"Dasar perempuan gak berguna! Aku butuh uang, bukan omong kosong!” bentak Pak Darman, suaranya menggelegar hingga membuat dinding reyot rumah itu bergetar.
"A-aku tak punya uang, Bang." suara lemah ibunya nyaris seperti bisikan,
"Uang terakhir sudah kubelikan obat untuk demam Dio kemarin."
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kiri Ibu. Tubuh ringkih itu langsung tersungkur ke lantai yang dingin dan berdebu. Rambutnya berantakan, bibirnya pecah menahan tangis.
“Kau pikir anakmu lebih penting dari aku, hah?! Aku ini kepala rumah tangga, bukan pengemis!” maki Pak Darman lagi, dengan mata merah dan tubuh yang limbung karena pengaruh alkohol.
“Cukup! Jangan sentuh Ibu lagi!” sebuah suara menggelegar dari arah pintu.
Pak Darman membalikkan badan, matanya langsung menyorot tajam ke arah gadis berseragam sekolah yang berdiri tegar di ambang pintu. Nayla.
Tanpa melepas sepatu atau tas, Nayla melangkah cepat, lalu berdiri di depan tubuh ibunya yang masih tergeletak di lantai. Dadanya naik turun menahan amarah, kedua tangannya mengepal, matanya menatap lurus pria yang seharusnya ia panggil "Ayah".
“Minggir! Ini urusan orang tua!” bentak Pak Darma dengan suara berat dan bau mulut busuk karena arak murahan.
“Ini urusan manusia! Dan Bapak sudah lama lupa caranya jadi manusia!” Nayla berseru, tak sedikit pun mengalihkan pandangannya.
Pak Darman maju selangkah, tangannya terangkat seperti ingin mengulang perlakuan tadi. Tapi Nayla tak gentar. Ia tidak bergerak sedikit pun.
“Pukul aku kalau memang itu yang Bapak mau. Tapi setelah itu, jangan pernah berharap bisa melihat wajah Ibu lagi!”
Pak Darman menahan tangan yang sudah hampir mendarat. Napasnya memburu. Matanya liar, namun ada sesuatu dalam sorot mata Nayla yang membuatnya ragu. Gadis itu bukan lagi anak kecil yang bisa ia gertak. Ia adalah gadis muda yang berdiri sebagai perisai hidup ibunya.
Pak Darma meludah ke lantai. “Cih. Dasar anak kurang ajar! Sama aja kayak ibumu, mulut doang besar. Tapi lihat nanti! Lihat! Aku akan jual rumah ini kalau kalian masih berani melawan!”
Pria itu berjalan sempoyongan ke ruang depan, meraih botol minuman yang tersisa di meja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi tua sambil mengumpat.
Nayla segera berlutut, menarik ibunya ke pelukannya. Tubuh ibunya gemetar, pelipisnya luka, dan air mata mengalir deras di pipinya yang semakin tirus.
“Sabar, Bu. Nayla di sini, Nayla gak akan biarin Ibu disakiti lagi.” bisik Nayla sambil menahan tangisnya sendiri.
Di kamar kecil di ujung lorong, suara batuk Dio terdengar, disusul dengan tangis pelan Lili yang mungkin ketakutan. Dunia mereka sudah terlalu hancur untuk anak-anak seusia itu.
Nayla menatap sekitar rumah. meja makan kosong, rak piring hanya tersisa dua mangkuk retak, lemari dapur yang kosong melompong. Televisi dan kipas angin sudah lama hilang, dijual ayahnya untuk beli alkohol. Bahkan kasur tempat tidur pun tinggal satu, yang dipakai untuk Ibu dan adik-adiknya.
Perut Nayla mulai terasa perih. Bukan karena lapar, tapi karena kenyataan, keluarganya sedang perlahan sekarat, dan ia tak mampu berbuat apa-apa.
...
Matahari pagi terasa terlalu terang untuk malam yang kelam semalam. Nayla berjalan melewati gerbang sekolah dengan langkah gontai. Seragamnya masih sama, sepatu sedikit berlumpur, dan rambutnya diikat asal. Kantung matanya menghitam. Ia belum tidur. Sepanjang malam hanya menatap langit-langit sambil memeluk ibu dan menahan tangis dalam diam.
Di tengah hiruk pikuk siswa lain yang tertawa, bercanda, dan ribut dengan PR yang belum selesai, Nayla merasa seperti hidup di dunia yang berbeda. Dunia yang tak punya tawa, tak punya cahaya.
Istirahat kedua, suasana halaman belakang sekolah sepi seperti biasa. Di bawah pohon ketapang yang besar, duduk tiga siswi SMA dengan gaya mencolok. Salah satunya adalah Mira, gadis dengan rambut terurai rapi, bibir merah muda mengilap, dan seragam yang selalu terlihat baru. Ia dikelilingi dua temannya, sesekali tertawa pelan sambil memainkan kuku akriliknya.
Nayla duduk tak jauh dari mereka. Ia tahu siapa Mira. Semua siswa perempuan iri padanya. karena kecantikannya, barang-barang mewahnya, dan gaya hidupnya yang seolah berasal dari dunia yang lebih tinggi. Tapi tak ada yang tahu pasti dari mana semua itu berasal.
“Pulang sekolah nanti, aku ada janji sama orang. Lumayan banget, aku bisa dapet uang buat beli tas terbaru keluaran Paris itu loh.” ujar Mira dengan senyum puas, membolak-balik layar ponselnya, memperlihatkan gambar tas mewah.
Temannya menoleh dengan wajah penasaran. “Yang warna beige itu? Gila, harganya jutaan, Ra. Lo dapet duit dari mana sih?”
Mira terkekeh ringan, memainkan rambutnya yang dicat highlight.
“Ya tinggal main cantik aja. Lo tau sendiri lah, sekarang banyak cowok tua-tua gatel yang demen sama cewek sekolah. Sekali jalan, minimal lima ratus ribu. Kalau beruntung dapet yang tajir, bisa sejuta lebih. Gampang, kan?” jawabnya enteng, seolah sedang membahas jual beli pulsa.
Temannya yang satunya lagi berseru pelan, “Anjir, segede itu? Lo ngapain aja sih, Mir?”
Mira hanya menyeringai penuh arti.
“Yah... lo tau sendiri lah. Namanya juga cewek, pake apa yang kita punya. Yang penting, duit lancar.”
Nayla yang duduk beberapa meter dari mereka, menunduk dan pura-pura membaca buku. Tapi telinganya menyerap semua kata. Lima ratus ribu. Jumlah itu bisa membelikan obat untuk Ibu, nasi dan lauk untuk seminggu, serta seragam baru untuk Dio yang sudah bolong di bagian lutut.
Semudah itu?
Pikirannya terombang-ambing. Suara Mira masih bergema di kepalanya meski ia mencoba mengusirnya. Ada rasa jijik. Ada ketakutan. Tapi di atas semua itu. ada suara kecil yang berkata.
"Kalau kamu gak bergerak sekarang, besok bisa saja Ibu berhenti bernapas."
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Siswa-siswa mulai berhamburan keluar kelas. Tapi Nayla tidak langsung pulang. Ia menunggu Mira melewati lorong dekat taman belakang sekolah. Ketika Mira berjalan sendiri, Nayla menarik napas panjang dan memberanikan diri menghampirinya.
“Mira...”
Mira menoleh, alisnya sedikit naik.
“Eh, Nayla. Ada apa?”
Nayla menelan ludah. Pandangannya ragu, tapi suaranya terdengar tegas.
“Tadi aku denger pembicaraan kamu. soal. cara kamu dapet uang itu. A-aku mau tau lebih banyak.”
Mira mengerjap. Tatapannya menyipit, lalu tersenyum kecil. campuran rasa kaget dan kepuasan.
“Lo yakin? Gak semua cewek bisa tahan. Ini bukan kerjaan biasa.”
“Aku serius. Aku butuh uang, Mira.” Suara Nayla sedikit bergetar, tapi matanya lurus menatap Mira.
Mira menatap Nayla dari atas ke bawah.
“Gue gak bakal maksa. Tapi kalau lo emang niat. besok malam ikut gue.”
“Di mana?”
“Gue kirim alamatnya nanti. Pakai baju yang rapi, wangi, dan jangan keliatan lugu banget. Dan satu hal, Nay. sekali lo masuk ke dunia ini, lo gak akan bisa balik jadi Nayla yang polos kayak dulu lagi.”
Nayla menunduk pelan. Hatinya berkecamuk. Tapi hanya satu hal yang ia pikirkan malam itu. Ibu yang terus batuk dan tak ada obat.
“Gue ngerti. Dan gue siap.”
Mira mengangguk pelan. “Oke. Kita lihat besok malam.”
Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan warna jingga tembaga. Suara azan magrib berkumandang pelan dari kejauhan, menggema bersama hiruk-pikuk kota yang mulai padat. Di sebuah rumah sempit di ujung gang, cahaya remang dari bohlam tua menggantung di langit-langit ruangan yang penuh bayangan.
Di dalam kamar sempit itu, Nayla berdiri di depan cermin retak yang menempel di dinding. Ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. sebuah blus polos warna krem yang sudah agak pudar dan celana jeans gelap yang sedikit sempit di pinggang. Bukan pakaian mewah, tapi bersih, rapi, dan cukup pantas untuk menutupi kegugupan yang menggila di dadanya.
Tangannya gemetar saat merapikan rambutnya yang diikat setengah. Ia bahkan sempat mengoleskan bedak tipis di pipi dan lip balm murahan agar wajahnya tidak terlihat terlalu pucat. Ini bukan dirinya. Ini bukan Nayla yang biasanya.
Tapi malam ini, ia tak bisa menjadi dirinya yang biasa. Karena gadis itu tak sanggup memberi makan adik-adiknya. Gadis itu hanya bisa menangis saat ibunya menggigil demam tanpa obat.
Suara batuk pelan dari ruang tengah membuyarkan lamunannya.
“Nayla.” suara lembut itu memanggil.
Nayla menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke luar kamar. Di sana, Ibu duduk bersandar di dinding, tubuhnya dibalut selimut tipis. Mata Ibu menatapnya dengan sorot yang tajam. bukan mencurigai, tapi mengkhawatirkan.
“Mau ke mana kamu, Nak?” tanya Ibu pelan, suaranya lemah tapi jelas menusuk ke dalam hati Nayla.
Langkah Nayla terhenti. Lidahnya kelu. Ia menunduk, menatap lantai sebentar sebelum akhirnya berusaha tersenyum.
“Mau kerja, Bu.” jawabnya, mencoba terdengar santai, meski suaranya sedikit bergetar.
“Teman Nayla nawarin kerja paruh waktu. Katanya, gajinya lumayan. Bisa buat beli makan, dan obat buat Ibu.”
Ibu terdiam. Matanya berkaca-kaca.
“Kerja apa malam-malam begini, Nay?”
Nayla berpura-pura sibuk merapikan tas kecil yang dibawanya. Ia tak mampu menatap mata ibunya langsung.Ia takut akan hancur sebelum sempat melangkah.
“Ya... bantuin jaga toko, gitu. Atau bantuin beres-beres.” jawabnya cepat.
“Gak berat, Bu. Aku cuma butuh beberapa jam. Nanti juga langsung pulang.”
Ibu terdiam lebih lama. Kemudian, dengan suara parau dan hati yang remuk, ia berkata:
“Maafkan Ibu, Nay.” Suara itu nyaris pecah. “Seharusnya ini tanggung jawab Ibu. bukan kamu yang harus banting tulang kayak begini. bukan kamu yang harus mikirin nasi dan obat.”
Nayla merasa dunia runtuh di dalam dadanya. Tapi ia tetap berdiri. Tetap tersenyum. meski senyumnya kaku, dan hatinya sobek.
“Gak apa-apa, Bu. Nayla gak keberatan kok. Nayla kuat. Demi Ibu dan Dio sama Lili, Nayla sanggup ngelakuin apa aja.” katanya sambil menunduk, menelan tangis yang hampir tumpah.
Ibu mengulurkan tangannya yang lemah, memegang jemari Nayla yang dingin.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Jangan sampai Ibu kehilangan kamu juga.”
Kata-kata itu terasa seperti tombak yang menghunjam tepat ke jantung Nayla. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat, lalu menunduk dan mengecupnya.
“Nayla janji... Nayla akan jaga diri. Dan besok pagi, kita sarapan bareng. Nayla beliin roti isi yang Ibu suka.”
Ibu hanya mengangguk pelan, tak sanggup lagi berkata apa-apa.
Setelah mengecek ponselnya. sebuah pesan dari Mira masuk dengan alamat dan perintah singkat.
“Jangan telat. Jangan pakai tampang lugu.”
Nayla melangkah keluar rumah dengan langkah berat. Di luar, malam mulai turun sepenuhnya. Angin membawa bau gorengan dari ujung gang, bercampur dengan bau knalpot dan aspal yang lembap.
Dunia yang Nayla kenal sedang tertidur. Tapi dunia yang akan ia masuki. baru saja terbangun.
Dan untuk pertama kalinya, Nayla melangkah menuju gelap yang belum tentu bisa ia tinggalkan.
...
Langit sudah benar-benar gelap saat Nayla tiba di ujung jalan yang ditunjukkan Mira. Lampu-lampu neon berwarna merah muda dan biru menyala terang dari bangunan tiga lantai yang dikelilingi mobil-mobil mewah. Sebuah papan nama besar bertuliskan "Crystal Lounge & Karaoke" menggantung di atas pintu masuknya.
Nayla berdiri terpaku sejenak di depan trotoar. Telapak tangannya dingin, perutnya mual. Ia bisa saja berbalik sekarang, pulang, pura-pura semuanya tak pernah terjadi. Tapi bayangan wajah ibunya yang lemah dan adik-adiknya yang tidur tanpa makan malam kembali membakar tekadnya.
Ia menarik napas panjang. Sekali. Dua kali. Lalu melangkah masuk melewati pintu kaca.
Di dalam, ruangan itu penuh warna, penuh suara tawa laki-laki, dan aroma parfum bercampur alkohol. Lampu remang-remang berpendar dari langit-langit seperti cahaya disko, sementara para gadis bergaun mini mondar-mandir dengan senyum profesional di wajah mereka.
Nayla memeluk tas kecilnya erat-erat. Semua terasa asing. Bahkan cara orang-orang di sini menatap pun membuat bulu kuduknya meremang.
Seseorang menepuk pundaknya pelan dari samping.
“Nay. Sini. Udah kutunggu.” Mira muncul dengan pakaian mencolok. gaun hitam pendek yang melekat sempurna di tubuhnya, bibir merah menyala, dan sepatu hak tinggi. Ia terlihat percaya diri, seperti sudah bertahun-tahun tinggal di dunia ini.
Nayla hanya mengangguk kaku. Ia mengikuti Mira menyusuri lorong yang mengarah ke ruang ganti.
Ruangan itu penuh dengan perempuan muda, sebagian sedang bersolek di depan cermin panjang, sebagian lagi merokok atau memainkan ponsel mereka. Semuanya tampak glamor. tapi tatapan mata mereka kosong.
Mira menyerahkan Nayla sebuah gaun sederhana berwarna merah marun. sedikit terbuka, jelas bukan jenis pakaian yang biasa Nayla kenakan.
“Ganti. Jangan terlalu rapi-rapi kayak mau ngelamar kerja kantoran. Di sini kamu jual senyum, bukan ijazah.” ucap Mira cepat.
Nayla mengambil gaun itu dengan tangan gemetar. Ia mengganti bajunya di pojok ruangan, sambil mencuri pandang ke cermin.
Dia bahkan tak mengenali dirinya sendiri.
“Tenang aja. Malam ini kamu cuma duduk, temani mereka minum, Gitu doang.” jelas Mira sambil mengoles lipstik terakhirnya.
“Selebihnya, pintar-pintar kamu saja. Gimana cara kamu merayu mereka, agar mereka tak segan mengeluarkan uang mereka untuk kamu.”
Nayla mengangguk pelan. Ia tidak bicara. Suaranya seperti tertelan di tenggorokan.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan paruh baya berambut sanggul dan berdandan mencolok masuk ke ruang ganti. Dia adalah Mami Clara, pengelola tempat itu.
Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Ia menyapu pandangan ke arah Nayla dan menghampiri.
“Ini yang baru, Mir?”
“Iya, Mam. Namanya Nayla. Masih fresh. Belum tahu dunia. Tapi mukanya cantik. Laku keras.” Mira menjawab cepat.
Mami Clara mendekat, memeriksa Nayla dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia mengangguk pelan.
“Kamu ikut Mira dulu malam ini. Duduk di room 5. Jangan banyak diam, Aku ingin para tamu puas dengan pelayanan mu. Ngerti?”
Nayla hanya mengangguk pelan. Ia merasa seperti sedang dilatih untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Mami Clara menepuk pipinya pelan, lalu berjalan pergi.
Mira melirik jam tangannya.
“Ayo, tamunya udah nunggu.”
Nayla mengikuti Mira menuju sebuah ruang karaoke VIP. Di dalamnya, tiga pria paruh baya tengah tertawa keras, memegang gelas-gelas berisi minuman keras dan rokok yang mengepul di udara. Musik keras berdentum, dan lampu temaram membuat wajah-wajah mereka tampak mengerikan.
Begitu Mira masuk, mereka langsung bersorak. “Nah, ini dia bidadari kita malam ini!”
Nayla hampir berhenti di pintu, tapi Mira menariknya masuk.
“Santai saja. Kamu hanya perlu duduk dan layani mereka.” bisik Mira sambil menyodorkan botol minuman ke salah satu pria.
Nayla duduk di ujung sofa, mencoba tersenyum meski hatinya bergemuruh.
Salah satu pria meliriknya tajam.
“Yang ini baru ya? Liat mukanya aja bikin pengen. Muda banget. Umur berapa, Dek?”
Nayla tersentak. Tapi Mira langsung menimpali,
“Baru lulus SMA, Om. Masih segar. Tapi udah pintar diajak ngobrol. Nggak kayak yang cuma bisa manja-manja.”
Pria itu tertawa keras, lalu menyodorkan minuman ke Nayla.
“Minum dulu, biar cair. Biar ngobrolnya enak.”
Nayla menatap gelas itu. Cairan bening berbau tajam yang bahkan belum disentuhnya sudah membuat kepalanya pusing.
Ia menolak pelan. “Maaf, saya gak biasa minum.”
Pria itu mendekat sedikit, tatapannya mulai berubah.
“Ah, masa segini aja gak bisa. Cuma satu teguk. Gak lucu kalo cewek cantik tapi kaku.”
Nayla menggenggam ujung gaunnya di bawah meja. Tangan dan kakinya gemetar.
Perlahan Nayla meraih gelas tersebut. Gelas itu nyaris terjatuh karena tangannya yang bergetar hebat. Dan dengan gerakan cepat ia meneguk minuman itu dalam sekali tegukan.
rasa pahit menjalar ke kerongkongan. Yang menimbulkan rasa terbakar.
Angin dini hari menusuk kulit saat Nayla turun dari ojek dan berjalan sempoyongan menyusuri gang sempit menuju rumah. Pukul 02.07 tertera jelas di layar ponsel usang yang ia genggam erat. Gang itu sunyi, hanya sesekali suara nyamuk yang melintas di telinga, atau anjing menggonggong dari ujung jalan.
Di balik tas kecilnya, Nayla menyembunyikan kantong plastik berisi pakaian merah marun yang tadi malam ia kenakan. gaun yang membuatnya merasa telanjang meski tubuhnya tertutup. Ia sudah mengganti kembali bajunya sebelum naik ojek, blus krem pudar dan celana jeans ketat yang sedikit melar, persis seperti saat ia meninggalkan rumah. Rambutnya pun telah ia ikat rapi kembali, wajahnya dibersihkan seadanya di kamar mandi lounge, menyeka sisa lipstik dan maskara yang sempat luntur. Tak lupa ia memakan permen mint untuk menyamarkan aroma alkohol dari dalam mulutnya.
Malam ini, Nayla membawa pulang uang dua ratus ribu rupiah. Bukan jumlah yang kecil untuk seorang gadis SMA, tapi juga bukan harga yang ringan untuk harga diri yang mulai terkikis.
"Ini awal, Nay. Dua ratus dulu, anggap sebagai pemanasan," kata Mira sambil menyodorkan uangnya di parkiran tadi.
"Tapi kalau kamu mau yang lebih besar, yang jutaan per malam... kamu harus relain dirimu sepenuhnya. Gak cuma duduk dan senyum. Dunia ini penuh permintaan. Tinggal kamu mau kasih atau enggak."
Nayla tak menjawab saat itu. Hanya diam. Matanya kosong, dan tangannya menggenggam uang itu dengan getir.
Di perjalanan pulang, ia menyempatkan diri berhenti di warung 24 jam dekat stasiun. Ia membeli tiga potong ayam goreng, nasi hangat, dan sebungkus roti selai cokelat. Barang-barang kecil itu terasa seperti penebus dosa. padahal ia tahu, sekeras apa pun ia mencoba menutupi semuanya dengan perhatian untuk adik-adiknya, rasa bersalah itu tetap tinggal di dadanya.
Langkah Nayla terhenti begitu melihat bayangan seseorang duduk di teras rumah.
Ibunya.
Sang ibu menyelimuti tubuhnya dengan syal tipis, duduk di kursi plastik reyot yang menghadap jalan. Tubuhnya tampak ringkih dalam cahaya bohlam kuning pucat yang menggantung dari langit-langit rumah. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya... cemas.
Nayla buru-buru menyembunyikan kantong plastik ke belakang tubuhnya, lalu melangkah cepat ke arah rumah.
“Ibu... ngapain di luar malam-malam begini?” suara Nayla terdengar gugup, tapi ia berusaha terdengar biasa.
“Angin malam gak baik untuk kesehatan Ibu... masuk yuk.”
Ibunya menoleh perlahan. Mata sayunya menatap wajah Nayla dengan tatapan yang membuat napas Nayla tercekat.
“Ibu menunggumu, Nak,” kata Ibu pelan.
“Ibu khawatir.”
Nayla menunduk, berusaha tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Tadi, banyak kerjaan. Jadi pulangnya telat.”
Ibu tidak langsung menjawab. Ia menatap lekat wajah Nayla, seolah berusaha membaca apa yang disembunyikan di balik mata lelah itu. Tapi yang dilihatnya hanya anak gadis yang tetap mencoba kuat di tengah dunia yang kejam.
“Maaf, Bu...” Nayla kembali bicara pelan. “Nayla nggak bermaksud bikin Ibu khawatir.”
Sang ibu tersenyum samar, lalu berdiri dengan gerakan pelan.
“Ayo masuk. Dingin banget malam ini.”
Nayla mengangguk, lalu buru-buru membuka pintu dan membantu ibunya masuk ke dalam rumah. Begitu masuk, ia menaruh plastik berisi makanan di atas meja.
“Aku beliin ayam goreng, Bu. Sama roti selai buat besok pagi. Biar Dio sama Lili bisa sarapan sebelum sekolah,” ucapnya cepat, mencoba mengalihkan topik.
Ibu mengangguk pelan, duduk di kasur tipis yang terhampar di lantai. Ia menyelimuti tubuhnya lebih rapat, lalu kembali menatap Nayla.
“Kamu belum makan?”
Nayla menggeleng. “Belum lapar. Nanti aja.”
Ibu menarik napas. Ada banyak kata yang ingin diucapkan, tapi ia tahan. Hanya satu kalimat yang akhirnya keluar.
“Terima kasih, Nak. Kamu udah banyak berkorban.”
Kata-kata itu menghantam Nayla lebih kuat dari tamparan mana pun. Ia nyaris menangis. Tapi seperti biasa, ia menahannya.
Malam itu, setelah memastikan Ibu dan adik-adiknya kembali terlelap, Nayla duduk sendirian di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Ia menatap bayangan dirinya sendiri yang samar.
“Apa kamu masih Nayla yang dulu?” bisik hatinya.
Uang dua ratus ribu rupiah ada di saku bajunya. Tapi rasa damai tak pernah pulang bersamanya.
Ia tahu, esok malam bisa jadi Mira kembali menghubungi. Bisa jadi tawaran baru datang. Bisa jadi... ia akan kehilangan lebih dari sekadar waktu dan tenaga.
Tapi malam itu, di antara bau minyak ayam goreng dan suara dengkuran halus adiknya, Nayla hanya duduk diam. Menyimpan semuanya sendiri.
Dan dalam gelap. hanya tangis yang tak terdengar, yang menemani sisa malamnya.
...
Pagi menyusup masuk lewat celah-celah jendela rumah sempit itu, membawa sinar matahari yang hangat namun tak mampu mengusir dingin dari tubuh Nayla. Ia berdiri diam di depan cermin kecil di kamar, mengenakan seragam SMA-nya yang mulai kekecilan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa bedak atau lip balm seperti malam sebelumnya.
Matanya merah. Tidak hanya karena kantuk. Tapi karena semalaman ia menangis diam-diam, dalam keheningan yang tak bisa dimengerti siapa pun.
Namun, seperti biasa, ia memaksakan diri tersenyum.
Adik-adiknya harus sarapan. Ibu harus yakin semuanya baik-baik saja. Dan dunia. tak akan berhenti berputar meski hatinya remuk.
Setelah menyuapi Lili dan membetulkan kerah seragam Dio, Nayla pamit berangkat ke sekolah dengan tas punggung tipis dan langkah ringan yang penuh pura-pura.
...
Suasana sekolah seperti biasa. ramai, riuh, penuh suara tawa, dan obrolan tanpa beban.
Namun bagi Nayla, semuanya terasa jauh. Seolah ia hanya bayangan yang berjalan di lorong panjang tanpa arah. Di mana pun ia menoleh, dunia tampak terlalu terang. Terlalu bising. Terlalu. normal.
Ia berjalan menuju kelas dengan kepala tertunduk, berpapasan dengan teman-teman yang bercanda di koridor, tapi tak satu pun ia sapa. Semuanya terasa seperti lapisan kaca tebal yang memisahkan dirinya dengan mereka.
Di dalam kelas, ia duduk di bangkunya seperti biasa. Di pojok kanan belakang. Di sebelahnya, duduk seorang laki-laki dengan wajah teduh dan penampilan rapi. Namanya Elang Dirgantara, siswa terpintar sekaligus pewaris keluarga Dirgantara Grup. pemilik yayasan yang menjadi donatur terbesar sekolah itu.
Wajahnya tenang, kemejanya selalu licin, dasi selalu sempurna, dan sepatu mengilap seperti baru dibeli setiap pagi. Ia bisa saja duduk dengan siapa saja, bahkan punya kursi sendiri di ruangan khusus. tapi sejak awal semester, entah kenapa, ia memilih duduk di sebelah Nayla.
“Pagi,” ucap Elang pelan sambil melirik Nayla yang tak menyadari kehadirannya.
Nayla hanya mengangguk sedikit. Suaranya seperti tertelan.
Elang memiringkan kepala, menatap wajah Nayla dengan seksama.
“Kamu sakit?”
Nayla menggeleng cepat, memaksakan senyum.
“Cuma kurang tidur. Dio demam semalam.”
Elang mengangguk. Tapi matanya tetap menatap Nayla, seolah tahu ada yang berbeda.
“Kalau butuh bantuan, bilang. Aku siap bantu..”
Nayla mencibir kecil dalam hati.
Apa yang bisa dimengerti anak orang kaya sepertimu?
Kau tinggal di rumah seperti hotel, makan tiga kali sehari dengan piring porselen, dan uang jajanmu mungkin cukup untuk beli motor.
Tapi Nayla hanya mengangguk. Ia tak sanggup bicara lebih banyak. Kata-kata terasa seperti beban.
Pelajaran pertama berlangsung seperti biasa. Guru datang, buku dibuka, catatan ditulis. Tapi pikiran Nayla melayang. Ia tak mendengar apa pun dari papan tulis. Yang terbayang hanyalah ruangan karaoke remang-remang semalam, wajah-wajah lelaki asing, dan tawa mereka yang lengket di kepalanya seperti asap rokok.
Saat jam istirahat, Nayla tak langsung ke kantin. Ia menuju taman belakang sekolah. tempat yang biasa ia datangi saat butuh udara.
Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Mira duduk di bangku panjang, dikelilingi dua temannya. Mira menatap Nayla dari kejauhan lalu tersenyum kecil. Senyum yang tak hanya menyapa, tapi juga mengingatkan.
"Selamat datang di permainan, Nay."
Dengan enggan, Nayla mendekat. Mira menepuk bangku kosong di sebelahnya.
“Gimana badanmu?” tanya Mira sambil menggigit permen karet.
“Kamu kelihatan... lelah.”
Nayla duduk pelan. Ia tidak menjawab langsung.
“Dua ratus ribu lumayan, kan?” lanjut Mira. “Tapi, kalau kamu mau lebih. besok ada klien yang minta cewek baru. Pas banget buat kamu.”
Nayla menunduk. Suara Mira terdengar samar di antara desir angin. Tapi kata-katanya menusuk.
“Aku belum yakin.” ucap Nayla pelan.
Mira tertawa pelan.
“Gak usah buru-buru. Tapi kamu harus tahu, Nay. Dunia gak kasih apa-apa ke orang yang setengah-setengah.”
Lalu Mira berdiri, merapikan roknya, dan menatap Nayla lurus-lurus.
“Besok malam. Kalau kamu siap, kabarin. Kalau nggak. ya kamu bisa balik lagi ke kehidupanmu yang itu-itu aja.”
Mira lalu berjalan pergi, diiringi dua temannya. Langkahnya ringan, seolah tak membawa beban dunia di pundaknya.
Nayla duduk diam di sana, ditiup angin pelan yang membuat mata dan hatinya sama-sama perih.
...
Di dalam kelas setelah istirahat, pelajaran matematika dimulai. Tapi Nayla hanya memandangi papan tulis kosong. Pulpen di tangannya tak bergerak. Hanya jari-jarinya yang gemetar.
Pikirannya kembali ke wajah ibunya di teras tadi malam.
Ke suara Mira.
Ke bayangan cermin yang memperlihatkan sosok asing yang mengenakan gaun merah marun.
Dan entah kenapa... dadanya terasa sesak.
Ia ingin menangis. Tapi tidak di sini. Tidak sekarang.
Jadi, ia hanya menggigit bibirnya pelan. hingga nyaris berdarah. agar rasa sakit itu bisa mengalahkan rasa lain yang lebih menyakitkan.
Dan saat bel pulang berbunyi, Nayla tahu hari itu belum selesai. Dunia yang semalam ia tinggalkan masih menunggunya. Dunia yang bisa memberinya uang. tapi juga perlahan mencuri jiwanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!