Langkah Jagat bergema di gang sempit yang lembab. Lampu jalan berkedip, sebagian padam, sebagian lagi memantulkan cahaya kuning pucat. Jaket hitamnya bau asap knalpot setelah seharian bekerja serabutan. Malam itu, punggungnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah semua hutang, tagihan, dan beban hidup menempel di pundaknya.
Sesampainya di rumah kontrakan, ia mendorong pintu kayu reyot yang berderit. Bau obat bercampur aroma bubur instan langsung menyergap.
“Aku pulang, Bu…” suara Jagat pelan.
Batuk kecil terdengar dari kamar dalam. Dari balik pintu, adiknya, Nadia, muncul dengan wajah pucat, rambut hitam panjangnya diikat seadanya.
“Mas, Bu dari tadi nanyain. Katanya jangan kerja sampai larut terus,” ujar Nadia cemas.
Jagat menaruh tas bututnya di kursi. “Kalau aku nggak kerja, besok kita makan apa?” jawabnya singkat, dengan senyum pahit.
Nadia menunduk. Ia tahu betul, sang kakak sudah berkorban banyak sejak ayah meninggal lima tahun lalu.
Di meja kayu, setumpuk tagihan listrik dan obat bertebaran. Jagat menatapnya sejenak. “Nad, gimana obat Bu?”
Nadia menghela napas. “Tinggal dua strip. Uang tinggal sedikit. Aku udah coba cari di apotek, tapi harganya naik lagi…” suaranya merendah, seperti merasa bersalah.
Jagat mengusap kepala adiknya. “Kamu jangan mikirin itu. Fokus sekolah aja.”
Tiba-tiba suara ibu mereka terdengar dari dalam kamar. “Jagat… sudah pulang, Nak?”
Jagat masuk ke kamar kecil yang lembab. Ibunya, Ratna, terbaring dengan selimut tipis, wajahnya pucat tapi tetap berusaha tersenyum. “Kamu capek sekali ya?”
“Biasa, Bu. Kerja seharian.” Jagat duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin.
“Kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri… nanti sakit,” Ratna menatap anaknya penuh kasih.
Jagat menggeleng. “Kalau aku berhenti, siapa yang jaga kalian?”
Air mata hampir menetes, tapi ia tahan. Malam itu, hanya suara jangkrik dari luar jendela dan dengungan lampu neon yang menemani percakapan mereka.
---
Keesokan harinya, Jagat berangkat kuliah. Kampus negeri itu letaknya di kota, lumayan jauh dari kontrakan. Naik motor butut peninggalan ayah, ia sering jadi bahan ejekan anak-anak kaya.
“Eh, si tukang servis lewat! Jangan lupa bawa obeng, Gat!” salah satu mahasiswa berjaket mahal tertawa bersama gengnya.
Jagat menunduk, menahan diri. Ia tak mau ribut. Fokusnya hanya kuliah, kerja, dan menjaga keluarganya.
Untung ada Bima, sahabatnya sejak SMA. Badannya tinggi besar, senyum ceria. “Santai, Gat. Mereka cuma iri otak lo encer.”
Jagat menepuk bahu Bima. “Iya, biarin aja.”
Di kelas, Jagat selalu jadi yang paling aktif. Profesor Bram, dosen robotik senior, sering menaruh perhatian khusus padanya.
“Jagat, kamu bisa bantu presentasi minggu depan? Saya ingin mahasiswa lain tahu cara berpikir kritis seperti kamu,” ucap profesor suatu kali.
Jagat mengangguk. “Baik, Prof.”
Ada kebanggaan kecil di hatinya. Meski miskin, setidaknya ia punya sesuatu: kecerdasan yang diwarisi dari ayahnya.
Namun, hidup tak pernah sederhana. Kekasihnya sejak SMA, Alya, kini makin menjauh. Di kantin, Jagat sempat melihat Alya duduk mesra dengan Reno, anak orang kaya yang sering meremehkannya. Senyum Alya yang dulu hanya untuknya, kini milik orang lain.
Bima menepuk meja. “Bro, lo harusnya marah.”
Jagat hanya menghela napas. “Percuma. Kalau dia bahagia sama orang lain, ya biar.”
Tapi hatinya perih.
---
Malam itu, Jagat pulang dengan kepala penuh beban. Ia masuk ke kamar kerjanya yang kecil, tempat ia biasa membongkar laptop rusak. Di sana, ada meja kerja tua milik ayahnya. Lacinya berdebu, sebagian sudah rusak.
Saat membersihkan, ia merasakan sesuatu aneh: sebuah laci ganda. Di balik kayu tipis ada lapisan besi.
“Apa ini…?” gumamnya.
Ia mengutak-atik, dan mendapati mekanisme tersembunyi. Laci terbuka, memperlihatkan tas kulit hitam yang tampak tua.
Nadia yang ikut masuk terbelalak. “Mas… itu tas Ayah, ya?”
Jagat membeku. Jantungnya berdetak keras. Ia tak pernah tahu ayahnya meninggalkan sesuatu.
Tangannya gemetar saat menyentuh tas itu. Ada kode kunci, tapi entah bagaimana, saat ia menyentuhnya, terdengar bunyi klik. Tas itu terbuka seolah mengenali dirinya.
Di dalamnya ada berkas-berkas tua, blueprint mesin, catatan tangan ayahnya tentang robotik, dan… sebuah kotak kecil dari logam. Kotak itu terasa dingin, dan di dalamnya ada flashdisk aneh dengan ukiran simbol asing.
“Mas… kok kayak barang dari film sci-fi gitu?” bisik Nadia.
Jagat hanya menatap benda itu, napasnya tercekat. Ia merasa seakan benda itu menunggunya.
,Jagat masih duduk menatap tas kulit hitam itu. Nafasnya berat, tangannya gemetar. Nadia menatapnya penuh tanda tanya.
“Mas… kok bisa tas ini ada di sini? Bukannya semua barang Ayah dulu disita?”
Jagat tak menjawab. Pikirannya melayang jauh. Ayahnya, yang dulu dikenal sebagai ahli robotik, meninggal lima tahun lalu dalam sebuah kecelakaan misterius. Sejak itu, hidup mereka berubah drastis—rumah disita, warisan hilang, dan keluarga jatuh miskin.
“Mungkin… Ayah sengaja nyembunyiin ini buat kita,” gumam Jagat lirih.
Malam itu, ia hanya bisa memandangi isi tas: kertas-kertas dengan coretan rumit, sketsa mesin mirip armor manusia, catatan tentang fusion energy dan nano-particle circuit. Semua terlihat seperti fiksi ilmiah.
Nadia menyentuh salah satu kertas. “Mas, aku nggak ngerti ini apa. Tapi… kayaknya penting.”
Jagat menepuk tangan adiknya. “Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia kita.”
---
Keesokan harinya di kampus, pikiran Jagat masih terpaku pada tas itu. Ia duduk di kelas robotik, tapi matanya kosong. Profesor Bram menyadari.
“Jagat, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya setelah kelas usai.
Jagat terkejut. “Eh… iya, Prof. Cuma… kurang tidur.”
Profesor menepuk bahunya. “Kalau ada masalah, kamu bisa cerita. Kamu mahasiswa paling berbakat yang saya punya. Sayang kalau pikiranmu terganggu.”
Ada kehangatan dalam kata-kata itu, seolah Profesor benar-benar tulus. Jagat menunduk. “Terima kasih, Prof.”
Namun, sebelum ia bisa keluar kelas, Reno—mahasiswa kaya yang suka merendahkannya—menyenggol bahu Jagat. “Eh, tukang servis, jangan kebanyakan mimpi. Blueprint yang lo coret-coret kemarin itu cuma sampah. Lo kira bisa bikin robot kayak di film? Jangan ngelawak deh.”
Jagat mengepalkan tangan, tapi menahan diri. Ia tahu Reno hanya ingin cari gara-gara.
Lebih menyakitkan lagi, di koridor ia melihat Alya—gadis yang dulu jadi pacarnya—berjalan bersama Reno. Mereka tertawa, dan Alya bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahnya.
Bima, sahabat setianya, muncul dari belakang. “Bro, lo kuat banget. Gue yang liat aja pengen nabok si Reno.”
Jagat tersenyum pahit. “Nggak ada gunanya. Aku punya urusan lain yang lebih penting.”
---
Malamnya, Jagat duduk kembali di meja ayahnya. Lampu redup membuat suasana semakin muram. Ia membuka satu persatu dokumen. Di beberapa halaman, tertulis kata-kata samar: “Project NOVA”.
“NOVA… apa ini maksudnya?” gumamnya.
Nadia datang membawa teh. “Mas, kamu belum tidur?”
“Belum. Aku nemu sesuatu…”
Nadia duduk di sampingnya, membaca coretan itu, tapi wajahnya bingung. “Aku nggak ngerti. Tapi kalau ini warisan Ayah… berarti penting banget kan?”
Jagat mengangguk. “Ya. Dan kita harus hati-hati.”
Saat ia memegang kotak logam berisi flashdisk aneh itu, tiba-tiba ada sensasi aneh: hangat, seperti ada denyut dari dalam benda kecil itu.
“Mas… kok aku merasa benda itu kayak hidup?” Nadia mundur sedikit.
Jagat menatap flashdisk itu. Ukiran di permukaannya memantulkan cahaya lampu redup. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
Malam semakin larut. Hanya suara detak jam dinding tua yang terdengar di ruangan. Lampu bohlam redup bergoyang karena angin yang masuk dari celah jendela. Jagat duduk sendirian di depan meja kerja ayahnya, menatap benda kecil yang kini seolah hidup di genggamannya.
Flashdisk itu berdenyut halus, seperti jantung yang berdetak. Cahaya biru samar muncul dari ukiran aneh di permukaannya. Jagat menggenggam lebih erat, napasnya tercekat.
“Apa sebenarnya ini…?” gumamnya.
Tiba-tiba, benda itu memancarkan cahaya kuat. Jagat refleks menutup mata, tapi sinar itu menembus kelopak matanya, hangat sekaligus menusuk. Ia merasa ada sesuatu yang memindai—mendeteksi, menelusuri.
Sebuah suara mekanis, tenang namun dalam, terdengar langsung di telinganya, meski tak ada orang lain di ruangan itu.
> “Identifikasi dimulai. Retina terdeteksi… cocok. Sidik jari… cocok. DNA… cocok. Subjek: Jagat. Inisiasi penggabungan: 1%.”
Jagat terperanjat. Ia hendak menjatuhkan flashdisk itu, tapi benda itu lebih dulu hancur—pecah menjadi debu bercahaya yang berputar-putar lalu menyusup masuk ke kulitnya.
“Arghhh!” Jagat menjerit. Rasa panas menyambar seluruh tubuh, seperti ribuan jarum menyuntikkan listrik ke dalam darahnya. Ia jatuh ke lantai, menggeliat, matanya terbelalak.
> “10%... 30%... 50%... penggabungan dalam proses.”
Napas Jagat terputus-putus, keringat bercucuran. Ia melihat urat-urat tangannya berpendar biru samar, seolah ada aliran energi asing yang masuk.
> “70%... 90%... 100%. Sinkronisasi berhasil. Penggabungan selesai.”
Suara itu berhenti. Semua cahaya padam. Jagat terbaring, tubuhnya lemas, namun masih hidup.
Sunyi. Hanya suara napasnya yang tersisa.
Kemudian, sebuah suara baru muncul, kali ini lebih lembut.
> “Selamat malam, Tuan Jagat. Saya adalah Nova—sistem kecerdasan buatan dari masa depan. Mulai saat ini, kita terhubung. Tugas saya adalah membimbing Anda.”
Jagat membuka mata, menatap ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tapi ketika ia mengangkat kepala, sebuah layar hologram transparan muncul di depannya. Hanya dia yang bisa melihatnya.
Di layar itu muncul tulisan bergerak, seperti sistem permainan.
---
[NOVA SYSTEM – STATUS AWAL]
Nama: Jagat
Level: 1
Kelas: Host Nova AI
Kondisi: Tubuh tersinkronisasi penuh (100%)
Energi Dasar: 10/10
Skill Awal:
Sinkronisasi Neural (aktif)
Akses Hologram Pribadi (aktif)
Analisis Data Dasar (aktif)
Quest Utama:
Menguak Warisan Ayah.
Menemukan Laboratorium Rahasia.
Bertahan Hidup.
---
Jagat menatap layar itu dengan mata lebar. Jantungnya berdetak tak karuan. “Apa… apa ini? Sistem game?”
> “Ini bukan permainan, Tuan. Ini adalah warisan. Dan mulai sekarang, hidup Anda tidak akan pernah sama lagi.”
Jagat terdiam. Hanya suara dengung listrik dari hologram itu yang mengisi ruangan. Dadanya naik turun cepat. Antara takut, bingung, dan kagum.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu—malam itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Jagat masih terbaring di lantai kamarnya. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Semua terasa nyata, terlalu nyata untuk disebut mimpi. Di depan matanya, layar hologram transparan melayang, menampilkan status yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia mencoba mengangkat tangannya. Jari-jarinya bergetar, tapi samar ia melihat urat-urat tangannya masih berpendar biru, lalu perlahan meredup. Seolah aliran listrik yang baru saja masuk kini meresap dalam darahnya.
“Ini… gila.”
> “Tidak, Tuan. Ini nyata. Integrasi selesai. Anda resmi menjadi host sistem Nova.”
Jagat sontak terduduk. “Siapa?! Siapa yang bicara?!”
> “Saya. Nova. Artificial Intelligence dari masa depan. Mulai saat ini, saya akan mendampingi Anda.”
Suara itu bergema jelas di telinganya, tapi ia tahu—tidak ada orang lain di ruangan itu. Nadia dan ibunya tertidur di kamar lain. Hanya dia yang bisa mendengar suara ini.
Jagat menepuk pipinya. “Aku… nggak gila, kan?”
> “Fakta: Anda sehat. Sinkronisasi sukses. Level awal tercatat. Jangan khawatir, Tuan. Saya bukan halusinasi.”
Jagat mengusap wajahnya. “Ya Tuhan… jadi ini beneran.”
Hologram status tadi berkedip lagi. Deretan data mengisi udara di hadapannya, seolah ia menatap layar komputer masa depan. Tangannya refleks mencoba menyentuhnya, dan anehnya… hologram itu merespons. Ikon bergerak sesuai arah jarinya.
Jagat tercengang. “Jadi kayak… layar sentuh? Di udara?!”
> “Proyeksi personal. Hanya bisa dilihat oleh Anda. Orang lain tidak akan bisa melihat ini.”
Jagat menatap sekeliling, memastikan Nadia tak mengintip. “Kalau begitu… rahasia ini cuma aku yang tahu.”
> “Benar, Tuan. Dan Anda harus menjaganya. Sistem ini adalah warisan sekaligus senjata. Jika bocor… akan jadi bencana.”
Jagat terdiam. Kata “bencana” membuat dadanya kian berat.
Keesokan paginya, Jagat bangun lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya masih lemas, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa lebih ringan, lebih segar. Bahkan sakit kepala yang biasanya muncul setelah lembur kerja semalam, kini tidak ada.
Saat ia bercermin, matanya membesar. Ada kilatan samar biru di pupil matanya, hanya sekilas, lalu hilang.
“Nggak mungkin….” gumamnya.
Nadia mengetuk pintu. “Mas, kamu bangun? Bu nyariin.”
Jagat buru-buru menutup hologram yang masih melayang. Aneh, tapi cukup dengan pikirannya berkata “tutup”, hologram itu padam.
“Iya, Nad! Sebentar lagi keluar!” serunya.
Ia menghela napas panjang. Rahasia ini tidak boleh diketahui siapa pun, bahkan keluarganya sendiri.
Di meja makan kecil, ibunya tersenyum melihat Jagat. “Hari ini wajahmu cerah sekali, Nak. Apa ada kabar baik?”
Jagat hanya tersenyum hambar. “Ah, cuma mimpi aneh semalam, Bu. Bikin aku tidur nyenyak.”
Nadia menatap curiga, tapi tak banyak bertanya.
Namun, di dalam kepalanya, suara Nova kembali berbisik.
> “Perhatikan baik-baik, Tuan. Tubuh Anda sudah meningkat 15% lebih kuat dari sebelumnya. Reaksi biologi meningkat. Waktu regenerasi lebih cepat.”
Jagat hampir tersedak roti bakar. Ia berusaha tetap tenang di depan ibunya. “Nad, kamu makan yang banyak. Bu, jangan lupa minum obat.”
Tapi di dalam hati, ia bergemuruh. Ini bukan sekadar mimpi. Nova nyata, dan perubahan sudah terjadi.
Siang itu, Jagat berdiri di halaman kampus dengan keringat bercucuran. Ia baru saja selesai latihan fisik ringan di lapangan basket yang sepi. Sejak pagi, tubuhnya terasa berbeda—lebih gesit, lebih kuat.
“Coba, Tuan,” suara Nova terdengar lembut di telinganya.
> “Ambil bola itu, lempar dengan tenaga biasa, lalu perhatikan jaraknya.”
Jagat mengangkat bola basket yang agak kempis. Ia menarik napas, lalu melempar pelan. Bola itu meluncur jauh lebih cepat dari biasanya, menghantam papan pantul dengan suara keras hingga memantul tinggi ke udara.
Mata Jagat membelalak. “Aku cuma lempar biasa, tapi kok kayak dilempar atlet profesional…”
> “Tubuh Anda sudah dimodifikasi. Tenaga otot meningkat 20%. Refleks 30%. Ini baru tahap awal.”
Jagat terdiam. Jantungnya berdebar. Ada rasa senang, tapi juga cemas. Kalau orang lain tahu, apa yang akan terjadi?
Di koridor kampus, Bima memanggilnya. “Bro! Dari tadi ke mana? Gue cari-cari!”
Jagat mengangkat tangan. “Baru aja olahraga.”
Bima menepuk bahu sahabatnya. “Wajah lo kayak habis nemu emas. Ada apa?”
Jagat tersenyum kecil. “Nggak ada. Cuma lagi banyak pikiran.”
Namun, sebelum mereka bisa ngobrol lebih jauh, Reno datang bersama dua temannya. Reno menatap sinis. “Wah, si miskin udah berani tampil pede, ya?”
Bima melangkah maju. “Reno, jangan mulai. Lo nggak capek ngusik orang?”
Reno terkekeh. “Gue cuma heran, orang kayak lo, Gat, bisa betah di kampus ini. Lo nggak malu? Pacar lo aja sekarang milik gue.”
Kata-kata itu menusuk, tapi Jagat menahan diri.
“Udah cukup, Ren,” jawabnya tenang.
Namun, Reno malah mendorong bahunya keras. Refleks, Jagat menahan tubuhnya—dan yang terjadi membuat semua orang kaget. Reno terhuyung, padahal dorongannya biasa saja. Jagat berdiri tegak seolah tak merasakan apa-apa.
Bima melongo. “Bro… lo nggak goyang sama sekali.”
Jagat panik. Ia buru-buru mundur, pura-pura salah langkah. “Eh, gue nggak sengaja. Ayo cabut, Bim.”
> “Refleks pertahanan aktif. Tubuh Anda menyesuaikan secara otomatis,” suara Nova berbisik dalam kepalanya.
Jagat menunduk, wajahnya tegang. Ia sadar, kalau tidak hati-hati, rahasia ini bisa terbongkar.
Malamnya di rumah, Nadia sedang belajar di ruang tamu. Ia menatap kakaknya yang termenung.
“Mas, kamu kenapa? Dari tadi diem terus.”
Jagat tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Mas cuma mikirin tugas kuliah.”
Nadia menghela napas. “Mas jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau ada masalah, cerita ke aku juga nggak apa-apa.”
Jagat menepuk kepala adiknya. “Kamu fokus sekolah. Biar aku yang urus semuanya.”
Tapi di dalam hati, ia bergemuruh. Apa yang terjadi pada tubuhku? Dan kenapa aku yang dipilih?
Malam itu, rumah terasa lengang. Angin malam menyusup lewat jendela kamar Jagat, membuat tirai bergetar. Ia duduk di depan meja kerja ayahnya yang sudah lama tak tersentuh. Laci bawah terbuka, di dalamnya masih ada tas kulit tua—tempat ia menemukan flash disk siang tadi.
Pelan-pelan Jagat mengeluarkan isi tas. Ada dokumen lusuh, buku catatan penuh coretan rumus, dan sebuah foto ayahnya bersama seorang pria paruh baya yang tak ia kenal. Di pojok foto tertulis: “Proyek Orion – untuk masa depan manusia.”
Jagat menggenggam foto itu erat. “Ayah… apa sebenarnya yang kau sembunyikan dari kami?”
> “Data terdeteksi. Memulai pemindaian.”
Suara Nova membuat Jagat tersentak. Dari buku catatan, muncul garis-garis cahaya, membentuk hologram biru.
Layar transparan melayang di udara—hanya Jagat yang bisa melihatnya. Ada blueprint robot setinggi dua meter, dengan catatan: Robo V1 – Exoskeleton Prototype.
Jagat menahan napas. “Ini… baju besi?”
> “Benar. Prototipe pertama. Dikerjakan ayah Anda atas saran versi awal saya. Namun proyek dihentikan setelah ancaman eksternal muncul. Tugas Anda adalah melanjutkannya.”
Jagat menunduk, jari-jarinya gemetar. “Tugas? Aku bahkan belum siap untuk diriku sendiri, Nova. Aku cuma mahasiswa miskin yang—”
> “Anda adalah kunci. DNA Anda adalah kode utama untuk membuka laboratorium tersembunyi. Tanpa Anda, semua data akan tetap terkunci selamanya.”
Jagat membuka lembaran terakhir buku catatan. Ada tulisan tangan ayahnya:
“Jika kau membaca ini, berarti waktuku sudah habis. Jangan takut, Nak. Ilmu pengetahuan bisa menjadi pedang dan perisai sekaligus. Gunakanlah untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan. Dan jangan pernah biarkan siapapun merenggut kebebasanmu.”
Air mata menetes tanpa sadar. Jagat meremas kertas itu.
“Ayah… aku janji. Aku akan teruskan ini. Aku akan temukan siapa yang membuatmu pergi terlalu cepat.”
Layar hologram berganti tampilan. Kini ada peta 3D sederhana, menyorot sebuah titik merah di luar kota.
> “Lokasi terdeteksi: Rumah tua kakek Anda, di desa Lamongan. Koordinat telah ditandai. Misi awal: akses laboratorium rahasia. Status: URGENT.”
Jagat mengangguk. “Jadi di sana semua jawaban menunggu…”
> “Benar. Tetapi hati-hati. Sinyal pengawasan terdeteksi. Ada pihak lain yang masih memburu data ini.”
Jagat menutup tas itu dengan perasaan campur aduk. Malam semakin larut, tapi dadanya berdegup cepat.
Ia menatap ke luar jendela, seolah bayangan malam menyembunyikan mata-mata yang mengawasinya.
“Nadia… Ibu… Aku harus kuat.”
Dan tepat sebelum lampu kamar padam, suara Nova kembali bergema:
> “Inisiasi Quest Pertama dimulai. Bersiaplah, Jagat. Dari langkah ini, jalanmu menuju balas dendam… dan penyelamatan bumi, telah dimulai.”
Jagat terbangun dengan sensasi yang membuatnya ragu apakah ia masih di tubuh yang sama. Udara pagi terasa jernih hingga ia bisa membedakan bau sabun cuci piring dari dapur, wangi minyak kayu putih di kamar ibu, bahkan debu tipis yang tertiup dari ventilasi. Saat menurunkan kaki ke lantai, keseimbangannya begitu sempurna sampai-sampai gerakan kecil saja terasa presisi. Ia menatap kedua telapak tangan, membaliknya, dan merasakan kilau halus seperti denyut listrik yang merambat pelan di bawah kulit.
Sebuah bolpoin tergelincir dari tepi meja. Dulu, benda jatuh selalu terlihat sebagai satu kilat gerak, kini seperti dibentangkan dalam bingkai-bingkai lambat. Tangannya bergerak tanpa perintah panjang, mencubit udara, dan bolpoin mendarat di jemarinya. Jantungnya berdegup. “Apa barusan…?”
Refleks meningkat tiga puluh dua persen, kata suara itu—datang begitu jelas tanpa menembus udara. Tenang, datar, dan seolah sudah mengenal semua denyut di tubuhnya. Penggabungan berhasil. Tubuhmu mulai menyesuaikan dengan nanobot.
“Nova?” Jagat menoleh ke kanan-kiri, lalu menepuk pipi sendiri. “Kau beneran ada?”
Aku ada di dalammu. Hanya kau yang bisa mendengar. Kau bisa memanggilku kapan saja.
Ia mengembuskan napas panjang, setengah tak percaya, setengah ngeri. “Jadi yang semalam… bukan mimpi.”
Nyata. Dan kau akan merasakan banyak hal berbeda. Tapi jangan gegabah. Tubuhmu masih rapuh bila dipaksa.
Bau nasi goreng menyelinap dari dapur. Di meja makan, ibunya sudah duduk bersandar, bibirnya tersenyum kecil walau pucat. Nadia mondar-mandir mengambil piring, rambutnya disanggul seadanya.
“Pagi, Mas,” sapa Nadia. “Kok keliatan seger banget? Biasanya habis lembur mukamu kayak habis di-setrika.”
“Tidurnya lumayan,” jawabnya, menahan canggung.
Ibu menatap dalam-dalam, ada kehangatan sekaligus kekhawatiran di situ. “Kamu sehat, Nak? Jangan terlalu dipaksa kerja. Ibu—”
“Bu, tenang. Aku baik-baik aja.” Ia cepat memotong, takut nada suaranya bergetar dan membocorkan sesuatu yang bahkan ia sendiri belum paham.
Dalam kepalanya Nova berkomentar seperti catatan klinis: denyut nadi naik. Kau takut rahasiamu terbongkar.
“Mas?” Nadia mencondongkan tubuh. “Jangan-jangan jatuh cinta, ya?” Ia menyengir nakal.
“Ngaco.” Jagat pura-pura melotot. “Sarapan sana.”
Tawa ringan mengambang di ruang sempit itu. Nasi goreng sederhana, teh panas, dan bunyi sendok menyentuh piring mengisi kekosongan yang biasanya diisi kekhawatiran. Jagat memperhatikan dua orang yang paling ingin ia lindungi. Dalam hati ia berjanji, apa pun yang terjadi, rahasia ini akan ia jaga demi mereka.
Setelah sarapan, ia kembali ke kamar, menutup pintu pelan. Dada naik turun stabil, tapi ada kegaduhan kecil di balik ketenangan itu: rangkaian pertanyaan yang saling menyalip. “Nova, jawab jujur: aku ini… masih manusia?”
Secara biologis, ya. Nanobot hanya mengoptimalkan sistem. Kau bukan mesin. Tapi kau juga bukan manusia biasa lagi.
Ia menatap bayangannya di cermin: wajah yang sama, tapi tatapan yang lain. Ada fokus baru di sana, sesuatu yang mengunci dunia di satu titik dan menajamkan tepinya. “Kalau begini, aku harus tahu batasnya.”
Ia keluar ke halaman belakang yang sempit. Matahari belum tinggi. Ia berdiri tegak, menekuk lutut, lalu mengambil tiga langkah lari ringan. Tanah gang terasa memantul, sepatu bututnya menghantam permukaan dengan ritme yang membuatnya tersenyum—tubuhnya bergerak seperti musik yang tiba-tiba hafal notasi sendiri. Ia sprint pendek. Nafasnya stabil padahal biasanya di jarak segitu ia sudah menelan udara terburu-buru.
Coba lompatan vertikal, kata Nova. Jagat menelan ludah, menekuk lutut lebih dalam, dan melompat. Ujung jemarinya menyentuh puncak tembok semen yang tingginya nyaris dua meter. Ia mendarat; lututnya sedikit bergetar, tapi tak ada rasa perih seperti kebiasaan.
“Ini luar biasa,” gumamnya, antara kagum dan ngeri.
Bukan luar biasa. Terukur. Peningkatan efisiensi otot 18%, distribusi energi otot-otot besar 11%. Namun peringatan: jangan memaksa. Adaptasi organ internal perlu waktu.
“Kalau kupaksa?”
Risiko mikrorobekan jaringan, aritmia ringan, pusing. Kau ingin kuat, bukan tumbang.
Ia tertawa kecil—tegang. “Iya deh, dokter.”
Di sudut halaman ada batu bata retak. Iseng, ia menggenggamnya. Tekanan pelan bertambah… retakan melebar… “Jangan, jangan…” katanya pada diri sendiri, lalu melepaskan. Batu itu selamat. Ia meniup tangan, sedikit malu pada imajinasi yang barusan berharap bisa meremukkan sesuatu.
Ada suara sandal diseret dari depan. Nadia muncul di pintu belakang, mengangkat alis. “Mas ngapain ngelihatin bata kayak musuh bebuyutan?”
“Mediasi damai,” katanya enteng.
“Kalau bata bisa jawab, pasti dia minta ganti rugi,” Nadia cekikikan, lalu menuruni dua anak tangga.
“Mas, tadi Ibu batuknya lumayan. Nanti jam sepuluh aku dampingin ke puskesmas ya?”
“Iya. Aku antar sekalian sebelum kuliah.”
Mata Nadia mencari-cari sesuatu di wajah kakaknya. “Mas…”
“Hm?”
“Entah kenapa, rasanya Mas beda. Bukan cuma segar. Kayak… fokus banget.”
“Banyak pikiran.” Ia mengangkat bahu. “Tugas, kerjaan, tagihan.”
Nadia menghela napas. “Kapan ya hidup kita santai?”
“Suatu hari,” kata Jagat, pelan tapi yakin—lebih yakin daripada yang ia maksudkan—karena ada suara lain yang, anehnya, membuat keyakinan itu terdengar wajar.
Saat mengantar ibu ke puskesmas, ia memeriksa kecepatan langkahnya, cara tubuhnya menyeimbangkan beban saat memapah. Semua terasa presisi—sebuah koreografi yang kemarin tak ada. Di meja pendaftaran, ia bicara sopan, mengurus antrean, sementara Nadia memijat punggung ibu. Ketika giliran masuk, ia menunggu di kursi dengan kaki gelisah, menatap daftar biaya di papan: angka-angka yang selama ini menjadi musuh tak terlihat.
Kau bisa memperbaiki cara dudukmu, bisik Nova. Beban punggung bawah kurang baik. Ia bergeser sedikit—dan rasa pegal kronis yang biasanya menempel tiba-tiba mengendur. Ia melirik ke kiri-kanan, merasa lucu karena dirinya “disetir” oleh sesuatu yang tak bisa dilihat siapa pun.
Dalam perjalanan pulang, Nadia memeluk lengan ibu. “Mas, nanti aku masak sup. Buat tenaga.”
“Boleh,” kata Jagat. “Nanti aku bantu potong bawang.”
“Jangan banyak gaya. Nanti bawangnya protes.”
“Bawang nggak punya serikat buruh,” Jagat membalas. Mereka bertiga tertawa kecil; itu bukan humor besar, tapi cukup untuk mengusir pagi yang terlalu serius.
Setelah makan siang sederhana—sup yang terlalu banyak air tapi hangat di perut—Jagat duduk di depan meja kerja ayahnya. Laci, kertas-kertas, goresan pensil tua: semuanya seperti jejak yang sengaja dibiarkan untuk seseorang yang seharusnya mengerti. Ia mengusapi permukaan kayu, membayangkan tangan ayahnya menulis rumus, menggambar sambungan, menimbang keputusan yang akhirnya membuat mereka jatuh miskin.
“Kalau kau di sini, Ayah… apa kau setuju?” bisiknya. “Anakmu berubah jadi sesuatu yang belum ia pahami.”
Tidak ada jawaban selain bunyi kipas tua. Nova yang menanggapi: ayahmu memahami risiko. Ia menyiapkan banyak hal, tapi beberapa hanya bisa diakses olehmu. Kau kunci terakhir.
Jagat bersandar. “Kunci yang belum mengerti pintu.”
Pintu itu ada. Dan kita akan ke sana.
Ia menutup mata sebentar, mendengar detak jantungnya yang tenang. Saat membuka mata, jam dinding sudah melewati angka dua. Kuliah sore menunggu. “Nova,” katanya pelan, “kalau di kampus nanti ada yang cari gara-gara… apa aku harus diam?”
Gunakan kekuatanmu seperlunya. Tujuan kita bukan membuktikan otot, melainkan membuka jalan. Dan ingat, ada indikator pengawasan di radius lingkungan ini.
“Pengawasan?”
Pola komunikasi tak lazim. Bukan warga biasa. Kemungkinan—mata yang memantau.
“Sejak kapan?”
Beberapa hari. Intensitas berubah sejak penggabungan.
Ia berdiri, menelan ludah. Ada rasa ingin menantang, tapi juga rasa ingin menutup semua tirai dan menghilang. “Kalau mereka mengawasi,” katanya, “berarti aku harus bertingkah normal.”
Itu strategi yang baik. Normal adalah penyamaran terbaik.
Ia mengganti baju, merapikan rambut, memeriksa tas kuliah yang selalu terasa terlalu ringan untuk menanggung harapan keluarga. Sebelum keluar, ia menengok kamar ibu. Ratna tertidur, napasnya berat namun ritmenya stabil. Nadia duduk di lantai dengan buku catatan, menulis sesuatu—mungkin tugas sekolah, mungkin daftar belanja.
“Mas berangkat dulu,” katanya.
Nadia mengangkat tangan, tersenyum. “Pelan di jalan.”
Di ujung gang, ia menyalakan motor. Mesin tua itu protes dulu sebelum akhirnya pasrah hidup. Jagat menarik gas, menyeberang jalan, dan di kaca spion ia melihat pantulan seorang lelaki berkacamata duduk di warung kecil, menatap ponsel, pura-pura tidak melihat ke arah rumahnya. Jagat menahan pandang. Normal adalah penyamaran terbaik, ulangnya dalam hati, dan motor pun meluncur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!