NovelToon NovelToon

Pura-pura, Menjadi Istri Tuan Muda Calvino

BAB 1—PPMITMC

HAPPY READING

_______________________________

Rintik hujan di batas jalan adalah denah alam yang memaparkan bahwa tangisan semesta baru saja reda, menghantarkan seorang gadis cantik berwajah lusuh dengan mata sembab.

Wajahnya cantik, namun ia redup, suaranya sayu tak bertenaga, tiap jejak yang dia ayunkan adalah nyanyian emosi yang meluruh di hatinya—Caroline Damanik Dzansyana berjalan mendayu menitikkan sendu di batas-batas jalan kota.

"Bulan ini aku harus mendapatkan uang sebanyak dua miliar untuk pengobatan ibu yang telah koma sepanjang tahun ini," rengek sendu Caroline terdengar lebih lemah dibanding rintihan angin sehabis hujan tadi.

Gadis bermata almond itu awalnya adalah anak paling beruntung, setelah keluarganya tiada pasca kebakaran hebat belasan tahun lalu, sang ibu angkat mengadopsi dan merawatnya dengan sangat baik.

Tidak kekurangan materi ataupun kasih sayang, sejak usia tiga tahun. Namun, roda berputar dalam sekejap, Kanzha Dzansyana mengalami kecelakaan hebat tahun lalu, dan harus terbaring koma di rumah sakit hingga saat ini.

Caroline menangguhkan dirinya demi pengobatan sang ibu angkat, dia melangkah bagai menyeret rantai besar di ke-dua kakinya, setiap langkah terasa penuh beban, dia merangkak masuk ke sebuah restoran besar di ibu kota.

"Mau sampai kapan kamu terus bersikap kekanak-kanakan seperti ini, Calvino!" Jeritan seorang wanita terdengar menggelegar dari tengah ruang restoran itu.

Kedatangannya ke sana untuk bekerja, sejak beberapa bulan lalu, Caroline memutuskan bekerja double untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pengobatan, tetapi hari ini sepertinya gadis ini harus melewati pertikaian dulu sebelum masuk ke dapur.

Kerumunan manusia berkumpul menghalangi pandangan, Caroline yang layuh bergerak lambat sambil memakaikan masker ke wajahnya untuk menutupi setengah penampilan yang dia kira lusuh akibat tangisan sepanjang jalan.

"Ada apa ini?" keluhnya mengerutkan wajah seraya menyelinap ke depan di antara puluhan pengunjung restoran, "Apa yang terjadi?"

Seorang pria terduduk santai di kursi, tatapannya tenang, tetapi ia tajam penuh ambisi, bersandar bagai tak terjadi apa-apa, di sisi lain seorang wanita berpakaian modis tersungkur penuh luka membiru.

Di antara mereka ada seorang wanita cantik, kulitnya putih kemerahan bergaun sek si warna merah padam, dia menggenggam sebuah gelas dengan penuh emosi. "Cukup! Aku capek! Bisa gak sehari aja kamu jangan berulah!" pekiknya meregangkan otot tangan hingga lehernya menegang.

"Ini udah wanita yang entah ke berapa di minggu ini, apa kamu gak capek, terus-terusan selingkuh dariku, hah?!" tambahnya tersengal-sengal karena terlalu marah.

Yang dia dapatkan hanya jawaban tawa meremehkan dari lelaki itu. Pria berpunggung tegap nan gagah mulai beranjak dari kursi, dia sibak rambut ke belakang, lalu berjalan ke depan yang kemungkinan besar adalah istrinya.

"Selingkuh?" serunya dengan suara mendayu bak pria nakal, "Bangun, Sayang," tambahnya menarik ujung bibir menyulam senyum di sana.

Perlahan dia mundur usai membenamkan dua tangan ke dalam saku celana. "Jangan menganggap diri kamu adalah istri sesungguhnya," jawabnya ketus.

Senyum yang semula berada di sana, seketika memudar tatkala sorot mata menghunus. "Kamu gak akan bisa menggantikan istriku, dan jangan mengusikku, paham!" berangnya menyipitkan mata.

"Kamu hanya wanita yang dipaksa masuk ke hidupku dan aku membencimu! Aku gak akan sudi menyentuhmu layaknya seorang istri!"

Wanita itu memberang, dia menegang di tengah tangisan, tubuhnya yang bergetar, pelan-pelan merangkak mendekati laki-laki pemilik hunter eyes di depannya, tatapan bingung lagi kesal menghantui dengan luas.

Disodorkan gelas dalam genggaman ke hadapan Calvino Vandzani Harmoine—nama pria itu. "Kenapa?" rintihnya menyedihkan.

"Kenapa kamu begitu mencintai mendiang istrimu, sampai aku gak bisa menggantikan posisinya, dan sekarang ...," sambungnya lirih.

Sejenak dia menoleh ke belakang, memastikan wanita yang sudah dia habisi tadi masih terengah-engah di sana, meratapi luka-luka yang dia torehkan di tubuh wanita mal*m itu.

"Kamu memilih bersama wanita ren da han kayak dia!" bentaknya mengarahkan telunjuk ke arah wanita itu.

Lantang suara wanita itu membidik rasa takut yang dimiliki wanita di sana, wanita berlumur luka itu mengerjap sambil tertatih-tatih dia merangkak meminta pengampunan. "Maafkan saya Nyonya, saya gak akan menerima job dari suami Anda lagi, tolong lepaskan saya, Nyonya."

Rintih wanita itu sepanjang dia merangkak mendekati kaki wanita dari istri lelaki bernama Calvino, wanita itu mendekap kaki Nyonya Calvino dengan tubuh bergetar. "Ampuni saya ...."

Bugh!

"Aarght ...." Tubuhnya terhempas saat wanita itu menepis dan menendang dada wanita tersebut.

Dia terguling dan menggelinding ke tengah. Semua orang tercengang, lebih anehnya Calvino tetap diam dengan dingin ekspresi wajahnya, sesekali dia mendelik ke arah istrinya.

Lantas dia mendengkus. "Kamu tahu, kenapa aku membencimu?" urai Calvino membidik ke arah istrinya.

"Karena kamu gila, orang udah ma ti gak akan hidup lagi. Mau sampai kapan kamu terpenjara masa lalu," sarkas wanita itu.

Degh!

Mengguncang hati Calvino yang mulai mereda. Pria bertubuh tinggi sekitar 189 cm itu terguyur api amarah, dia berbalik dengan rahang mengeras. "Yuzdeline Barbara!" sentak Calvino menggeser tubuh istrinya sedikit menjauh.

Angin yang membentang seketika membeku, seolah merasakan ketegangan yang terjadi di sana, Calvino semakin mendekat dan tak segan dia mencekik istrinya di depan semua orang.

Spontan semua yang ada di sana menjerit. "Arght ...."

"Istriku akan selalu hidup!" bentaknya tepat di depan mata Yuzdeline, "Wanita sam pah kayak kamu, gak akan pantas menggantikan istriku yang luar biasa!"

Grepp!

Cengkeraman di leher Yuzdeline semakin mengerat. "Arght ..., Cal-vi-no ..., lepaskan! A—" Wajahnya memerah nyaris keunguan.

Uhuk-uhuk.

Bola matanya tegang. Mulut terbuka, mencari oksigen lebih banyak dibanding sebelumnya dimana tangannya bersusah payah menarik cengkeraman Calvino meregang darinya.

"A—"

Sh it!

Calvino mengerutkan hidung, lantas dia melempar istrinya ke sisi. "Aarght ...." Tubuh kecil Yuzdeline berguling ke sisi kanan, tetapi dia tidak terjatuh.

"Jangan pernah mengungkit soal istriku lagi. Aku membencimu, aku akan buat kamu paham, kalau posisi kamu tidak lebih dari tumpukan beban yang tak bernilai," sarkas Calvino tak pernah memikirkan kata-kata lebih baik dari ini.

Yuzdeline tersengal karena oksigen baru saja memasuki rongga secara perlahan, dengan mata merah, wanita itu bangkit. "CUKUP ...!"

AARGHT ...!

Kembali Yuzdeline mengamuk. Dia menjerit histeris sambil menjambak rambutnya sendiri, berputar dan melompat kecil ditambah mengacak-acak kursi, meja dan beberapa botol, piring serta gelas yang ada di atas meja di sekitarnya.

Calvino menjeling tak peduli, dia memerhatikan kemarahan itu dengan senyuman sinis, berbeda dengan pengunjung di sisi mereka, keadaan ini mencekam, ingin melangkah pun agak segan, takut jika mereka menjadi sasaran.

Berbeda dengan Caroline, gadis bermata dessert itu bergerak cepat dari kerumunan, menerobos mereka semua dan menghentikan keributan. "Stop ...!"

Teriakan Caroline menjeda angkara murka dari Yuzdeline, meski cemas dirinya yang akan menjadi sasaran, gadis ini tetap melangkah ke depan, semua itu atas perintah langsung dari atasannya.

Semakin dibiarkan pertikaian ini berlangsung, maka pengunjung restoran bisa pergi satu per satu. Caroline berdiri di tengah keributan. "Jika kalian punya masalah pribadi, tolong selesaikan di rumah kalian," tegas Caroline mendelik ke sisi Calvino.

Sekelumit pandangan menerjang Yuzdeline yang tertunduk penuh amarah. "Restoran ini tempat semua orang melegakan dahaga lapar dan haus, bukan tempat pertikaian kalian, tolong pergi jika kalian masih ingin melanjutkan pertengkaran ini."

Semoga ini berhasil menghentikan mereka. Aku harus bekerja, dan gak ada waktu untuk menonton drama rumah tangga ini. Juga gak peduli apa yang terjadi dengan mereka. Batin Caroline menggerutu.

Atmosfer menghening.

Pengunjung perlahan meluruh, kembali ke kursi mereka masing-masing. Dipikir Yuzdeline cukup berbudi untuk mendengar larangan dari gadis kecil ini, namun nyatanya ....

Dia mendongak dan menunjukkan wajah memprihatinkan-nya pada Caroline. Hidungnya mengkerut sambil menyeret sebuah botol dari tangannya. "DIAM! BED*BAH!"

Shuut ....

Sebuah botol beling melayang ke hadapan Caroline.

Arght ....

To be continued ....

BAB 2—PPMITMC

HAPPY READING

_______________________________

Caroline tergemap. Dia membulat, tegang menatapi botol beling itu mendekat ke arahnya. Karena terkejut, dia menjadi terdiam dan tidak bertindak.

Kejadian itu terlalu mendadak untuk membuatnya sadar dalam waktu singkat, sebaliknya Calvino terperangah melihat aksi gila istrinya.

Bergegas dia berlari ke hadapan Caroline, memblokir botol itu dengan mendekap gadis di depannya dengan erat.

Bugh!

Botol itu menghantam punggung Calvino, meluruh jatuh dan pecah di belakangnya.

Prang!

Seketika Caroline terpejam, menciut dalam dekapan Calvino. "Arght ...!"

Degh, degh, degh ....

Entah perasaan apa ini? Caroline merasa ada ikatan mendalam antara dirinya dengan Calvino, hatinya berdebar—menaruh pemikiran yang membingungkan.

Seakan dia telah mengenali Calvino sebelum pertemuan ini, perlahan dia mendongak dan Calvino menurunkan pandangan.

Pertukaran pandangan terjadi selama beberapa detik. Has rat menghantui ke-duanya, tatapan mereka terkunci secara utuh—ia berbinar, seakan tengah menyampaikan sesuatu.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Calvino lembut.

Namun, hunter eyes lelaki itu membuat Caroline menciut. Dengan kaku dia mengangguk. "Kenapa Anda tidak berkata selembut ini pada istrimu?"

Calvino mengangkat alis dengan wajah miring. "Jangan ikut campur."

Degh!

Ah benar. Caroline menunduk dan segera menjauh, dia berlari meninggalkan keadaan ricuh di sana, sejenak dia melirik ke arah Yuzdeline.

Apa ini?

Apa yang terjadi?

Caroline mematung di posisinya yang sedang melangkah menuju dapur, dia terperangah saat dia sadar jika wajahnya dengan Nyonya Yuzdeline memiliki kemiripan yang cukup identik.

Gadis bertubuh ramping itu terengah-engah, bingung. "Impossible."

Pelan-pelan dia menarik masker menuruni wajah, tertahan di bawah dagu. Detik itu Yuzdeline yang tengah berusaha meredam emosi, mendongak, tersendat.

Yuzdeline terkunci. Dia perlahan menganyam langkah, mengikis jarak dengan keberadaan Caroline saat ini. "T-this..., is too weird." (I-ini..., aneh sekali)

Sementara Calvino melangkah keluar dari restoran, tidak menyaksikan apa yang terjadi di belakangnya, dengan demikian dia melewatkan kejadian penting itu.

Meninggalkan restoran yang telah menjadi arena pertarungannya dengan sang istri, menumbalkan wanita yang dia bayar untuk menemaninya malam ini.

Calvino masuk ke mobil dengan santai, seakan tidak ada yang terjadi. Itu semua karena dia terbiasa melakukannya, tak terhitung Yuzdeline menghajar wanita-wanitanya.

Lalu dia pulang dengan perasaan biasa saja. Calvino terkekeh sambil menatap bangunan megah restoran tersebut. "Wanita itu semakin gila," katanya menyunggingkan senyum.

Sambil menyalakan mesin mobil, pria berkulit langsat itu menekankan tatapan ke atas kemudi dalam genggamannya. "Tapi malam ini cukup menyenangkan," sambungnya dibarengi tawa, nakal.

Sesekali dia menekuk leher ke kiri dan kanan secara bergantian, diiringi dengan leher diputar secara berkala, kemudian dia memutar lidah dalam mulut.

Pedal gas ditarik, dan mobil melaju meninggalkan area restoran. Mobil mewah hitam itu mengarungi jalanan sunyi malam ini, selepas hujan, jalan menjadi lebih tenang.

Calvino menyandarkan punggung sambil membawa kendaraan dengan perasaan campur aduk, dia teringat kata-kata Yuzdeline mengenai istrinya.

Istrimu udah meninggal tiga tahun lalu, dan kamu masih terpenjara masa lalu?

Mau kamu nangis darah sekalipun dia gak akan pernah kembali.

Lupakan dia Calvino! Coba buka hati kamu untuk orang lain, jangan terbelenggu kesedihan terus menerus.

Arght!

Lautan kata-kata terus menjadi gemuruh di pikirannya, Calvino kalut, dia menancap gas sampai laju kendaraan itu di luar batas wajar.

"Yuzdeline si a lan ...!" pekik Calvino meremas kemudi.

Mama dan papa terlalu serakah! Mereka sepertinya sedang membalas dendam padaku.

Mereka gak terima kalau perusahaan pusat jatuh ke tanganku, bukan ke tangan mereka, sehingga mereka memasukkan Yuzdeline ke hidupku.

Batin Calvino tidak berhenti mengerang.

Mengutuk kehidupannya selama tiga tahun terakhir ini, banyak hal yang dia lalui tanpa kehadiran sang istri—Karmelita Syevita. Hidup dalam tuntutan dan perintah yang tak berujung.

Terkadang Calvino berpikir. Apakah dia benar anak kandung dari ke-dua orangtuanya atau bukan? Pasalnya pria tampan ini selalu dituntut menjalin hubungan pernikahan karena koneksi perusahaan.

Bahkan saat menikahi Karmelita, orangtuanya tidak begitu setuju, karena dianggap keluarga mendiang istrinya tak begitu menguntungkan untuk keberlangsungan perusahaan keluarga mereka.

"Kalau mama dan papa bisa melarangku menikahi Karmelita waktu itu, bahkan mereka membuat hidup Karmelita menderita saat aku gak ada, maka akan aku buat wanita pilihan mereka menderita juga," tekad Calvino menambahkan kelajuan kendaraan dalam kendalinya.

***

"Yuzdeline, di mana suami kamu? Jangan sampai kamu gak berhasil membawanya pulang lagi, ingat perjanjian kita, kamu harus bisa membuat Calvino kembali seperti semula, fokus bekerja dan berhenti bermain gak berguna dengan para wanita murahan di luar sana," tegur seorang wanita angkuh di balik panggilan telepon.

Rasanya telinga Yuzdeline terbakar, membara sampai hatinya mengguruh, kesal. Dia mendelik dengan perasaan geram.

Lantas dia sandarkan punggung ke wastafel kamar mandi restoran itu. "Nyonya Marisa, Anda harus tahu, kalau anak Anda itu bener-bener gila, aku nyaris kehilangan akal menghadapinya setiap hari," kesal Yuzdeline berada di pucuk amarah.

"Itu tugas kamu. Saya mendukung bisnis keluarga kamu itu untuk membuat anak saya kembali normal seperti dulu, banyak proyek besar yang harus ditanganinya, lakukan pekerjaanmu dengan baik," bantah wanita paruh baya itu di sana.

Normal? Yuzdeline menggeram mendengar hal itu. Hampir mustahil membuat Calvino bersikap normal seperti sedia kala, bagaimana hal itu bisa terjadi, jika pria berwatak keras itu hanya tunduk pada mendiang istrinya.

Calvino adalah pria cerdik yang selalu memperjuangkan hak-nya, dia menurut hanya untuk mengamankan posisi untuk mendukung kehidupan, juga melindungi sang istri kala itu.

Namun, saat ini, Calvino telah kehilangan Karmelita selamanya, tidak ada alasan baginya untuk menurut pada orangtua yang tidak pernah merasa puas.

"Aku menyerah," erang Yuzdeline berhadapan dengan pantulan dirinya di kaca.

Semula tertunduk, lantas dia mendongak, memandangi wajah cantiknya di pantulan kaca wastafel, dia mengelokkan wajah ke kiri, kemudian dia alihkan ke arah lain.

Siluet wajah itu dia pandangi dengan saksama, dia pasati rahang, bibir, bentuk mata, hingga alis serta keseluruhan wajahnya yang cantik berkulit agak kemerahan. "Gadis koki itu ..., sangat mirip," cetusnya menatap serius ke depan.

"Nyaris tidak ada perbedaan di antara kami, hanya sikapnya terlalu polos dan murni, terlihat lebih ceroboh dan penuh perhatian," tambah wanita itu seraya menyipitkan mata.

Ini gila! Tapi ..., aku gak sanggup. Nyonya Marisa terlalu berambisi untuk membuat anaknya tunduk dan patuh agar bisa membantunya menjalankan bisnis seperti sebelumnya.

Sedangkan anaknya kalut, Calvino gak akan pernah bisa melupakan mendiang istrinya, cara kekerasan sekalipun gak akan bisa menahannya untuk kembali normal, Calvino dipenuhi emosi dan kemarahan.

Batin Yuzdeline bertekad atas pemikiran yang masih dia pertimbangkan.

"Aku harus melakukan sesuatu. Bagaimanapun caranya, aku bisa bebas dan kembali pada Ken, tanpa meninggalkan perjanjian yang udah aku tandatangani dengan orangtuanya," paparnya berparas serius.

Drrrt ....

Berselang beberapa saat dari sejak dia meninggalkan kamar mandi restoran, wanita itu menekan sebuah nomor dan menelepon seseorang dari nomor tersebut. "Halo, saya punya pekerjaan untuk kalian, cepat datang ke restoran Itali di sudut kota."

Apa yang akan dilakukannya?

Dan siapa yang dia telepon?

Matanya mengerling penuh intrik, ditambah senyum tipis yang menyimpan banyak arti, yang jelas Yuzdeline sedang merencanakan sesuatu tergila demi melarikan diri selama beberapa saat dari kehidupan Calvino.

To be continued ....

BAB 3—PPMITMC

Caroline menguap sambil menarik dua tangan yang terjalin ke atas, meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku akibat bekerja sepanjang malam.

Gadis bertubuh kecil dengan tinggi kurang lebih 172 cm itu melangkah keluar dari bangunan restoran, sesekali dia menekuk leher ke kiri dan kanan secara bergantian.

Sambil berkacak pinggang dia menatap langit malam berkabut dingin. "Malam ini cukup panjang, aku mau tidur panjang sampai pagi, lanjut cek coffee shop sampai jam sebelas siang, lanjut kerja lagi di sini, huh ...," keluhnya memberengut.

Aktifitasnya setiap hari benar-benar melelahkan. Tubuh sekecil itu harus menampung beban sebesar dunia, dia tidak bisa mengelak, apalagi mengeluh untuk melarikan diri.

Inilah kehidupan Caroline yang harus dihantui kebutuhan yang terus berkurang sepanjang waktu, meski memiliki coffee shop milik ibunya, dia tetap harus bekerja untuk memenuhi sisanya.

"Caroline, tadi kenapa kamu kayak patung waktu ketemu sama istri salah satu pelanggan kita." Tiba-tiba suara itu menegur Caroline dari belakang.

Terkesiap sudah gadis berpakaian kaos crop top dengan cutbry pants hitam di sana, dia melompat sambil menoleh ke belakang. "Ya Tuhan ..., kamu ini ngagetin tahu, gak," keluhnya membulatkan mata sambil menyeka dada yang berdebar.

Wanita berprofesi koki dessert itu tersenyum. "Maaf."

"Jadi, kenapa kamu kayak orang kaget banget gitu, apa yang terjadi?" sambungnya mengulang pertanyaan sebelumya.

Apakah ..., jika dia berkata jujur, hal ini menguntungkan baginya atau malah menjadi bumerang? Caroline dibuat termangu karena hal tersebut.

Ekor mata mencari celah jawaban untuk mangkir dari kejujuran, Caroline kemudian tersenyum dan menggeleng. "Enggak masalah, aku cuman kaget karena dia tiba-tiba menyerangku."

"Oh ..., gak masalah. Di restoran hal semacam ini sering banget terjadi, kamu juga sering menemukan hal seperti ini coffee shop punyamu, 'kan?"

Caroline termenung, menjelajahi ingatan yang telah tertelan masa. Mengangguk setelah beberapa saat dia diam tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Gadis dengan berat badan sekitar 49 kg itu menggelengkan kepala, guna membunuh pikiran-pikiran buruk yang selalu berhasil menghambat berbagai macam kerjaannya.

"Aku pulang duluan, ya, kamu hati-hati," pamit Caroline meninggalkan rekannya di depan gedung restoran.

Mengambil jalan biasa, lebih banyak lampu taman, berjajar dengan jarak kurang dari satu meter per lampu taman, Caroline berjalan di atas trotoar khusus pejalan kaki.

Pohon-pohon besar yang menghitam kala langit menggelap tak luput dari lampu warna-warni—menambah kesan manis di setiap jalan itu.

Sepanjang jalan Caroline masih memikirkan tentangnya juga Nyonya tadi, matanya memicing sebagai aksi berpikir, dia tengah menerawang beberapa kemungkinan yang terjadi.

"Kembar?" serunya mengerutkan alis dengan wajah agak miring ke kanan, "Tapi ..., aku diadopsi dari panti asuhan sama ibu, kata Ibu Kanzha ...," ucap Caroline menguncupkan bibir.

Memutar ke kanan dan ke kiri secara bergantian, dia melakukan gerakan tak berarti itu hanya sekitar lima sampai sepuluh detik sambil merajut langkah.

Langkah yang diayunkan nampak mengambang, seolah dia melayang di atas permukaan aspal, Caroline berhenti ketika dia berada di lampu taman ke lima belas.

'Ibu mengadopsi kamu saat usia kamu masih tiga tahun, dan itu setelah delapan bulan kamu ada di panti asuhan, kamu satu-satunya bayi yang usianya masih kecil, orangtua kandung kamu meninggal dunia karena kebakaran.'

'Keluarga kamu aslinya tinggal di apartemen tertinggi di wilayah Jakarta Barat, tapi apartemen itu kebakaran dan ke-dua orangtua kamu meninggal dunia, dan gak ada keluarga yang menjemputmu.'

Tentu saja Caroline mengingat dengan sangat baik asal-usulnya, dari mana dia didapatkan, di mana dia dilahirkan atau bagaimana dia berakhir menjadi anak angkat seorang janda tanpa anak—Kanzha Dzansyana.

Caroline menghentakkan kaki menegaskan ingatan yang membersit di sana. "Iya! Aku diadopsi sama Ibu saat usia tiga tahun, dan aku gak ada kembaran, tapi ..., kenapa dia mirip banget sama aku?" urai Caroline masih membingungkan kemiripan wajahnya dengan Yuzdeline.

"Ibu mengatakan itu saat aku SMP, aku gak hilang ingatan," cetusnya lagi, "Aku harus kasih tahu Hanna, aku harus bergosip sama sahabatku," sambung Caroline.

Bersicepat gadis cantik pemilik long wavy hair—hitam mengkilat itu melakukan panggilan telepon dengan Hanna Luzmanita—sahabat terbaik yang dia miliki dari sejak bangku SMP.

Panggilan telepon bergetar selama beberapa detik, mengguncang gelisah yang tidak pernah bisa diredam.

Tuk'

Panggilan telepon akhirnya terangkat, setelah dua menit lamanya Caroline menunggu. "Han, Han, Hanna ..., ada berita besar dan ini aneh banget," sambar Caroline penuh antusias.

Kekeh kecil terdengar mendayu di telinga. "Apa ...? Kamu ketemu pangeran berkuda emas?" sahut Hanna di balik panggilan telepon tersebut.

"Ck, bukan ..., yang ada bukan pangeran berkuda emas, tapi titisan Serigala yang lagi pms sepanjang waktu," timpal Caroline, asal.

Yang dimaksud gadis bermata almond itu adalah Calvino, meski pertemuan mereka singkat, namun cukup membekas di hati, di samping itu, ada getaran bermakna yang sulit diterjemahkan mengguncang jiwanya.

Tergelak sudah Hanna di seberang panggilan telepon, sahabat satu-satunya dari Caroline itu terkekeh, tak kuasa mendengar jawaban absurd dari gadis yang berdiri di hadapan lampu taman sambil menggantung satu tangan di pinggang.

"Kamu ini Lin, bisa banget jawaban absurd-nya."

Caroline mencebik, kemudian dia mendengkus sambil mendelik. "Udah itu gak penting, ada hal yang lebih penting dari itu," katanya kembali serius.

"Apa? Ada masalah dengan Ibu Kanzha?" sahut Hanna terdengar bulat di telinga Caroline.

"Aku bertemu kembaranku di restoran tempatku bekerja," cetus Caroline secara langsung.

"Hah?!" seru Hanna setengah lantang, "Kembaran gimana ceritanya? Kamu 'kan gak punya kembaran, maksudnya gimana, sih, ini?" cecar Hanna menuntut kejelasan cerita tersebut.

Inilah yang dipikirkan Caroline sepanjang dia merajut langkah menyusuri jalan tersebut. Sembari memberengut, gadis itu menendang-nendang lampu taman di hadapannya, tidak keras, hanya hentakkan kecil nan lembut.

Digigit bibir bawah sambil menerawang kembali kemungkinan fakta tentangnya dengan Nyonya Yuzdeline. "Eum ..., aku juga bingung, yang jelas tadi waktu aku gak sengaja masuk ke pertengkaran suami-istri seorang pengunjung, dan istri dari pengunjung itu mirip banget sama aku," terang Caroline membayangkan bagaimana kejadian tadi berlangsung.

Hatinya berdebar kembali, berdebat dengan banyak hal yang memenuhi isi kepala, napasnya tersengal ketika dia merasakan keterkejutan yang hebat sesaat setelah dua pasang mata itu tak sengaja dipertemukan.

"Semirip apa?" Hanna penasaran, dia kembali bertanya untuk memastikan kejelasan cerita tersebut.

"Saking miripnya, aku seperti sedang melihat diriku di pantulan kaca," timpalnya dengan penuh keyakinan.

Sring.

Aroma apa ini? Ia harum seperti mawar segar menyebarkan serbuk mewanginya, ia berkelana bersama angin menyimpan serbuknya di hidung sang empunya, melekat familiar di ingatan.

Caroline terdiam, kaku. Mengelilingi area sekitar untuk mencari tahu, aroma apa yang dia hirup di sana. "Aku merasakan aroma itu lagi, Han, aroma yang selalu hadir di mimpi setelah ...."

Brum ....

mobil mewah hitam melintas tak bertenaga, ia melaju dalam ketenangan. Seorang lelaki di dalamnya melirik ke arah kiri dimana Caroline berada, masih menendang-nendang lampu tangan sambil menggerutu.

Degh!

Rasa yang dikenal, tapi tak tahu maksudnya. Calvino selalu merasakan perasaan ini, namun ia selalu mengabaikan dan membiarkan perasaan itu memudar tanpa ingin tahu, mengapa rasa seperti ini selalu datang dan pergi sesuka hati.

"Sepertinya para wanita malam ini sedang dalam mode sumala. Seperti wanita itu, kayak orang gila aja, ngobrol sama lampu taman, sambil nendang benda mati," gerutu Calvino tetap menjalankan kendaraan tanpa memedulikan keberadaan Caroline di tengah kegelapan.

Belum sampai dia ke ujung jalan, lelaki gagah itu tiba-tiba menghentikan kendaraannya, matanya membulat, tajam. "Wait?" Spontan dia menoleh ke belakang untuk mengamati sosok wanita tadi, dia hanya merasa mengenalinya.

To be continued ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!