NovelToon NovelToon

Second Chance To Love You More

Panggilan Telepon terakhir (Maret 2008)

Dinding kost-an warna putih menjadi saksi bagaimana kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya.

"Ini panggilan terakhir aku padamu. Setelah ini, kita pilih jalan masing-masing dulu. Lelah dan menguras tenaga untuk memperjuangkan cinta ini,"

Suara itu begitu berat dan tidak seperti biasanya. Bukan suara lembut menenangkan yang terdengar, tetapi suara hampir bergetar, serak, dan penuh beban.

Dan aku? Aku harus menjawab apa, kalau memang keputusannya adalah seperti itu. Namun, tentunya hati ini tidak akan rela dan tidak akan sanggup menerima ini. Putus. Berpisah.

Empat tahun yang dijalani akan berakhir di hari ini. Yup, saat ini, Rai minta hubungan ini berakhir. Sanggup? Tentu tidak. Perjuangan kami tidak mudah. Usia kami terpaut 11 tahun. Aku baru jadi mahasiswa semester dua di perguruan tinggi negeri dan dia sudah berkarier sebagai salah satu pegawai PLN di kota sebelah. Punya rumah sendiri dan hidup mapan.Ulang tahunnya beberapa bulan lagi dimana dia sudah genap kepala tiga, sedangkan aku 20 tahun pun belum.

Perbedaan kami bukan hanya soal usia. Perbedaan dasar kami adalah kepercayaan. Dia Hindu, aku Protestan. Benar-benar jurang yang sangat dalam. Perbedaan inilah yang menjadi dasar penolakan orang tuaku kepada Rai. Dan tentunya, aku terlalu muda untuk menjadi pasangan seseorang yang beberapa bulan lagi genap 30 tahun.

Kepalaku tiba-tiba berat. Ingin menangis tapi tertahan entah karena apa. Aku mencoba menarik napas untuk mengatur ritme suaraku.

"Kak, mungkin kita bertemu dulu untuk bahas ini?" ujarku dengan tempo bicara yang hampir terbata-bata.

Terdengar dia menarik napas panjang.

"Sulit." jawabnya singkat.

"Tapi kan yang tidak merestui mama. Apakah kita berdua tidak bisa berjuang? Minimal jangan berpisah dulu," pintaku masih dengan tempo yang lambat karena menahan rasa sesak di dada.

"Ini soal harga diri. Mungkin aku bukan yang diinginkan, de,"

Dan suaranya tak terdengar lagi. Dia mematikan telponnya.

Andai kotaku dan kotanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki, sudah ku datangi dia dan katakan untuk jangan menyerah.

Apa mau dikata. Aku hanya bisa memukul-mukul dinding kost ku. Dan air mata itu pun mulai membasahi mata dan turun ke pipi.

Kalau aku tahu hasilnya akan seperti ini, tidak akan ku izinkan dia datang ke rumahku dan menemui mama. Akan ku larang sebisaku. Namun, niatnya sudah bulat untuk mengajukan pertunangan kami. Bukan rencana pernikahan, baru pertunangan. Dia datang dengan harapan, mama akan menerima dia dengan baik. Namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Dia akhirnya memutuskan hubungan ini. Keputusan yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulutnya. Mengingat selama ini, dia begitu takut kehilanganku dan menjagaku dengan sepenuh hati. Mungkin perlakukan yang didapat dari mama sangat tidak manusiawi sehingga dia menjadi sangat kecewa seperti itu. Apa sebenarnya yang terjadi di rumah tadi siang?

Aku pikir kemarahannya akan berlalu dan dia akan menghubungiku kembali setelah hari itu. Aku salah besar.

Hari itu hari terakhir mendengar suaranya. Dan tidak pernah lagi mendengar suaranya.

Itu panggilan terakhir dan nomornya sudah tidak bisa dihubungi lagi.

Keesokan harinya, kakak sepupuku yang juga satu kantor dengan Rai, tiba-tiba menelpon. Menanyakan kabarku dan berakhir dengan kalimat :

"Tidak usah cari Rai lagi. Lanjutkan hidupmu karena dia tidak akan bisa denganmu lagi. Masih banyak pria lain di luar sana,"

Kalimat itu berakhir tanpa penjelasan detail.

Teater Mawar Berduri (2006)

"Semangattt Ty," teriak Intan sambil melambaikan tangannya.

Aku membalas dengan memberi tanda cium jarak jauh. Sementara kru dan para talent sementara bersiap untuk tampil. Ini penampilan yang tidak biasa. Berkenaan dengan bulan bahasa, ini adalah puncak peringatannya dan teater kami mendapat kesempatan untuk pentas. Padahal banyak juga grup teater lain yang tidak kalah bagus.

Semua terlihat sibuk. Hanya aku yang sesekali melihat dari balik kain pintu ruang persiapan, menengok ke arah tempat duduk penonton untuk melihat apakah dia jadi datang atau tidak.

Rai berjanji untuk datang, tetapi aku sadar ini bukan weekend apalagi hari libur. Hari ini hari kerja di mana Rai juga harus masuk kantor. Belum lagi perjalanan dari kotanya ke kotaku sekitar dua jam. Benar-benar butuh effort untuk menonton pertunjukan ku. Namun ku rasa dia sudah paham bahwa ini adalah pementasan yang sangat spesial buatku.

Dia jatuh cinta pertama kali ketika membaca puisi-puisi yang aku tulis untuk mengisi salah satu rubrik di sebuah koran harian. Kakak sepupuku, Anthon, yang juga teman kantornya adalah orang pertama yang memperkenalkan karyaku pada Rai. Sejak itu, Rai akan membeli koran itu setiap hari supaya bisa membaca karya-karyaku. Hingga suatu hari, aku bertamu di kantor kakak sepupuku dan kami berkenalan, tukaran nomor handphone dan memulai komunikasi. Dan sejak saat itu juga, Rai selalu mendukung karya - karyaku dalam dunia sastra.

"Ty, semua properti sudah ready. Sudah disusun sesuai urutan pemakaiannya," lapor Edis, asisten sutradara.

"Terbaik, Dis. Bagaimana dengan pemain figuran? Semua sudah datang, kan?" tanyaku

"Sudah, Ty. Semua sudah isi absen supaya ketahuan kalau ada yang belum datang. Kamu sudah siap untuk memimpin briefing?"

"Sebentar, Dis," aku melangkah mendekati kain pintu pembatas dan menengok ke arah kursi penonton yang sudah mulai memenuhi tribun. Berharap wajah yang aku harapkan untuk datang bisa kulihat. Ternyata tidak ada.

Tak ada waktu untuk menelpon atau sekadar sms karena semua harus serba cepat.

"Ayo, kita mulai briefingnya," ujarku setelah memastikan tidak ada Rai di deretan kursi penonton.

"Di ruang ganti pemain, Ty," ucap Edis sambil berjalan di depanku.

Setiba di ruang ganti pemain, semua pemain utama dan figuran serta kru sudah berdiri siap menunggu briefing. Seperti biasa, sebagai sutradaranya, aku pun memimpin briefing. Kurang lebih 10 menitan, briefing ditutup dengan doa bersama dan yel-yel khas teater kami, teater Mawar Berduri.

Aku pun mulai memberi aba-aba bersiap karena Kepala Dinas Pendidikan kota kami sudah hampir selesai memberi kata-kata sambutan. Aku menghampiri tim lighting dan sound, karena mereka lah yang akan jadi pembuka pementasan kami. Anggukan dan jari jempol yang diangkat pertanda mereka sudah siap. Kami melihat ke arah panggung dari balik layar besar di belakang panggung.

Riuh tepuk tangan bergema, pertanda Kepala Dinas selesai memberi sambutan.

"Blackout," komando ku melalui HT. Seketika panggung menjadi gelap.

"Opening sound," musik pembuka menggema.

Dan pementasan pun dimulai. Naskah drama yang kami mainkan berjudul "Perempuan", dengan jenis pementasan drama kontemporer.

Ketika pementasan berlangsung, aku harus sangat fokus memperhatikan segalanya. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Dis, coba pegang dulu. Ada yang mau aku cek dulu sebentar," ujarku pada Edis yang sedari tadi berdiri di belakang kursiku sambil menyerahkan HT.

"Baik, Ty"

Aku berjalan menuju kain pembatas lagi. Satu per satu aku memperhatikan wajah-wajah penonton yang duduk sambil berharap dia datang. Namun, hasilnya tetap tidak ada. Dengan sedikit rasa kecewa di hati, aku kembali lagi ke ruangan kontrol.

Pementasan berjalan dengan lancar. Semua pemain berakting dengan sangat baik. Tidak terasa, 60 menit berlalu dan terdengar gemuruh tepuk tangan penonton. Tandanya, pementasan kami berakhir.

Sutradara dan kru diundang ke atas panggung. Sementara di ruang kontrol, kami saling berpelukan dengan tawa lepas karena pementasan berjalan dengan lancar. Lalu kami semua menuju panggung.

MC menyodorkan mic untuk aku memberikan sedikit kata-kata penutup. Lampu sorot tepat menyoroti ku dan itu membuat agak silau.

"Selamat sore," sapaku

"Selamat sore," riuh jawaban penonton memenuhi ruangan

"Saya dan keluarga besar teater Mawar Berduri mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan tim Balai Bahasa yang sudah memberikan kami kesempatan untuk tampil. Saya juga berterima kasih atas antusias kita semua untuk menonton pertunjukan kami. Selamat bulan bahasa dan kami berharap kesusastraan Indonesia semakin berjaya di tanah sendiri," ucapku dengan penuh semangat disambut tepuk tangan.

Lampu sorot bergeser, semua lampu dinyalakan, dan kami serentak menundukkan badan sebagai tanda penghormatan. Dan ketika aku mengangkat wajah, berapa terkejutnya, ternyata wajah yang ku nantikan kedatangannya ada di depanku. Rai duduk di bangku kelima dari depan. Tepat di bangku terakhir. Dia tersenyum dengan senyuman bangganya sambil mengangkat jempol.

Seketika rasa bahagia dan haru menyelimuti hatiku. Ingin rasanya cepat-cepat turun dari panggung dan menemuinya.

"Kakaaaa, kami berhasil," seruku ketika akhirnya bertemu dengan Rai selesai acara.

Dia menyambut ku dengan senyuman lebar dan memberi buket bunga mawar putih artifisal. Bunga favoritku.

"Untuk sang sutradara," ucapnya

"Wahh mawar, terima kasih," aku langsung memeluknya.

Teman-teman tim teaterku langsung riuh rendah.

"Cie cie, jadi nyamuk nih kita di sini," canda Adit.

"Ngekost aja yuk soalnya dunia ini hanya milik mereka berdua," timpal Elin.

Aku dan Rai hanya bisa senyum malu dan pipi yang memerah.

Terlalu Polos (Juni 2007)

"Ty, dua bulan lagi ulang tahunmu", ujar Intan sambil memakan nasi kuning yang dibeli di kantin.

"Masih lama Tan. Mungkin juga tidak akan ada perayaan karena kan harus fokus di pendaftaran kuliah," jawabku

Kami sudah menyelesaikan ujian nasional dan hanya datang di sekolah untuk mengurus administrasi sebelum penamatan. Hari ini aku dan Rai sudah janjian untuk jalan-jalan. Jadi kami berdua duduk di kantin sekolah sambil menunggu Rai.

"Aku gak tahu nih kalo keputusanku ambil jurusan bahasa Jepang sudah tepat atau aku harus mencoba jurusan lain," keluh Intan

"Sudah tepat itu. Kita kan jurusan bahasa ya otomatis lanjut kuliah di jurusan bahasa. Masa iya kita masuk jurusan kedokteran," kata sambil tertawa.

"Bukan, maksudku dunia kita kok muter-muter di bahasa aja, apa tidak ada pilihan lain gitu loh," tandas Intan

"Bisalah. Terserah kamu kan mau pilih jurusan apa. Tapi kalo sudah pilih bahasa Jepang yah sudah itu aja. Yang penting universitas negeri," jawabku

"Christy, Intan, kok gak bilang-bilang kalau lagi makan," Tania bergabung.

Tania adalah cewek cantik di kelas kami yang pergaulannya sudah sangat dewasa. Seukuran Tania, dia sudah akrab dengan kondom. Hampir tiap hari ke sekolah pasti ada kondom dalam tasnya.

"Kamu gak makan, Nia?", tanyaku

"Nih lagi makan," jawab Nia sambil mengangkat permen kaki yang dari tadi diemutnya

"Makan nasi, gorengan atau sejenisnya maksudnya Christy, bukan makan kaki," ujar Intan ketus

"Yang penting kan makan," canda Tania. Tania memang tidak bisa serius. Dia senang bercanda.

"Oiya, kemana kalian setelah ini?" tanya Tania sambil bergantian melirik ku dan Intan.

"Aku pulang, sebentar sore ada syukuran ultah Oma," jawab Intan

"Aku mau jalan-jalan," jawabku singkat

Mendengar jawaban itu Nia agak tertegun lalu kembali ke mode bercandanya :

"Jalan-jalan dengan siapa tuh? Rai ya?",

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Eh Ty, si Rai tu kelihatannya kecintaan banget deh sama kamu. Karena kamu daun muda kali ya," goda Tania

"Daun muda gimana maksudnya," ujarku dengan wajah sembut

"Iya kamu daun muda. Kebayang gak, si Rai sudah mau 30 tahun pacaran dengan anak SMA, mana anaknya baik-baik lagi kayak kamu, gak pernah pacaran sebelumnya. Wuihhh, si Rai dapat yang bersegel," jawab Tania

"Bersegel, bersegel. Emangnya aku barang", ujarku dengan bibir manyun

"Iya, kamu barang. Aku barang. Intan barang. Barang hidup," timpal Tania

"Bersegel itu apa maksudnya?", Intan bertanya

"Jiaahh, gaul dong Tan. Sudah rahasia umum, cowok itu suka cewek yang virgin. Perawan coi. Nah si Christy kan gak neko-neko orangnya. Pergaulannya yah yang baik-baik. Dia masih perawan. Makanya si Rai kecintaan banget," Tania menjelaskan sambil memperlihatkan senyuman nakal khasnya.

"Ooh begitu. Tapi si Rai pernah dong setidaknya nyium kamu, Ty?", Intan mulai ikut-ikutan menggoda

"Nyium gimana maksudnya? Nyium pipi?, tanyaku sambil mengernyitkan kening.

"Nyium pipi lu kata si Rai bapak lu? Cium bibir gini loh," Tania menjelaskan dengan gerakan tangan

"Oohhh, belum lah," jawabku santai

"What??" Intan dan Tania serempak

"Pegang-pegang kamu?", Tania bertanya sambil mendekatkan wajahnya seolah-olah jawabanku sesuatu yang sangat rahasia untuk didengar

"Pegang tangan? Ya adalah," jawabku santai

Tania menepuk dahinya.

"Bukan pegang tangan doang Ty. Maksudnya pegang ini loh," Tania menunjuk area dada

"Pegang dada? Untuk apa? Kita kan belum nikah," jawabku polos. Karena memang sejujurnya saat itu aku tidak mengerti hal itu.

"Meremas, memegang, meng.....hisap?" Tanya Tania seolah-olah menginterogasi ku

"Iihh apaan itu Nia. Belum menikah sudah remas, pegang, hisap. Emang dia bayi," jawabku

"Ampun Ty. Jadi selama ini kalian ngapain aja kalo cuma berdua?"

"Iya yah, cowok itu biasanya kalo dekat cewek keinginannya tuh tinggi, tapi kenapa si Rai gak ya," Intan menimpali

"Beneran Ty, cipokan aja kalian gak pernah?" tanya Tania meyakinkan kembali

"Gak pernah. Cium pipi doang pas mau pisah,"

"Terus si Rai kenapa kecintaan banget ama kamu ya. Padahal ciwi-ciwi di kantornya dia tuh seksi-seksi dan si Rai juga kan hobi gym ya. Kurang seksi apa ciwi-ciwi di tempat gym. Eh malah kecintaan banget ama kamu,"

"Yah gak tau tanya aja sama dia,"

"Ty, Ty, kamu terlalu polos," Tania menggelengkan kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!