? Aku beneran akan dijual?"
“Ayo kita bicarakan kontraknya di tempat yang lebih tenang,” ucap si pria, suaranya berat tapi berlapis niat.
Tanpa ragu, Riri mengangguk. “Baik, Om.”
Tangannya menarik lengan Kevia, menyeretnya mengikuti pria itu menuju salah satu kamar hotel.
“Riri… kenapa membicarakan kontrak di tempat seperti ini?” bisik Kevia, suaranya gemetar.
“Diam!” geram Riri, matanya tajam.
Di dalam kamar, pria itu mengarahkan mereka duduk di sofa. Tangannya lincah menuangkan minuman ke dalam dua gelas kristal, lalu dengan gerakan nyaris tak terlihat, ia menekan cincin di jarinya. Butiran halus meluncur jatuh ke dalam salah satu gelas.
“Untuk pemula, kau jadi artis figuran dulu,” ujarnya santai, menaruh map kontrak di meja. “Kalau aktingmu bagus, aku bisa beri peran yang lebih besar.” Pandangannya sekilas jatuh ke tubuh Kevia, membuat gadis itu merasa ingin berlari.
“Baik, Om. Terima kasih,” jawab Riri dengan cepat, lalu menandatangani kontrak tanpa banyak membaca.
“Silakan diminum dulu.” Pria itu menyodorkan gelas.
Riri segera meneguk habis tanpa ragu. Kevia hanya memandangi gelasnya. Keningnya berkerut, ada aroma aneh menusuk inderanya, membuat hati kecilnya menolak.
Di sisi lain, di tengah riuh rendah klub, pria bertubuh kekar yang tadi ditabrak Kevia sontak berdiri. Tatapannya menajam ketika seorang pria berkemeja hitam keluar dari ruangan privat. Wajahnya tertutup masker, namun auranya yang dingin dan mendominasi seolah memecah keramaian.
“Bos,” bisiknya cepat, mendekat penuh waspada. “Saya melihat seorang gadis… mungkin dia yang Bos cari.”
Langkah pria itu terhenti. Sorot matanya menusuk. “Di mana?”
“Tadi bersama seorang gadis lain menemui pria paruh baya di sofa sana,” jelas pria kekar itu, menunjuk ke arah sofa. “Tapi tak lama pergi. Kayaknya ke kamar hotel. Dari cara jalannya… dia dipaksa, Bos. Polos, jelas bukan gadis yang biasa ada di sini. Saya rasa dia sedang dijual.”
Rahang pria bermasker itu mengeras. Tatapannya berkilat marah. “Brengsek…!” desisnya. Tangannya menyambar kerah anak buahnya, mengguncang kasar. “Dia atau bukan, gadis itu dalam bahaya! Kalau itu adikmu, apa kau diam saja?!”
Anak buahnya tercekat, wajah pucat. “M-maaf, Bos!”
Ia dilepaskan dengan kasar, hampir terhuyung. Pria bermasker itu menghela napas berat, tangan mengepal. “Cepat cari gadis itu!”
“Siap!”
Sekejap kemudian, pria itu mengusap wajahnya, sorot matanya menyala murka. "Dasar bajingan… Aku akan pastikan dia gadis itu atau bukan."
Di kamar hotel, Riri menaruh gelas kosong dengan puas. “Sudah, Om.”
Kevia masih menatap minumannya, ragu. Rasa tak nyaman makin menguat.
“Kenapa? Gadis cantik tidak minum?” tanya pria berjas itu dengan senyum penuh arti.
“Saya… tidak haus,” jawab Kevia pelan.
Pria itu memasang wajah kecewa. "Minuman ini sudah dituang. Sayang kalau tak diminum."
Riri berbisik di telinganya, nadanya dingin. “Minum. Atau aku tinggalkan kau di sini.”
Ketakutan mencengkeram Kevia. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gelas itu ke bibir. Cairan asingnya pahit, meninggalkan sensasi aneh di lidah.
“Habiskan,” desis Riri.
Kevia menuruti, meneguk sampai habis meski lidah, tenggorokan dan perutnya terasa berontak.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Om,” ucap Riri bangkit, senyum liciknya terkembang. “Selamat bersenang-senang.”
Kevia ikut berdiri, ingin segera melangkah pergi. Tapi sebelum kakinya menjejak pintu, sebuah tangan kokoh mencekal pergelangannya membuat ia tersentak.
“Mau ke mana, gadis cantik?” suara pria itu dalam, menahan langkahnya.
Bibir Kevia bergetar. Dadanya bergemuruh.
“Lepaskan!” Kevia mencoba melepaskan cekalan tangan pria itu.
“Riri—!” Belum sempat ia melanjutkan, suara dingin saudara tirinya memotong.
“Diam di sini… dan layani Om ini baik-baik. Atau ibumu—”
“Ahh!” pekik Kevia, matanya membelalak.
Tanpa memberi kesempatan, Riri mendorongnya keras hingga tubuh Kevia membentur dada pria paruh baya. Napasnya tercekat, tubuhnya limbung. Dengan senyum licik, Riri menutup pintu kamar rapat-rapat.
Klik!
Bunyi kunci itu terasa seperti vonis.
"Riri, jangan tinggalkan aku!" teriaknya frustrasi.
Tapi pria itu langsung menarik lengan Kevia, menyeretnya menuju ranjang dengan tatapan penuh hasrat.
“Tidak! Lepaskan aku!” teriak Kevia, tubuh mungilnya meronta.
Namun tiba-tiba kepalanya terasa berat, pandangannya berputar. Obat yang bercampur dalam minuman tadi mulai bekerja. Tubuhnya melemah, napasnya memburu, kulitnya terasa panas dingin.
“T-tidak… jangan…” suaranya parau.
Pria itu mendorongnya hingga terjatuh di ranjang. Kevia menjerit, tangannya menepis, kakinya menendang, tapi kekuatannya terkikis habis.
"Ya Tuhan… tolong aku…" batinnya menangis di antara rasa pusing yang kian menguasai.
Lalu—
BRAK!
Pintu kamar hotel terhempas terbuka, menghantam dinding dengan dentuman keras.
Kevia membeku di tempat, tubuhnya menegang. Pria paruh baya itu sontak menoleh, wajahnya terkejut.
Di ambang pintu, berdiri sosok pria berkemeja hitam. Lampu redup kamar hanya menyorot setengah wajahnya, menyisakan bayangan kelam yang menegaskan sorot matanya. Dingin, tajam, dan penuh rahasia.
...🌸❤️🌸...
Note :
Ingin tahu kisah Kevia sebelum semua ini terjadi? Kamu bisa membacanya di novel “DEBU (Demi Ibu)”, yang mengisahkan perjuangannya menghadapi derita bersama orang tua dan keluarga tirinya
To be continued
“Siapa kau?!” bentak pria paruh baya itu, wajahnya memerah karena marah. “Beraninya kau masuk seenaknya! Kau tahu siapa aku?!”
Kevia tersentak. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar di ranjang. “Tolong… tolong aku…” suaranya parau, penuh harap, sambil berusaha merangkak turun.
Namun pria paruh baya itu sigap. Tangannya menjulur, meraih pinggang Kevia dan menyeretnya kembali dalam pelukan kasar. “Kau tak akan ke mana-mana, manis…”
“Lepaskan! Tolong!” pekik Kevia, suaranya pecah di antara rasa panik dan pusing yang kian menghantam kepalanya.
BUGH!
Tinju mendarat telak di wajah pria paruh baya itu. Belum sempat ia bangkit, hantaman kedua, ketiga, menghujani dengan brutal.
BUGH! BUGH!
Kevia tersentak, buru-buru merayap menjauh, tubuhnya gemetar hebat. Tapi panas menyengat tubuhnya, keringat dingin bercucuran, kepalanya seakan dihantam ribuan palu. “Panas… pa…nas…” gumamnya, suara nyaris tak terdengar.
Pria paruh baya itu terhuyung, darah menetes dari sudut bibirnya. “Kau… beraninya kau memukulku!” bentaknya, meski sorot matanya jelas menyimpan ketakutan.
Pria bermasker itu berdiri kaku. Sorot matanya dingin, menusuk, seolah bisa membekukan udara di kamar itu. Suaranya keluar berat, dingin, nyaris seperti bisikan setan.
“Kau… Dasar tua bangka. Bajingan mesum.”
Langkahnya kembali maju. Tinju lain melayang, menghantam rahang pria paruh baya itu hingga terdorong ke dinding.
DUAK!
Suara benturan kayu meja ikut pecah.
Kevia meringkuk di sudut, tubuhnya bergetar. Pandangannya buram, tapi ia masih bisa melihat sosok tinggi itu berdiri di hadapan pria paruh baya, penuh aura gelap.
Napas pria bermasker itu terdengar berat, teratur, seperti predator yang baru mengincar mangsanya. Sementara Kevia, di ambang kesadaran, hanya sempat berbisik dalam hati.
"Tuhan… siapa dia?"
Pria paruh baya itu akhirnya terkapar. Wajahnya babak belur, napasnya tersengal di lantai.
Pria bermasker berdiri tegak, sorot matanya dingin menusuk. Dengan gerakan tangan sederhana, ia memberi isyarat.
Dua pria kekar segera masuk.
“Bereskan dia,” ucap pria bermasker, suaranya berat, dingin, tak menyisakan ruang untuk bantahan.
“Baik, Bos.”
Pria paruh baya itu terbelalak, berusaha bangkit. “Lepaskan! Kalian akan menyesal memperlakukan aku seperti ini! Kalian tahu siapa aku?!” teriaknya, namun tak ada yang peduli. Tubuhnya diseret kasar keluar kamar, suaranya makin menjauh, tenggelam ditelan lorong hotel.
Hening sejenak.
Di ranjang, Kevia tergeletak dengan wajah pucat. Tubuhnya panas dingin, tangannya gemetar berusaha meraih tali dress-nya. “Pa…nas… panas…” gumamnya, matanya berkabut, nyaris tak sadar.
Pria bermasker itu refleks melangkah cepat. Ia menarik selimut dari ujung ranjang, menyelubungkannya ke tubuh Kevia sebelum gadis itu sempat menyingkap pakaiannya lebih jauh. Dengan satu gerakan kokoh, ia mengangkat Kevia ke dalam gendongannya.
“Panggil dokter.” Suaranya rendah, tapi tegas.
“Baik!” Anak buahnya segera berlari.
Langkah pria bermasker itu panjang dan mantap, keluar dari kamar penuh dosa itu, membawa Kevia erat dalam dekapan.
Sesampainya di kamar hotel lain, ia merebahkan Kevia di ranjang bersih. Gadis itu meringis, tubuhnya bergeliat tak terkendali, seperti cacing kepanasan.
"Pa..pa..nas.."
“Tenanglah…” gumamnya lirih di balik masker, meski suaranya tetap dingin.
Namun Kevia justru meraih lengannya dengan kasar. Jemarinya yang panas mencengkeram, lalu menarik tubuh pria bermasker itu mendekat. Napasnya berat, dadanya naik turun, matanya setengah terpejam namun penuh kilatan liar akibat obat.
“To.. tolong.. aku…” suaranya parau, namun begitu dekat, begitu menggoda dalam keadaan rapuh itu.
Pria bermasker membeku.
Kevia makin meronta, tangannya berusaha meraih kerah bajunya, bibirnya nyaris menyentuh masker hitam yang menutupi wajah pria itu. Tubuhnya yang panas merapat, memaksa jarak menghilang.
Pria bermasker merasakan seluruh nadinya bergejolak. Napasnya terhenti sesaat, jemarinya mengepal keras di udara. Sekejap, kendalinya nyaris runtuh.
Ia menunduk, mata tajamnya menatap wajah Kevia yang begitu dekat. Aroma samar parfum bercampur keringat dingin menyeruak, menekan batinnya.
Lalu—
BRAK!
Ia menghantam meja di samping ranjang dengan tinjunya, kayunya retak. Sorot matanya membara, suara geramnya tercekat di tenggorokan.
“Bertahanlah…” ucapnya parau, dingin bercampur getir. Dengan kasar ia menarik kembali selimut, menutupi tubuh Kevia rapat-rapat.
Ia berdiri tegak, menarik napas panjang, berusaha menguasai gejolak yang hampir menelan dirinya barusan.
Kevia bergumam lemah, “Jangan… pergi…” sebelum akhirnya tubuhnya merosot tak berdaya, tenggelam dalam separuh pingsan.
Pria bermasker itu menatapnya lama, tangan terangkat seolah ingin menyentuh wajah pucat itu, namun ia urungkan. Ia hanya mengepalkan jemari, memalingkan wajah.
Di luar pintu, suara langkah dokter mulai terdengar.
Pria bermasker bergumam rendah, seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Hampir saja… aku kehilangan kendali.”
Ketukan langkah tergesa terdengar, lalu pintu kamar terbuka. Seorang dokter paruh baya masuk dengan wajah cemas, menenteng tas medis.
“Cepat obati dia.” suara berat pria bermasker itu terdengar, dingin namun tertekan.
Dokter segera memeriksa Kevia yang terkulai lemah. Tubuh gadis itu gemetar dengan napas memburu.
Dokter melirik pria bermasker sekilas. “Detak jantungnya tak stabil… sepertinya ia mendapat dosis obat perangsang yang berlebihan. Saya akan memberinya suntikan penenang.”
Jarum menusuk kulit pucat Kevia, cairan bening mengalir masuk. Beberapa detik kemudian, gadis itu mengerang lirih, lalu perlahan tubuhnya mereda. Wajahnya tetap panas, tapi napasnya mulai teratur.
“Ia akan tertidur… mungkin sampai pagi,” ujar dokter pelan, menutup kotak suntikannya.
Pria bermasker mengangguk. “Ambil sampel darahnya.”
Dokter menatapnya heran, tapi tak membantah. Dengan cekatan, ia mengambil sampel darah dari lengan Kevia.
Setelah mengambil sampel darah Kevia, dokter berhenti sejenak ketika pria bermasker itu bersuara.
“Pastikan kau periksa detail darahnya. Kalau perlu… cocokkan dengan identitas melalui analisis DNA sederhana.”
Dokter menatapnya kaget, kerutan bingung terbit di dahi. “DNA? Untuk apa—”
Tatapan dingin pria bermasker memotong pertanyaan itu. “Cukup lakukan. Aku butuh kepastian.”
Terdiam, dokter hanya mengangguk. “Hasilnya akan saya kabarkan nanti.” Ia menyimpan vial kecil berisi darah Kevia ke dalam wadah pendingin khusus, lalu berlalu dengan tergesa, meninggalkan suasana berat di ruangan itu.
Setelah dokter keluar, kesunyian menelan kamar itu.
Pria bermasker duduk di tepi ranjang. Tatapannya jatuh pada wajah Kevia yang tampak begitu rapuh di balik tidur lelahnya. Sesuatu bergetar dalam hatinya, perasaan hangat. Ia menunduk, jemarinya ragu, sebelum akhirnya menyentuh tangan mungil yang terkulai di samping tubuh Kevia.
Saat menggenggamnya, dada pria itu berdegup keras, seolah tubuhnya mengenali sesuatu yang pikirannya masih enggan percaya.
Golongan darah… analisis DNA… semua itu hanya alat. Yang ia butuhkan sebenarnya hanyalah kepastian, bahwa perasaan samar yang sejak tadi menghantuinya bukan ilusi belaka.
Ia mengepalkan tangan itu perlahan, seakan ingin memastikan… seakan mencari jawaban dari ingatan samar yang terus menghantuinya. Napasnya berat, matanya memejam sesaat.
Tangan itu hangat. Begitu nyata.
"Tangan ini… apakah sama dengan tangan itu?"
Kelopak matanya terbuka kembali. “Apakah itu… kau?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Namun Kevia sudah tenggelam dalam tidur dalam akibat suntikan penenang, napasnya teratur meski wajahnya masih sedikit pucat.
Dengan gerakan lembut yang kontras dengan sosok dinginnya, ia menyelimuti tubuh Kevia. Tangannya terangkat tanpa sadar, merapikan helai-helai yang jatuh menutupi wajah. Tatapannya, yang biasanya dingin membeku, kini menghangat, berbahaya sekaligus menenangkan.
Ia menghela napas panjang, lalu berdiri. Menarik kursi di dekat ranjang, namun akhirnya ia memilih sofa di pojok ruangan. Tubuhnya direbahkan, namun matanya enggan tertutup. Ia masih menatap gadis itu dari jauh, seakan takut kehilangan momen keberadaannya.
Dalam sunyi, hanya suara napas Kevia yang terdengar. Sementara di dada pria bermasker yang berdetak keras, rahasia besar bergemuruh, menunggu saatnya untuk terungkap.
***
Pagi menyingkap tirai malam dengan cahaya lembut yang masuk melalui sela gorden.
Kevia membuka mata perlahan. Kepalanya berat, pusing berdenyut, seolah baru keluar dari mimpi buruk. Namun detik berikutnya ia terperanjat. Ini… bukan kamarnya.
“Di mana ini? Kenapa aku di sini?” bisiknya, panik.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ingatan semalam datang berkelebat, potongan-potongan yang membuat napas Kevia tercekat. Ia dipaksa dirias, dipakaikan gaun minim oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Ia dibawa ke klub malam… dan di sana, nyaris dilecehkan. Sesosok pria, asing, bermasker, muncul di tengah kekacauan, menghajar habis-habisan lelaki paruh baya itu.
Dengan tangan gemetar, Kevia buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
"Syukurlah…" gumamnya lirih. ia masih memakai pakaian lengkap. Helaan lega lolos dari bibirnya.
Matanya lalu tertuju pada sebuah paper bag di atas nakas. Dengan ragu ia meraihnya. Dari dalam, terlipat rapi sebuah dress sederhana, elegan, sopan, bahkan ada pakaian dalam baru.
Kevia menunduk, menatap gaun yang masih melekat di tubuhnya. Pipi dan hatinya sama-sama panas. "Gaun ini… terlalu memalukan."
Tanpa pikir panjang, ia meraih pakaian dari paper bag itu, lalu melangkah cepat ke kamar mandi.
Air dingin menyambut tubuhnya, namun ia tetap menggosok kulitnya keras-keras, seolah ingin menghapus jejak tangan kotor pria paruh baya yang semalam nyaris merenggut kehormatannya.
“Pria brengsek… mesum!” desisnya di sela-sela air yang mengucur deras.
Dalam samar ingatannya, bayangan lain muncul. Sosok tinggi, wajahnya tertutup masker. Lengan kokoh yang mengangkat dan membawanya keluar.
"Siapa dia…?" gumamnya dalam hati.
Usai mandi, tubuhnya terbalut pakaian bersih. Kevia menarik napas, memberanikan diri membuka pintu kamar. Tangannya gemetar, dadanya berdebar. Namun sebelum sempat memutar kenop, pintu itu terdorong dari luar.
“Cklek—”
Daun pintu terbuka perlahan.
Seorang petugas hotel wanita masuk dengan senyum ramah. “Pagi, Nona. Saya membawakan sarapan untuk Anda,” ucapnya lembut, lalu melangkah ke arah sofa untuk menaruh nampan.
Kevia buru-buru menghampirinya, wajahnya penuh cemas. “Kak… apa Kakak melihat pria bermasker itu semalam?” tanyanya hampir berbisik, seolah takut ada yang mendengar.
Petugas hotel itu masih tersenyum, sopan, tapi jelas-jelas tidak mengerti. “Maaf, Nona. Saya tidak tahu. Saya hanya diminta mengantar sarapan dan memastikan kondisi Nona baik-baik saja.”
Kevia mengernyit, kebingungan makin dalam. "Diminta? Oleh siapa…?"
Belum sempat ia bertanya lebih jauh, suara berat seorang pria terdengar dari ambang pintu.
“Nona, silakan sarapan dulu. Setelah itu, saya akan mengantar Nona pulang.”
Kevia menoleh cepat. Sosok pria bertubuh kekar berdiri di sana dengan sikap sopan, namun tubuhnya tegap seperti pasukan terlatih.
“A-anda siapa?” suara Kevia bergetar, sorot matanya penuh waspada.
Pria itu menunduk hormat. “Tuan kami yang menyelamatkan Nona semalam… memerintahkan kami mengantar Nona pulang dengan selamat.”
Kevia menegakkan tubuh, menatap pria tegap di hadapannya.
“Siapa nama Tuan kalian?” tanyanya lirih, ada harap sekaligus cemas dalam suara itu.
Pria bertubuh kekar itu menunduk sopan, sorot matanya teduh namun tertutup rapat dari jawaban yang Kevia inginkan.
“Maaf, Nona… kami tak punya hak untuk memberitahu, kecuali Tuan sendiri yang mengizinkan.”
Seakan dipukul pelan, bahu Kevia merosot. Ia menunduk, kecewa.
“Aku hanya ingin berterima kasih…” bisiknya hampir tak terdengar.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Akan kami sampaikan.”
Usai sarapan, Kevia mengikuti langkah mereka. Betapa asing rasanya ketika pintu mobil mewah berkilau itu dibukakan khusus untuknya. Cahaya pagi memantul di permukaannya, seakan mengejek dirinya yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah berani membayangkan duduk di balik kursi elegan seperti itu.
Tangannya gemetar ketika menyentuh gagang pintu. Napasnya memburu. Mobil ini terlalu jauh dari dunianya. Dunia seorang gadis yang biasa berjalan kaki dengan sepatu murah.
Pintu menutup lembut. Kevia duduk di kursi belakang, tubuh mungilnya seperti tenggelam dalam balutan kulit jok yang wangi mahal. Dari kursi kemudi, pria bertubuh kekar itu menoleh perlahan. Tatapannya tenang, tapi menyelidik.
“Nona,” suaranya berat namun sopan, “kalau boleh tahu… mengapa semalam bisa berada di klub malam itu?”
Kevia tersentak. Dadanya menghentak cepat, wajahnya memucat. Jemarinya saling meremas di pangkuan, merobek sedikit kain tipis dress yang ia kenakan.
“A-aku… semalam dipaksa,” ucapnya terbata. “Dipaksa memakai gaun, sepatu, dan riasan… semua yang membuatku tak nyaman. Saudara tiriku… mengajakku ke pesta teman-teman sanggarnya. Tapi ternyata—” suaranya pecah, mata berkaca, “dia justru menyeretku ke klub… dan—dan hotel itu.”
Kedua bahunya bergetar, kepalanya menunduk dalam. Air matanya menitik, jatuh membasahi punggung tangannya sendiri.
“Dia sengaja meninggalkanku… dengan pria brengsek itu.”
Pria di depan memandang Kevia. Ada kegelisahan, ada trauma yang jelas terbaca. Ia berdeham pelan, berusaha menenangkan.
“Nona… jangan khawatir. Nona sudah selamat sekarang.”
Kevia mengangguk kecil, tapi wajahnya tetap tertunduk. Di balik getaran napasnya, pikiran lain justru mengamuk.
"Semalam… pria misterius itu telah menghajar pria brengsek itu. Bagaimana kalau dia melapor pada Riri? Gawat! Kalau aku pulang, aku pasti dihajar… dan Ibu—!
Lalu setelah semua ini… bagaimana kalau mereka benar-benar ingin menjualku lagi?"
Kevia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya makin gemetar. Di tengah kenyamanan yang berlebihan ini, ketakutan justru makin menjeratnya.
"Aku harus bagaimana?" batin Kevia, jemarinya bergetar di atas layar ponsel. Cahaya dari jendela mobil mewah itu terasa asing, terlalu terang untuk hati yang penuh ketakutan.
Dengan napas tersengal, ia mulai mengetik.
>Ayah… semalam aku hampir dijual. Tapi aku berhasil lolos. Ada seseorang yang menolongku. Tapi kalau aku sekarang pulang… Nyonya Rima pasti marah besar. Dan Ibu… Ayah, aku harus bagaimana?
Ia menekan tombol kirim. Layar ponsel berpendar sesaat, lalu sunyi kembali. Kevia memejamkan mata rapat-rapat, seolah berdoa agar pesan itu tidak sia-sia.
Di tempat lain, deru mesin kendaraan belum sepenuhnya padam ketika Ardi baru saja tiba di tempat kerjanya. Bunyi notifikasi singkat di ponselnya membuat langkahnya terhenti. Saat matanya membaca pesan itu, darahnya mendidih.
“Kevia…” desisnya, wajahnya tegang, jemarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Rima… kau benar-benar sudah melewati batas!"
Ardi menunduk, rahangnya mengeras. Selama ini ia hanya bisa menelan pahit, membiarkan dirinya dan keluarganya diinjak-injak demi satu hal, pengobatan istrinya, Kemala. Wanita yang sejak dulu selalu menjadi cintanya, satu-satunya alasan ia masih bertahan.
Ia menikahi Rima bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Perempuan itu menanggung biaya pengobatan Kemala, tapi dengan harga yang kejam. Ardi dan keluarganya terkurung di bawah obsesinya.
Mereka tinggal seatap, tapi jarak di antara mereka terasa lebih kejam daripada jurang. Ia tak bisa menyentuh istri dan putrinya. Setiap pertemuan diam-diam, setiap tatapan penuh rindu, bisa berujung pada siksaan Rima yang murka.
Dan kini, setelah semua yang ia korbankan, perempuan itu berani menyentuh putrinya?
Ardi mengepalkan tangan lebih erat, dadanya bergetar menahan amarah.
“Tidak lagi…” gumamnya, tatapan matanya membara.
Selama ini Ardi sudah mencari celah untuk menghancurkan usaha Rima. Namun betapa sulitnya. Wanita itu selalu mengawasi setiap langkahnya, seakan mengetahui apa pun yang ia rencanakan. Ia sadar, menjatuhkan Rima berarti sekaligus menjatuhkan dirinya dan keluarganya sendiri.
Bayangan itu berputar dalam benaknya: Kemala terbaring lemah di rumah sakit, menunggu cuci darah dua minggu sekali. Semua itu hanya mungkin terlaksana selama ia masih berada dalam genggaman Rima. Lepas darinya, ia tak yakin bisa menanggung biaya pengobatan Kemala.
Namun hari ini ia tiba pada simpulan: "Lebih baik aku menikmati sisa waktuku bersama Kemala dalam kesusahan… daripada terus hidup bersama Rima, tapi putriku yang menjadi tumbal."
Dada Ardi bergemuruh hebat, darahnya berdesir liar. Kemarahan yang ia pendam meledak begitu membaca pesan dari Kevia.
Jari-jarinya bergetar saat mengetik balasan, tapi tekadnya sudah bulat.
>Pagi ini mereka pergi ke spa. Kamu cepat pulang. Bereskan barang-barang kita diam-diam. Sebentar lagi Ayah akan pulang.
Kevia menatap layar ponselnya lama sekali. Hatinya mencelos. Ia tahu sulit lolos dari rumah itu. Berbahaya. Tapi ia tak sanggup melawan keputusan ayahnya. Meski satu bayangan terus menghantui.
Jika mereka pergi, siapa yang akan membiayai cuci darah Ibunya?
Air matanya menetes tanpa suara, namun ia menghapusnya cepat. Ia harus percaya pada ayahnya. Dan diam-diam ia bertekad.
"Apa pun yang terjadi, aku akan mencari uang sendiri. Aku akan berusaha demi nyawa Ibu."
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Rima baru saja menutup matanya, menikmati pijatan hangat di spa, ketika ponselnya berdering. Suara panik terdengar dari seberang.
“Bu… g-gudang terbakar!”
Matanya langsung terbuka lebar. "Apa?! Gudang terbakar?!"
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!