NovelToon NovelToon

Bayangan Di Balik Gerbang

Bab 1 – Bayangan di Balik Cahaya

Udara pagi di Desa Luthien selalu dipenuhi aroma tanah basah dan kicauan burung. Matahari baru saja menembus kabut tipis, memandikan atap-atap rumah dengan cahaya keemasan. Bagi sebagian besar orang, ini adalah hari biasa: para petani mulai menuju ladang, anak-anak berlarian sambil tertawa, dan para ibu sibuk dengan pekerjaan rumah. Namun, bagi seorang pemuda bernama Kael, pagi itu akan mengubah segalanya.

Kael berlari menuruni jalan berbatu dengan napas tersengal, sambil membawa keranjang penuh kayu bakar. Rambut hitamnya berantakan, matanya tajam namun penuh keraguan. Sejak kecil, ia selalu merasa berbeda. Tidak seperti anak-anak lain yang lahir dengan bakat kecil dalam sihir cahaya atau api, dirinya tak pernah menunjukkan tanda-tanda kekuatan apa pun. Orang-orang desa kerap berbisik di belakangnya: “Anak itu aneh… mungkin tak diberkati para dewa.”

Namun Kael tidak pernah menyerah. Ia bekerja keras membantu ibunya yang sakit-sakitan, menebang kayu, menjual hasil hutan, dan sesekali melatih pedang kayu tua peninggalan ayahnya. Meski demikian, hatinya selalu menyimpan kerinduan: ingin menjadi seseorang yang lebih besar, seperti para pahlawan yang diceritakan dalam balada tua.

Siang itu, desa mendadak diguncang oleh teriakan panik.

“Serigala! Serigala masuk desa!”

Warga berhamburan, beberapa mengangkat garpu besi dan kapak. Kael menjatuhkan keranjangnya dan berlari mengikuti suara. Ia menemukan seekor serigala besar, matanya merah menyala, tubuhnya diselimuti kabut hitam tipis. Itu bukan serigala biasa, melainkan makhluk dari hutan gelap di utara.

“Menjauhlah, Kael!” teriak salah satu pria desa.

Namun Kael justru maju. “Kalau aku lari, siapa yang akan melindungi kalian?”

Ia menggenggam pedang kayunya, berusaha menghadang binatang itu. Serigala melompat, taringnya siap merobek. Kael mengayunkan pedangnya, tapi tubuhnya terlalu ringan dibandingkan kekuatan lawan. Hewan itu menepisnya, membuat Kael terlempar ke tanah.

Di saat itulah, sesuatu terjadi.

Rasa panas menjalar di lengan kirinya, di mana sejak kecil ia memiliki tanda aneh berbentuk setengah bulan hitam. Tanda itu bersinar gelap, dan tiba-tiba bayangan di tanahnya bergerak sendiri. Dari bawah kakinya, muncul cakar raksasa hitam pekat yang mencabik udara—menebas serigala itu hingga terhempas.

Suasana hening. Semua warga desa menatapnya dengan wajah pucat.

“A… apa yang barusan dia lakukan?”

“Itu… sihir bayangan! Sihir terkutuk!”

“Dia bukan penyelamat… dia pembawa malapetaka!”

Kael tertegun, napasnya memburu. Lengan kirinya masih bergetar, dilingkupi aura hitam yang menakutkan. Dalam hatinya, ia merasa ngeri sekaligus heran. Apa ini… kekuatan dari tanda itu?

Serigala itu bangkit lagi, meraung marah. Namun sebelum ia menyerang, seorang pria berjubah putih muncul. Dengan satu gerakan tangan, ia menciptakan tombak cahaya yang menembus tubuh serigala, membuat makhluk itu hancur menjadi asap hitam.

Warga langsung berlutut hormat. “Penyihir kerajaan!”

Pria itu, berambut perak dengan tatapan bijak, menoleh ke arah Kael.

“Aku adalah Master Orlan, pengajar dari Akademi Sihir Aeryndor,” ucapnya dengan suara tenang. “Anak muda… kau baru saja menggunakan sihir yang seharusnya tidak mungkin ada di desa ini.”

Kael menelan ludah, bingung harus menjawab apa.

“Aku tidak tahu… Aku bahkan tidak mengerti apa yang kulakukan.”

Orlan menatap tanda hitam di lengan Kael dengan penuh minat.

“Menarik. Sihir bayangan adalah kekuatan kuno—langka, terlarang, dan berbahaya. Namun juga… kekuatan yang bisa mengubah dunia. Kael, kau punya dua pilihan: tetap di desa ini dan hidup dibenci, atau ikut denganku ke akademi, belajar mengendalikan kekuatanmu.”

Kael menatap ibunya yang berdiri di antara kerumunan, wajahnya penuh air mata.

“Pergilah, Kael,” bisiknya. “Takdirmu bukan di sini. Kau ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar.”

Dengan hati bergejolak, Kael mengangguk. Ia tahu sejak saat itu, hidupnya tak akan pernah sama. Bayangan telah terbangun, dan jalan menuju takdirnya baru saja dimulai.

---

Bab 2 – Akademi Aeryndor

Kereta kerajaan melaju menyusuri jalan berbatu, meninggalkan Desa Luthien yang kian mengecil di kejauhan. Kael duduk di dalamnya bersama Master Orlan, diam menatap keluar jendela. Setiap guncangan roda terasa seperti mengingatkan dirinya bahwa ia baru saja meninggalkan semua yang pernah ia kenal: rumah kecilnya, senyum ibunya, dan kehidupan sederhana yang kini tak akan pernah kembali sama.

“Aku tahu apa yang kau rasakan,” suara Orlan memecah keheningan. “Meninggalkan rumah bukan hal mudah. Tapi ingat, dunia ini lebih luas daripada sekadar satu desa.”

Kael menoleh, masih ragu. “Mengapa aku? Banyak orang di luar sana yang lebih pantas.”

Orlan tersenyum samar. “Justru karena kau berbeda. Dunia ini terbuat dari dua sisi: cahaya dan bayangan. Selama berabad-abad, orang hanya memuja cahaya, melupakan bahwa bayangan juga bagian dari keseimbangan. Kau adalah pengingat akan kebenaran itu.”

Kata-kata itu menancap dalam hati Kael, meski ia belum sepenuhnya mengerti.

Menjelang sore, kereta akhirnya mencapai gerbang raksasa yang menjulang tinggi—pintu masuk menuju Akademi Sihir Aeryndor. Bangunan megah berdiri di atas bukit, dikelilingi tembok batu putih dengan ukiran kuno. Menara-menara tinggi menjulang, sebagian dipenuhi cahaya kristal biru yang berputar pelan di udara.

Kael tertegun. “Ini… seperti kota kecil sendiri.”

“Lebih dari itu,” jawab Orlan bangga. “Ini adalah pusat pengetahuan sihir tertua di kerajaan. Setiap generasi penyihir hebat lahir dari sini.”

Mereka melewati gerbang besar, di mana ratusan murid berkeliaran—ada yang berlatih mengendalikan api di halaman, ada yang membaca gulungan mantra di bawah pohon, dan beberapa bahkan terbang di atas sapu sihir.

Kael merasa dirinya kerdil di tengah semua itu. Mereka semua terlihat hebat… sedangkan aku hanya anak desa dengan kutukan di lengan.

Malam itu, Kael diperkenalkan ke asrama murid baru. Bangunan itu terbuat dari batu abu-abu, sederhana dibandingkan menara megah para pengajar. Di sana ia bertemu banyak wajah baru.

Seorang gadis berambut pirang keemasan menghampirinya dengan senyum ramah. “Kau murid baru juga? Aku Lyra.”

Kael mengangguk canggung. “Aku… Kael.”

Lyra menatap tanda hitam di lengannya yang tersembunyi sebagian oleh kain. “Kudengar ada murid yang membawa sihir bayangan… itu kau, ya?”

Kael terdiam. Ia sudah terbiasa dengan tatapan curiga, siap untuk dijauhi lagi. Namun, Lyra justru tersenyum lebih hangat. “Aku tak peduli apa katamu. Aku hanya penasaran. Setiap kekuatan pasti punya alasan untuk ada, kan?”

Kael tertegun. Untuk pertama kalinya, seseorang melihatnya bukan dengan ketakutan, tapi dengan rasa ingin tahu yang tulus.

Hari-hari awal di akademi tidak mudah. Para pengajar memperkenalkan dasar-dasar sihir: meditasi, pengendalian energi, dan pemanggilan elemen. Murid lain dengan mudah memunculkan percikan api atau bola cahaya, sementara Kael berkeringat hanya untuk membuat bayangan di sekitarnya bergetar sedikit.

Bisikan pun mulai terdengar di kelas.

“Dia bahkan tidak bisa mengendalikan kekuatan terkutuknya.”

“Mungkin dia hanya kebetulan meledak di desa itu.”

Kael menunduk, frustrasi. Namun Lyra selalu berada di sampingnya, memberi semangat. “Jangan dengarkan mereka. Semua kekuatan butuh waktu. Bahkan matahari tidak terbit sekaligus, kan?”

Suatu malam, ketika Kael berlatih sendirian di halaman belakang, tanda di lengannya bersinar lebih terang. Bayangan pohon di dekatnya mulai bergerak liar, berubah bentuk menjadi cakar hitam yang menghantam tanah. Kael hampir kehilangan kendali, tapi suara lembut menghentikannya.

“Tenangkan napasmu.”

Orlan berdiri di sana, mengamatinya.

“Kekuatan bayangan berbeda dengan cahaya. Cahaya menuntut kendali, bayangan menuntut penerimaan. Jangan melawannya, tapi rangkul dia.”

Kael menutup mata, mencoba mengingat kata-kata itu. Perlahan, bayangan itu surut, kembali menyatu dengan tanah.

Saat ia membuka mata, Orlan menatapnya dengan bangga.

“Kau baru saja mengambil langkah pertamamu sebagai penyihir sejati.”

Kael terdiam lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan desanya, ia merasa mungkin dirinya memang punya tempat di dunia ini.

Namun jauh di menara tertinggi, seseorang lain memperhatikan. Seorang murid senior, matanya tajam dan penuh iri, bergumam lirih:

“Bayangan itu… tidak boleh dibiarkan tumbuh. Jika dia naik terlalu tinggi, aku akan memastikan dia jatuh.”

Bab 3 – Bayangan di Arena

Hari itu, aula pelatihan Akademi Aeryndor dipenuhi murid. Bangunan melingkar itu mirip koloseum, dengan atap tinggi yang dihiasi jendela kristal, membiarkan cahaya matahari jatuh lurus ke arena pasir di tengah. Suara riuh murid bercampur dengan dentingan logam dan gemuruh sihir.

Hari ini bukan hari biasa—ini adalah Ujian Pertarungan Pertama, momen di mana para murid baru akan memperlihatkan kemampuan mereka di hadapan guru dan senior. Kael duduk di bangku paling belakang, tangannya menggenggam erat lututnya.

“Kenapa harus ada duel?” gumamnya pelan.

Lyra, yang duduk di sampingnya, menoleh dengan senyum semangat. “Karena di sinilah kita membuktikan diri! Jangan khawatir, aku yakin kau bisa.”

Kael tidak menjawab. Ia ingat betapa sulitnya mengendalikan bayangan malam itu. Meski ia berhasil menenangkan kekuatan itu, ia tahu betul betapa rapuh kendalinya.

 

Satu per satu murid dipanggil ke arena. Mereka menunjukkan kemampuan—bola api meluncur, angin membentuk pisau tipis, air mengalir seperti cambuk. Sorakan bergemuruh setiap kali ada murid yang menampilkan teknik spektakuler.

Hingga tiba giliran Eryndor Valek. Dengan langkah penuh percaya diri, ia masuk ke tengah arena. Tongkat sihirnya berkilau merah, dan dalam sekejap bola api sebesar kerbau muncul di atas telapak tangannya. Ia menghempaskannya ke target kayu, dan seketika patung itu meledak menjadi abu.

“Luar biasa!” teriak seorang murid.

“Tak heran, dia pewaris keluarga Valek.”

Eryndor tersenyum tipis, lalu mengangkat pandangannya ke arah tribun tempat Kael duduk. Senyum itu berubah menjadi ejekan halus, seolah berkata: Giliranmu akan menjadi bahan tawa.

 

Nama Kael dipanggil. Suara di aula mereda, seakan semua menunggu. Ia menelan ludah, berdiri dengan langkah kaku, dan turun ke arena. Detak jantungnya menggema di telinga.

“Kael Ardyn, gunakan sihirmu,” ujar pengawas dengan nada datar.

Kael menutup mata, mengangkat tangannya. Bayangan di sekitarnya merespons—perlahan merambat dari kakinya, lalu berputar di tanah seperti kabut hitam. Suara kecil terdengar di antara penonton:

“Itu dia… sihir bayangan.”

“Berbahaya sekali.”

“Apakah akademi gila membiarkan dia belajar di sini?”

Kael mencoba mengabaikannya. Ia mengingat kata-kata Orlan: Jangan melawan bayangan, rangkul dia.

Namun tepat saat ia mulai memusatkan fokus, suara lantang memotong.

“Boleh aku menjadi lawannya?”

Itu suara Eryndor. Ia melangkah ke tengah arena dengan penuh tantangan. Para murid bersorak, sebagian besar mendukung duel itu.

Pengawas mengangkat alis, ragu. Namun akhirnya mengangguk. “Baiklah. Duel singkat. Tidak sampai melukai fatal.”

 

Pertarungan dimulai.

Eryndor bergerak cepat, melontarkan api dari tongkatnya. Bola api menyambar ke arah Kael, memaksa Kael berguling menghindar. Panas menyengat kulitnya. Sorakan penonton bergema:

“Valek! Valek! Valek!”

Kael bangkit dengan susah payah. Bayangan di sekelilingnya berputar liar, bereaksi terhadap ketakutannya. Cakar hitam muncul dari tanah, menangkis semburan api.

Penonton terdiam sejenak, lalu bergemuruh.

“Dia… bisa melawan api itu?!”

Eryndor menyipitkan mata. “Jadi kutukanmu tidak hanya untuk ditakuti, ya? Tapi mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan!”

Ia mengangkat tongkat, api menjelma naga kecil yang mengaum dan menyambar Kael.

Kael merasakan bayangan di tubuhnya bergolak, hampir lepas kendali. Tapi ia teringat wajah Lyra, kata-kata semangatnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membiarkan bayangan itu mengalir tanpa melawan.

Bayangan naik dari tanah, membentuk perisai hitam pekat. Naga api menabraknya—BOOOM!—ledakan besar mengguncang arena, asap memenuhi udara.

Saat asap mereda, Kael masih berdiri. Bayangannya melingkar melindungi tubuhnya, meski tangannya gemetar hebat. Penonton tercengang.

Eryndor melangkah mundur, wajahnya merah karena marah sekaligus terkejut. “Itu… mustahil.”

Sementara itu, Lyra berdiri dari bangku penonton, bersorak keras. “Kau berhasil, Kael!”

 

Pengawas segera menghentikan duel. “Cukup! Itu sudah lebih dari bukti kemampuan.”

Sorakan, bisikan, dan tatapan bercampur memenuhi aula. Ada yang terpukau, ada yang ketakutan. Kael menunduk, menahan napas berat, lalu berjalan kembali ke tribun.

Saat ia melewati Lyra, gadis itu menepuk bahunya dengan senyum bangga. “Kau tidak lagi sendirian, Kael.”

Namun jauh di pojok tribun, seorang sosok berjubah hitam memperhatikan dengan senyum samar.

“Bayangan itu… akhirnya bangkit kembali,” bisiknya.

Dan Kael, meski baru saja membuktikan dirinya, tidak tahu bahwa pertarungan kecil ini hanyalah awal dari badai besar yang akan menelannya.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!