Malam yang dingin, Luna duduk dan memandangi makanan yang sudah ia siapkan dari sore. Jarum jam dinding menunjuk angka delapan. Beberapa kali Luna membaca pesan singkat yang dikirimkan Ares, suaminya dari sore tadi, “Aku pulang telat malam ini.”
Luna menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri walaupun hatinya gelisah tidak seperti malam lainnya. Hari ini bukan hari biasa, melainkan hari ulang tahun pernikahan mereka. Apakah Ares menyiapkan kejutan untukku, atau dia benar-benar sibuk hari ini? Luna mendorong hatinya untuk percaya, walaupun dipikirannya tidak sepenuhnya sama dengan hatinya.
Ditengah kekosongan waktu menunggu kedatangan Ares, Luna mengisinya dengan keluar rumah untuk pergi ke toko kue langganannya dengan Ares. Brownies kesukaan Ares akan melengkapi kesempurnaan hidangan malam ini.
Luna tiba di toko kue dengan penuh harapan, membayangkan senyum suaminya nanti. Namun semua harapan itu runtuh seketika. Saat Luna memasuki parkiran, tubuh Luna secara tiba-tiba menegang dan napasnya tercekat. Dibalik sorot lampu mobilnya ia melihat Ares bersama seorang wanita. Namun Ares bukan hanya berdiri disana, melainkan sedang berciuman.
Wanita yang bersama dengan Ares bukanlah wanita yang asing di mata Luna. Ia mengenalinya, wanita itu bernama Celine yang merupakan sahabat akrabnya dari SMA. Luna mencoba untuk tidak mempercayai apa yang ia lihat. Namun kenyataan itu sangat jelas terpampang.
Dengan langkah gemetar, Luna mendekat. Ares melepaskan pelukan, dan berjalan menghampiri Luna. Namun bukan perasaan bersalah yang tampak di wajahnya, melainkan tatapan dingin seolah Luna bukanlah orang yang berharga dan dicintainya. Ares menatap Luna dengan tatapan dingin.
“Sudah kamu lihat kan? Aku sudah lama berselingkuh,” kata Ares, tenang dan menantang seolah apa yang ia ucapkan adalah fakta yang disembunyikannya cukup lama.
Luna tak sanggup berbicara, suaranya tercekat di tenggorokan. Bibir Luna bergetar, air matanya menggenang. Namun saat itu Ares seperti bukan orang yang Luna kenal sebelumnya.
Sementara itu Celine yang bersandar di mobil miliknya justru sersenyum miring, menatap Luna dengan tatapan penuh kemenangan. “Ares, kamu akan selesaikan semua secepatnya kan? Biar dia tidak perlu menunggu lebih lama.”
Sama seperti Ares, Celine juga bukan seperti orang yang Luna kenal sebelumnya. Bahkan hari kemarin pun hubungan Luna dan Ares masih hangat seperti biasa. Begitu juga hubungannya dengan Celine. Sahabat dekat yang berprofesi sebagai selebriti media sosial masih akrab berbincang di satu Grup Whatsapp.
Ucapan Celine benar-benar menghantam dada Luna. Entah apa yang mengendalikan pikiran Luna, ia bukannya menampar suami maupun sahabatnya, tapi kakinya justru melangkah mundur menjauhi kedua sosok yang kini lebih asing dari pada orang asing baginnya.
Dengan tangan yang bergetar, Luna berusaha membuka pintu mobilnya. Air mata mengaburkan pandangannya. Ia menyalakan mesin mobil dengan terburu-buru, kemudian melajukan mobilnya dibawah guyuran hujan deras.
Luna menginjak pedal gas semakin dalam diluar kendalinya. Perasaan kecewa dan marahnya masih berpacu di dadanya. Namun, tikungan tajam dan jalan yang licin membuatnya mobilnya oleng.
BRAKK!
Mobil Luna menghantam pohon dengan keras. Beruntung sabuk pengaman menyelamatkannya. Ia tidak pingsan walaupun tubuhnya bergetar dan napasnya tersengal.
Ditengah ia berusaha mengatur tempo napasnya, dari kaca depan yang retak, Luna melihat Ares berjalan mendekatinya. Luna masih menganggap ia hanya bermimpi. Bagaimana bisa dalam waktu yang bersamaan Ares datang menyelamatkan sementara sebelumnya menyakitinya.
Ares berjalan dengan tenang walaupun terpancar sedikit kepanikan diwajahnya. Sesaat kemudian ia berdiri disamping mobil Luna, dan menatap Luna dengan dingin.
“Ares, ini hanya rencana kejutan hari ulang tahun pernikahan kita kan? Kamu tidak benar-benar mengkhianatia aku kan?” tanya Luna dengan lirih.
“Luna kau hanya kebetulan selamat,” jawab Ares datar. “Aku tidak mau menjadi saksi jika terjadi sesuatu yang lebih buruk menimpamu.”
Ucapan itu lebih menyakitkan daripada benturan yang barusan Luna alami. Air mata Luna pecah tanpa bisa di tahan. Dengan suara parau Luna bertanya, “Lalu mengapa kau datang menyelamatkanku?”
“Aku hanya kebetulan lewat saja,” jawab Ares dengan singkat.
“Tinggalkan aku sendiri disini Ares.”
Ares mengabulkan permintaan Luna, ia menoleh sebentar kemudian beranjak pergi. Tanpa kata lain, ia masuk kemobilnya dan memutar arah.
Sementara itu Luna masih menangis, menyandarkan kepalanya pada setir mobil. Namun dinginnya malam membuat Luna tersadar bahwa ia harus pulang dan beristirahat. Luna akhirnya pulang sendirian malam itu.
Langkah Luna terasa berat saat ia tiba dirumah. Dengan sisa kekuatan yang ada, dengan tangan yang gemetar Luna memutar ganggang pintu. Tubuh Luna masih terasa sakit akibat benturan kuat yang hampir merenggut nyawanya.
Sesaat setelah pintu terbuka, lampu ruang tamu menyala dengan redup. Tampak Ares duduk di sofa dengan posisi menyandar dan tangannya memangku keningnya. Namun saat ia menyadari kedatangan Luna dengan cepat ia berdiri tegak dan menghampiri Luna.
Luna terhenti di depan pintu. Matanya membesar tidak menyangka Ares sudah lebih dulu berada dirumah, padahal Luna mengira bahwa suaminya tidak akan pulang malam itu.
“Ares…” suara Luna lirih, seakan suara itu hanya untuk dirinya sendiri.
Ares tidak langsung menjawab. Ia berjalan menghampiri Luna dan menutup pintu yang berada tepat dibelakang Luna kemudian ia berjalan kembali menjauhi Luna. Luna tidak mengerti apa arti dari tindakan Ares. Entah ia peduli dengan Luna dan tidak ingin angin malam menusuk lebih banyak kedalam tubuh Luna atau ia menyayangi rumahnya dan tak ingin angin dan debu masuk kerumahnya.
“Kamu tahu aku bisa mati tadi Ares?” suara Luna semakin lirih dan bergetar.
Ares menunduk sebentar kemudian mengangkat kembali wajahnya yang datar dan dingin. “Tapi sekarang kamu tidak mati kan?” jawabannya sinis.
Sekali lagi Ares menusuk hati Luna dengan ucapannya. Luna menahan tangisnya dengan sekuat tenaga, meskipun suaranya parau. “Ares.. kenapa kamu seperti ini secara tiba-tiba? Kenapa kamu mendadak tidak peduli denganku? Tidak mungkin ada kesalahanku yang menyebabkan kamu seperti ini.”
“Tidak ada bedanya peduli dengan tidak untukmu Luna. Berhenti untuk berharap sesuatu lagi padaku termasuk kepedulian itu.” Senyum tipis terulas dibibir Ares, namun senyum tersebut sangat dingin.
Seketika hening menyelimuti ruangan. Luna menarik dengan berat napasnya. Ia merasakan sesak yang begitu dalam di dadanya. Luna berjalan mendekati Ares dengan matanya yang berkaca-kaca. Air matanya jatuh satu per satu, namun Ares justru memalingkan pandangannya.
Dengan suara yang semakin gemetar, Luna kembali bertanya, “Baik Ares. Kalau begitu siapa yang saat ini sangat kamu pedulikan? Aku atau Celine, Ares?”
Mata Ares mendadak membesar. Ares tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan Luna. Pertanyaan Luna barusan meluncur penuh keberanian, walaupun Luna sangat takut dengan jawaban yang akan diberikan oleh Ares.
Namun Ares tidak menjawab pertanyaan Luna. Matanya menatap kosong Luna, tanpa jawaban. Ares membiarkan pertanyaan itu menggantung diudara, dan membiarkan Luna tercekik oleh rasa sakitnya.
“Kenapa kamu tidak menjawab?” Luna terisak. “Setidaknya… setidaknya berikan aku alasan. Jangan buat aku menebak dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak mau Ares.”
Ares memilih bungkam.
Keheningan malam itu menjadi saksi, Ares tidak menjawab seolah sengaja membiarkan Luna terjebak dalam teka-teki yang ia ciptakan.
Luna merasa hari-hari menjadi sangat sunyi dirumahnya. Meja makan selalu terhidang lauk masakan Luna, namun kursi dihadapannya sudah sebulan ini kosong.
Ares sudah tidak pernah lagi pulang kerumah untuk menemui Luna. Bahkan setidaknya untuk berganti pakaian atau beristirahat sejenak pun tidak pernah. Kini bayangan Ares bukan lagi samar, namun tidak terlihat.
Luna kerap duduk sendirian sepulang kerja. Dulu Luna sering mencurahkan keluh kesahnya tentang tanggung jawabnya sebagai Kepala Bagian Customer Service disalah satu Bank Swasta terbesar. Kini Luna hanya bisa duduk sendirian di dekat jendela kamar yang langsung menghadap ke arah jalan komplek rumahnya.
Semakin lama rumah yang dulu hangat menjadi kehilangan roh seorang kepala keluarga. Bahkan bau parfum Ares yang khas dan menyengat pun sudah tidak terendus. Luna semakin bingung dan semakin sakit. Panggilan dan pesannya tidak pernah di respon oleh Ares.
Selama sebulan, setiap pagi Luna bangun dalam keadaan sendiri di kamar. Yang ia lihat hanyalah bantal dingin di sisi ranjangnya. Ares yang selalu ia sapa pertama kali kini hilang bak ditelan bumi.
Di tengah lamunannya, secara tiba-tiba Luna mendengar suara mesin mobil di halaman depan. Saat itu juga jantung Luna tidak berhenti berdegup kencang. Dengan cepat ia berlari untuk membuka pintu. Dan benar saja, sosok yang sangat ia rindukan kini berdiri didepan wajahnya.
Luna sangat tidak percaya, setelah sekian lama ia menunggu akhirnya Ares datang dengan pesona yang masih Luna cintai hingga detik ini. Wajahnya tenang, tatapannya dingin, seakan kepergiannya bukanlah hal yang menyakiti perasaan Luna.
“Ares, kamu akhirnya pulang juga,” ucap Luna lirih dengan suara yang penuh kelegaan sekalius bercampur rindu.
Namun respon Ares tidak sesuai dengan harapan Luna. Ares masih menatapnya datar. Ares masih berdiri tegak dihadapannya.
Luna mencoba menahan semua kekesalannya, yang ia inginkan rumah tangganya kembali seperti dua bulan sebelumnya. Luna bertanya dengan nada penuh luka, “Ares, aku menunggumu setiap malam, kemana kamu selama ini? Kenapa kamu tidak pernah pulang? Kenapa kamu tidak memberi kabar atau membalas pesanku?”
Ares menghela napas panjang. Dengan suara rendah namun tajam, Ares menjawab, “Aku ke Bali. Berlibur bersama Celine.”
Jawaban Ares menghantam Luna lebih keras dari badai mana pun. Luna memebeku sejenak, matanya terbelalak. “Liburan? Bersama Celine?”
Luna meraih wajah Ares yang memalingkan pandangannya. Dengan tangan bergetar, Luna mengarahkan kepala Ares agar menatapnya. Jemarinya menekan lembut pipi Ares, seolah memaksa Ares untuk melihat matanya yang basah, “Ares aku disini menunggumu, berharap kamu kembali dengan selamat. Aku selalu mengkhawatirkan kamu. Tapi ternyata kamu menghabiskan waktumu dengan Celine?”
Ares menatap Luna seperti batu yang tak bisa digoyahkan. “Luna berhenti terlalu banyak bertanya denganku. Dan mulai sekarang jangan pernah ikut campur lagi dengan urusanku.”
Kata-kata Ares barusan seolah menampar hati Luna berkali-kali. Matanya bergetar menahan air mata yang terbendung di kantung matanya.
Belum sempat Luna mengatur napasnya, suara Ares kembali terdengar, pelan dan bergetar, namun tetap menancapkan pisau di hatinya. “Aku butuh keturunan, Luna.”
Seketika dunia Luna seakan berhenti berputar. Luna merasa ucapan Ares tidak masuk akal. Karena ucapan tersebut keluar dari bibir Ares, pria yang selama ini selalu melindunginya dari luka menyakitkan itu.
“Keturunan?” tanya Luna dengan lirih.
Ares menatap lantai, namun terlihat bibirnya bergetar. “Aku sudah menunggu terlalu lama, Luna. Aku ingin rumah ini penuh dengan suara anak-anak, tidak sepi seperti sekarang.”
Luna menggenggam dadanya, air mata jatuh tak terbendung di pipi Luna. “Tapi kamu tahu aku tidak bisa Ares, kamu tahu itu..” Luna menangis menelan kata-katanya.
Luna tidak merasa sakit karena kenyataan dirinya tidak bisa memiliki anak, namun yang membuatnya sakit kenyataan bahwa orang yang dulu mati-matian menjaganya dari luka itu kini justru yang merobek luka itu sangat dalam.
Dulu Ares selalu berapi-api menegur siapa pun yang berani menyebut kekurangan Luna. Ares juga berkata pada Luna, “Aku tidak peduli akan memiliki anak atau tidak bersamamu, yang aku butuhkan hanya kamu.”
”Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Kamu bahkan dulu akan sangat marah jika orang lain membicarakan soal keturunan di depan kita. Kamu selalu bilang aku cukup..”
Ares masih menunduk tanpa menjelaskan dan menenangkan Luna. Ares seperti pria asing yang tidak Luna kenal.
“Jadi selama ini, semua yang kamu katakan padaku hanya untuk membohongiku?” tangis Luna pecah, penuh perih.
Namun Ares tetap tidak menjawab. Diamnya semakin melebarkan jarak antara mereka.
Perubahan yang terjadi terlalu drastis. Dulu Luna merasa Ares adalah pelindung, penyembuh luka, dan alasan Luna bertahan meski ia sadar dirinya tidak bisa memberi keturunan untuk Ares. Namun kini, pria yang sama menatapnya seakan-akan Luna adalah beban.
Luna mencoba menguatkan diri menanyakan hal yang selama ini ia takutkan. Dengan suara gemetar, ia bertanya, “Sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan Celine, Ares?”
Luna menunduk, perasaan Luna gelisah tak karuan, takut mendengar jawaban yang bisa menghancurkan sisa hati yang ada.
“Sejak sebelum aku menikahimu.” Wajah Ares datar, tanpa ekspresi.
Jawaban Ares membuat Luna terpaku.
“Sejak sebelum menikah?” ucap Luna dengan suara bergetar, hampir tak keluar.
Luna menggeleng berulang kali, menolak untuk mempercayai apa yang barusan ia dengar. “Tidak mungkin Ares. Selama ini kita baik-baik saja. Kamu selalu bersikap hangat padaku. Kamu juga memperlakukanku seolah akulah satu-satunya.”
Air mata Luna jatuh semakin deras. “Dan Celine, dia sahabatku, Ares!” suaranya meninggi. “Kalian… kalian tega!”
Tatapan Ares masih sama. Datar. Dingin. Tanpa penyesalan.
Ternyata luka itu belum cukup, Ares melanjutkan ucapan yang semakin membuat Luna hancur lebur. “Pernikahan kita, tidak pernah benar-benar aku inginkan. Aku menikahimu hanya karena permintaan orang tuaku. Aku merasa itu kewajiban. Aku harus menuruti mereka, itu saja.”
Luna menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tangisan yang kian pecah.
Luna masih meyakinkan diri untuk mengetahui siapa yang akan dipilih oleh Ares. Sekali lagi Luna tanyakan, “Siapa yang sekarang kamu pilih? Aku atau Celine?”
Namun ares sama sekali tidak bergeming. Tanpa jawaban, tanpa penjelasan, bahkan sekedar lirikan pun tidak. Ares hanya menatap sekilas, lalu memalingkan wajahnya. Detik selanjutnya, Ares masuk kekamar.
Pintu kamar tertutup rapat, menyisakan Luna yang masih berdiri di ruang tamu. Tapi saat itu juga telinga Luna menangkap suara lain, suara mesin mobil yang masih menyala di luar rumah.
Suara itu membuat Luna tersentak. Alisnya berkerut. Bukankah Ares sudah masuk kamar? Kenapa mesin mobilnya masih menyala?
Luna melangkah menuju jendela. Ada rasa takut, namun ada juga rasa penasaran yang mendorongnya. Luna menyikap tirai perlahan dengan jarinya, mencoba mengintip keluar.
Matanya membesar saat bukan mobil Ares yang ia lihat. Melainkan mobil Celine. Kepalanya langsung dipenuhi tanya. “Kenapa Celine ada disini?”Bukankah seharusnya Ares yang menjemputnya? Kenapa justru Ares yang menumpang di mobil Celine?”
Luna di landa kebingungan. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang Ares sembunyikan rapat-rapat.
Mata Luna masih terpaku pada mobil di luar sana. Hingga akhirnya ia melihat Celine tersenyum penuh kepuasan menatap Luna dari dalam mobilnya, hal tersebut membuat Luna tercekat. Namun beberapa saat kemudian mobil yang dikendari oleh Celine melaju meninggalkan halaman rumah Luna.
Apa yang sebenarnya terjadi? Luna tidak hanya dibuat sakit, tetapi juga kebingungan yang semakin menghancurkan.
Sore itu, setelah jam kantor usai, Luna memutuskan tidak langsung pulang ke rumah. Hari itu Luna merasa terlalu lelah, bukan karena pekerjaannya di kantor, melainkan karena pikirannya yang semakin kalut sejak perubahan sikap Ares. Bahkan Luna tidak sadar saat pintu ruangannya diketuk dengan pelan.
“Lun… sedang apa kamu?” suara yang tidak asing terdengar. Noval muncul diambang pintu, menyambangi Luna.
Noval melangkah masuk, duduk di kursi yang berada di hadapan Luna. Kebiasaan mereka sejak lama, berbincang santai sebelum benar-benar pulang. Namun kali ini, Luna merasa dadanya terlalu sesak untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja.
“Val…” Luna menatap sahabatnya itu penuh keraguan. “Bisakah temani aku pergi sebentar? Aku butuh udara segar.”
Noval tidak banyak bertanya. Ia langsung berdiri dan berjalan ke samping Luna. “Tentu saja. Mau kemana kita?”
“Bagaimana jika makan malam di luar saja?”
***
Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di kafe dekat kantor. Suasana tenang dan tentram, kontras dengan hati Luna yang kacau. Selama waktu bersama Noval disana, Luna hanya memainkan sendoknya tanpa menyentuh makanan.
Noval memperhatikan Luna dengan seksama. Keningnya berkerut. “Lun, kamu kenapa?”
Luna terdiam. Hatinya bimbang, haruskah ia ceritakan pada Noval? Bagaimanapun Celine juga sahabat mereka sejak SMA. Tapi terlalu sakit untuk Luna menahan semuanya sendiri.
Luna terdiam cukup lama, matanya hanya memandangi sepiring nasi goreng dihadapannya.
“Luna…” Suara Noval pelan, namun tegas, membuat Luna sedikit tersentak. “Aku sudah mengenalmu bukan baru satu jam yang lalu. Jangan bilang padaku kalau kamu baik-baik saja. Lebih baik kamu ceritakan padaku.”
Luna menghela napas panjang. Tapi tetap bungkam. Luna bingung harus memulai perbincangan dari mana.
Noval tidak tinggal diam. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan, lebih dekat dengan Luna, kemudian menatapnya lebih dalam. “Luna ceritakan.”
Desakan itu justru membuat tangis sulit untuk ditahan. “Val…” suara Luna bergetar.
Noval membiarkan Luna menghela napas. Noval mengetahui sesuatu yang buruk sedang dialami oleh Luna. Karena Luna yang kuat tidak tampak di hadapan Noval saat itu.
“Val… aku merasa Ares sudah tidak lagi seperti dulu.” Mata Luna berkaca-kaca. “Dan… ada nama lain yang muncul di antara kami. Celine, Val.”
Luna tidak berusaha menyeka air matanya, ia membiarkan air matanya mengalir di pipinya.
Noval hanya terdiam. Menatap Luna dengan tajam namun penuh kelembutan. Ia tidak berusaha memotong atau mencela dengan pertanyaan, karena Noval tahu malam itu bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi.
Setelah Luna mengatur napas nya, Luna melanjutkan dengan suara bergetar, “Bahkan Ares mengaku hubungannya dengan Celine sudah berlangsung lama, sebelum pernikahan kami.”
Tangis yang dengan sekuat tenaga Luna tahan akhirnya pecah juga, tubuhnya sedikit bergetar.
Noval menatap Luna dengan lekat. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan, tapi ia menahan semuanya diujung lidah. Noval hanya mengulurkan tangannya, lalu menyentuh dengan lembut punggung Luna yang masih bergetar.
Luna hanya bisa terdiam setelah menumpahkan seluruh perasaannya pada Noval.
Noval yang duduk di hadapannya menatap dengan sorot mata sangat prihatin walaupun terlihat keraguan akan ucapan Luna. Ia tahu, sahabatnya tidak pernah selemah ini, dan kini ia melihat dan merasakan sahabatnya sedang berada di ambang kelelahan batin.
“Lun, aku khawatir jika sekarang kamu harus pulang kerumah. Aku khawatir justru perasaan kamu semakin hancur. Kamu butuh ruang untuk tenang. Bernapaslah sedikit dari semua ini.” Suara Noval pelan namun terdengar tegas.
Luna mengangkat wajahnya, menatap Noval dengan keningnya yang berkerut. “Maksud kamu, aku tidak pulang malam ini?” tanya Luna dengan ragu.
“Setidaknya untuk malam ini saja Lun. Aku punya Apartemen kosong, kamu bisa menginap disana malam ini. Kamu tenang saja, tidak ada siapa-siapa disana. Aku janji tidak akan mengganggu kamu. kamu bisa gunakan waktumu malam ini untuk beristirahat, tenangkan diri kamu, dan memikirkan semuanya dengan pikiran jernih.”
Luna segera menggeleng. “Tidak Val, terima kasih. Bagaimanapun juga, rumah itu tempatku. Ada Ares disana. Aku masih ingin memperbaiki semuanya.” Suaranya bergetar, menunjukan bahwa hatinya masih bergulat dengan logikanya.
Noval menatap sahabatnya yang terlihat begitu rapuh namun tetap berusaha tegar. “Aku cuma tidak ingin melihat kamu semakin hancur.”
Luna mengangguk perlahan. “Terima kasih Val, kamu selalu menjadi sahabat terbaikku. Tapi biarkan aku mencoba berjuang dulu, meskipun aku tidak tahu sampai kapan aku mampu bertahan.”
Akhirnya dengan berat hati, Noval menuruti keputusan Luna untuk pulang.
Mobil Noval melaju pelan menembus dinginnya angin malam. Di dalamnya, Luna hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Sesekali Noval melirik Luna.
Setiba di depan rumah, Luna menghela napas, berusaha menyiapkan hatinya untuk masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Ares. Noval memarkirkan mobilnya dan menoleh Luna. “Aku antar kamu masuk,” katanya lembut.
Belum sempat Luna menolak, namun Noval sudah lebih dulu membuka pintu mobil.
Saat keduanya melangkah masuk, pintu ruang tamu terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Ares berdiri disana, mengenakan kemeja santai dengan senyum di bibirnya seolah menyapa Noval.
Noval yang sudah mengenal Ares sejak lama, menyapa dengan sopan. “Ares. Aku minta maaf mengantar Luna cukup malam. Kami makan malam bersama seperti biasa.”
Ares menatap Noval dengan tatapan yang biasa Noval lihat. Tidak terlihat perbedaan sikap dari Ares yang Noval kenal sebelumnya. “Tidak apa-apa. Terima kasih Val, sudah repot mengantar Luna pulang.”
Noval mengangguk, lalu menepuk bahu Luna. “Aku pulang. Kalau ada apa-apa, kabari aku.” Bisiknya.
Begitu mobil Noval melaju meninggalkan halaman, suasana kembali hening. Luna berdiri canggung di ruang tamu, sementara Ares menutup pintu. Tiba-tiba tanpa menoleh Ares berkata, “Aku tidak peduli Luna. Kamu bebas menceritakan apa pun pada Noval. Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, apa pun yang terjadi denganmu aku tidak akan peduli.”
Ares berjalan ke arah ruang keluarga, lalu berhenti sejenak dan menambahkan dengan suara rendah namun jelas, “dan jangan salah paham. Aku tidak menunggumu pulang. Tapi aku tidak bisa tidur.”
Luna berdiri terpaku di ruang tamu. Untaian kalimat itu melumpuhkan perasaannya. Matanya menatap Ares yang berjalan tenang, seakan ucapannya tidak menyakiti istrinya.
Luna dan Ares masuk kedalam kamar bersama. Ares dengan tenang membuka lemari pakaian. Luna memperhatikan gerakan itu dengan mata berkaca-kaca. “Apa yang kamu lakukan Ares?”
Ares menatap Luna sekilas. “Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu,” ujarnya datar.
Ares pun berjalan meninggalkan Luna dikamar mereka. Terdengar pintu kamar tamu berderit pelan kemudian tertutup kembali.
Luna yang seorang diri dikamar tidak membiarkan dirinya terpaku dikamar lebih lama. Langkah Luna terasa berat saat ia berjalan menuju meja makan. Sepotong roti dengan olesan selai masih tertata rapi di atas piring. Roti itu bahkan belum tersentuh sedikit pun.
Luna mendekat, jemarinya menyentuh roti tersebut. Bahkan sarapan yang ku buat sudah tidak dianggap penting lagi. Air mata Luna jatuh begitu saja. Ia meletakan kembali roti itu, perlahan masuk kembali ke kamar.
Begitu pintu kamar tertutup, Luna langsung berdiri di sisi ranjangnya. Di tengah isak tangisnya, ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya yang sudah lama terkubur. Entah dari mana asalnya ia kembali, sebuah kekuatan dan ketegaran kembali hadir.
Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan. Wajah yang sembab, mata yang merah terpantul dari cermin di sampingnya. Ada ketangguhan yang perlahan muncul.
Aku tidak boleh terus seperti ini. Aku harus kuat meski Ares suatu saat memilih pergi. Aku harus siap.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Luna merasa terpuruk, Luna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan tetap kuat entah itu untuk mempertahankan hubungannya dengan Ares, atau pun untuk hal buruk yang mungkin terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!