NovelToon NovelToon

Istri Kontrak CEO Duda

Bab 1 - Lobi dan Gosip Pagi

Pagi itu, suasana lobi kantor terlihat seperti biasa ramai oleh para karyawan yang baru datang dan terburu-buru menuju lantai masing-masing. Di antara kerumunan itu, tampak seorang gadis cantik berusia 23 tahun berjalan santai sambil membawa kotak bekal di tangan kirinya dan tas kerja menggantung di bahu kanannya.

Dia adalah Nayla, gadis berwajah baby face yang selalu tampil manis dengan pakaian dan jilbab berwarna pastel. Gayanya yang feminin dan kalem membuat banyak orang salah mengira kalau dia adalah anak magang. Padahal, Nayla adalah sekretaris CEO perusahaan ini.Pagi itu, Nayla tidak sendiri. Ia melangkah masuk ke lobi bersama dua sahabatnya, Mega dan Doni. Ketiganya sudah akrab sejak masa orientasi kerja dan kini selalu berangkat dan pulang bareng tentu saja sambil berbagi cerita dan gosip kantor.

Nay, gimana rasanya jadi sekretaris Pak Arga? tanya Mega sambil berjalan di sebelah Nayla. Lo nggak stres tiap hari lihat kelakuan dia yang tempramental, emosian dan mukanya tuh kayak lupa cara senyum.

Mega mendesah sebal. Belum lagi tuh tiap hari pasti ada cewek seksi yang dia bawa ke kantor buat ya lo tahulah ganti oli!

Nayla cuma cengar-cengir, sementara Doni menahan tawa.

Kalau gue ya, Nay lanjut Mega, udah pasti minta pindah divisi. Stres banget gue, sumpah.

Mega masih belum selesai.

Terus ya Nay, si Doni kan pernah tuh mau ke ruang asistennya Pak Arga, si Pak Dion. Sebelum sampai ruang Pak Dion kan pasti lewatin dulu ruangan Pak Arga. Nah si Doni ini katanya sering dengar suara-suara laknat dari dalam ruangan itu.

Iya kan Don? Jangan ngeles lo sekarang! Mega menatap Doni tajam.

Doni cuma nyengir dan mengangguk. Betul Nay. Tapi untungnya iman gue kuat. katanya dengan nada dramatis.

Nayla tertawa kecil. “Ah, masa bodoh lah. Selama dia nggak ganggu gue, ya gue aman-aman aja.”

Tapi lalu wajahnya sedikit berubah. “Cuma ya pertama kali kerja di sini, gue sempat syok juga sih. Gila, cewek seimut gue harus ternoda denger suara-suara ya gitu deh,” ucap Nayla sambil memanyunkan bibirnya, ekspresi sedih tapi tetap imut.

Mega dan Doni langsung ngakak melihat ekspresi temannya itu.

“Oh ya!” seru Nayla, mengubah suasana. “Gue bawa brownies, nih Tadi pagi sempat bikin. Nih buat kalian berdua sama temen-temen lain juga.”

“Ya ampun makasih Naylaku sayang!” ujar Mega dan Doni bersamaan dengan penuh semangat.

“Terus, hari ini lo bawa bekal apa?” tanya Mega sambil melirik kotak yang dibawa Nayla.

“Capcay, udang tepung, sama sambal bawang,” jawab Nayla sambil tersenyum.

“Boleh minta kan, Nay?” tanya Doni dan Mega dengan suara penuh harap.

“Boleh dong. Gue emang bawa banyak kok,” jawab Nayla.

“Nanti kita tunggu di kantin pas jam istirahat ya, Nay!” ucap mereka antusias.

Akhirnya, ketiganya tiba di depan lift dan berdiri menunggu. Mereka masih mengobrol ringan sambil sesekali tertawa kecil. Begitu lift terbuka, mereka masuk dan menekan tombol lantai masing-masing:

Nayla menuju lantai 15, lantai tempat ruang CEO berada.

Mega ke lantai 5, bagian pemasaran.

Doni ke lantai 10, bagian keuangan.

Pintu lift perlahan tertutup. Hari yang baru pun dimulai tentu dengan segudang cerita baru yang mungkin akan muncul nanti saat jam makan siang.

Bab 2 – Tamu, Jadwal, dan Senyum Manis Nayla

Begitu tiba di lantai 15, Nayla langsung melangkah mantap menuju mejanya yang terletak persis di depan ruang CEO. Penampilannya rapi dan elegan, seperti biasa—blus putih sederhana dipadukan rok pensil abu-abu yang membuatnya tampak profesional namun tetap anggun. Ia duduk tenang, membuka laptop, lalu mulai mengecek agenda kerja atasannya hari ini.

Belum lama ia menekuni layar, suara pintu lift yang terbuka menarik perhatiannya. Dua pria muncul dari dalamnya—satu berwajah dingin dan penuh wibawa, satunya lagi lebih santai dan tersenyum tipis.

Arga, sang CEO, berjalan lebih dulu. Di belakangnya menyusul Dion, asisten pribadi yang setia menemani. Wajah Dion seperti biasa, tenang dan sedikit jenaka.

Begitu mereka mendekat, Nayla langsung berdiri dan menyapa dengan sopan.

“Selamat pagi, Pak Arga. Selamat pagi, Pak Dion,” ucapnya dengan nada ramah.

Pak Arga hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar seperti biasanya. Sosoknya memang selalu terkesan dingin dan sulit ditebak. Sementara Dion membalas dengan senyum hangat.

“Pagi, Nayla,” katanya.

Nayla membalas sapaan itu dengan senyum manisnya—senyum khas Nayla yang entah mengapa selalu berhasil bikin para cowok di kantor kehilangan fokus. Tapi di balik senyum itu, Nayla selalu menjaga jarak. Ia bukan tipe yang mudah didekati, meski banyak yang diam-diam menaruh hati padanya.

“Nayla, ikut saya ke ruangan,” ucap Pak Arga singkat, tanpa basa-basi.

“Baik, Pak,” jawab Nayla, langsung mengambil tabletnya dan mengikuti sang CEO masuk ke ruang kerja.

Begitu mereka duduk, Pak Arga langsung membuka laptopnya dan menatap layar sejenak. Lalu, tanpa mengalihkan pandangan, ia bertanya, “Jadwal saya hari ini?”

Nayla menyalakan tabletnya dan menjawab dengan suara tenang.

“Pukul sepuluh nanti Bapak ada meeting dengan divisi keuangan dan pemasaran. Setelah makan siang, pukul dua siang, meeting dengan perwakilan dari perusahaan Permata.”

Pak Arga mengangguk kecil. “Baik. Nanti siang, pesankan makan siang untuk dua orang. Di kafe depan saja.”

“Siap, Pak.”

“Dan nanti ada tamu wanita yang akan datang. Langsung saja arahkan ke ruangan saya, ya, Nayla.”

“Baik, Pak.”

Setelah semua instruksi disampaikan, Nayla pamit dan keluar ruangan. Ia kembali duduk di meja kerjanya, lalu fokus pada layar laptop. Jari-jarinya cekatan mengetik, sesekali berhenti untuk membuka email yang masuk.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aroma parfum menyengat tiba-tiba menyergap hidung Nayla. Ia menoleh, dan mendapati seorang wanita berpenampilan mencolok berdiri di depan mejanya. Dress ungu ketat, rambut panjang terurai, dan heels tinggi—terlihat seperti baru keluar dari majalah fashion.

Dengan senyum genit, wanita itu membuka percakapan, “Adek manis, Mas Arga ada nggak?”

Nayla menahan napas sejenak, berusaha tetap tenang. Wajahnya tetap tersenyum ramah meski dalam hati ingin menghela napas panjang.

“Ada, Mbak. Silakan, saya antar.”

Ia berdiri, lalu dengan langkah sopan mengantarkan tamu itu menuju ruang CEO. Setelah pintu tertutup, Nayla kembali ke mejanya. Ia menarik napas pelan, lalu kembali menatap layar laptop.

Tak lama kemudian, Dion muncul sambil membawa dua gelas kopi. Ia berjalan santai lalu duduk di pinggir meja Nayla.

“Nay… udah datang lagi ya ‘cewek shift baru’?” godanya dengan suara pelan.

Nayla menoleh dan tertawa kecil. “Kayaknya jadwal mereka padat, Mas,” jawabnya sambil memainkan stylus di tangannya.

Dion tertawa pendek. Ia menyodorkan satu gelas kopi ke arah Nayla.

“Nih, buat kamu. Biar nggak tegang.”

“Thanks, Mas. Kopi gratis selalu aku terima dengan senang hati,” balas Nayla, tersenyum.

“Eh, nanti makan siang bareng, yuk,” ajak Dion tiba-tiba.

“Tapi aku udah janji makan sama Mega sama Doni, Mas. Soalnya kalau mereka cuma berdua, suka gosipin orang,” jawab Nayla sambil nyengir.

“Ya udah, gabung aja semua. Habis makan, kita langsung ke lokasi meeting, Nay.”

“Okidoki, Mas,” ucap Nayla dengan senyum manisnya yang sekali lagi—tanpa sadar—membuat Dion memalingkan pandangan sesaat, menahan sesuatu yang tak ia katakan.

Dan senyum itulah—senyum khas Nayla—yang diam-diam membuat banyak pria di kantor menaruh hati padanya.

Sayangnya bagi mereka, Nayla bukan tipe yang mudah didekati. Ia manis, tapi tak mudah dilemahkan. Terbuka, tapi tak membiarkan siapa pun masuk terlalu dalam.

 

Bab 3 – Dikasih Pun Gak Mau

Setelah sempat mengobrol sebentar dengan Nayla, Dion kembali ke ruangannya. Ia membawa beberapa berkas yang harus disusun sebelum rapat internal dengan divisi keuangan dan pemasaran dimulai.

Sementara itu, Nayla mulai fokus menyiapkan materi presentasi yang akan dibahas dalam dua pertemuan penting hari ini. Satu dengan tim internal, dan satu lagi kerja sama eksternal dengan Perusahaan Permata. Tangannya sibuk mengetik, sesekali mengecek agenda yang sudah disusun rapi di laptopnya.

Namun, suasana yang berbeda terjadi di ruang CEO.

Di balik kaca buram itu, seorang wanita cantik bernama Sarah tengah duduk manja di pangkuan Arga. Ia melirik ke luar, ke arah meja kerja Nayla, lalu bertanya dengan nada menggoda.

“Sayang, itu yang duduk di luar anak magang, ya?”

Arga melirik singkat ke arah luar dan menjawab santai,

“Bukan. Dia sekretarisku. Udah setahun ikut aku. Kenapa?”

Sarah mendengus pelan, cemberut.

“Kupikir anak magang. Wajahnya baby face banget, imut lagi. Awas ya kalau kamu sampai jatuh cinta sama dia,” ucap Sarah setengah bercanda tapi menyimpan kecemburuan yang jelas.

Arga hanya tersenyum kecil. Tapi bukan senyum romantis—melainkan senyum penuh rencana.

“Gak lah, sayang. Kamu kan tahu, selera aku kayak gimana...” katanya pelan, dengan senyum tipis yang menyiratkan maksud terselubung.

Dalam diam, Arga menyimpan rencana besar untuk Nayla. Ia belum mau menunjukkannya sekarang. Tapi gadis polos dan tenang itu... bukan hanya menarik perhatiannya, melainkan juga bisa jadi kunci bagi sesuatu yang lebih penting.

Beberapa menit kemudian, Arga dan Sarah masuk ke ruangan kecil di balik ruang kerjanya. Ruangan tersembunyi yang hanya segelintir orang tahu keberadaannya.

Dan tak lama kemudian...

 Suara-suara mulai terdengar samar dari balik dinding kaca.

Nayla, yang tengah mengetik dengan fokus, sempat berhenti sejenak. Ia menegakkan punggung, lalu memutar bola matanya malas.

“Pagi-pagi udah konser lagi…” bisiknya pelan, sambil kembali fokus ke layar laptopnya.

Satu jam berlalu.

 Sarah keluar dari ruangan itu dengan langkah percaya diri tapi tatapan tajam. Ia langsung menuju meja Nayla, berdiri di depannya dengan wajah sinis.

“Denger ya,” katanya tajam. “Jangan pernah coba-coba deketin Arga. Dia milik aku. Sekali kamu nyentuh dia, kamu bakal tahu akibatnya.”

Nayla mengangkat wajahnya. Tanpa ekspresi takut, ia tersenyum kecil—senyum yang justru membuat Sarah makin kesal.

“Maaf, Mbak. Pak Arga bukan tipe saya,” jawab Nayla santai.

 “Saya juga gak minat. Jadi Mbak tenang aja.”

 “Dikasih pun saya gak mau,” tambahnya sambil kembali mengetik, seolah ucapan Sarah tidak berarti apa-apa.

Sarah terdiam sejenak. Wajahnya merah karena malu sekaligus kesal. Ia berbalik dan melangkah pergi dengan kesal.

Tak jauh dari sana, Dion yang sempat mendekat untuk menyerahkan dokumen ke Nayla, secara tak sengaja mendengar percakapan itu.

Ia nyaris menjatuhkan map yang dibawanya, lalu berdiri bengong.

“Gokil,” gumamnya pelan.

 “Mana ada cewek yang bisa nolak Arga? Duda keren, punya anak umur lima tahun, tajir melintir, dan... karismatik.”

Tapi Nayla bukan wanita biasa. Dan itulah yang membuat Dion semakin bangga dengan gadis pastel berwajah baby face itu.

Yang tak mereka tahu, Arga berdiri di balik pintu ruangannya. Ia juga mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Nayla barusan.

Dan reaksinya?

Senyum sinis muncul di sudut bibir Arga.

“Menarik... sangat menarik,” gumamnya dalam hati.

 “Kita lihat, Nayla. Seberapa lama kamu bisa bertahan dari permainan ini…”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!