NovelToon NovelToon

Ikhlasku Mencintaimu

1. Rindu Yang Kembali Hadir

Senyum para karyawan mengembang pada sosok yang begitu menawan yang baru saja datang. Tubuh tegap dibalut dengan kemeja putih slimfit dan celana hitam bahan begitu pas di badan. Serta sepatu hitam mengkilap yang menghasilkan suara derap langkah sangat seksi. Sapaan mereka selalu disambut senyuman kecil ciri khas seorang Gaffi Anggasta Wiguna.

Sudah hampir tiga tahun anak bungsu Gavin Agha Wiguna masuk ke perusahaan milik keluarga. Kinerjanya semakin hari semakin meningkat. Dan sekarang dipercaya menjadi seorang direktur muda yang mempesona. Banyak dari mereka (karyawan wanita) mendekat, sayangnya Anggasta selalu menganggap angin lewat. Seperti lelaki yang tak memiliki hasrat.

Hembusan napas kasar dikeluarkan. Meregangkan otot kepala ke kiri dan ke kanan hingga menimbulkan suara yang membuat otot lehernya sedikit relaks. Dilihat jam yang melingkar di tangan. Senyum yang begitu tipis terukirkan karena ternyata hari sudah petang.

Tetiba sebuah rasa menggerakkannya menuju sebuah tempat yang membuat langkahnya tercekat. Tempat yang lebih rapi dan indah dari lima tahun lalu. Perlahan dan pasti, kakinya melangkah menyusuri jalan menuju sebuah kursi besi yang letaknya masih sama seperti dulu. Sorot mata tak pernah bisa berdusta. Ada hal yang masih Anggasta simpan dan tak pernah terutarakan sampai sekarang.

"Gaffi! Dia Nerima cinta gua!"

Terngiang lagi kalimat yang membuat hatinya berserakan. Terlalu menyakitkan. Padahal, orang yang mengatakannya sangat bahagia tak terkira. Pelukan yang biasanya menghangatkan, terasa mulai menyakitkan. Tangan yang biasanya mudah untuk membalas, tetiba kebas.

"Gua bahagia banget, Fi."

Sebuah kata yang menampar hati Anggasta sangat keras. Katakan atau pendam. Dia harus memilih.

"Gua ikut bahagia, Lan."

Itulah jawaban yang mengandung makna lain. Anggasta sudah memilih jalannya. Menyudahi perasaan yang dia miliki untuk perempuan yang bernama Bulan Noora.

Di kursi itulah perpisahan mereka terjadi. Pelukan yang perempuan itu berikan dijadikan sebagai perpisahan termanis oleh lelaki yang selama hampir 5 tahun menyimpan perasaannya sendiri. Perasaan yang tumbuh di dalam sebuah zona pertemanan.

Mencintai dalam diam itulah yang Anggasta lakukan. Setelah fakta yang terkuak perihal Bulan yang mencintai orang lain. Niat yang sudah bulat pun diurungkan. Rencananya perasaan itu akan diungkapkan tepat di hari kasih sayang. Pada akhirnya, perasaan itu akan dia simpan dalam diam sampai batas waktu yang tak tahu sampai kapan. Miris sekali, bukan?

Setiap kali mendengar cerita tentang lelaki yang Bulan kejar, hatinya sakit. Tapi, di sisi lain hatinya ikut bahagia karena wajah Bulan yang begitu cerah. Anggasta bagai manusia labil. Kebahagiaan serta kesakitan seakan begitu sulit untuk dibedakan. Hati kecilnya ingin pergi, tapi rasa ingin melindungi malah semakin meninggi.

Menahan kesakitan Anggasta lakukan. Dia berjanji kepada dirinya untuk menemani Bulan sampai perempuan yang membuatnya jatuh hati tersebut menemukan kebahagiaan. Masih setia berada di samping Bulan sedari SMA sampai di tahun kedua kuliah. Walaupun berbeda kampus dan jarang bertemu, ketika Bulan membutuhkannya lelaki itu akan segera datang. Bukti cinta dan bodoh itu sangat tipis.

Kebahagiaan sudah Bulan dapatkan. Anggasta yang melihat langsung bagaimana bersinarnya raut wajah Bulan memutuskan untuk mulai mundur secara perlahan. Tugasnya untuk menjaga Bulan sudah selesai dan meninggalkan jejak kesakitan yang cukup mendalam. Mencoba Belajar mengikhlaskan perempuan yang tak mampu dia genggam.

Bisa saja Anggasta tetap menyatakan perasaannya. Namun, dia bukan lelaki egois. Kebahagiaan Bulan adalah yang paling penting karena semenjak mengejar lelaki yang tak lain adalah kakak kelasnya, kebahagiaan Bulan terpancar sangat jelas. Dia tidak ingin ungkapan hatinya merusak kebahagiaan perempuan yang dia sayang. Biarkan dia yang belajar mengikhlaskan. Dan semesta pun seakan mendukung penuh keputusannya untuk melepaskan. Ponsel Anggasta dicuri orang dan semua kontak menghilang termasuk kontak Bulan. Mereka pun sudah tak pernah tahu kabar satu sama lain karena Anggasta memilih untuk pergi membawa rasa yang nyatanya tak pernah mati.

Ditatapnya langit malam yang dihiasi bulan purnama yang begitu terang. Indah, tapi tak seindah hatinya sekarang. Selama lima tahun terakhir, baru kali ini Anggasta merasa merindukan sosok Bulan. Perempuan yang dikabarkan sudah bertunangan dengan lelaki yang masih sama. Lelaki yang Bulan kejar secara ugal-ugalan. Ternyata hubungan Bulan dengan sang kakak kelas tersebut berjalan begitu langgeng.

"Cukup ya rindunya. Dia sudah bahagia dengan cintanya."

Memilih pergi dari tempat yang menyimpan kenangan indah untuknya. Tapi, belum tentu untuk perempuan yang saat ini tengah Anggasta rindukan.

Kerinduan itupun hanya mampu bertahan satu malam. Setelahnya, Anggasta kembali menjadi lelaki yang sangat sibuk. Hanya laporan dan lembaran kertas yang akan terus dia pandang.

Keseriusan Anggasta beralih ketika pintu ruangannya terbuka. Sang paman yang masih sangat tampan tetiba datang dan memberi kabar.

"Gyan akan bergabung dengan kita mengurus Wiguna Grup pusat."

Wajah bahagia Anggasta terpampang nyata. Dia sangat tak menyangka dan senyum lebar pun Reksa berikan. Sang kakak, Gyan Abhiseva Wiguna yang sudah hampir satu dekade jauh darinya dan keluarga kini akan kembali bersama mereka. Seperti hadiah terindah yang tak dia sangkakan.

Bayang wajah lucu dua keponakan kembarnya mulai hadir. Senyumnya merekah karena dia tak perlu lagi menahan rindu pada dua keponakannya yang seperti obat mujarab untuk meredakan lelah yang melanda, Arsen dan Arlen.

"Kapan Kakak kembali?" Ketidaksabaran yang dipenuhi kerinduan mampu Reksa lihat dan rasakan.

"Om belum tahu." Raut kecewa mulai hadir.

"Tapi, setiap kata yang keluar dari bibir Gyan pasti akan terelisasikan."

Anggukan pelan yang menjadi jawaban. Apa yang dikatakan oleh sang paman memang benar. Gyan tak akan pernah mengingkari janji. Hanya saja lelaki yang sudah memiliki dua anak itu menyimpan banyak teka-teki.

Reksa menyuruh Anggasta untuk kembali bekerja. Dia hanya menyampaikan apa yang diperintah oleh Gyan. Seperti ada koneksi hati di antara kakak beradik itu. Setidaknya kabar itu akan membuat hati Anggasta sedikit membaik.

Seminggu setelah kabar yang datang, sang kakak tak jua kembali ke Jakarta. Ingin bertanya pun sungkan. Apalagi dia tahu bagaimana watak kakaknya. Tengah anteng dengan segala pekerjaan yang menumpuk, getaran ponsel yang ada di atas meja membuat atensinya beralih. Nama sang paman yang ada di sana.

"Iya--"

"Jemput Gyan di Bandara."

Tanpa banyak berkata Anggasta langsung meninggalkan pekerjaannya yang begitu banyak. Akhirnya, dia akan bertemu dengan sang kakak. Baru saja keluar dari ruangan, aroma parfum yang tak asing mulai menyeruak. Langkah yang sedikit melamban pun kembali dilanjutkan. Dia meyakini itu hanya halusinasi karena rasa rindu yang belum pergi.

"Enggak mungkin kan dia ada di sini."

Bergelut dengan segala pikiran yang ada. Dan sebuah panggilan membuat tubuhnya menegang.

"Gaffi!!"

...*** BERSAMBUNG ***...

Aku enggak minta apa-apa. Cukup tinggalkan komentar di cerita ini yang banyak. Begitu juga aku udah senang banget.

Jangan lupa tekan ❤️ ya biar enggak ketinggalan update terbarunya.

2. Tahap Tertinggi Mencintai

"Gaffi!"

Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama depan. Dan suara itupun sangat familiar. Langkah yang ingin terhenti harus dilanjutkan karena sang paman yang kembali menghubunginya untuk segera bergegas menuju bandara.

Punggung yang lebih kekar dibandingkan masa SMA semakin menjauh membuat senyum yang sudah melengkung mulai memudar.

"Apa aku salah orang?"

.

"Gaffi!"

"Gaffi!"

"Gaffi!"

Gelengan kepala pelan seakan mengusir kenangan yang tetiba datang. Suara itu ternyata masih terngiang di telinga.

"Semoga kamu bahagia terus, Lan."

Bibir mampu berkata seperti itu. Tak sebanding dengan hatinya yang tengah meringis perih. Nyatanya, Bulan tak pernah benar-benar pergi dari hati Anggasta.

Keperihan hati yang tengah menyelimuti menguar ketika melihat dua balita lelaki kembar yang begitu tampan tengah melambaikan tangan. Senyum pun melebar dan segera menghampiri dua keponakan kesayangan yang kini sudah diturunkan dari gendongan.

"Untel!"

Selebar apapun senyum Anggasta tak mampu berdusta pada sosok dingin yang tengah memperhatikannya. Jelmaan cenayang yang kebanyakan diam. Siapa lagi jika bukan Gyan.

"Ke Wiguna Grup."

Suara yang terdengar mengandung perintah yang tak bisa dibantah. Ditatap datar oleh sang kakak membuat tubuhnya sedikit gemetar.

Sebuah kejutan sengaja Gyan berikan kepada sang ayah. Itupun berkat kerjasama dengan Daddy Aksa sehingga misinya berhasil. Kebahagiaan menyelimuti keluarga juga Anggasta.

Seperti biasa sapaan di pagi hari dari karyawan dibalas dengan senyuman ciri khas Anggasta. Mereka merasa dihargai oleh sang direktur. Apalagi Anggasta terbilang atasan yang soft spoken. Dan banyak karyawan baru yang masuk tim direksinya. Itupun atas seleksi yang sangat ketat.

Tak ada yang berbeda dari hari biasanya. Anggasta tetap berkutat dengan lembaran-lembaran berharga dan juga pergi ke beberapa meeting penting. Dia kembali ketika matahari hampir terbenam. Jam pulang kerja sudah usai dan dia meyakini di lantai di mana ruangannya berada sudah kosong tak ada penghuni.

Dahinya mengkerut ketika masih ada satu karyawan yang bergelut di depan komputer. Padahal sudah waktunya pulang. Niat hati ingin menyapa, tapi sebuah pesan yang baru saja masuk menyuruhnya untuk segera bergegas masuk ke ruangan. Memeriksa beberapa berkas yang dibutuhkan sang kakak. Derap langkahnya membuat karyawan itu menoleh. Terpana pada sosok yang sama seperti kemarin.

"Gaffi!"

Sayangnya, lelaki itu tak mendengar dan sudah menghilang di balik pintu ruangan. Anggasta terdiam untuk sesaat setelah menutup pintu. Kembali suara itu hadir. Dan lagi dia menepisnya.

Di jam delapan malam Anggasta baru keluar ruangan. Sudah tak ada siapapun di lantai itu. Dia pun melanjutkan langkah menuju lift. Mata yang tengah terfokus pada ponsel di tangan sambil menunggu lift terbuka harus mengalihkan pandangan ketika seseorang tetiba ada di sampingnya. Matanya seketika terkunci pada manik mata yang sangat dikenali.

"Gaffi!"

"Beneran kan lu Gaffi!"

Senyum yang masih sama dan rona bahagia yang tak pernah berubah. Ditambah pelukan refleks yang perempuan itu berikan membuat tubuh Anggasta menegang.

"Gua kangen lu, Fi."

Mulut Anggasta tetiba bisu mendengar kalimat yang keluar dari Bulan Noora. Perempuan yang ternyata menjadi salah satu karyawan baru yang di dalam direksi Anggasta. Tak ada balasan dari pelukan rindu itu. Perlahan Anggasta mulai memundurkan tubuh dan membuat pelukan itu terurai. Ada raut kecewa dari perempuan yang sudah menatap Anggasta.

"Ini kantor."

Sebuah kalimat yang membuat dada terasa sesak. Dan kata maaf pun terucap. Mereka bagai dua orang asing sekarang.

"Apa kabar?"

Keheningan mulai menghilang. Bulan mulai menatap ke arah lelaki yang sudah mengeluarkan kata. Mata mereka bertemu dengan sorot mata penuh rindu.

"Kenapa hilang kabar?" Mata indah itu mulai nanar.

"Ponsel gua ilang." Pandangannya pun mulai dialihkan. Anggasta harus sadar diri. Suasana kembali hening.

Pintu lift terbuka. Anggasta melangkah lebih dulu meninggalkan Bulan yang menatapnya dengan air mata yang sudah menganak.

"Ternyata waktu banyak merubah seseorang."

Ponselnya bergetar. Segera diraih benda segiempat yang ada di dalam tas. Hembusan napas kasar pun keluar.

"Sejak kapan kamu nepatin janji?"

Bulan memilih pergi dan pulang dengan menggunakan kendaraan umum. Tanpa Bulan sadari, seseorang masih berada di dalam mobil sambil menunggu karyawan baru itu pulang.

"Kenapa harus bertemu lagi?"

Kepala sudah bersandar pada jok mobil. Mata masih memperhatikan perempuan yang masih seperti dulu. Cantik dengan senyum yang begitu manis.

Pria memakai jaket hijau dengan menggunakan motor menyapa Bulan. Sodoran helm diraih dan digunakan. Motor matic itupun sudah membawa Bulan menjauh dari Wiguna Grup. Mesin mobil mulai dihidupkan dan ikut meninggalkan kantor keluarga. Tidak, Anggasta tak mengikuti ke mana Bulan pergi. Memilih pulang ke rumah karena ada si kembar yang akan menjadi pelipur lara serta lelah.

.

Baru juga tiba di kantor di pagi yang cerah, semesta seakan tengah menguji perasaan Anggasta. Kembali dipertemukan dengan Bulan yang lebih dulu menyapanya dengan sopan. Perempuan itu mulai memposisikan diri seperti karyawan yang lain. Bulan baru mengetahui jikalau Anggasta adalah direktur di direksi tempatnya bekerja dari rekan senior. Dia sangat bangga atas pencapaian Anggasta di usia muda.

Keramahan Anggasta pada semua karyawan membuat Bulan tak mengalihkan pandangan. Bukan hanya bangga, Bulan juga sangat kagum pada sosok lelaki yang pernah menjadi temannya ketika di bangku SMA. Walaupun jabatannya lebih tinggi, tetap ramah kepada bawahan. Rasa berat di dada mulai hadir ketika Anggasta sudah masuk ke dalam lift khusus para petinggi perusahaan. Untuk beberapa detik mereka saling menatap dalam diam sebelum pintu lift tertutup rapat.

Hembusan napas kasar Anggasta keluarkan setelah duduk di atas kursi kebesaran. Mulai memfokuskan pikirannya ke pekerjaan yang menumpuk. Suara pintu terbuka membuat mata Anggasta beralih. Sang kakak sudah berdiri dengan wajah yang sangat datar.

"Gantiin Kakak untuk datang ke acara nanti malam." Undangan sudah Gyan berikan.

"Hanya acara ulang tahun seorang lansia." Begitulah cara bicara seorang Gyan Abhiseva Wiguna. Sebenarnya enggan, tapi Anggasta tak bisa membantah perintah sang singa jantan.

Sebenarnya Anggasta begitu menghindari acara seperti ini. Akan ada banyak pertanyaan yang terlontar. Juga perjodohan untuk memperluas atau menyelamatkan bisnis yang tengah berjalan.

Uluran tangan Anggasta berikan kepada pria yang sudah tak muda, tapi masih merayakan ulang tahun layaknya balita.

"Maaf, Pak Gyan tak bisa hadir. Beliau menitipkan ini kepada saya." Sebuah hadiah Anggasta berikan.

Mereka berbincang santai, tapi Anggasta menganggapnya perbincangan yang penuh dengan basa-basi.

"Maaf, saya terlambat."

Suara barito yang tak asing dan pernah Anggasta dengar. Serta wangi parfum yang begitu bersahabat. Perlahan Anggasta menoleh ke samping kiri. Seorang pria dengan pakaian sangat formal sudah menjabat tangan sang pemilik acara. Juga di lengan kirinya melingkar tangan seorang perempuan yang sangat cantik.

Senyum perempuan itu menguar setelah melihat Anggasta yang ternyata ada di sampingnya. Senyum tipis lelaki itu berikan dan memilih pergi tanpa terlalu menunjukkan sebuah penghindaran.

"Tahap tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan demi sebuah kebahagiaan orang yang gua sayang."

...*** BERSAMBUNG ***...

Mana atuh komennya ...

3. Semesta Terus Menguji

Kaleng minuman yang mengandung alkohol sudah di tangan. Anggasta sama saja seperti anggota singa yang lain. Meneguknya berharap bayangan tadi menghilang. Nyatanya tak seperti yang diinginkan.

"Kenapa enggak lu ungkapin?" Seseorang sudah berucap dengan membawa minuman soda.

"Setidaknya akan membuat hati lu plong."

Ya, dia Jeno Jatmika. Sahabat Anggasta sedari SMA. Hanya dia yang tahu tentang rasa yang dimiliki Anggasta kepada Bulan Noora. Lagi, Anggasta menolak.

"Melupakan itu butuh proses."

"Udah lima tahun, Angsa!" Jeno sedikit geram dan panggilannya pun otomatis akan berubah. "Harusnya lu udah bisa move on."

Tak ada yang keliru dari perkataan Jeno. Hanya saja Anggasta tak ingin membuat Bulan terbebani dengan perasaan yang dia miliki.

"Percaya sama gua, No. Nanti juga gua bisa lupain dia."

.

Untuk kesekian kalinya semesta mempertemukan dirinya dengan Bulan. Kali ini Bulan hanya menyapanya. Lalu, pergi. Senyum kecut melengkung di wajah Anggasta.

"Haidar pasti ngasih batasan. Dan gua gak akan membuat lu semakin terkekang nantinya. Itulah kenapa gua memilih jalan sunyi."

Haidar adalah lelaki yang menggandeng tangan Bulan Noora di acara semalam. Dia begitu beruntung karena dicintai Bulan Noora secara ugal-ugalan.

Dahi Anggasta mengkerut ketika melihat Bulan yang tak beranjak di saat makan siang tiba. Raut wajahnya pun teramat berbeda. Ada rasa iba, tapi logikanya lebih bekerja. Memilih pergi tanpa menyapa.

Anggasta memilih masuk ke kedai kopi. Kedua alisnya menukik tajam ketika melihat Haidar tengah berbicara disambungan telepon.

"Temui aku di kedai kopi dekat kantor kamu."

Ingin rasanya Anggasta pergi, tapi kopi sudah terlanjur dia pesan. Alhasil dia pun duduk anteng di kursi tak jauh di mana Haidar berada.

"Maafin aku, Mas."

Anggasta menghela napas kasar mendengar suara yang sangat dia kenali. Hatinya mendadak perih ketika suara Haidar terdengar.

"Kamu kan tahu aku itu paling enggak suka bawa perempuan ke acara pesta. Sekarang, kamu lihat! Semuanya lagi nyorot aku. Keluarga aku semakin mendesak supaya aku cepet nikahin kamu." Bulan hanya terdiam dan tertunduk dalam.

"Lain kali aku enggak akan begitu lagi." Lemah sekali ucapannya dengan suara yang sedikit bergetar.

"Capek aku lama-lama ngadepin kamu."

Anggasta mulai bangkit. Meninggalkan kopi yang belum sama sekali dia sentuh. Selama berteman dengan Bulan tak pernah sedikit pun dirinya membentak Bulan. Tapi, lelaki yang Bulan cintai malah memperlakukannya layaknya sesuatu yang tak berarti.

"Apa lu beneran bahagia, Lan?"

Pertanyaan itu yang berputar di kepala. Anggasta mencoba untuk acuh, tapi melihat Bulan yang bermuram durja membuat rasa tak tega mulai datang tanpa diminta. Namun, dia terus meneguhkan hati untuk tak masuk ke ranah pribadi orang yang nyatanya tak pernah dia lupa.

Di tengah tenangnya pikiran dan pekerjaan, perintah bapak Chief Operatoring Officer membuat Anggasta membuang napas berat.

"Saya sudah memilih salah satu karyawan direksi untuk menemani kamu meraih kerja sama yang besar ini."

Gyan menyerahkan sebuah foto kepada sang adik. Wajah terkejutnya tak mampu mengelabuhi singa jantan yang sedari tadi memperhatikan.

"Susun strategi yang bagus dan menjanjikan. Dan bawalah kabar baik untuk Wiguna Grup."

Bukan hanya Anggasta yang dibuat terkejut. Bulan Noora pun merasakan hal yang sama. Rekan seniornya mengatakan jika perusahaan selalu selektif dalam memilih orang untuk menyelesaikan pekerjaan di luar Kota dengan para petinggi.

"Kamu adalah karyawan beruntung yang bisa menemani Pak Anggasta. Jujur ya, dia itu emang ramah ke semua orang. Tapi, dia sangat sulit untuk didekati. Selalu menjaga jarak kepada bawahannya. Padahal, setahu kami dia itu belum punya pacar."

Mendengar cerita tentang Anggasta membuat bibir Bulan terangkat sedikit. Ada bahagia di lubuk hatinya karena akan bisa kembali dekat dengan lelaki yang masih dia anggap sebagai teman terbaik.

Beda dengan Anggasta yang tengah menatap langit kamar. Semakin hari semesta seakan terus mendekatkannya dengan Bulan. Padahal, dia tengah berjuang untuk meletakkan perasaan.

Anggasta beranjak dari tempat tidur dan sudah meraih kunci motor yang biasa digunakan ketika sekolah. Sapaan lucu dari kedua keponakannya yang ternyata terbangun dari tidur nyenyak membuat senyum Anggasta melebar.

"Mau ke mana?" Sang mama yang tengah bermain dengan Arsen serta Arlen sudah membuka suara.

"Tempat Jeno."

Sudah biasa Anggasta akan pergi ke tempat sehabatnya itu jika malam hari. Namun, pandangan berbeda Gyan tunjukkan. Menyadari hal itu Anggasta bergegas pergi karena dia tak ingin mendengar kata yang keluar dari bibir kakaknya.

Kenapa lu?"

Anggasta sudah merebahkan tubuh di atas kasur milik sang sahabat. Lengan kekarnya sudah menutupi mata. Jeno mulai duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempat tidur.

"Bulan?" tembak Jeno secara langsung.

"Apa yang lu ketahui tentang hubungan Bulan dan Haidar?" Berkata tanpa membuka mata dan merubah posisi.

"Yakin mau dengar?"

Pasalnya Anggasta-lah yang meminta untuk tidak mendengar kabar tentang Bulan. Sekarang, tak Jeno sangka malah sekarang sang sahabatbmenanyakan tentang perempuan yang sebenarnya belum hilang dari ingatan.

"Haidar menerima Bulan bulan karena cinta, melainkan tuntutan orang tua."

Anggasta mulai menegakkan tubuh. Menatap Jeno yang mulai membeberkan fakta tentang hubungan Bulan dan Haidar.

"Soalnya keluarga Haidar berhutang Budi ke keluarga Bulan."

Dahi Anggasta mengkerut. Tatapannya pun semakin tajam seakan menginginkan info lebih lagi.

"Almarhum Bokap Bulan-lah yang membiayai sekolah Haidar sedari SMP sampai lulus kuliah."

Ketika ayah Bulan meninggal Anggasta masih berada di samping Bulan. Tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik pun.

"Apa itu yang membuat Haidar menerima cinta Bulan?"

"Maybe."

.

Di hari di mana Anggasta dan Bulan harus ke Bandung, ada sesuatu yang berbeda yang Anggasta lihat dari wajah Bulan. Sedikit membengkak seperti habis menangis.

"Kalau kamu enggak siap biar saya saja yang--"

"Saya siap kok, Pak."

Anggasta menoleh ke arah Bulan yang sudah menatapnya. Matanya mencoba menahan sesuatu yang ingin meluap. Pintu mobil penumpang belakang Anggasta buka. Tatapannya menyuruh Bulan untuk masuk. Diikutinya yang masuk dari arah pintu yang lain. Di mobil itu hanya ada mereka berdua. Sopir pun belum ada.

"Sesuatu yang ditahan itu enggak enak."

Anggasta mulai membuka suara dan membuat mata Bulan semakin nanar. Air mata semakin tak tertahan ketika Anggasta mulai menatapnya.

"Menangislah! Gua akan di sini sampai tangis lu reda."

Kalimat yang masih sama seperti SMA. Di mana Anggasta akan selalu setia menemani kesedihan Bulan.

"Gaf-fi--"

"Gua di sini L--"

Tubuhnya menegang ketika Bulan memeluknya dengan erat. Desiran yang masih sama kembali hadir. Isakan lirih membuat hatinya perih.

"Tuhan, salahkah aku jika mencintai milik orang lain? Bolehkan aku mengambilnya dari lelaki yang dia cinta?"

...*** BERSAMBUNG ***...

Aku cuma minta satu. Tolong komen... 🥺

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!