"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini Prim, sampai tidak ada waktu untukku."
Suara William dari seberang saluran telepon terdengar mengeluh karena kekasihnya prima justru semakin sibuk di hari-hari menjelang pernikahan mereka.
"Bersabarlah sedikit Willy. Aku harus menyelesaikan urusanku sebelum kita menikah. Kau tak mau kan bulan madu kita terganggu dengan pekerjaanku yang belum selesai?"
Willy terdengar mendesah. Sudah lebih dari 3 hari ini ia kesulitan untuk bertemu dengan calon pengantinnya Primordia.
"Setelah selesai meeting, aku akan menemuimu. Kamu tunggulah saja di apartemen atau berkegiatan lah, apapun itu. Agar membuatmu tidak bosan. Atau kamu bisa pulang ke rumah ibumu nanti aku akan menemuimu di sana."
"Benar ya prim, janji ya. Baiklah, aku pulang ke rumah ibuku, kamu temui saja di sana. Jangan lama-lama ya."
Prima tertawa kecil, ah, bagaimana bisa ia menikahi laki-laki se kanak-kanakan Willy, batinnya.
"Iya, janji. Pulanglah. Aku juga sudah lama tidak mengunjungi ibumu."
"Oke sayang aku akan pulang ke rumah Ibu. Aku tunggu kedatanganmu."
Sambungan telepon terputus. Prima yang menjepit ponselnya dengan pundak menaruh kembali ponselnya ke atas meja. Sementara tangannya masih sibuk dengan berkas-berkas yang iya siapkan sejak kemarin. Semuanya harus selesai hari ini, batinnya.
"Dasar bayi tua, bisanya rewel saja."
Prima mengumpat kesal.
"Jadi kau sudah yakin akan menikahi laki-laki seperti William, Prim?
Runa, sahabat Prima yang sedari tadi terkekeh mendengarkan obrolan sahabatnya dengan calon pengantin pria di ponselnya, memang tidak ya tidak terlalu yakin dengan rencana pernikahan sahabatnya itu dari awal. Meskipun ia tahu bahwa Prima menikahi William, anak dari seorang komisaris William Group, sebuah perusahaan besar di kotanya, semata-mata karena cinta.
Namun Runa tidak pernah menyangka bahwa tekad Prima sebesar itu hingga ia mampu menahan diri menghadapi laki-laki ke kanak-kanakan seperti William.
"Ini bukan soal keyakinan Runa, ini adalah kewajiban."
"Tapi resiko yang kamu hadapi terlalu besar Prima. Aku harap kamu memikirkan ini baik-baik. Aku tidak mau kamu menghancurkan hidupmu hanya demi ambisimu."
Prima menghentikan kegiatannya memeriksa lembaran-lembaran berkas di atas meja. Ia menatap Runa dan mendekati sahabatnya yang duduk di sofa tamu di dalam ruangan kantornya.
"Run, aku sudah hancur sejak awal. Jadi tidak ada lagi yang bisa dihancurkan dariku. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan berhati-hati."
"Aku tahu itu Prim. Aku hanya tidak mau kamu mempertaruhkan semuanya hanya untuk janji yang kamu ucapkan pada ibumu. Aku percaya kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Tapi aku harap kamu tetap harus berhati-hati."
Runa menggamit tangan Prima yang ada di depannya. Walaupun jujur, ia tidak rela jika sahabatnya harus menikah dengan laki-laki tidak berkompeten seperti William, tetapi ia tahu tekad bulat sahabatnya sudah tidak bisa ia goyahkan lagi. Ia hanya berharap Prima akan baik-baik saja dengan segala rencananya.
"Aku janji Runa, aku pasti baik-baik saja. Kamu cukup diam di tempatmu, dan menjadi sumber kekuatanku itu sudah lebih dari cukup."
"Kamu bisa datang dan mengeluh padaku kapanpun kamu butuh, Prim. Jangan pernah ragu."
Prima mengangguk, keduanya tersenyum haru. Setelah ibunya meninggal dan ayahnya pergi entah ke mana, Prima memang tidak memiliki kerabat yang bisa diandalkan. Runa lah satu-satunya orang yang selalu hadir dalam setiap fase kehidupan Prima selama ini.
Prima bangkit dari duduknya lalu kembali menekuni berkas-berkas di atas meja.
"Ya sudah Prim, kamu lanjutkan pekerjaanmu.Aku juga harus segera pergi. Hari ini ibu mertuaku akan datang dari Ausi. Jasi aku harus berbelanja untuk menyambut kedatangannya."
"Oh jadi ibu mertuamu akan datang?"
"Ya malam nanti penerbangan dari ausi aku harus menyiapkan beberapa hal di rumah."
"Baiklah Runa pergilah telepon aku jika kau butuh bantuan. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan ibu mertuamu."
"Tidak Prima, kamu fokus aja dengan rencana pernikahanmu itu. Apalagi hari ini kau berjanji mau menemui Baby William di rumah ibunya bukan?"
Keduanya terkekeh mereka memang selalu punya sebutan unik untuk calon suami Prima William.
"Ah kalau soal itu bisa diatur. Kamu kayak nggak tahu aja William seperti apa. Pokoknya telepon aku kalau kamu butuh apapun aku akan segera meluncur."
"Ya ya baiklah aku pergi ya."
"Oke darling hati-hati di jalan."
Runa pergi meninggalkan prima yang masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di mejanya hari ini Prima akan bertemu dengan seseorang yang sangat penting dalam menjalankan misi besar terbesar dalam hidupnya.
Tok...tok...tok...
Pintu terbuka perlahan, Nadia sekretaris pribadinya muncul dengan senyuman khas di bibirnya.
"Permisi Bu, mobil sudah siap menunggu di bawah."
"Apakah tamuku sudah datang?"
"Sudah, beliau sudah menunggu Anda di mobil."
"Oke Nad, terima kasih. Ingat satu hal, jangan sampai hal ini bocor atau kepalamu yang akan bocor."
Nadia menelan ludah. Dia hanya bisa mengganggu cepat. Meskipun kata-kata itu terlontar dengan santai dari mulut Prima, akan tetapi Nadia tahu bahwa peringatan itu tidak main-main.
"Bu prima tidak perlu khawatir. Anda bisa mempercayakan semuanya kepada saya."
Prima mengangguk ia tahu bahwa sekretarisnya itu tidak akan mungkin mengacaukan rencananya. Sejak Prima berhasil mengambil alih anak perusahaan milik Ibu Kusuma Dewi, calon mertuanya, Nadia adalah orang pertama yang ia hubungi untuk menjadi orang kepercayaannya.
Bukan tanpa alasan Prima meminta Nadia untuk bekerja di perusahaan yang kini ia pimpin itu. Akan tetapi jasa besar ayah Nadia, yang dulu adalah sopir pribadi keluarganya, menjadi pertimbangan pertama bagi Prima untuk menerima Nadia bergabung dengannya.
"Aku berharap kesetiaanmu sama seperti kesetiaan ayahmu kepada keluargaku dulu."
Begitu yang diucapkan Prima saat ia menemui Nadia dan mengajaknya bekerja di perusahaan desain interior miliknya.
"Mengabdi lah kepada bu Prima sebagaimana ayah mengabdi kepada tuan Baskara, ayah Bu Prima dulu. Bagaimanapun Tuhan Baskara adalah orang yang paling berjasa terhadap keluarga kita."
Pesan pak Yusuf kepada putrinya. Pak Yusuf adalah orang kepercayaan ayah Prima sebelum ayahnya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya, hingga membuat seluruh perusahaan yang mereka miliki hancur, bahkan rumah tangganya pun ikut hancur.
Dan Pak Yusuf adalah orang terakhir yang berada di samping ibunya sebelum ibunya menghembuskan nafas terakhir.
"saya meminta Prima untuk bekerja dengan saya bukan karena saya menganggap keluarga bapak berhutang budi dengan keluarga kami, pak Yusuf. Saya hanya berharap kesetiaan Bapak kepada keluarga kami diwariskan kepada Nadia."
Pak Yusuf yang semakin menua menepuk-nepuk punggung Prima hari itu.
"Jadilah perempuan yang kuat dan tangguh, nak Prima. Bapak yakin kamu pasti akan berhasil meraih mimpimu."
Prima tersenyum trenyuh.
Harus pak Yusuf, aku harus berhasil. Bisik Prima dalam hati.
Prima memasuki mobil yang sudah bersiap menunggunya di basement kantor di dalam mobil itu juga sudah menunggu seorang laki-laki dialah Arthur. Laki-laki yang selama 5 tahun terakhir ini mendampinginya dan membantu Prima dalam setiap mengatasi masalah.
"Maaf Kak, aku membuatmu menunggu."
"Tidak Prim, naiklah. Jangan sampai kita terlambat di pertemuan penting ini."
Prima duduk di sebelah Arthur di bagian belakang kemudi mobil. Arthur adalah sepupu dari sahabatnya, Runa. Saat ini, hanya Runa dan Arthur lah orang-orang yang ia percaya.
"Kamu sudah makan siang prim?"
"Belum kak, nanti saja kalau pertemuan sudah selesai."
"Kamu harus jaga kondisi kesehatanmu. Jangan sampai kamu sakit sebelum hari pernikahanmu. Nanti semua rencanamu akan berantakan."
"Kakak jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Arthur menatap prima yang duduk di sebelahnya dengan tatapan iba. Sejak awal ia memang bertekad untuk mendukung apapun keputusan yang diambil oleh Prima, sebagaimana sepupunya Runa juga melakukan hal itu. Namun Arthur juga tidak bisa memungkiri bahwa ia khawatir dengan prima yang terlalu memforsir tenaga dan pikirannya dalam setiap rencana yang ia lakukan.
"Berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja Prima."
Prima menoleh, ia tersenyum dengan lembut lalu menyandarkan kepalanya di pundak Arthur.
"Selama kamu dan Runa berada di sampingku, aku pasti akan baik-baik saja."
Sejenak Arthur membelai kepala Prima, lalu ia mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Anak ini benar-benar gigih, batin Arthur.
Mobil melaju menuju tempat pertemuan yang sudah ditentukan. Didampingi oleh Arthur, Prima menemui kolega pentingnya. Ini juga adalah bagian dari rencana besar yang sedang Prima lakukan.
"Ini adalah data-data yang akan kalian butuhkan."
Prima memberikan beberapa berkas dalam map kepada orang-orang yang ia temui begitu sampai di sebuah Cafe tempat mereka berjanji temu.
Satu orang diantara tiga orang tersebut menerima dan membuka berkas yang diberikan oleh Prima.
"Apa semuanya sudah lengkap nona?"
"Sejauh ini sudah, jika nanti ada informasi tambahan, aku akan hubungi kalian."
"Kami berharap kalian bertiga segera bergerak Tuan Bara."
Arthur mengeluarkan sebuah cek kosong dari dalam sakunya. Ia meletakkan ke atas meja di hadapan Bara.
"Silahkan mengisi sendiri cek itu berapapun kalian mau. Tapi jika kalian membuat kesalahan, atau terlambat bergerak sampai waktu tenggat yang diberikan, maka kalian akan menanggung sendiri akibatnya."
Seseorang bernama Bara mengambil cek kosong itu. Ia menatap kedua rekannya, Hendy dan Kona. Kedua rekannya mengangguk dan Bara mengambil cek itu, menyimpan ke dalam sakunya.
"Pernikahanku tidak kurang dari dua bulan lagi, kalian harus sudah melaporkan hasilnya sebelum pernikahanku digelar."
"Baik Nona."
Sahut ketiganya bersamaan.
"Baiklah kalian bisa kembali bekerja, dan ingat jangan pernah menghubungiku ke nomor kantor."
"Kami akan ingat itu."
Bara, Hendi dan Kona undur diri meninggalkan Prima dan Arthur sendiri di dalam Cafe itu.
"Apa mereka tidak akan membuat kekacauan kak?"
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan memantau pergerakan mereka. Kamu jangan terlalu sering berhubungan dengan mereka. Biar aku saja yang mengatasi, kamu fokuslah dengan rencana pernikahanmu."
Prima mengangguk lega ia yakin bahwa Arthur pasti bisa mengatasi semua masalah ini.
"Kudengar bibimu akan datang dari Ausi . Tadi aku sempat bertemu dengan Runa di kantor."
"Ya aku yang memintanya untuk datang."
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak, tidak ada apa-apa. Aku cuma punya firasat bahwa kita akan membutuhkan bibiku suatu saat nanti."
"Membutuhkannya?"
"Itu hanya perasaanku saja, kuharap tidak ada hal penting yang harus melibatkannya."
Prima mengangguk-angguk pelan. Arthur sebetulnya adalah saudara sepupu dari James, suami Runa. Orang tua Arthur sudah lama meninggal, dan ia diasuh oleh bibinya, Nyonya Rose yang adalah mertua Runa.
"Ayo Prim, habiskan makananmu. Ini sudah terlalu siang untuk lunch. Aku tidak mau kamu sakit."
Seorang pelayan datang membawa sepiring pasta dan salad sayur ke meja mereka. Prima terkejut, karena ia merasa tidak memesan makanan itu.
"Tapi aku tidak memesan makanan ini kak."
"Aku yang memesannya, makanlah."
Prima tersenyum terenyuh. Sungguh ia beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang sangat perduli dengannya. Bahkan, Arthur seperti memahami kalau Prima memang sedang ingin makan pasta siang ini.
Prima yang sedang menikmati pasta, terkejut dengan dering ponsel dari dalam sakunya.
William, nama yang tertera di layar.
Ah, seketika nafsu makan Prima lenyap.
"Kenapa lagi sih dia ini. Gak capek apa, telpon telpon aku terus."
Prima menggerutu kesal.
"Wiliam?"
"Iya kak. Dia sudah berkali-kali meneleponku seharian ini."
"Angkat saja, jangan bikin dia khawatir."
Prima mendesah kesal. Ia menekan tombol hijau dilayarnya.
"Iya sayang, aku baru saja selesai meeting."
"Kamu sudah janji sama aku akan datang Prima, apa kamu lupa itu?"
"Tidak sayang, tentu saja aku ingat. Aku sedang bersiap untuk menjemputmu di rumah ibumu. Kamu tunggulah sebentar."
"Ibuku sudah masak makanan kesukaanmu, jadi cepatlah datang. Aku sudah lapar."
William merengek seperti balita tak sabar minta susu kepada ibunya. Hal ini membuat Prima merinding merasa risih. Ia tidak pernah bisa membayangkan jika ia akan menghabiskan sisa waktu hidupnya bersama laki-laki manja seperti William.
"Kenapa kamu tidak makan terus aja sayang, aku bisa nyusul makan nanti."
Prima masih berudaha untuk bersabar.
"Tidak tidak, aku tidak mau. Aku akan menunggumu sampai kamu datang. Kalau kamu tidak datang berarti aku tidak makan."
Prima menarik nafas dalam. Dia sebetulnya sudah sangat tidak tahan dengan sifat Wiliam yang sangat kekanak-kanakan ini, namun ia harus bersabar sampai hari pernikahan itu datang.
"Baiklah, baiklah. Aku siap-siap dulu ya."
Hibur Prima akhirnya. Mau tidak mau memang ia harus mengalah saat ini.
Dari seberang sana terdengar William bersorak gembira, dan ia menutup sambungan teleponnya dengan ucapan cinta yang membuat Prima bergidik mendengarnya. Arthur terkekeh melihat Prima yang mengguncang guncangkan pundaknya.
"Kayaknya dia sayang banget sama kamu sampai-sampai nggak mau makan kalau kamu belum datang."
Arthur tertawa terkekeh untuk meledek terima.
"Dia pasti bisa jadi suami yang baik untukmu, Prim."
Lagi lagi Arthur tertawa meledek hal ini membuat Prima melotot kesal.
"Terus saja meledek. Besok istrimu akan jauh lebih bawel dari ini, aku akan pastikan itu."
"Wow...wow..., kenapa begitu pembalasanmu. Tapi aku akan belajar dari William jika aku menjadi suami besok."
"Maksut kakak?"
"Yah, William itu laki-laki yang sangat manis dan perhatian itu perlu untuk dicontoh."
"Hah terserah kamu saja lah kak. Aku harus segera pergi menyusul William sebelum dia benar-benar marah. Bakal lebih repot buatku kalau sampai William benar-benar ngambek."
"Ya ya, pergilah. Jangan sampai pangeranmu ngambek."
Prima mencubit kecil lengan Arthur sambil berlalu meninggalkan Arthur yang masih terkekeh meledeknya.
***
"Kupikir kamu tidak akan datang, Prim."
Nyonya Julia, menyambut calon istri putra semata wayangnya itu dengan wajah berbinar. Akan sangat merepotkan baginya jika William marah karena kekasihnya tak jadi datang menjemputnya. Prima berusaha untuk tersenyum manis.
"Tidak mungkin saya gak datang Ma, saya sudah janji dengan William."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, panggil dia di kamarnya. Suasana hatinya sudah mulai tidak baik nungguin kamu dari siang tadi."
"Iya Ma."
Prima naik ke lantai dua rumah mewah itu, melewati tangga-tangga marmer yang mengkilat mengisyaratkan kemewahan disetiap jengkal langkah kakinya. Setiap pekerja dengan seragam biru muda yang ia temui di rumah itu selalu menunduk memberikan hormat kepadanya.
"Willi... Kamu di dalam?"
Tak ada suara sahutan dari dalam. Prima dengan perlahan membuka pintu kamar William dan masuk ke dalamnya. Ternyata William sedang memainkan sebuah vidio games di sana dengan sangat fokus.
"Sayang, aku datang. Ayo turun, Mama sudah menunggu kita untuk makan siang."
"Kamu terlambat datang, Prima. Tunggulah, aku sedang bermain games."
"Iya, maafkan aku. Meeting ku baru saja selesai. Aku tidak tahu akan semundur ini."
Prima tahu William sedang kesal, sama.seperti dirinya yang juga kesal dengan tingkah William. Ia tak mau mengambil resiko membuatnya menjadi tambah kesal jika ia memaksa untuk William segera turun. Maka Prima memilih untuk menunggu William menyelesaikan permainannya, duduk di atas kasur dengan menahan kesalnya.
Suara William yang berteriak keras sambil bermain games sungguh menguji kesabaran Prima. Iya berkali-kali mencoba mengalihkan rasa bosannya dengan membaca majalah-majalah di kamar William namun justru itu membuatnya merasa menyesal, majalah-majalah dewasa yang menjijikan, batin Prima.
"Sayang apa kamu masih lama? Kasihan Mama menunggu di bawah, Mama juga belum makan kan?"
William yang akhirnya kalah dalam bermain games melemparkan stick game dan headphone dengan kasar ke atas meja. Iya lalu berdiri dan menghampiri Prima yang duduk menunggunya di atas kasur.
"Ah menyebalkan sekali, aku kalah sayang."
"Sudahlah, nanti kamu bisa main lagi sampai menang. Sekarang ayo kita makan."
"Tunggu sayang."
William tiba-tiba menyergap tubuh Prima hingga ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Wangi aroma floral dari parfum yang dipakai oleh Prima membuat jantung William berdesir dan memompa darah lebih cepat.
"Kamu harum sekali sayang, kamu membuatku bergairah."
William mulai menciumi leher Prima. Iya menindih tubuh Prima dan kedua tangannya meraba seluruh bagian tubuh prima yang terhimpit tak berdaya.
"Sayang, Mama menunggu di bawah."
William tidak menggubris. Ia terus menggerayangi tubuh ramping kekasihnya hingga jari-jarinya dengan lincah melepas satu demi satu kancing kemeja yang Prima kenakan.
Prima mulai panik. Ini adalah bagian yang paling ia benci dari hubungannya dengan William. meladeni nafsu William yang berapi-api setiap kali bertemu dengannya.
"Sayang, aku mohon jangan sekarang. Tidak enak dengan mama yang sudah menunggu di bawah. Lagi pula aku sangat lapar ayo kita turun makan."
Prima berusaha untuk mendorong tubuh William, tetapi laki-laki itu sudah setengah sadar. Ia telah mabuk oleh gairah yang tak terbendung lagi.
"Will!"
"Mendesah lah sayang, ini hukumanmu karena membuat aku menunggu lama."
William telah berhasil menyingkap spot bra milik Prima dan ia melumat isinya tanpa ampun. Suara kecupan demi kecupan membuat Prima merasa sangat tersiksa. Ia juga tidak mau ada pekerja di rumah itu yang melihat karena pintu kamar William tidak ia tutup sempurna saat masuk.
"Wil, tolong hentikan. Pintu kamarmu tidak aku tutup, nanti ada orang yang melihat."
"Biarkan saja. Mereka semua tahu bahwa kamu adalah calon istriku, milikku. Aku berhak atas dirimu seutuhnya."
William telah berhasil membuka seluruh kancing baju Prima dan kini ia mulai menurunkan rok yang ia kenakan. Dengan beringas William memutar tubuh Prima hingga ia tertelungkup, lalu memeluknya dari belakang.
Prima tak lagi mampu melawan. Sekalipun ia punya kekuatan untuk menghentikan William, namun itu tentu akan membuat William murka. Untuk saat ini, ia tak mau kemarahan Willian menghancurkan semua rencananya.
Prima meremas bad cover di bawah tubuhnya saat William mulai menancapkan keperkasaannya dari arah belakang. Sementara William mendesah nikmat, Prima justru meneteskan air mata. Setiap sentuhan bibir William di tengkuknya seperti sebuah sayatan pisau. Bahkan, tangan William yang meremas-remas bukit sintal Prima terasa sebuah pukulan yang menyesakkan dada.
"Maafkan Primordia, Ma. Primor melakukan semua ini bukan karena Prim mau."
Prima menangis dalam hati. Tubuhnya pasrah di bolak balik William dengan kasar hingga akhirnya William mengerang dalam puncaknya. Lalu ambruk dengan tubuh tanpa sehelai benangpun disamping tubuh Prima yang masih mengenakan kemeja dengan kancing terbuka dan bra yang tersingkap.
"Ah, terimakasih sayang. Ini adalah hidangan pembuka yang sangat nikmat "
William bangun sambil terengah-engah. Tubuhnya basah oleh peluh kenikmatan. Ia terhuyung-huyung memungut baju dan celananya yang ia lemparkan ke lantai saat berperang tadi. Masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Prima yang masih terlentang tak berdaya dengan hati hancur berkeping-keping.
"Kamu turunlah dulu temani mama. Aku akan menyusul."
William berteriak dari dalam kamar mandi.
Seketika Prima menelungkupkan tantangannya di wajah, ia menangis tanpa suara. Air matanya deras mengalir berharap bisa membasuh luka di hatinya sejenak.
Tak punya pilihan lain Prima mengancingkan kembali kancing kemejanya lalu membasuh area bawah dengan tisu yang ada di meja. Setengah Mati ya berusaha menahan agar air matanya tak lagi turun. Gemuruh di dalam dadanya membuat tekadnya semakin bulat untuk segera menyelesaikan misi besarnya.
"Mana Willy? Kok kalian lama sekali?"
"Maaf ma, Willy sedang main games. Dia minta saya buat nungguin."
"Trus dimana sekarang anak itu?"
"Mandi ma."
Prima menarik sedikit kebelakang kursi makan dan duduk berhadapan dengan nyonya Julia.
"William memang sangat beruntung mendapatkan calon istri seperti kamu. Sudah baik, sabar, setia, pintar. Mama sangat berterimakasih kamu mau menerima anak mama."
"Tidak ma, saya yang berterimakasih karena mama sudah melahirkan laki-laki seperti William untuk saya."
Prima menatap Nyonya Julia penuh senyuman. Dan Julia menggamit tangan Prima penuh rasa syukur.
"Berkatmu melahirkan laki-laki bodoh seperti William, aku tidak perlu berusaha terlalu keras untuk masuk ke dalam keluargamu, Julia."
Lanjut Prima dalam hati. Senyum yang mengembang dibibirnya ia buat seindah mungkin, walaupun senyum itu punya makna yanh sangat dalam baginya.
"Wah...wah, ada apa ini. Calon istriku dan ibuku saling berpegangan tangan."
William turun dari kamarnya dengan rambutnya yang sudah basah. Iya lalu mengambil posisi duduk di sebelah kanan Prima.
"Tidak sayang, Mama baru saja memuji calon istrimu yang sangat sempurna ini."
"Oh, kalau begitu kita punya pendapat yang sama ma. Buat Willy, Prima memang sangat sempurna."
William meletakan tangan kirinya ke atas paha Prima dan mengusap-usapnya tanpa ibunya sadari. Senyum William mengisyaratkan hal yang tak senonoh lagi. Membuat Prima terpaksa membalas dengan genit. Padahal, dalam hati, umpatan menghujam tanpa henti.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!