Hari ini terasa begitu spesial untuk Azel. Pacarnya, Divo, sedang berulang tahun. Dengan penuh semangat, Azel menyiapkan kejutan kecil—sebuah kue ulang tahun lengkap dengan lilin, dan sebuah kotak hadiah berisi sepatu yang sudah lama diincar Divo.
Malamnya, ia melangkah cepat menuju café milik Divo. Tangannya sibuk menenteng kue dan hadiah, sementara hatinya penuh degup bahagia membayangkan ekspresi pacarnya nanti.
Divo sedang berada di ruangan khusus di lantai atas café. Begitu Azel masuk, mata Divo langsung berbinar. Senyumnya lebar ketika Azel menyodorkan kue dengan lilin menyala.
“Selamat ulang tahun!” ucap Azel riang.
“Ya ampun, kamu serius bawa beginian ke sini? Malu, tau, kalau sampai karyawan lihat.” ucap Divo sembari berdiri .
Azel cemberut pura-pura kesal. “Apanya yang malu? Pacar ulang tahun masa nggak dikasih kejutan. Nih, tiup lilinnya dulu.”
Divo menghela napas pendek, tapi senyum tak bisa ia sembunyikan. Ia menutup mata sebentar sebelum meniup lilin, lalu bertepuk tangan kecil.
“Makasih, sayang Kamu selalu bisa bikin aku kaget..”
Azel langsung menyodorkan sebuah kotak berbungkus rapi. “ Aku sengaja lembur demi bisa beliin kamu ini. Coba buka deh.”
Dengan penuh rasa penasaran, Divo merobek kertas kado lalu membuka kotaknya. Senyum lebarnya langsung merekah.
“Wah, keren banget! Pas banget sama jaket baru aku. Kamu tahu aja seleraku.”
“Tentu saja,” Azel menyahut manis. “Aku kan pacarmu, jadi harus tahu dong.”
Mereka duduk berdampingan, Azel mendorong kue ke arahnya.
“Ayo makan kuenya bareng. Aku sengaja pilih cokelat, rasa favoritmu.”
Divo mengambil garpu, lalu menatapnya sekilas.
“Hm, kamu memang perhatian banget, sayang. Kadang aku mikir… aku beruntung punya kamu.”
Mata Azel melunak mendengarnya. “Kalau gitu jangan cuma mikir, Div. Buktikan.”
Divo mengernyit. “Buktikan gimana maksudmu?”
Azel menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia sudah mantap.
“Aku ingin hubungan kita jelas, Div. Aku ingin kita segera menikah.”
Sejenak suasana hening. Senyum Divo menguap begitu saja. Ia menatap Azel, seolah baru mendengar sesuatu yang asing.
“Zel…” ia berdeham canggung, mencoba menutupi kegugupannya. “Kita kan masih muda. Nikah tuh nggak kayak beli sepatu. Nggak bisa langsung dipakai kalau cocok.”
“Aku tahu,” balas Azel pelan tapi tegas. “Tapi aku nggak main-main, Div. Aku capek kalau hubungan kita cuma muter-muter gini tanpa arah.”
Divo bersandar, gelisah, lalu mengusap tengkuknya. “Aku… ke toilet dulu, ya. Kepala aku agak pusing.”
Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan Azel sendiri bersama kue ulang tahun dan hadiah yang baru saja ia berikan.
Azel menatap pintu yang baru saja tertutup, menunggu dengan sabar sambil berharap Divo benar-benar hanya butuh waktu sebentar di toilet. Ia menatap layar ponselnya, lalu jam di dinding. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Lima belas menit.
Perasaannya mulai tak enak. Azel meraih ponselnya, mencoba menghubungi Divo. Nada sambung berulang, tapi tak ada jawaban. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri, lalu mengirim pesan singkat: “Div, kamu di mana? Aku tunggu di atas.”
Namun, tak ada balasan.
Waktu terus berjalan, dan Azel masih duduk di sana, menunggu dengan harapan yang makin lama makin menipis. Café mulai sepi, satu per satu karyawan keluar setelah selesai bekerja, meninggalkan suasana hening yang menyesakkan.
Sudah lebih dari dua jam. Kue di meja kini terlihat menyedihkan, lilin bekas tiupan masih menempel di permukaannya. Kotak sepatu hadiah yang tadi begitu berarti kini terasa hambar.
Azel kembali menekan nomor Divo, berkali-kali, tapi tetap nihil. Tidak ada jawaban.
Akhirnya, dengan perasaan kecewa yang menekan dadanya, ia memutuskan untuk pulang. Langkahnya pelan, berat, seolah setiap langkah membawa beban. Malam yang semestinya menjadi hari spesial justru berubah menjadi luka kecil yang tak ia duga.
\=\=\=\=
Setelah meninggalkan Azel di lantai atas, Divo bukannya benar-benar pergi ke toilet. Lelaki itu justru melangkah cepat ke luar café, menyebrang menuju sebuah bangunan tepat di sampingnya—sebuah klinik kecantikan modern.
Tangannya mengetuk pintu salah satu ruangan dengan tergesa, hampir seperti menggedor. Matanya sempat melirik ke belakang, memastikan tak ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
Pintu terbuka, menampakkan sosok pria muda dengan wajah tampan, rapi dengan jas dokternya. Ekspresinya langsung berubah kesal.
“Ada apa sih, Vo? Lo datang-datang gedor pintu sembarangan aja,” ujar dokter itu dengan nada tak sabar. Dialah Elzhar Magika Wiratama—sahabat lama Divo, sekaligus seorang dokter bedah kecantikan yang cukup terkenal.
Divo tanpa basa-basi menerobos masuk, wajahnya panik.
“Tolong gue, EL! Ada cewek gila tiba-tiba ngajak gue nikah. Gue takut.”
Elzhar menghela napas panjang, menutup pintu dengan malas. “Cewek yang mana lagi, Vo?” suaranya dingin, nyaris muak. Ia sudah terlalu sering mendengar drama semacam ini dari mulut sahabatnya.
Divo mengusap wajahnya, lalu menjatuhkan diri ke sofa. “Adalah! Lo tau lah, gue nggak mau tiba-tiba diikat sama janji kayak gitu. Baru setahun pacaran, udah ngajak nikah aja. Gue belum siap.”
Elzhar memandanginya tajam. Ia tahu benar tabiat Divo—hubungan satu tahun dengan seorang perempuan bukan berarti apa-apa baginya, karena di balik itu Divo masih punya banyak nama lain. Dan kali ini, yang dimaksud Divo jelas: Azel.
Elzhar bersandar di meja kerjanya, menyilangkan tangan di dada. Sorot matanya dingin, menusuk ke arah Divo yang masih sibuk mengeluh.
“Lo tuh ya, Vo… jangan kebanyakan drama,” ucapnya datar. “Kalau ada cewek ngajak nikah, itu wajar. Namanya juga serius sama lo. Bukan salah dia kalau lo sendiri yang nggak pernah jelas.”
Divo langsung mengangkat kepala, wajahnya setengah protes. “Lah, tapi gue belum siap, EL! Hidup gue masih panjang. Nikah tuh ribet, banyak aturan. Gue bukan tipe yang bisa langsung kejebak di situasi kayak gitu.”
Elzhar menghela napas, menatapnya seolah malas berdebat. “Kejebak?” ia mengulang kata itu, nadanya penuh sindiran. “Lo sadar nggak, Vo? Yang kejebak itu justru cewek-cewek yang lo mainin. Mereka mikir lo serius, padahal lo sendiri yang nggak pernah niat dari awal.”
Divo terdiam, wajahnya kaku. Tapi hanya sebentar, karena kemudian ia nyengir kecut, berusaha mengalihkan.
“Ya ampun, lo ini kenapa sih jadi ceramah? Gue kan cuma curhat. Lagian, EL, lo tahu sendiri lah gue sayang sama cewe itu… tapi ya nggak sampai harus ke pelaminan juga.”
Elzhar mendengus kecil. “Sayang model apaan? Lo udah jalan sama dia setahun, masih aja lo anggap main-main. Kalau lo bener-bener nggak mau nikah, dari awal jangan kasih harapan. Simple, kan?”
Ruangan itu seketika sunyi, hanya terdengar dengusan napas Divo yang mulai tak nyaman. Elzhar menatap sahabatnya lama, lalu menambahkan, “Saran gue, sebelum lo nyakitin dia lebih parah, mending lo putusin. Jangan bikin dia keburu jatuh terlalu dalam.”
Sepanjang perjalanan pulang malam itu, Azel hanya menatap kosong jalanan kota dari balik kaca jendela taksi. Hatinya penuh tanya—mengapa Divo, lelaki yang selama ini ia percaya sebagai masa depannya, justru menunjukkan sikap sebaliknya? Namun ia masih mencoba menepis prasangka buruk. Mungkin Divo hanya ada urusan mendadak… pikirnya berulang kali, berusaha menenangkan diri.
Keesokan harinya, hidupnya kembali pada rutinitas. Di butik tempat ia bekerja, Azel sibuk melayani pelanggan, meski pikirannya jauh. Sesekali ia menoleh ke layar ponsel yang tak kunjung berbunyi.
“Kak, dari tadi mantengin HP terus. Nunggu kabar siapa sih?” tanya Sisil, rekan kerjanya.
Azel menghela napas panjang. “Aku nunggu kabar dari Divo. Dari kemarin ponselnya mati, nggak ada kabar sama sekali.”
“Lho, bukannya kemarin kamu kasih dia kue sama hadiah? Kok bisa ilang gitu aja?” Sisil menatap heran.
“Itu dia… Awalnya dia senang banget, tapi setelah aku ajak ngomong soal hubungan kita ke arah yang lebih serius, dia tiba-tiba pamit ke toilet… dan nggak balik lagi.”
Sisil terdiam sesaat sebelum berkata pelan, “Aneh sih… harusnya dia juga punya keinginan yang sama. Tapi, mungkin dia cuma butuh waktu, Kak. Jangan terlalu khawatir dulu.”
Azel hanya tersenyum pahit. “Entahlah, Sil. Aku benar-benar nggak mengerti.”
\=\=\=\=
Hari berganti hari. Tiga hari berlalu, Divo menghilang tanpa jejak. Azel sempat datang ke kafenya beberapa kali, tapi hasilnya nihil. Malam itu, dengan hati resah, ia memilih pergi ke sebuah klub, mencoba mengusir sesak di dadanya dengan beberapa gelas minuman. Namun, bayangan Divo justru semakin menguasai pikirannya. Dalam kondisi setengah mabuk, ia memutuskan mendatangi kafe itu lagi.
Suasana kafe malam itu lengang, hanya ada beberapa pelanggan dan pelayan yang mondar-mandir. Di salah satu sudut ruangan, Divo sedang bercengkerama santai dengan sahabatnya, Elzhar.
Pintu kafe terbuka keras. Azel masuk dengan langkah sempoyongan, wajahnya memerah karena alkohol. “Divooo…!” teriaknya lantang.
Semua mata langsung menoleh. Divo yang kaget setengah mati buru-buru menyelinap ke bawah meja, wajahnya pucat pasi.
“Eh, Vo… lo ngapain di situ?” Elzhar menatapnya dengan alis terangkat, tak percaya sahabatnya bisa sepengecut itu.
“L… tolong gue, please! Cewek gila yang gue ceritain itu ada di sini! Lindungin gue, L!” Divo meracik-racik celana Elzhar dengan wajah ketakutan.
Elzhar menghela napas panjang, merasa muak. “Astaga, Vo. Harusnya lo yang ngadepin, bukan kabur.”
Namun langkah Azel semakin mendekat. Elzhar pun berdiri, berusaha mengalihkan perhatian. “Lo nyari siapa, Mbak?”
Azel mengerjap, menatapnya dengan mata berat. “Lo siapa? Gue nyari pacar gue… Divo.”
“Nggak ada di sini. Lebih baik lo pulang, jangan bikin keributan,” ucap Elzhar tegas.
Tapi dari bawah meja, sebuah ponsel jatuh. Azel sigap mengenalinya—itu milik Divo.
“Divoo… sayang…” suara Azel bergetar, matanya berkaca-kaca. “Kamu ke mana aja? Kenapa teleponku nggak pernah kamu angkat? Kenapa HP-mu mati?”
Divo akhirnya terpaksa bangkit, wajahnya pucat dan gelagapan. “HP aku… rusak, Zel.”
Azel merebut ponselnya cepat, menekan-nekan layarnya. “Rusak? Ini masih berfungsi dengan baik!” suaranya meninggi, campur aduk antara marah dan kecewa.
Wajah Divo mengeras. Dengan suara dingin, ia berkata, “Udah cukup, Zel. Gue mau putus sama lo. Gue nggak cinta lagi. Jadi, tolong… pergi dari hidup gue.”
Seisi kafe terhenyak. Azel terpaku, matanya membelalak tak percaya. “Apa…? Apa salahku, Div? Aku nggak pernah nyakitin kamu…” Suaranya pecah, air mata jatuh deras, lalu tubuhnya ambruk seketika.
Spontan, Elzhar melangkah cepat dan meraih tubuh Azel sebelum jatuh ke lantai. Dengan sigap ia membopongnya, sementara semua pengunjung kafe menatap dengan pandangan penuh simpati.
Divo hanya terdiam kaku, terkejut namun lega dalam hati—setidaknya ia berharap setelah ini, Azel tak lagi mengganggunya.
Elzhar dengan hati-hati menurunkan tubuh Azel ke sofa kafe. Nafas perempuan itu masih terengah, wajahnya memerah karena alkohol dan tangis yang bercampur jadi satu. Elzhar sempat menatapnya lama. Ada kecantikan lembut yang tak bisa ia abaikan, meski tertutup air mata. Ia menggeleng pelan sambil bergumam lirih, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
“Cantik… tapi kenapa sebodoh ini, sampai rela jatuh sehancur ini demi orang kayak lo, Vo…”
Divo yang sejak tadi bersembunyi akhirnya berdiri, wajahnya penuh rasa tak nyaman. Elzhar menoleh tajam padanya.
“Vo, lo tau kan alamat rumahnya? Suruh salah satu pegawai cewek lo nganterin dia pulang. Jangan bikin keadaan makin memalukan.”
Divo hanya bisa mengangguk cepat, tak berani membantah. “Iya, iya… lo bener.”
Tak lama, dua orang pegawai perempuan kafe itu menghampiri. Dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Azel, lalu membawanya keluarmenuju taxi online yang Divo pesan. Divo buru-buru memberi instruksi singkat, memastikan Azel diantar sampai ke rumahnya.
Elzhar masih berdiri di tempat, matanya mengikuti langkah Azel yang menjauh. Ada sesuatu di hatinya yang sulit dijelaskan—campuran iba, marah, dan tanda tanya besar.
\=\=\=\=
Keesokan harinya, Azel terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Cahaya matahari menembus tirai kamarnya, membuat matanya menyipit. Ia sempat bingung bagaimana bisa berada di kasur sendiri, padahal yang ia ingat terakhir adalah dirinya berjalan sempoyongan menuju kafe Divo.
Pelan-pelan ia bangun, menatap sekeliling kamar yang terasa begitu asing karena hening. Ponselnya tergeletak di meja samping, dengan notifikasi kosong. Tidak ada satu pun panggilan balik, tidak ada pesan dari Divo. Hatinya tercekat.
“Jadi… beneran sudah selesai?” gumamnya lirih, suara parau karena tangis semalam.
Azel menyentuh layar ponselnya, membuka galeri tempat ia menyimpan semua foto dengan Divo. Senyumnya yang dulu selalu jadi penyemangat, kini hanya terasa seperti pisau yang menusuk-nusuk. Air matanya kembali jatuh tanpa izin.
Ia memegang dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya mungkin kembali ke rumah, tapi hatinya masih tertinggal di kafe semalam—tertinggal di momen saat Divo benar-benar mengucapkan kata putus tanpa penjelasan.
Dengan lesu ia beranjak ke kamar mandi, membasuh wajahnya, mencoba menutupi sembab matanya. “Aku harus kuat,” katanya kepada bayangan dirinya di cermin. “Kalau dia bisa pergi semudah itu, aku juga harus bisa.”
Namun semakin ia berusaha, semakin kuat pula rasa kehilangan itu menjerat.
Azel bertekad menemui Divo lagi. Setidaknya, ia ingin mendengar penjelasan langsung—apa yang sebenarnya terjadi semalam. Dengan langkah cepat, ia menuju kafe milik Divo, meski hatinya sudah penuh rasa was-was.
Begitu masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok yang sudah tak asing. Elzhar. Lelaki itu berdiri di depan barista, menunggu pesanannya. Tanpa pikir panjang, Azel menghampirinya.
“Lo temen Divo, kan? Divo di mana sekarang?” tanyanya, suara terdengar panik bercampur harap.
Elzhar hanya menghela napas panjang, seakan tak mau meladeni. Ia meraih gelas plastik berisi kopi pesanannya, lalu melangkah keluar kafe tanpa sepatah kata.
Tak menyerah, Azel mengikuti langkahnya hingga ke area parkir. “Mas, tolong… aku cuma ingin penjelasan. Aku butuh kepastian. Divo ada di mana?” suaranya memohon, hampir bergetar.
Elzhar membuka pintu mobilnya, tapi langkahnya diadang oleh tubuh Azel yang berdiri tepat di depannya.
“Please, mas. Aku mohon… kasih tahu aku. Divo di mana?”
Tatapan Elzhar mengeras. Ia sudah muak dengan semua ini. Dengan nada penuh amarah, akhirnya ia meledak.
“Lo kenapa sih? Kenapa lo ngotot banget sama laki-laki yang bahkan nggak pernah cinta sama lo?!” serunya, membuat Azel terdiam. “Lo tau kan, lo itu bukan satu-satunya pacar dia. Lo cuma salah satunya! Dan bisa jadi… dia cuma pengen nikmatin badan lo!”
Azel terperanjat. Bibirnya gemetar, dadanya seperti diremas. Namun Elzhar belum selesai.
“Dan apa yang lo liat dari dia? Hartanya, kan? Jangan pura-pura bersih, jangan pura-pura tulus!”
Kalimat itu bagai tamparan keras. Dengan spontan, Azel merebut gelas kopi dari tangan Elzhar, lalu menyiramkannya tepat ke wajah dokter muda itu.
“Jaga mulut lo!” teriaknya, suara pecah penuh emosi. “Tidur sekali pun gue nggak pernah sama dia! Gue tulus… cinta sama dia! Gue nggak pernah liat dia dari hartanya!”
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Dengan langkah goyah, Azel berbalik pergi, meninggalkan Elzhar yang berdiri kaku, terdiam, wajahnya masih basah oleh kopi.
Ia hanya bisa terpaku, syok dengan reaksi Azel barusan. Kata-kata kasar yang ia lontarkan ternyata menusuk balik hatinya sendiri.
Dari seberang jalan, tanpa disadari, seorang wanita memperhatikan kejadian itu dengan saksama. Senyum samar terbit di bibirnya, seolah ia baru saja menyaksikan sesuatu yang menarik.
Azel berjalan tanpa arah, menyusuri trotoar kota dengan mata sembab. Air matanya terus mengalir, meski sudah berulang kali ia usap. Hatinya terasa hancur, seperti kehilangan pegangan.
Tiba-tiba, suara klakson pelan membuat langkahnya terhenti. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Dari dalam, seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun turun dengan anggun. Parasnya cantik, elegan, dan jelas sekali bukan orang biasa.
Wanita itu melangkah mendekat, senyumnya hangat meski matanya menyorot tajam penuh wibawa. “Halo,” sapanya lembut sambil menyodorkan tangan. “Perkenalkan, saya Rossa. Apakah kamu pacar anak saya?”
Azel tergugu, buru-buru mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. Hatinya langsung teringat pada Divo. Dengan suara pelan, ia menjawab, “Halo juga, Tante. Iya… saya Azel.”
Rossa mengangguk, ekspresinya sejenak melembut. “Saya minta maaf, ya, atas nama anak saya. Karena sudah membuat kamu menangis.”
Azel tersenyum kaku, mencoba menutupi luka yang masih terasa. “Oh, nggak apa-apa, Tante. Saya baik-baik saja.”
“Baiklah,” Rossa menatapnya dalam, seolah sedang menilai sesuatu. “Besok, saya ingin mengundang kamu makan malam di rumah. Anggap saja ini ucapan permintaan maaf saya… atas nama anak saya.”
Azel terdiam sejenak, hatinya berdebar. Ada rasa ragu sekaligus penasaran. Namun ia tak ingin terlihat menolak. “Oh… iya, Tante. Saya usahakan datang.”
Senyum Rossa mengembang samar, ada sesuatu yang sulit ditebak di balik sorot matanya. Ia menepuk lembut bahu Azel sebelum kembali ke mobilnya.
Azel hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan mobil itu melaju menjauh. Hatinya semakin dipenuhi tanda tanya—apa maksud sebenarnya undangan itu? Dan mengapa pertemuan ini terasa… tidak biasa?
\=\=\=\=
Keesokan harinya, sesuai undangan yang ia terima, Azel akhirnya memutuskan untuk datang. Ia mengenakan dress selutut sederhana namun sopan, rambutnya dibiarkan terurai rapi. Di tangannya, ia membawa sekotak kue yang sengaja dibelinya sebagai tanda hormat.
Meski belum pernah diajak ke rumah Divo, Azel hafal alamatnya. Jantungnya berdegup kencang saat ia menekan bel. Ada rasa takut menyelinap—takut Divo marah, takut ditolak, tapi juga ada secercah harapan.
Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang, usianya sekitar lima puluhanan, berpenampilan hampir mirip dengan ibu ibu yang ia temui kemarin.
“Selamat malam, Tante. Saya mau bertemu dengan Mama Divo. Kebetulan kemarin saya diundang untuk makan malam,” ucap Azel sambil menunduk sopan.
Wanita itu menatapnya dengan heran. “Saya tidak pernah mengundang siapa pun untuk datang ke rumah hari ini.”
Azel terdiam, kebingungan. “Maaf, Tante, mungkin ada salah paham. Maksud saya… mama-nya Divo yang kemarin mengundang saya.”
Wajah wanita itu berubah kaku. “Apa? Kamu tidak tahu siapa saya? Saya ibunya Divo. Dan kamu siapa? Lancang sekali datang ke rumah ini tanpa izin.”
Azel terpaku. Kepalanya berputar—jadi, siapa wanita elegan yang kemarin mengaku sebagai ibunya Divo?
Suasana semakin tegang ketika sebuah mobil berhenti di halaman. Divo turun bersama Elzhar, yang saat itu sekadar mengantarnya pulang karena mobil Divo mogok.
Azel spontan menoleh. “Divo… aku datang karena kemarin ada yang mengundangku. Dia mengaku ibumu.”
Mendengar itu, wanita yang memperkenalkan diri sebagai Maya langsung menyambar dengan nada tinggi. “Ohhh… jadi kamu yang selalu mengganggu anak saya? Yang memohon-mohon agar dinikahi anak saya? Pantas saja dia menolak! Rupanya hanya seorang gadis kampungan begini!”
Kata-kata itu menusuk hati Azel. Ia mencoba bertahan, menahan air matanya agar tidak jatuh. “Maaf, Tante, saya tidak bermaksud begitu…”
Namun Maya tak berhenti. “Ah, saya tahu tipe orang miskin seperti kamu. Pasti mau menikah dengan orang kaya hanya untuk menikmati kekayaan kami, kan?”
Divo hanya berdiri diam. Tak satu pun pembelaan keluar dari bibirnya.
Azel akhirnya tak sanggup lagi. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Kalau saya tahu dari awal Divo seorang pecundang… dan ibunya penuh kesombongan seperti ini, saya tidak akan pernah sudi menjadi bagian dari keluarga ini.”
Air matanya pecah. Tanpa menunggu jawaban, Azel berbalik dan pergi meninggalkan halaman rumah itu.
“Heh! Dasar anak tidak tahu sopan santun!” teriak Maya di belakangnya, terus memaki hingga sosok Azel menghilang dari pandangan.
Elzhar hanya menghela napas berat. Ia pamit seadanya lalu tanpa sadar mengikuti langkah Azel dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya—rasa kasihan, atau mungkin lebih dari itu—yang membuatnya tak tega melihat gadis itu diperlakukan begitu hina.
Malam itu, Azel duduk termenung di kamarnya. Matanya masih sembab, wajahnya kusut setelah menahan perasaan yang hancur. Setiap kata hinaan yang keluar dari mulut Maya kembali terngiang di telinganya, begitu juga tatapan dingin Divo yang hanya diam tanpa sedikit pun membela.
Azel menarik napas dalam. Hatinya sakit, tapi di balik rasa sakit itu ada kesadaran baru yang perlahan muncul.
“Aku sudah cukup terluka. Aku nggak mau lagi dipermainkan, nggak mau lagi dihina. Mulai malam ini… aku harus berhenti berharap pada Divo,” gumamnya pada diri sendiri.
Ia menatap bayangannya di cermin, lalu menghapus sisa air mata dengan punggung tangan. “Aku harus bisa move on. Aku harus belajar berdiri tanpa dia. Karena aku tahu, aku berharga… dan aku pantas dicintai dengan tulus, bukan dipermainkan.”
Azel pun berbaring, mencoba memejamkan mata meski dadanya masih sesak. Malam itu, ia membuat janji pada dirinya sendiri: melupakan Divo, bersama segala luka dan kenangan yang pernah ia titipkan pada laki-laki itu.
\=\=\=\=
Sesampainya di apartemen, Elzhar langsung merebahkan diri di atas kasur. Badannya lelah, pikirannya pun masih penuh dengan kejadian tadi sore. Ia baru saja ingin memejamkan mata ketika suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Dengan malas ia meraih ponsel itu.
Tante Monic.
Ia mendengus kesal begitu membaca nama pengirim pesan itu.
> “L, tante mau jujur sama kamu. Ada info penting. Berapa kamu berani membayarnya?”
Mata Elzhar menyipit. Ia langsung mengetik balasan cepat.
“Cihhh, apaan sih. Dasar mata duitan.”
Monic memang terkenal seperti itu. Adik dari ayahnya itu selalu saja mencari kesempatan dengan menukar informasi demi uang. Sudah bukan hal baru lagi baginya.
Tak lama, pesan lain masuk.
> “L, kamu serius nggak mau tahu? Kalau besok kamu nggak bawa pacar kamu itu, ibumu akan mengatur perjodohanmu dengan wanita pilihannya.”
Elzhar terbelalak. Ia langsung duduk tegak, jantungnya berdegup keras. “Hah? Apa maksudnya?” gumamnya, buru-buru menekan tombol telepon untuk menghubungi Monic.
Sambungan tersambung, dan suara tante menyebalkan itu langsung terdengar.
“Halo? Oh, jadi sekarang kamu penasaran?” tawa kecil Monic terdengar mengejek.
“Kemarin tante sama ibumu lihat kamu ribut sama pacar kamu di pinggir jalan. Sampe disiram kopi segala. Hahaha… malang banget sih kamu, L.”
Elzhar terdiam. Ingatannya melayang pada kejadian di depan kafe, saat Azel yang emosional menyiramkan kopi ke wajahnya. Rahangnya mengeras.
“Terus?” suaranya dalam, menahan kesal.
“Ya jelas ibumu curiga. Malam ini, tante dengar ibu sudah mengundang gadis itu untuk makan malam. Tapi… dia nggak datang. Jadi, gimana tuh, L? Kamu siap-siap aja. Kalau besok nggak bawa pacar, ibumu langsung sodorin calon pilihannya.”
Mata Elzhar membesar. Ia tertegun sejenak, baru kemudian menyadari sesuatu.
“Jadi… gadis itu—” gumamnya pelan. Ingatannya kembali pada Azel, gadis yang ia lihat di rumah Divo, yang ternyata diundang oleh… ibunya sendiri.
Seketika semua potongan puzzle terasa menyatu di kepalanya. Jadi benar, ibunya mengira Azel adalah pacarnya.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!