NovelToon NovelToon

JODOH WASIAT DEMANG

BAB 1

Selamat membaca tulisan sederhana saya yang berjudul Jodoh wasiat Ki Demang

Jangan lupa follow, subscribe, komen dan vote ya

dikasih give juga boleh kok

Makasih

Happy Reading para pembaca setia

***

Sudah tujuh hari ini, Mas Arga pergi dari rumah tanpa pamit atau disini biasa disebut Purik. Mara yang hanya sendirian di rumah sangat kelimpungan mengurusi ketiga buah hatinya

"Aku sudah nggak kuat dengan keadaan ini Tuhan Bapak sudah tiada. Kini orang tua telah tiada. Mas kandung mulai terlihat sisi aslinya. Sikapnya padaku seakan aku ini adalah orang lain. Bukan saudara perempuannya. Saat ini mas Arga, suamiku, yang harusnya menjadi pelindung keluarga malah pergi dari rumah dan sekarang dia entah dimana, meninggalkanku bersama tiga orang anak yang masih membutuhkan sosok ayah. Apa lebih baik aku melepaskan pernikahan ini ya Tuhan. Aku lelah," batin Mara dalam hati seraya melihat jalan dari dari isi jendela di kamar depan dengan tatapan kosong. 

Tapi Mara masih teringat nasihat itu almarhumah Emaknya sebelum meninggal lima tahun yang lalu. 

"Nduk kalau bisa menikah itu hanya sekali untuk seumur hidup. Kalau bisa, diusahakan jangan sampai bercerai karena kamu tahu cerai itu sifat yang bisa menurun. Bila orang tuanya bercerai kelak anaknya juga akan ada yang bercerai. Itu nasihat orang dulu. Terserah itu akan kamu pakai atau tidak. Tapi orang dulu menamai itu ilmu Titen. Tetaplah bersabar dalam rumah tangga. Yang penting suamimu baik, menafkahi, tidak ringan tangan, tidak main perempuan, itu sudah lebih dari cukup. Dia juga menunggumu cukup lama. Tujuh tahun itu bukan waktu yang sebentar hanya untuk menunggu perempuan biasa sepertimu. Seharusnya Arga bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari kamu. Toh ia juga keturunan priyayi. Penduduk sini siapa yang tidak kenal dengan Kakeknya Arga," jelas Emak dengan lembut. 

"Aku tahu Mak siapa mas Arga dan siapa keluarganya makanya aku rela pergi jauh agar  bisa lupa dan dia mendapat pasangan yang lain. Tapi apa? Dia malah mencariku entah gimana caranya. Karena mungkin sudah jodoh. Sejauh apa pun kita pergi. Sejauh apapun kita menghindar. Sejauh apapun kita tidak menginginkan kita akan tetap bersama. Bukankah kita tinggal menjalani garis nasib yang diberikan oleh Tuhan? Bukankah seperti itu Mak?" Jawab mara pada sang Emak. 

"Tetaplah menjadi wanita shalihah. Aamiin,"kata Emak. 

Mara tak terasa meneteskan air mata di pipi saat ia teringat almarhumah Emaknya.Ia kerapkali teringat padanya, terutama saat seperti ini. Saat ia mendapatkan banyak masalah. Meskipun mengingat Emak sekejap saja, membuat hati Mara sedikit tenang. 

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tanda sudah waktunya anak-anak melakukan persiapan tidur malam

"Mbak Cantik, tolong adiknya diantar dan ditemani dikamar mandi ya. Ibu menyiapkan tempat tidurnya," ucap Mara pada Putri sulungnya, Anisa. 

"Iya Bu."

"Terima kasih."

Tak lama kemudian mereka sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Mara masih mau bersama kedua anaknya yang masih kecil-kecil hingga mereka terlalu terlelap. Mara berusaha menghalau perasaan gelisah dalam hati dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali dengan pelan hingga tak terasa ia telah tidur dan terbawa ke alam mimpi. 

Mara bermimpi seolah waktu kembali ke Tahun 1700 an

Ki Demang. Itulah masyarakat dan khalayak umum memanggil namanya. Panggilan yang menyebutkan jabatan seseorang. Dalam mimpiku, Ki Demang tak menyebutkan siapa nama lengkapnya. Ia hanya berbisik lirih padaku, cucunya yang saat ini tengah memimpikannya.

"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah keturunan selir kerajaan Mataram Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan ini yang berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak," ucap Mbah Demang padaku.

Mbah Demang (karena belum menjadi demang, beliau bernama asli Raden Soemitro) hanya seorang Putra dari seorang selir Kerajaan Majapahit yang tidak berniat menjadi seorang Demang atau menjadi pejabat pemerintahan apapun dalam masa kolonial Belanda karena ia sudah merasa jengah dengan kondisi yang berkaitan dengan pemerintah. Ia hanya bercita menjadi manusia biasa tanpa kekuasaan apapun. Ia ingin menjadi orang biasa dan merasakan kehidupan orang dewasa biasa. Kadang ia begitu tidak tega melihat ibunya yang bergelar selir seorang raja secara materi memang berkelimpahan. Tapi secara batin, hanya seorang wanita yang tahu bagaimana rasanya bila suaminya bisa berbagi dengan perempuan yang jumlahnya lebih dari tiga. Kadang bisa ratusan atau bahkan hingga ribuan selir.

Melihat itu, Raden Soemitro rasanya hancur melihat kenyataan bahwa ternyata ibunya adalah seorang yang dijual oleh rentenir pada kerajaan karena orang tuanya yang memiliki hutang yang berakhir dengan bunga yang sangat tinggi. Belum lagi persaingan antar para selir raja dan anak selir yang begitu sangat keji yang kerapkali berakhir dengan pembunuhan atau pembuangan ke pulau lain. Bila termasuk selir yang dicintai oleh raja, masalah itu bisa diusut tuntas. Tapi, bila tidak. Masalah seorang selir  hanya akan dianggap sebagai angin lalu.

"Biyung, Dalem namung pengen dados tiyang biasa. Dalem pengen pindah ke Ngrowo punapa Balitar utawi Kadiri," matur Raden Soemitro. 

"Oalah Ngger. Gak po po. Inilah resiko menjadi selir Raja. Raja juga telah tiada. Sekarang kerajaan Majapahit juga telah runtuh. Selir juga pontang panting mau kemana. Kalau selir itu anak bangsawan mungkin tidak akan menjadi soal karena ia akan kembali ke rumah. Kalau biyung, tak tahu akan kemana. Kedua orang tua juga sudah tidak tahu rimbanya. Biyung akan disini. Jikalau thole mau pergi, pergilah. Jangan terlalu jauh dari Japan. Pilih ke Kediri saja. Bila sudah mapan, biyung tolong dijemput yo nggerrr. Maaf Biyung merepotkanmu," ucap Mbah Selir dengan meneteskan air mata di depan putra semata wayangnya. 

"Welinge Biyung, mulailah belajar ilmu agama Islam karena saat ini mulai peralihan dari zaman Majapahit ke zaman kerajaan Demak. Usahakan memiliki identitas seorang pribumi dan beragama Islam agar tidak ada hal yang berbau unsur kerajaan. Kita simpan jati diri asli agar kita tetap aman di dalam kondisi yang belum metentu seperti ini," tambah simbah selir. 

"Inggih Biyung. Sendiko dawuh," jawab Raden Soemitro dengan penuh hikmat. 

Seorang jongos tampak datang sambil bersimpuh di hadapan Raden Soemitro. 

"Jangan seperti itu kalau di depanku. Aku tidak suka. Ada apa?" Tanya Raden Soemitro pada jongos yang bernama Paijo tersebut.

"Dalem ingkang mboten saged. Punika wonten pepiling  bilih Raden Soemitro diutus menghadap Putra selir 1 wonten Puri Kedaton sak meniko," ucap jongos dengan tegas.

"Ada sesuatu?"selidik pemuda itu.

"Dalem mboten mangertos Raden Sumitro."

"Inggih. Mohon sampaikan ke Kang Mas Raden Putra selir I, aku akan segera bersiap dan akan datang ke Puri Kedaton," terang Raden Soemitro pada Mas Jongos. 

Bila ada surat panggilan dari putra selir I, itu biasanya ada sesuatu hal yang sangat penting. Entah itu menyangkut sisa kerajaan Majapahit atau perpindahan kekuasaan yang akan tergabung dengan pemerintah kolonial Belanda atau akan berkolaborasi dengan kerajaan Demak yang juga merupakan keturunan wangsa Majapahit. Ada apa gerangan dengan Raden Soemitro sehingga beliau dipanggil oleh Putra Selir I? 

Ngrowo: Tulungagung

Balitar: Blitar

Kadiri : Kediri

Japan : Mojokerto

Puri kedaton: pusat pemerintahan

Jongos: pelayan, abdi dalem kerajaan

Biyung : Ibu

Dalem : saya, aku

BAB 2

Raden Sumitro berjalan dengan gamang menuju Puri Kedaton. Ia terlihat sangat was-was dengan apa yang akan disampaikan oleh Putra Selir I. Bila Putra sudah memberikan sebuah mandat berarti bukan hanya sebuah perintah. Namun akan tetapi juga harus dilaksanakan dalam waktu yang singkat.

Setibanya di Puri Kedaton, Raden Sumitro memposisikan tubuhnya bersimpuh menghadap Putra Selir I yang tengah duduk di atas singgasana sambil berjalan dengan bersimpuh hingga didepannya berjarak kurang lebih tiga meter. Setelah tepat di depan Putra selir I, Raden Soemitro mengatupkan kedua tangannya hingga ke depan wajah untuk menyalami kakak tertuanya tersebut. 

"Bagaimana kabarmu dimas Raden Sumitro?" tanya Putra Selir I pada adiknya. 

"Dalem sehat Kang Mas," jawaban Soemitro pada kakaknya berbeda ibu tersebut. 

"Selir ke delapan puluh enam?"

"Inggih sehat."

"Saya memintamu kesini untuk memberikan mandat jabatan Demang di Kadiri bagian Timur padamu, Dimas Raden Soemitro untuk menggantikan Demang sebelumnya yang telah meninggal dunia karena beliau telah berusia lanjut dan memiliki sakit keras."

"Tapi Kang Mas. Bukannya saya menolak untuk menjadi demang di Kadiri. Tapi kondisi saat ini Ibu Selir ke delapan puluh enam sudah sepuh. Tidak memungkinkan bagi saya untuk bolak-balik dari Kadiri ke Japan setiap hari untuk menengok keadaan ibu sendiri setiap hari ibu selir yang sudah sepuh disini."

"Ibu Selir ke delapan puluh enam kersa derek?"

"Saya belum menanyakan itu Kang Mas."

"Nanti mohon kamu sampaikan pada ibu selir ke delapan puluh enam, Apakah ibu selir berkenan pindah ke Kadiri? Bila ibu selir berkenan, bawalah ia dimas. Hanya engkau yang dimilikinya saat ini. Mohon rawatlah ibu selir di dengan baik. Bila ada yang menyangkut dengan ibu selir, tolong segera kabari kami. Kami akan mengirimkan tabib terbaik padanya."

"Inggih kang Mas."

"Ini surat mandat untukmu. Segeralah berkemas. Besok dini hari, pada pukul satu pagi. Semua pembekalan dalam keberangkatan ke Kadiri akan segera kami persiapkan. Semua peralatan untuk perjalanan serta kebutuhan selama di sana. Bila Ibu selir berkenan ikut, mohon segera kirim berita padaku agar aku bisa memberikan pedati terbaik untuk beliau. Mohon sampaikan salamku padanya."

"Inggih Kang Mas. Dimas mohon izin pamit."

Raden Soemitro mengulangi cara pulangnya seperti cara datangnya tadi. Tapi berganti arah ke belakang.

Sesampainya di kediaman Selir ke delapan puluh enam, Raden Soemitro bergegas memasuki ruangan itu guna menemui biyungnya. Setelah saling berhadapan, ia mengatakan hasil musyawarah tadi saat di Puri Kedaton.

"Biyung, besok dini saya dipindah ke Kadiri sebagai demang yang baru disana. Saya hanya ingin bertanya pada biyung, jenengan akan tetap di sini atau akan ikut bersama Dalem besok dini hari?" tanya Raden Soemitro pada biyungnya. 

"Biyung akan ikut bersamamu. Entah itu nanti rasanya nyaman ataupun tidak, tapi bila bersamamu, biyung akan merasa tenang."

"Ya sudah. Nanti aku akan menyampaikan pada Kang Mas Putra selir I bila Jenengan ikut serta bersama Dalem ke Kadiri. Beliau juga kirim salam dari Jenengan."

"Iya terima kasih. Aku akan segera berkemas. Tak sabar rasanya aku keluar dari istana ini."

Ibu selir mulai mengemasi baju yang ia butuhkan selama di Kota baru Ia hanya memilih baju dengan corak yang biasa saja baju dengan corak yang terlihat mewah terutama pemberian raja kala ia  dIangkat menjadi seorang selir serta saat proses malam pertama, ia simpan dalam sebuah kotak besar. Ia menatanya dengan sangat apik kemudian menutup kotak itu seakan membayangkan ia menutup semua masa lalu. 

"Kanda Maharaja, sungguh aku tak pernah menyesal menjadi selirmu. Tapi aku tak berani masuk ke dunia ini lagi. Ternyata dunia selir itu begitu menyakitkan. Hanya saling menjegal di sana-sini, saling menjatuhkan, saling menghina seakan kita tidak memiliki martabat. Saat di hadapanmu, mereka begitu baik. Tapi apakah Jenengan tahu saat di belakang, mereka seperti apa? Bagaikan musang berbulu domba. Seperti teman memegang belati. Maharaja, rasanya sakit sekali. Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan selama ini padaku juga pada Sumitro, buah cinta kita," ucap Selir dalam diam. 

Di kamarnya Raden Sumitro juga mulai mengemasi bajunya. Ia mengumpulkan semua bajunya di karung goni. Ia akan meletakkan goni itu di dekat dermaga dan mengirimnya melewati jalur Sungai Brantas karena bawaannya pasti sangat banyak. Tak enak rasanya bila membawa peralatan terlalu banyak dan sedangkan jumlah pasukan yang hanya terbatas. Malah ia ingin membawa itu sendiri semua keperluannya tanpa merepotkan orang lain. 

"Aku sebenarnya tahu maksud Putra selir I seperti apa? Aku tahu seminggu lagi akan banyak sekali tes yang akan diadakan oleh VOC karena mereka banyak sekali membuka lowongan kerja khusus para putra raja dan selir se nusantara. Aku juga mendengar kabar bahwa aku akan yang dipindah ke Demak atas permintaan Raja Demak sendiri, tapi aku harus mengundurkan diri dan harus memikirkannya kembali sebelum melakukan itu. Aku yakin semua saudaraku pasti tidak suka karena aku mendapatkan keutamaan ini. Mereka juga tidak akan terima. Aku juga akan dikatai tidak pantas mendapatkan ini semua karena aku hanyalah anak Selir ke delapan puluh enam. Harusnya mereka anak selir di urutan satu sampai sepuluh yang mendapatkan keuntungan itu semua. Aku lebih baik menerima tawaran ini saja. Pertama untuk jauh dari Japan. Yang kedua aku ingin hidup tenang di desa dengan tentram bersama biyungku. Hanya itu saja ingin dan citaku saat ini," ucap Soemitro dalam hati.

Sementara itu, di sisi Puri Kedaton...

"Hahaha dasar si bodoh Sumitro. Dia nggak tahu kalau sedang disingkirkan karena sebentar lagi akan ada pemilihan gubernur, Bupati secara besar-besaran dari VOC. Dia juga tidak tahu kalau dia itu diutus oleh Sultan Demak untuk pindah ke sana. Aku dengar kabar itu sudah dua hari ini. Tapi surat mandat itu belum sampai ke Japan. Makanya sekarang kudahului. Dia aku mutasi ke Kadiri. Jadi demang saja, dia sudah kelihatan senang sekali. Apalagi nanti Bupati. Malah denger-denger dia mau jadi gubernur. Mana boleh seorang putra selir nomor ke delapan puluh enam prestasinya melewati kakak-kakak sendirinya. Ora Wangun. Ora pantes. Ora luwes. Kudune ora koyo ngono kuwi," seloroh Putra Selir I dengan para adiknya.

"Pancen goblok Soemitro. Podo koyo ibune. Ibune iku kesayangan raja tapi akhire karo Ibu selir liyane disuruh bertempat tinggal diluar istana karena itu tempat favorit Raja. Padahal disuruh keluar istana agar tidak ketemu dengan Raja maneh dan Raja ora jatuh cinta. Tapi ibune Sumitro iku meneng wae. Ora membantah babar blas. Ibune iku wae bodo. Apalagi anaknya. Tambah mendo," seloroh putra selir satunya yang disertai dengan gemuruh tawa para putra selir yang ada diruangan itu.

BAB 3

"Raden, saya ke sini karena diutus oleh Putra Selir I untuk menanyakan apakah ibu selir ke delapan puluh enam ikut ke Kadiri atau tidak. Bila Ibu selir ikut, mohon sampaikan hal itu pada saya agar bisa saya sampaikan pada Raden Mas Putra selir I," kata Paijo, abdi dalem kerajaan yang selama ini telah menemani Raden Soemitro melewati hari- hari di istana kerajaan sambil menangis tersedu.

"Loh, kamu kok nangis tho Jo?"

Paijo menatap Raden Soemitro dengan tatapan penuh air mata. Ia sungguh tidak ingin kehilangan raden yang begitu disayanginya.

"Raden Mas ajeng pindah dateng Kadiri. Lajeng Dalem di Japan kaliyan sinten? Dalem pengen derekaken Raden Mas kaliyan Ibu Selir dateng Kadiri."

" Jangan ikut saya Paijo. Di Kadiri itu tidak mudah. Saya hanya sendiri sama ibu selir. Tidak ada abdi dalem sama sekali. Kami akan mengerjakan semua kebutuhan rumah sendiri. Dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Mulai dari memasak makanan, mencuci pakaian, hingga membenahi tempat tinggal bila diperlukan. Kami juga akan mulai mencukupi kebutuhan dengan melakukan semua hal yang baru seperti melakukan pertanian, melakukan peternakan dan semuanya itu sendiri. Semuanya akan sulit bagimu karena di sini semua telah tersedia dan terdapat pelayanan terbaik bagi semua penghuninya. Di Kadiri semuanya berbanding terbalik bila dengan dibandingkan dengan di Japan. Di Kadiri semuanya akan terasa sulit. Aku takut kamu tidak akan betah di sana. Lebih baik kamu di sini saja. Sesekali boleh main ke Kadiri, tapi tunggu kondisiku baik dulu. Biar aku bisa pamer kesuksesanku sama kamu," seloroh Raden Soemitro menenangkan Paijo, tapi yang ditenangkan malah semakin menjadi. Paijo menangis tersedu.

"Piye tho iki? Diguyoni ben mari olehe nangis. Malah nangis ngluguk?" ucap Raden dengan tertawa. 

"Panjenengan njeh ngoten. Wonten tiyang nangis kok diguyoni. Pokok kula tetep pengen derek Raden Mas Soemitro dateng Kadiri. Sampun titik."

Raden Soemitro menatap penuh keheranan pada abdi dalem satunya ini. Paijo memang tidak pernah diragukan ketaatan pada tuannya. 

"Paijo, benarkah kamu tetap memaksa ikut? Saya tidak memaksamu. Ingat itu. Ini murni memang kemauanmu sendiri. Saya izinkan kamu ikut ke Kadiri, tapi Saya minta tolong satu hal. Bila di Kadiri kelak ada sesuatu yang memberatkanmu, tolong bicaralah padaku. Saya akan mengembalikanmu ke sini. Ke Japan," ucapan raden Soemitro pada jongos setianya. 

"Kula ajeng tansah berusaha supados kula mboten wangsul maleh ke Japan, Raden. Kula ajeng ngrencangi Raden mas kaliyan Ibu Selir ke delapan puluh enam wonten Kadiri," ucap Paijo pada tuannya. 

"Segeralah kembali ke Puri Kedaton. Berbicaralah pada Putra Selir I kalau kamu ingin ikut saya ke Kadiri. Bila diperbolehkan, segeralah beritahu padaku dan berkemaslah dengan cepat karena hari sudah sore," jelas Raden Soemitro pada Paijo. 

" Inggih Raden Mas."

Paijo bergegas kembali ke Puri Kedaton untuk menghadap pada Putra Selir I. Paijo ingin mengutarakan keinginannya untuk ikut bersama Raden Mas Soemitro beserta ibu Selir ke dua puluh enam.

Sesampainya di hadapan Putra Selir I, Paijo menggunakan tata cara seperti biasa. Paijo memposisikan tubuhnya bersimpuh menghadap Putra Selir I yang tengah duduk di atas singgasana sambil berjalan dengan bersimpuh hingga didepannya berjarak kurang lebih tiga meter. Setelah tepat di depan Putra selir I, Paijo mengatupkan kedua tangannya hingga ke depan wajah untuk menyalami rajanya tersebut. 

"Ada keperluan apa hingga kamu berkenan hadir dihadapanku, Paijo?" tanya Raden Mas Putra Selir I pada jongos adiknya, Raden Soemitro.

" Raden mas Putra Selir I, sepindah kula ngaturaken bilih Ibu Selir ke delapan puluh enam derekaken Raden Mas Soemitro ke Kadiri. Kaping kalih dalem izin derekaken Raden Sumitro kaliyan Ibu Selir ke delapan puluh enam ke Kadiri. Dalem nyuwun persa, Raden Mas Putra Selir I nyaosi izin punapa mboten dhateng Dalem? Dalem sendiko dawuh Raden," jelas Paijo pada rajanya.

"Kamu ingin ikut ke sana Paijo? Kalau kamu ingin ikut, ikut aja gak po po. Biar Soemitro ada temennya di sana. Biar tidak sendirian," jelas Putra Selir I yang begitu membuat hati Paijo bahagia. 

"Matur nuwun sanget Raden Mas Putra selir I. Dalem nyuwun pamit kalih undur diri saking kerajaaan punika. Niki kula ajeng ringkes-ringkes," pamit Paijo pada tuannya.

"Iya Paijo. Terima kasih atas pengabdianmu selama ini di Kerajaan Majapahit. Mohon temani ibu selir ke delapan puluh enam dengan baik dan Tolong temani Sumitro."

"Inggih. Sendiko Dawuh Paduka. Dalem pamit."

" Iya."

Paijo mengatupkan kedua tangannya ke atas. Kemudian bersimpuh dan berjalan dengan posisi tetap bersimpuh ke arah belakang. 

Paijo berlari ke kediaman Raden Soemitro. Napasnya terlihat ngos-ngosan sesampainya di depan Radennya tersebut. 

"Kamu ngos-ngosan gitu Jo? Minum dulu," ucap Raden Soemitro sembari memberi gelas berisi air putih pada jongosnya tersebut.

"Raden raden. Dalem bahagia sekali keranten dalem angsal derek panjenengan. Dalem senang karena dalem saged ngrencangi jenengan kaliyan ibu Selir," ucap Paijo dengan bahagia.

Raden Soemitro terbelalak. Ia terlihat begitu senang. 

"Benarkah? Ya sudah kalau gitu. Sekarang kamu berkemaslah. Barang berharga seperti emas, perak, gepeng, gobog atau barang mereka kayaknya kamu miliki nanti titipkan saja pada Ibu Selir. Biar dijadikan satu di satu kotak peti besar. Nanti kamu sama ibu Selir naik perahu VOC turun di dermaga Dhaha Kadiri. Selama di perjalanan nanti, tolong jaga ibu Selir dengan baik karena nanti banyak sekali penyusup di sana. Barang bawaan ibu tolong dijaga karena banyak penjarah yang akan selalu mengintai. Awasi kanan dan kiri bila ada yang mencurigakan atau mata-mata. Nanti aku akan naik kuda bersama pasukan suruhan Putra Selir I karena aku harus membawa serta kudaku ini. Sesampainya di Kadiri, aku akan langsung ke Dermaga Dhaha untuk  menjemput Ibu Selir dan kamu. Kemudian sekalian mampir menyerahkan surat mandat ini ke kepala VOC di kantor pemerintahan Bupati Kadiri yang berada di dekat dermaga," jelas Raden Soemitro dengan panjang lebar. 

"Inggih Raden."

"Intinya, selama kamu berada di kapal VOC, lindungilah barang berhargamu . Coba ditutupi dengan barang-barang yang tidak berguna untuk mengecoh lawan selama diperjalanan."

"Inggih Raden."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!