NovelToon NovelToon

Love Languange

Bab 1

            🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.

Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.

Setiap orang pasti punya cinta.

Dan setiap cinta pada masing-masing orang, punya bahasa yang berbeda.

Bahasa cinta yang tak sama.

Love Languange.

Bab 01

"Pastikan kau menghukum suamimu nanti, Kak. Dia telah memberi tugas yang sangat tak berperikemanusiaan padaku."

Yumna menampakkan raut kesal yang berselimut ancaman saat berkata demikian. Padahal ia tahu jika yg diajaknya bicara tak akan bisa melihat ekspresi itu.

Terdengar kekehan lembut dari seberang.

"Kenapa tak kau hukum sendiri? dia 'kan suamimu juga."

"Ogah."

Yumna membuang muka. Sekelebat bayangan langsung hinggap, saat kata suami itu terucap. Gadis cantik itu pun menggeleng cepat. "Kak, aku tutup teleponnya ya, mau merem bentar."

"Ya."

"Jangan lupa hukum dia untukku." Yumna kembali mewanti-wanti dengan raut wajah serius.

"Iya, akan aku berikan dia hukuman termanis," sahut suara lembut di speaker ponselnya itu.

"Mana ada hukuman manis," dumel Yumna sebelum benar-benar mengakhiri sambungan.

Gadis cantik itu menelungkupkan wajahnya ke atas meja, dan mulai memejamkan mata. Abaikan segala hiruk pikuk di sekitar, Yumna hanya ingin berpeluk lena walau sebentar.

Pekerjaannya hari ini tak hanya sekedar melelahkan, tapi sudah masuk kategori menyengsarakan.

Menyengsarakan?

Yumna tak berlebihan dengan ungkapan itu. Bagaimanapun bolak-balik dari lantai tiga ke lantai lima--dengan tangga darurat pula--bukanlah hal yang menyenangkan. Bahkan itu bisa disebut sebagai penyiksaan. Walaupun momentumnya pas bersamaan dengan kondisi lift yang sedang tidak berfungsi. Tapi, bagi Yumna hal itu tidak tepat untuk dijadikan alasan.

Jika saja yang memberi tugas bukan seseorang yang bergelar atasan. Rasanya gadis itu sudah mengutuk orang tersebut menjadi keledai.

Tapi jika mengingat wajahnya yang sangat tampan--begitu indah di pandangan--sayang juga kalau harus dikutuk jadi hewan.

Definisi raut wajah kesal, dan sekaligus gemas di saat bersamaan, itu yang tampak dari Yumna sekarang.

Kalau ditanya seperti apa penampakannya.

Bayangkan saja sendiri.

Penulis juga tak punya deskripsi.

"Yumna."

"Yumna."

Baru juga memejamkan mata dan sudah terlihat gerbang mimpi di depannya, seseorang tiba-tiba memanggil namanya.

"Yumna!"

Tak hanya memanggil, seseorang itu juga menepuk lengannya, Memaksa Yumna untuk kembali, melupakan inginnya untuk masuk ke dunia mimpi.

"Hmm."

Berdengung malas, tanpa membuka mata, bahkan tetap dengan posisi telungkupkan kepala ke atas meja.

"Yumna kok malah tidur sih. Gak keren."

Seorang gadis manis yang segera meraih posisi duduk di depannya. Dan sekali lagi menepuk lengan Yumna.

"Dira kebiasaan deh. Ganggu aku aja." Yumna terpaksa mengangkat wajah. Wajah cantik yang lelah. "Aku mau tidur bentar. Capek. Kakiku pegal." Gadis cantik itu ingin melanjutkan ritual tidurnya lagi. Menelungkupkan wajah ke atas meja.

"Tsk." Dira berdecak. "Anak gadis masa tidur di kafe sih. Gak elegan banget."

"Bodo."

"Pasti ini si atasan ganteng yang bikin ulah," tebak Dira sambil senyum.

"Ya siapa lagi." Yumna langsung mendongakkan wajah. Hilang sudah raut lelah. Berganti kesal berbalut amarah.

"Dia nyuruh aku bolak-balik dari lantai tiga ke lantai lima. Lewat tangga darurat."

"Dia nyuruh kamu olah raga buat nurunin berat badan. Tapi, BB dan TB kamu udah proporsional kok." Dira meledek sambil ketawa.

Yumna memutar bola mata. "Sana pesan minuman! Aku haus."

"Bentar. Aku mau ngasih tau kalau kado yang kita siapin buat kak Aira ketinggalan di rumah."

"Ha?? Gimana sih Dira."

"Apa kadonya nyusul aja ya. Yang penting kita rayain dulu ultahnya kak Aira," usul Dira.

"Gak asik." Yumna menggeleng cepat.

"Ayo kita ambil dulu kadonya."

"Tapi bentar lagi kak Aira nyampek sini. Gimana kalau kita gak ada?"

"Chat dia. Suruh nunggu bentar."

Dira mengangguk. Kedua gadis itu pun gegas bangkit hendak keluar kafe. Namun, baru dua langkah, seorang wanita cantik telah berdiri di depan keduanya.

"Yumna Elshanum. Bisa kita bicara sebentar?"

Yumna terlihat kaget sesaat melihat wanita cantik berkulit putih--seputih susu--itu di depannya.

"Maaf, Mbak. Lain kali aja ya. Kami sedang terburu-buru." Dira yang mengambil alih menjawab.

"Hanya lima menit Yumna. Kamu tahu kan siapa saya." Ucapan yang mengandung sedikit tekanan.

Dia Talita. Putri pak Handoko, General Manager di kantor Yumna bekerja.

Yumna mengangguk sambil menghela napas. Ia pun menarik Dira untuk kembali duduk.

Talita juga mendudukkan tubuh indahnya di kursi depan Yumna. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari tas branded yang ditentengnya.

"Ini apa?" Yumna mengernyit tak paham melihat benda yang diletakkan Talita di atas meja.

"Perlu kukasih tahu itu apa?" Talita sedikit menaikkan sebelah alisnya.

"Ini tespack, saya tau. Tapi, ini maksudnya apa?"

"Aku hamil, itu hasil tesnya," terang Talita dengan raut wajah begitu tenang. Tak terlihat ia bahagia dengan berita yang disampaikannya, juga tak terlihat tengah berduka.

"Lalu?" Yumna tentu belum paham, apa maksud putri pak GM ini memberitahukan perihal kehamilannya. Mereka tidak dekat, bahkan jarang bertemu. Kalaupun bertemu nyaris tak ada sapa di antara keduanya. Jelas, Yumna bukan orang penting yang harus tahu tentang berita kehamilan Talita.

Sekedar info. Putri pak GM tersebut masih lajang. Dan sekarang dia hamil.

Ah. Jaman sekarang ada yang hamil sebelum nikah, bukan lagi hal yang menggemparkan. Dan Yumna pun tak peduli itu.

Dira pun menampakkan raut datar. Merasa ini bukan ranahnya, gadis manis itu memilih tetap diam.

"Ini." Talita mengusap perutnya yang ramping di balik baju ketat yang dikenakan. Senyumnya terbit saat mengatakan, "ini anak Zian."

"Hahhh?"

Reaksi sangat kaget itu datang dari Dira.

Bahkan dengan sedikit gemetar ia bertanya, "Zian siapa?"

"Tentu saja. Zian Ali Faradis."

"Apa?" Dira langsung menggeleng kuat.

"Gak. Itu gak mungkin. Kamu jangan mengada-ada."

Dira tidak pernah tau pada Talita sebelumnya. Siapa, dan bagaimana dia. Dira tidak tau sama sekali. Tapi, dia tahu pada Zian.

Zian Ali Faradis--sahabatnya--adalah pribadi yang jauh dari melakukan perbuatan nista dengan menghamili orang di luar nikah.

Lain halnya, Yumna yang notabene Sekretaris Zian di kantor. Ia tahu kalau atasannya tersebut memang cukup dekat dengan Talita. Beberapa kali mereka terlihat pergi bersama. Bahkan bisik-bisik di divisi pemasaran--dimana Zian sebagai managernya--menyebutkan adanya hubungan istimewa antara manager tampan itu dengan Talita.

Akan tetapi Zian sendiri tak pernah memvalidasi ataupun mengonfirmasi kebenarannya.

Yumna juga tak pernah bertanya terkait ranah pribadi atasannya. Tapi,

Kalau pun memang benar, Zian dan Talita terlibat asmara. Yumna tidak percaya kalau Zian akan keluar batas dengan menghamili Talita.

"Dia siapa, Yumna?" Talita memberi isyarat pada Dira.

"Dira, sahabatnya pak Zian."

"Oh bagus kalau begitu." Talita menipiskan bibirnya. "Semakin banyak orang dekat Zian yang tau, semakin baik," lanjutnya santai.

Yumna menatap datar wanita cantik di depannya. Terlihat santai dan tenang. Tapi, percayalah ada gejolak dalam dada yang ia tekan kuat hingga seakan membuat sesak.

"Terima kasih sudah memberitahukan hal penting ini pada saya."

"Yumna, kau percaya Zian ngelakuin hal itu?" Dira mencengkram lengan Yumna.

"Kau percaya dia seburuk itu?"

Yumna menggeleng.

"Berharap aku percaya dengan hal ini. Mimpi saja." Yumna tersenyum sinis.

"Bagiku, ini hanya lakon cerita yang sudah booming. Terlalu biasa. Tak bisa dipercaya." Yumna menambahkan dengan nada pedas tanpa meninggalkan tatapan yang tajam.

"Oh." Talita sejenak kaget dengan reaksi Yumna, tapi kemudian ia tersenyum.

"Ini bukti kalau aku hamil." Talita meraih tespack di depannya dengan tenang.

"Tespack memang bisa menjadi bukti kalau, Mbak Talita hamil. Tapi tespack tak bisa menjadi bukti kalau itu anak Zian," tandas Yumna dengan senyum meremehkan.

"Terserah kau mau percaya atau tidak, Yumna. Tujuanku kesini tidak untuk memintamu percaya. Tapi, aku ingin menawarkan kerja sama denganmu."

"Apa?" tanya Yumna singkat.

"Aku ingin kau bicara pada Zian--"

"Apa maksudnya, pak Zian tidak bersedia untuk bertanggung jawab?" Yumna segera memangkas ucapan Talita dengan pertanyaanya. Dan kali ini sambil tertawa sumbang.

"Tidak. Bukan begitu." Talita mengibaskan tangan dengan cepat.

"Zian sudah tahu perihal kehamilan ini, dan dia tampak bahagia sekali."

Yumna mendengkus samar. Sedang Dira langsung membanting pandangan keluar dengan mencebik. Ketidaksukaannya sama sekali tak bisa disembunyikan.

Talita tidak peduli dengan ekspresi beragam dari dua orang di depannya. Ia melanjutkan ucapan,

"tapi, dia tak mau kami menikah dalam waktu dekat. Karena saat ini dia sedang fokus dengan persiapan naik jabatan."

Memang benar. Karena kinerjanya yang dinilai cukup luar biasa, Zian dipromosikan untuk menjadi General Manager menggantikan pak Handoko--ayah Talita. Tentu saja saat ini manager pemasaran itu tak ingin ada stigma buruk tentang dirinya yang akan berimbas pada promosi kenaikan jabatan tersebut.

"Tapi aku tau, hal apa sebenarnya yang membuat Zian menunda pernikahan kami," kata Talita kemudian.

Yumna memang tak bertanya, tapi tatapannya jelas menuntut jawaban dari ucapan Talita.

"Izin dari istrinya."

Yumna menautkan kedua alisnya.

"Maksudnya, pak Zian sudah punya istri begitu?"

Dira pun nampak memberikan ekspresi yang sama.

"kau sangat pandai menyembunyikan hal yang sebenarnya." Talita mengangkat sudut bibirnya samar.

Yumna berdecak.

"Pembicaraan ini terlalu berbelit-belit. Aku tak paham tujuannya kemana."

"Kamu." Talita menghela napas berat. "Yumna Elshanum, adalah istri Zian."

"Apa?!" Lengkingan suara Yumna mencelos begitu saja, seakan dapat dorongan benda tak kasat mata. Dira juga tampak menahan napas dengan ekspresi yang tak terbaca.

"Kaget?" Talita tersenyum mencibir.

"Heran ya, kenapa aku bisa tahu kalau kalian itu sebenarnya adalah pasangan suami istri."

"Lelucon dari mana ini," sungut Yumna. Namun, nampak jelas tatapannya mulai gelisah.

"Sungguh, acting kalian sangat luar biasa. Kami semua sampai terkecoh." Talita tertawa ringan.

"Siapa pun yang memberimu informasi tak bermutu ini, yang jelas dia sedang bersorak karena berhasil memperdayai." Yumna menatap dalam, begitu meyakinkan.

Talita tersenyum dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau begitu bersikeras menutupi semuanya. Hmmm.. ya, aku tahu, semua karena peraturan perusahaan yang tak memperbolehkan pasangan bekerja di tempat yang sama. Kalau ketahuan, kalian bisa kena sanksi, dan paling parahnya, akan dikeluarkan." Talita mengedikkan bahunya dengan memasang mimik sedih. Dan bagi Yumna itu terlihat menyebalkan.

"Tapi, tenang saja! Rahasiamu ini aman kok, di tanganku."

Talita kembali pada posisi semula dan memberikan senyuman remeh pada Yumna. "Tentu saja dengan satu syarat," lanjutnya.

Yumna melenguhkan napas, ia sudah tahu akhirnya akan begini. Alih-alih menyembunyikan rahasia, Talita minta pengecualian yang tentunya tak akan mudah.

"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."

*****

Bab 02

"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."

"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."

"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.

"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.

Yumna tersenyum sinis.

"Jadi, aku sedang diancam?"

"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,

dan itu terlihat sangat menyebalkan.

Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.

"Bagaimana? Kau pasti sudah memutuskan." Putri GM itu meminta keputusan Yumna.

"Tidak. Aku tak memutuskan apa pun. Aku justru sedang berpikir untuk mencakar wajahmu. Kebetulan hari ini aku memang belum potong kuku." Yumna memperhatikan

kuku jarinya yang memang sedikit memanjang. "Kurasa ini cukup untuk membuat wajah cantikmu itu cedera."

"Lakukan saja kalau berani. Maka kupastikan, setelah aku menikah dengan Zian, dia akan menceraikanmu. Dan aku yang akan menjadi istri satu-satunya."

Bersamaan dengan titik dari ucapannya, senyum kemenangan kembali tercetak di bibir Talita.

Dira memandang muak, dia ingin sekali membantai wanita di depannya. Tapi, Yumna justru berucap santai.

"Terlalu percaya diri. Bahkan jika kau menikah dengan Zian sekarang, kau hanya menjadi istri ketiga."

"Istri ketiga?"

Kini Talita yang terlihat heran. Tidak. bukan hanya heran, tapi terlihat kebingungan.

"Belum tahu kalau Zian. sudah punya dua istri?" Yumna menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya ia mulai berhasil membalik keadaan.

Raut wajah kebingungan Talita menjadi pemandangan indah tersendiri sekarang bagi Yumna.

"Kau bisa mendatangi kembali informanmu, Mbak Talita, untuk menanyakan perihal ini. Pastikan tidak ada informasi yang terlewat tentang Zian Ali Faradis."

"Ja-jadi?"

Yumna semakin menikmati raut kebingungan di wajah Talita.

"Azaira Mahrin. Itu nama istri pertama Zian. Kau bisa datang padanya, dan meminta izin untuk menjadi istri Zian yang ketiga."

"A-apa?!" Zian, sudah punya dua istri?"

Talita nampak shock. Tubuhnya terhempas ke sandaran kursi. Wajahnya langsung pucat pasi.

*****

"Yumna kau yakin?"

Langkah Dira mulai goyah. Di hatinya mendadak gelisah. Bahkan tanpa terasa ujung mata gadis itu membasah.

"Yakin atau tidak. Kita harus menuntut penjelasan dari Zian," jawab Yumna tegas. Di tatap matanya nampak larva panas. Yang siap dimuntahkan dengan ganas.

Yumna telah berhasil membalik keadaan dari tekanan yang dilakukan Talita.

Putri pak Handoko itu sangat kaget mendengar Zian sudah punya istri dua. Dia pergi meninggalkan Yumna dan Dira bahkan sebelum noktah kesepakatan didapat.

Sepeninggal Talita, Yumna mengajak Dira menemui Zian untuk menanyakan hal yang sebenarnya.

Kelihatannya saja Yumna menang dengan membuat Talita pergi tanpa membawa hasil apa-apa. Namun, sebenarnya hati gadis cantik itu diliputi gelisah, bahkan amarah terkait berita yang baru saja diterima.

"Aku gak percaya, Yum, kalau Zian kayak gitu." Suara Dira bergetar saat mengucapkan demikian. Ia tak percaya. Dan sangat menolak percaya. Namun, nyatanya pengakuan Talita begitu memukul hatinya.

"Aku juga gak mau percaya. Tapi kita tetap harus menanyakan langsung hal ini ke Zian."

"Kita akan ke kantornya?"

"Gak. Dia keluar kantor sejak satu jam lalu."

"Trus, kita kemana?"

"Aku akan telepon dia." Yumna mengacak tas sandangnya, hampir saja seluruh isinya terburai, begitu tergesanya gadis cantik itu ingin mendapatkan apa yang tengah dicari di sana. Ponsel.

Terdengar notifikasi panggilan telepon dari dalam tas Dira.

"Yumna, ini kak Aira telepon."

"Angkat saja! Aku akan telepon Zian." Yumna sudah mendapatkan ponselnya dan langsung menghubungi Zian.

Akan tetapi, setelah beberapa panggilan, Yumna tidak berhasil menghubungi Zian. Nomor ponsel atasannya yang tampan itu sedang tidak aktif.

Sedangkan Dira hanya sekejap saja berbicara dengan Aira, sebelum kini wajah manis itu nampak terkejut dan pucat.

"Yumna."

"Ada apa?"

"Zi-zian kecelakaan."

"Kata siapa?" Yumna berbalik cepat menatap Dira.

"Kak Aira."

"Zian kecelakaan." Yumna seperti baru mencerna informasi itu.

"Di mana dia sekarang?"

"Di rumah sakit."

Tanpa ada yang mengomando lebih dulu, kedua gadis itu pun pergi dengan langkah terburu.

"Kenapa harus kecelakaan sekarang sih, waktunya sangat tidak tepat." Terdengar Yumna menggerutu. Pasalnya dia sudah menyusun rencana untuk menyerang Zian. Apalagi jika sampai pengakuan Talita itu benar. Tapi, jika si atasan tampan itu mengalami kecelakaan, Yumna harus menahan diri dulu sekarang.

"Yumna jangan bercanda. Kalau dari suara kak Aira barusan, sepertinya kondisi Zian cukup parah."

Yumna langsung terdiam. Secara mendadak hatinya seakan tenggelam.

****

"Kalau kau tak ingin Zian celaka. Jauhi dia!"

"Kalau kau ingin Zian baik-baik saja, jangan pernah dekat-dekat dengannya."

"Dan ingat! Ucapanku ini bukan sebatas ancaman saja."

Ini sudah kesekian kali kalimat bernada ancaman itu menari-nari dalam maya ingatan. Bahkan serasa ada yang membisikkan di pendengaran. Menggema hingga delapan penjuru.

Aira mengusap wajahnya. Pening terasa menghantam kepala. Ada rasa sesak di rongga dada.

Braakk.

Suara benturan keras menggema.

Di sela decit rem yang memekakkan telinga. Jeritan histeris yang membahana. Dan tubuh tinggi tegap itu terhempas di atas aspal dengan kerasnya.

"ZIANNNN!"

"Rabb. Selamatkan Zian. Aku mohon."

Lirih kata terucap di sela linang air mata.

Nanar memandang pintu ruang unit gawat darurat yang masih belum terbuka.

Detik waktu berlalu tanpa terasa.

Aira tetap terpaku dalam rasa bersalah yang menghimpit dada.

Seorang gadis menghampiri, berdiri di dekatnya dan menatap dengan teliti.

"Tinggi 165, kulit kuning langsat, wajah ayu meneduhkan, pakai abaya dan berhijab. Kamu pasti, Aira ya.Azaira Mahrin nama panjangnya."

Gadis itu langsung menunjuk dengan mata berbinar. Sangat percaya diri kalau tebakannya benar.

"Iya, saya Aira. Dari mana, kamu tau nama saya?"

Melihat gadis berwajah cerah penuh senyum itu, jelas Aira heran. Mereka baru bertemu sekarang. Tapi, gadis itu sudah menyebutnya dengan benar.

"Ah jangan terlalu formal." Gadis itu mengibaskan tangannya sambil tersenyum. "Tentu saja aku tau dari yang sering crita tentang kamu."

"Ooh." Hanya itu tanggapan Aira. Ia sepenuhnya belum bisa mencerna maksudnya. Pikiran masih belum fokus, kekawatiran masih menggelayut. Satu jam duduk menunggu, dan belum ada yang keluar untuk memberitahu.

Aira semakin gelisah. Dalam situasi perasaan seperti itu, tiba-tiba gadis ini datang, langsung mengenali Aira dengan benar.

"Aku Di."

Gadis itu mengulurkan tangannya.

"Di?" Aira perlahan

bangkit dari duduknya dan menerima uluran tangan tersebut dengan sedikit terkejut.

"Iya. Aku Di. Kamu sampai terkejut begitu? Jangan bilang kalau dia tak pernah cerita tentangku, atau setidaknya menyebut namaku."

"Iya. Dia sering nyebut namamu kok."

Aira tersenyum tipis sesaat.

"Dia akuin aku sebagai pacar?"

Di menatap penuh harap.

"Iya, dia bilang Di itu pacar kecilnya yang sering ngajak gelut. Tiap ketemu pasti ribut," jawab Aira dengan senyum.

Sejenak raut kekawatiran menyingkir dari wajahnya yang ayu.

"Baguslah. Jadi aku gak perlu pukul dia pakai sapu lidi."

Di tergelak, raut wajahnya nampak senang. Begitu alami, membuat Aira tertular. Dia ikut ketawa. Tapi, hanya sekejab. Saat melihat lagi pada pintu ruang IGD yang masih tertutup rapat, wajah ayu itu kembali nampak cemas.

"Gimana keadaannya?" tanya Di sejurus kemudian.

"Belum tau. Belum ada yang ngasih tau apa-apa."

"Jangan cemas." Di menepuk punggung tangan Aira pelan.

"Zian itu punya sembilan nyawa. Kecelakaan kecil kayak gini gak bakal bikin dia mati."

Begitu ringannya Di mengatakan itu. Namun, tak urung membuat Aira mengangguk sambil tersenyum.

"Dia celaka karena aku," lirihnya sepenuh rasa bersalah.

"Anak itu. Demi menyelamatkanmu, malaikat maut sekalipun akan dia lawan."

"Di, kau tak menyalahkan aku?"

"Itu sudah jadi pilihan Zian, buat celaka untukmu. Lalu kenapa aku harus marah padamu? Lagian setiap peristiwa itu sudah tertulis. Tak lepas dari takdirnya masing-masing."

Aira mengangguk. Ucapan Di memang benar. Tapi, tetap ada hukum sebab dan akibat yang menurut Aira tidak bisa diabaikan.

Terlihat kemudian pintu terbuka disusul munculnya dua orang perawat yang melangkah keluar dengan tergesa. Aira gegas menghampiri dan bertanya, "Gimana kedaan Zian?"

"Sebentar ya, Mbak."

Perawat itu jelas tak ingin langkahnya diganggu. Dia sedang mengemban tugas penting dari dokter terkait pasien yang sedang ditangani dalam ruang UGD itu.

Aira juga bersikeras untuk mendapatkan informasi tentang Zian. Sudah setengah jam pemuda itu dalam ruangan. Dan ia harus menanggung kegelisahan dan kecemasan yang tak terperikan.

"Saya hanya ingin tau keadaannya--"

"Biar dokter nanti yang menjelaskan." Sang perawat memangkas ucapan Aira dengan cepat. "Permisi, saya sangat terburu-buru."

Aira hanya bisa mengangguk lemah dengan sepasang mata basah.

Di menghampirinya dan membimbing gadis itu duduk. "Tenanglah, Aira. Yakinlah. Zian pasti akan baik-baik saja."

Bab 03

Yumna dan Dira tiba di rumah sakit setelah mereka hampir berperang dengan sopir taksi. Pasalnya laju angkutan yang mereka naiki terasa sangat lambat, hingga kedua gadis itu terus meminta supir untuk lebih cepat.

Dari sisi pengemudi, ia merasa sudah menjalankan laju kendaraan dengan maksimal. Sikap dua orang penumpangnya yang terus menerus minta kendaraan dipercepat, dianggap sangat keterlaluan.

Keributan pun tak terhindarkan. Hingga hampir saja pecah peperangan.

Lebay.

Dapat dipaham, mengapa Yumna dan Dira bertindak demikian. Aslinya mereka bukan sosok yang tak paham keadaan.Tapi, karena kekawatiran yang begitu dalam pada kondisi Zian, membuat logika mereka langsung lumpuh total.

"Kak Aira, gimana Zian?"

Yumna langsung memeluk Aira sambil bertanya penuh kepanikan.

"Be-belum tau." Aira menggeleng seraya balas memeluk Yumna. Terdengar gadis itu menghela napas berat.

"Apa dia parah?"

Aira kembali menggeleng. Zian memang tak terlihat terluka. Atau pun kalau memang ada luka, mungkin hanya luka kecil saja. Tapi, lelaki itu langsung pingsan usai menanyakan kondisi Aira. Dikhawatirkan dia menderita luka dalam akibat terpental menghantam aspal.

Mengingat hal ini, Aira tak bisa berhenti khawatir. Meski ucapan Di sempat menguatkan hatinya. Tapi kini, di wajah teduh itu kembali menggenang air mata.

"Jangan sampai terjadi apa-apa sama Zian, kak. Aku donorkan darahku jika dibutuhkan. Ambil semuanya juga aku rela."

Ucapan Yumna itu terkesan berlebihan, bahkan kedengaran konyol. Tapi, di raut wajah gadis cantik itu tergambar ketulusan. Bahkan di pelupuk matanya, terlihat air yang mulai mengambang.

"Aku saja yang donorin darah ke Zian. Golongan darahku juga sama. Mau dikuras habis pun tak masalah."

Itu ucapan Dira. Dia berkata mantap tanpa ada keraguan yang terlihat.

"Dira, jangan ikut-ikutan. Darahku saja sudah cukup untuk Zian."

"Hanya kamu saja yang peduli pada Ziyan, Yumna? Aku juga gak rela dia kenapa-napa."

"Tapi kamu baru sembuh. Gak usah gaya-gayaan donorin darah. Mau sakit lagi kamu?" Si cantik Yumna berkata dengan nada ketus.

"Aku sudah sehat, Yumna. Bahkan sekalipun aku harus mati karena nyumbangin darah ke Zian, aku tak peduli." Si manis Dira punya tekad sekuat baja. Dan dia sudah berniat tak akan mundur hanya karena dihalangi oleh Yumna.

"Dira. Ngaco kamu." Yumna menatap sengit. "Kamu tuh masih ngonsumsi vitamin penambah darah. Bisa-bisanya mau nyumbangin darah ke Zian. Mau nyelakain diri sendiri," hardik Yumna tajam.

"Gak. Tapi Aku sudah bertekad. Sekali pun aku harus celaka, demi Zian aku rela."

Dira tak gentar dengan tekanan dari Yumna. Tekadnya tak akan kendur meski harus berhadapan dengan ujung tombak sekali pun. Apalagi amarah Yumna--bagi Dira itu sama sekali tak menakutkan.

"Simpan tekadmu dalam saku!"

Yumna jelas meremehkan Dira dengan ucapannya. Lebih dari itu si cantik tersebut merasa dirinya yang paling berhak menolong Zian.

"Biar aku aja yang selamatin Zian. Aku gak mau dia kenapa-napa."

"Apa? Hanya kamu aja yg sayang ke Ziyan?

Aku juga gak mau kehilangan dia."

Dira pun sangat keukeuh dengan tekadnya.

Aira hanya bisa menatap keduanya bergantian, tak kuasa menengahi atau pun mencegah keributan. Justru satu pemahaman ia dapatkan, ternyata sedalam itu perasaan Yumna dan Dira pada Zian.

"Wahh!" Di yang sekian waktu hanya menjadi penonton perdebatan seru itu, bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat. "Kalian berdua sama-sama sayang sama Zian ya." Di mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Kasian Zian. Lepas dari rasa sakitnya sekarang, dia akan masuk pada rasa sakit yang lebih besar," lanjut Di dengan tatap mata yang mengandung kekawatiran.

"Apa maksudmu?" tanya Yumna pada gadis yang tak dikenalnya itu.

"Bingung harus memilih satu di antara dua. Atau mungkin tiga." Di kedipkan matanya pada Aira. "Di antara orang yang menyayanginya, bagi Zian itu pasti kesakitan yang amat besar," lanjut Di dengan santai.

"Zian memang selalu beruntung. Di mana-mana banyak yang suka padanya. Dia emang tampan badai sih," kata Di lagi sambil mencebik, tapi kilat bangga juga terlihat dari senyumnya.

"Kamu salah paham pada kami. Bukan perasaan seperti itu yang kami punya pada Zian." Dira dengan cepat mengoreksi ucapan Di.

"Kamu yakin aku salah menafsirkan perasaan kalian?" Di tersenyum menggoda.

Tak lupa menaik turunkan alisnya.

"Tentu saja." Si cantik Yumna yang mengambil alih menjawab. "Kamu asal tebak saja. Lagian kamu juga tidak kenal siapa kami."

"Aku kenal kalian." Di berdiri di depan gadis cantik itu. "Kamu Yumna El Shanum."

"Eh." Yumna nampak terkejut. Namun lalu mengangguk.

"Dan kamu, Nadhira Ayu." Di pun menunjuk Dira dan menyebut nama lengkapnya dengan benar.

"Iya. Aku Dira. Dan kamu siapa?"

"Aku Diandra. Panggil saja Di."

"Di?" Yumna dan Dira menampilkan raut terkejut bersamaan.

Di mengangguk.

"Aku pacarnya Zian," akunya sambil tersenyum jenaka.

Yumna dan Dira saling pandang. Lalu beralih pandang pada Aira yang hanya diam.

"Jadi, kalian sama-sama rela donorin darah buat Zian. Bahkan rela mati kehabisan darah untuknya." Di tersenyum sambil kembali menaikkan sebelah alisnya. Tingkah polahnya ini mirip Zian bila sudah dalam mode menjahili teman.

Dira dan Yumna diam.

"Masih bilang aku salah paham dengan perasaan kalian." Di terkesan semakin menekan keduanya dengan ucapan itu.

Kedua gadis itu tetap diam. Tiba-tiba saja raut wajah mereka seperti pencuri yang baru saja tertangkap tangan.

Di tertawa ringan.

"Apa kamu benar pacarnya Zian?" Yumna kemudian bertanya dengan tatap mata dalam.

Di terkekeh santai.

"Aku sepupu Zian. Bukan pacarnya," ralat gadis itu dengan wajah tanpa beban.

"Sepupunya Zian?"

Bersamaan Yumna dan Dira mengudarakan tanya.

"Kenapa? Gak percaya? Ya emang tampang kami jauh beda. Zian tampangnya kayak patung dewa yunani. Sedangkan aku ya segini ini." Diandra menunjukkan raut sedih dan kecewa yang dibuat-buat.

"Bukan. Bukan begitu maksud kami, Di." Yumna gegas meraih tangan gadis itu.

"Kami terkejut karena Zian gak pernah bilang kalau kamu sepupunya. Dia emang beberapa kali nyebut nama kamu. Tapi tak pernah memberitahu kamu itu siapa."

"Tsk." Di berdecak kesal. "Dasar buntut. Padahal dia udah janji kemana pun bakal ngakuin aku sebagai pacar kecilnya."

Diandra dengan ucapan dan tingkah polahnya, berhasil menetralisir ketegangan yang menimpa. Ketegangan dalam diri Yumna, Dira, dan Aira.

Pintu ruangan UGD kembali terbuka. Dan satu orang petugas medis menghampiri mereka. "Dengan keluarga pasien atas nama Zian Ali Faradis?"

"Benar." Spontan empat gadis itu menjawab bersama-sama.

"Satu orang saja, boleh masuk untuk menemani pasien."

"Kami sama-sama ingin menemaninya," kata Yumna.

"Ee kalau begitu istrinya saja," kata perawat itu.

"Kami semua istrinya," ucap Di dengan raut wajah yang sangat meyakinkan.

"Ee." Si perawat berkerut dahi, nampak kebingungan. Tatapannya memindai semua gadis berhijab di depannya. Antara percaya dan tidak. Sepertinya baru kali ini ia menangani pasien beristri empat.

(kenapa di sini aku yang nulis jadi ngakak ya)

"Sebaiknya tanyakan kembali pada pasien, dia ingin ditemani oleh istrinya yang mana," kata Di lagi.

Tak ada jalan lain bagi perawat tersebut selain menyetujui dan berlalu ke dalam.

"Di, kenapa bicara demikian?" Aira menegur singkat. Ia tidak suka dengan sikap Diandra yang seolah menganggap ini hanya candaan. "Gak masalah siapa pun yang masuk dan menemui Zian. Yang penting kita bisa tahu bagaimana kondisinya sekarang."

"Aira. Kamu memang si paling kalem, dan

Paling bijak. Pantas sayangnya Zian sangat besar padamu."

"Di--" Aira ingin berkata lagi. Namun, urung saat melihat pintu ruang kembali terbuka.

"Aira." Perawat itu menyebut namanya.

"Saya."

"Silakan masuk!"

Saat Aira masuk ke dalam ruangan mengikuti perawat, semua hanya memandangi dengan diam. Tak ada yang protes mengajukan keberatan.

"Jadi Zian sudah sadar, dan memanggil Ka Aira gitu?" Terdengar suara Dira lirih.

"Iya. Kau cemburu?" Yumna menatapnya sembari menyipitkan kedua mata.

"Mana boleh cemburu pada kakak pertama."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!