NovelToon NovelToon

RAHASIA CINTA SANG DOSEN

Part 1 : Menikah Karena Wasiat.

Pernikahan Jayden dan Naeira berlangsung sangat tertutup, sesuai permintaan Jayden. Hanya segelintir teman dekat yang hadir. Meski sederhana, ruangan dihiasi dengan desain mewah, gaun pengantin Naeira tampak anggun, dan musik klasik mengalun indah mengikuti ritme. Namun, di balik semua itu, hati Jayden tetaplah kosong.

“Selamat atas pernikahanmu, Jay,” ucap salah satu temannya sambil menjabat tangannya. Jay hanya tersenyum tipis dengan ekspresi dingin.

“Naeira sangat cocok bersanding denganmu. Cantik dan tampan kalian berdua serasi sekali,” ucap salah satu temannya yang lain dengan tersenyum bahagia, sedangkan Jayden hanya mengangguk tanpa ekpresi, merespon teman-teman Naeira yang menatap ke arahnya.

"Terimakasih Karin atas pujiannya," jawab Naeira tersenyum bahagia dan semakin mengeratkan jemarinya menggenggam tangan Jayden, lelaki itu tetap diam tanpa reaksi apapun, acara berlangsung cepat, tanpa meninggalkan kesan berarti di hati Jayden.

Malam pertama setelah pernikahan, Jayden memilih tidur di ruang kerja dengan alasan ingin menyelesaikan pekerjaannya, keputusan itu menusuk hati Naeira yang sejak awal berharap bisa memulai hidup baru bersama suaminya itu dengan penuh kebahagiaan.

Hari-hari berikutnya tetap sama. Tidak ada perubahan sedikit pun dalam diri Jayden, ia masih memandang Naeira hanya sebatas teman, bukan istri.

Berbeda dengan Naeira, yang terus berjuang agar hati Jay terbuka untuknya. Setiap pagi Naeira menyiapkan sarapan, menata jas Jayden dan berusaha mengajaknya berbicara. Namun, semua usahanya selalu terhalang oleh sikap dingin sang suami yang terlalu sibuk dengan laporan perusahaan.

“Jay, pernikahan kita sudah hampir empat bulan… tapi kenapa kamu masih belum bisa menerimaku?” tanya Naeira lirih dengan mata berkaca-kaca.

Jayden tetap tenang sambil menyantap makanannya. “Entahlah, aku belum bisa."

“Apa kamu tidak ingin kita me—”

Belum sempat Naeira melanjutkan, Jayden sudah memotong dengan tegas, "Aku tidak merasakan kita sudah menikah. Hatiku tidak bisa dipaksakan, dan keadaan ini memaksaku untuk menerimanya terus bersamamu,” jawabnya datar.

Suasana hening, Jayden lalu berdiri, meninggalkan meja makan tanpa menoleh sedikit pun, sementara di belakangnya, Naeira terisak sendirian.

Naeira masih terdiam sambil mengusap airmatanya hatinya hancur berkeping-keping, ia sadar sejak awal dirinya bukan pilihan lelaki itu. Meski begitu, ia tetap memilih bertahan... dengan harapan suatu saat nanti Jayden akan mencintainya, menerimanya dengan sepenuh hati.

Sementara itu di kantornya, Jayden termenung memegang segelas kopi, menatap kosong keluar jendela kaca gedung yang membentang di hadapannya.

“Kenapa hidupku terasa hampa? ” gumamnya, hingga suara langkah kaki memudarkan lamunannya.

"Tuan Jayden, ada beberapa laporan dari pihak kampus untuk beberapa perbaikan ruangan kelas. Pihak pengelola ingin bertemu dengan anda untuk membahas masalah tersebut."

Jayden terdiam sebentar, kepalanya seolah sedang memikirkan sesuatu dan tidak lama mengangguk sambil tersenyum tipis. "Aku akan menemui mereka di Aula, sekarang."

"Baik Tuan, saya akan sampaikan."

Tidak lama kemudian Jayden tiba di aula kampus bertemu dengan beberapa orang dari pihak pengelola, mereka duduk bersama membahas sejumlah renovasi bangunan yang perlu segera di perbaiki.

"Terimakasih atas perhatiannya, Pak Jayden kami akan secepatnya menindaklanjuti dan memperbaiki bangunan kelas yang rusak," ucap salah satu pengelola dengan penuh hormat.

Jayden mengangguk sekilas, lalu bertanya dengan tenang, "Apakah ada hal lain lagi yang perlu dibicarakan?"

Seorang pihak pengelola membuka map di tangannya lalu menatap Jayden. " Sebenarnya ada, Pak, saat ini kami kekurangan dosen untuk fakultas sastra Perancis, salah satu pengajar sastra Prancis di semester enam baru saja mengundurkan diri, kami sangat membutuhkan dosen pengganti secepatnya."

Jayden terdiam sejenak, kebetulan ia memang berniat untuk sementara waktu berkeinginan menjadi seorang dosen, mencoba dunia mengajar mengusir rasa jenuhnya. Terlebih, gelar S3 yang ia raih adalah di bidang Sastra Prancis. Doctorat en Langue et Littérature Françaises di Universitas Strasbourg di Prancis.

"Untuk sementara waktu, saya akan mengajar sebagai dosen sastra prancis."

Mereka pihak pengelola kampus saling pandang dengan raut terkejut. Mereka tak menyangka, seorang pemimpin perusahaan sekelas Jayden akan mengajar, menjadi dosen.

"Baik jika itu sudah menjadi keputusan pak Jayden," ucap salah satu dari mereka. Jayden menatap mereka tenang, lalu menambahkan, "Saya minta rahasiakan identitas saya, jangan sampai para mahasiswa mengetahui bahwa saya putra pemilik universitas ini."

"Baik pak, jika itu permintaan anda." mereka menganggukan kepala menerima keputusan itu.

Usai pertemuan dengan beberapa pihak pengelola kampus, asisten pribadinya, Rama yang mendengar keputusan tuannya itu tampak terkejut. "Apa Tuan yakin, akan menjadi seorang dosen sastra Prancis?" lalu bagaimana dengan perusahaan?" tanya nya dengan nada khawatir.

Jayden menoleh singkat." Kamu tak perlu khawatir Rama, saya sudah menunjuk seseorang untuk menggantikan posisi saya jika sewaktu-waktu saya sibuk dan tidak bisa menghadiri meeting. Saya juga akan tetap mengawasi jalannya perusahaan lewat kamu. Lagi pula menjadi dosen punya waktu yang fleksibel, saya bisa mengatur kedua posisi saya."

Rama menganggukan kepalanya, meski raut wajahnya masih menyimpan kebingungan. Mereka pun masuk ke dalam mobil untuk kembali ke kantor.

"Akhir-akhir ini entah kenapa aku merasa jenuh, aku butuh kegiatan baru, mungkin dengan mengajar aku bisa memiliki hiburan tersendiri." ucap Jayden sambil menatap keluar jendela mobil.

"Jika itu keputusan Tuan, aku mendukung, Tapi apakah Ny. Naeira tahu soal ini Tuan?"

"Dia tidak perlu Tahu dan kamu tak perlu memberi tahunya." jawab Jayden datar.

Rama mengangguk. Ia tahu bahwa tuannya memang tampak muram sejak pernikahan itu, seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. Mungkin karena pernikahan itu yang terpaksa, menikah dengan wanita yang bukan pilihannya.

 

Lanjut Part 2.》

2. Hari Pertama Menjadi Dosen.

Pagi itu, Jayden tiba di universitas milik keluarganya. Ia keluar dari mobil dengan jas hitam rapi, wajah dingin, dan langkah tenang. Suasana kampus ramai, mahasiswa-mahasiswi mulai berdatangan, namun kehadirannya seketika mencuri perhatian.

"Sepertinya Dosen baru ya?, Keren banget," gumam seorang mahasiswa, sedangkan para mahasiswi menatap dosen itu dengan terpesona penuh kekaguman.

"Ya ampun, gantengnya kebangetan, semoga ngajar di kelas kita!" seru salah satu dari mahasiswi lainnya. Mereka menganggukan kepalanya penuh harap.

Dari arah koridor, bisik-bisik serupa kembali terdengar. Para mahasiswi berdecak kagum.

“Dosen baru, ya? Ganteng, auranya dingin banget."

Jayden tetap berjalan tanpa menoleh, seolah tak peduli meski dirinya menjadi pusat perhatian di kalangan mahasiswi. Dengan langkah tenang, ia menuju ruangan dosen sebelum masuk kelas untuk mengajar.

Kedatangannya disambut hormat oleh rekan-rekan dosen. Tanpa banyak bicara, Jayden menyiapkan diri, membuka beberapa catatan, lalu mengambil buku-buku yang akan ia bahas di kelas.

Di dalam kelas jurusan Sastra Prancis, suasana ramai oleh obrolan para mahasiswa. Beberapa terlihat sibuk membuka buku, ada pula yang bercanda sambil menunggu dosen datang.

Tiba-tiba, seorang mahasiswi masuk setengah berlari, wajahnya tampak bersemangat. Ia segera menghampiri teman-temannya yang duduk di deretan kursi depan.

"Hey, guys ada info nih! ada dosen baru, ganteng banget loh," ucapnya sambil tertawa penuh semangat.

"Asli ganteng banget masih muda lagi, kayanya dia belum menikah deh," timpal mahasiswi yang lain dengan mata berbinar.

"Aku juga Fi, berpapasan dengannya, ya ampun gantengnya." Mereka saling bersahutan dengan diiringi gelak tawa.

"Aku bahkan lihat dia pas turun dari mobilnya, beuh betulan ganteng, auranya itu loh dingin banget kaya es," ujar salah satu temannya sambil terkekeh geli.

“Aku berharap sih dia ngajar di kelas kita. Kayaknya aku bakal semangat deh, nggak akan bolos lagi,” ujar Fifi sambil tersenyum centil. Ia memang dikenal sebagai yang paling heboh di kelas, selalu membuat suasana jadi ramai.

“Uuuh, dasar si Fifi, ngarep banget!” celetuk salah satu teman laki-lakinya dan yang lainnya pun ikut menyoraki, membuat kelas riuh dengan gelak tawa.

“Roselyn, Clara, kalian belum lihat kan? Kalau kalian melihat dosen baru itu, pasti juga terpesona seperti aku dan yang lain!” ujar Fifi matanya mengarah pada kedua temannya.

“Roselyn, auranya beneran beda banget. Dosen itu masih muda, ya kan, Reina?”

Reina langsung mengangguk antusias. “Iya, bener! Jarang banget ada dosen seganteng itu.”

"Belum, Fi," sahut Clara malas, tanpa minat. Sedangkan Roselyn hanya diam tak menanggapi, baginya hal itu sama sekali tidak penting dan tak peduli.

Di sisi lain, beberapa teman wanita lainnya masih asyik membicarakan dosen baru itu. Bahkan di grup chat kampus khusus mahasiswa pun suasana tak kalah ramai. Notifikasi pesan masuk terus berbunyi memenuhi layar ponsel mereka.

"Dosen baruuu! Ganteng banget sumpah!"

"Fix semangat kuliah mulai sekarang. Hahaha

"Kalian ada yang tahu? Dia udah nikah atau belum?

Pesan-pesan itu bertebaran di grup chat, lengkap dengan emotikon tertawa dan hati. Beberapa mahasiswa bahkan diam-diam mengambil potret dosen baru itu dari belakang saat ia berjalan, lalu mengunggahnya ke grup.

“Gagah banget, ya. Dari belakang aja udah keliatan gantengnya!” tulis salah satu mahasiswa, disusul derai tawa virtual. Hampir semua anggota grup menekan tanda suka.

“Hey guys, di grup aja sampai rame loh!” ujar Fifi sambil tertawa, menunjukkan layar ponselnya ke teman-teman.

Namun di tengah keramaian tentang dosen baru itu, Roselyn tetap tenang. Ia hanya melirik sekilas layar ponselnya lalu menutupnya kembali, tanpa minat.

“Cukup, Fifi, Reina. Kita sudah semester enam, sebentar lagi masuk tahap skripsi, lebih baik fokus pada pelajaran, jangan sibuk dengan hal yang tidak penting, ramai mengagumi dosen ganteng,” ujar Roselyn dingin sambil menggelangkan kepala tak acuh.

Mereka hanya tersenyum mendengar ucapan Roselyn, mahasiswi cerdas yang terkenal tegas di kelasnya.

“Betul sekali, apa yang dikatakan Mademoiselle Roselyn,” sahut salah satu teman laki-lakinya sambil berlagak fasih berbahasa Prancis, membuat seisi kelas kembali tertawa.

"Aku tidak peduli tampangnya, yang penting materinya berkualitas,” ucap Roselyn dengan nada tegas.

Langkah Jayden terhenti sejenak di depan pintu kelas. Ia sempat mendengar suara tegas seorang mahasiswi, membuatnya penasaran siapa pemilik suara itu. Wajahnya tetap datar ketika membuka pintu, suasana kelas yang semula ramai langsung hening. Semua mata sontak mengarah pada dirinya.

“Bonjour, je m’appelle Monsieur Jayden,” ucapnya memperkenalkan diri dengan bahasa Prancis. Suaranya tegas namun tenang, penuh wibawa. Seketika semua perhatian tertuju padanya. Para mahasiswi tersenyum bahagia, sebagian bahkan tampak berbisik kecil, kagum melihat sosok dosen baru itu.

Namun, berbeda dengan yang lain, Roselyn yang duduk di barisan depan tetap tenang. Tatapannya lurus, penuh percaya diri, tanpa sedikit pun memperlihatkan dengan rasa kagum.

“Tuh kan, feeling aku benar, dosen pengganti sastra Prancis," gumam Reina sambil tersenyum bahagia, matanya fokus menatap dosen baru itu tanpa berkedip.

“Rose, ganteng banget,” bisik Clara yang duduk di sampingnya, menepuk pelan lengan Roselyn.

“Apa sih, Clara. Jangan ikut-ikutan deh,” timpal Roselyn datar, suaranya nyaris tanpa ekspresi.

Sejenak mata Jayden dan Roselyn beradu tatap. Suasana kelas masih ramai oleh decak kagum para mahasiswi, namun Roselyn tetap tenang. Wajahnya santai, tatapannya datar, tak sedikit pun menunjukkan ketertarikan. Justru sikap berbeda itu yang membuat hati Jayden untuk pertama kalinya... terguncang.

Jayden menurunkan pandangannya ke daftar absen. Ia mulai memanggil satu per satu nama mahasiswa.

“Alisya Karenina.”

“Hadir, Pak.” Mahasiswi itu mengangkat tangan sambil tersenyum manis.

“Clara Almiza.”

“Hadir, Pak.” Clara pun mengangkat tangan dengan senyum tipis.

“Davian Almahes.”

“Hadir, Pak,” sahut seorang mahasiswa dengan nada santai.

“Fifi Armania.”

“Hadir, Pak.” Fifi mengangkat tangan dengan gaya berlebihan, lalu terkekeh, “Dan akan selalu hadir, Pak.”

Seisi kelas menahan tawa, sebagian tak kuasa ikut terkikik. Jayden hanya melirik sekilas tanpa menanggapi, lalu kembali menunduk pada daftar absen.

“Reina Raharsya.”

“Hadir dong, Pak,” jawab Reina sambil tersenyum lebar, matanya masih terpaku pada dosen baru itu.

“Roselyn Arnetatya.”

Roselyn mengangkat tangannya singkat tanpa ekspresi. Jayden menatapnya beberapa detik, seolah hendak membaca sosok mahasiswi itu, sebelum akhirnya melanjutkan memanggil nama berikutnya hingga daftar hadir selesai.

Setelah semua nama dipanggil, Jayden menutup buku absen. “Baik, kita masuk ke materi. Pertama, saya akan membahas teori sastra: Strukturalisme, Postmodernisme, Dekonstruksi, dan sebagainya.”

Baru beberapa menit ia menjelaskan tentang teori itu, tiba-tiba Roselyn mengangkat tangannya.

"Pak, menurut pendapat saya teori itu sudah tidak relevan di zaman sekarang. Bukankah seharusnya sastra dipandang lebih fleksibel, tidak kaku pada aturan lama?”

Seketika semua mata tertuju pada Roselyn. Suasana kelas yang hening kini terdengar bisik-bisik kecil dari temannya.

“Berani banget, ya, Roselyn. Baru dosennya masuk udah dikritik,” bisik seorang mahasiswa dari belakang. “Dia kan memang cerdas,” timpal temannya.

Jayden terdiam sejenak. Matanya menatap Roselyn dengan sorot tajam namun mengandung ketertarikan. Lalu, untuk pertama kalinya, sebuah senyum samar tercetak di wajah dinginnya.

Baiklah, Roselyn. Kalau itu pendapatmu, buktikan dengan riset. Minggu depan saya ingin hasil tulisanmu di meja saya.”

Roselyn mengangguk ringan. “Baik, Monsieur Jayden," ucapnya datar.

Namun perkataannya mampu membut Jayden tertegun. Ia menarik napas perlahan. Ada sesuatu berbeda dari mahasiswi itu bukan hanya cantik melainkan kecerdasan dan keberanian, sikap kritis yang tak biasa ditunjukkan oleh mahasiswa lain sehingga merasa dirinya tertantang.

"Pertanyaan yang bagus," gumamnya, lalu kembali melanjutkan penjelasan materinya dengan tegas dan tenang, tatapan matanya terarah pada Roselyn.

"Sastra selalu lebih luas dari pada teori. Justru dari benturan antara kebebasan sastra dan keteraturan teori, terciptalah pemahaman yang lebih kaya."

"Oh gitu ya, Monsieur Jayden, " sahut Fifi menganggukan kepalanya sambil tersenyum lebar.

Jayden menatapnya singkat. "Ya, Fifi. Belajarlah dengan rajin agar kamu paham."

Fifi langsung menyahut cepat, "Kalau belajarnya sama Monsieur Jayden sih, pasti rajin." Perkataannya yang menggoda itu langsung disambut gelak tawa satu kelas.

"Modus, lo, Fi," celetuk salah satu mahasiswa laki-laki sambil tertawa diiringi sorakan teman-temannya kembali.

Sedangkan Roselyn hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya, tanpa sadar Jayden sedang memperhatikannya.

"Si fifi berani banget, deh ngomong gitu," timpal temannya dengan nada geli.

Jayden akhirnya berdehem, suaranya tegas. "Diam, kita lanjutkan pembahasan." Seketika kelas kembali hening, aura wibawanya membuat semua mahasiswa teratur kembali.

----

Lanjut Part 3 》

3. Bayangan Roselyn.

Hari ini Jayden tidak memiliki jadwal mengajar, sehingga ia kembali fokus pada pekerjaannya di kantor. Beberapa meeting berjalan lancar tanpa hambatan, namun Rama, asisten pribadinya, tak bisa menutupi rasa heran. Ada sesuatu yang berbeda dari tuannya. Jayden tampak lebih bersemangat dari biasanya, meski sesekali melamun dengan tersenyum tipis tersungging di wajahnya, ia seolah menemukan kembali sesuatu yang lama hilang. kebahagiaan dalam hidupnya.

Meeting telah usai, Jayden masih terdiam di ruangan meeting sendirian, Rama yang baru saja masuk menunduk hormat, "Tuan, nyonya Naeira ingin bertemu. Ia sudah menunggu di ruangan kerja Anda."

Alis Jayden berkerut. "Kenapa, dia datang ke sini?" gumamnya, seolah tak suka dengan kehadiran Naeira di kantornya, dengan terpaksa Jayden beranjak dari kursinya dan melangkah keluar, berjalan menuju ruangan kerjanya.

Dari ambang pintu, terlihat Naeira duduk menyilangkan kakinya dengan tas kecil di pangkuannya. Begitu melihat Jayden masuk, ia langsung berdiri dan memeluk suaminya dengan erat, sedangkan Jayden hanya berdiam diri, terpaku tanpa membalas.

"Jay, aku rindu. Sudah dua hari kamu tidak pulang," ucapnya dengan suara lembut penuh kerinduan.

Namun Jayden tetap diam. Hatinya datar, tidak ada gelombang rindu yang sama. Justru bayangan mahasiswi di kampus yang bernama, Roselyn lebih sering berkelebat dalam pikirannya.

"Pulanglah Naeira, aku sibuk. nanti malam aku pulang ke rumah," jawabnya datar.

Naeira tidak beranjak, hanya terdiam lama, seolah ada beban besar yang ingin diucapkannya.

"Jay, kemarin kamu ke mana?" tanyanya lembut, hatinya tidak tenang.

"Aku meeting dengan pengelola kampus. Banyak bangunan yang harus diperbaiki," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan tatapannya pada Naeira, Jayden tetap fokus mendatangani dokumen-dokumen di mejanya.

Setelah mendengar penjelasan dari Jayden, ia terdiam menunduk, senyum getir tercetak di wajahnya. "Menggapai hatimu... Begitu sulit, Jay. Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai kamu bisa mencintaiku?" gumamnya lirih, tatapannya tak lepas dari sosok Jayden yang tetap sibuk dengan pekerjaannya.

Jayden berhenti sejenak, menghela napas panjang tanpa menoleh. “Apa kamu tidak bosan berada di ruang kerjaku?” suaranya datar, seakan setiap kata sengaja menjaga jarak di antara mereka.

"Kalau begitu, bisakah kamu mengantarku sebentar saja untuk menemui Karin, sahabatku? Rumahnya tak jauh dari sini." pintanya tanpa di gubris Jayden.

"Aku sibuk Naeira. Lihatlah dokumen ini menumpuk." jawabnya cepat dan dingin, tanpa menoleh.

Air mata Naeira jatuh tanpa bisa ia bendung, membasahi pipinya. “Bahkan untuk sekadar menemaniku pun kamu tidak mau… kamu selalu beralasan pekerjaan demi menghindariku! Apa salahku, Jay? Aku selalu berusaha keras agar kamu bisa menyayangiku, tapi sekali saja… mencoba agar kita lebih dekat, tatap aku ketika aku bicara!”

Jayden mendongak, menatap mata Naeira dengan sorot mata yang dingin, tajam, namun di dalamnya ada bayangan letih yang samar. "Sejak awal aku sudah mengatakan semuanya padamu, jangan terlalu berharap apapun dariku." Jayden berbicara tegas.

"Tapi kenapa Jay?, kenyataannya kamu tidak pernah mau belajar menerimaku! kenapa hatimu begitu keras, kamu benci padaku? Menyalahkanku karena surat wasiat itu?!" suaranya pecah oleh tangisan, wanita itu begitu rapuh.

Jayden hanya terdiam, menatapnya dalam. "Aku tidak pernah menyalahkanmu, yang membuat kita begini adalah janji ayahku pada ayahmu. Dan dari awal aku sudah menyatakan padamu, bahkan sampai saat ini hati dan perasaanku tetap tidak—"

"Cukup, Jay! Potong Naeira, matanya penuh luka. "Kalau begitu, apa kamu ingin kita berpisah? Akan kamu langgar janji ayahmu itu?"

Jayden terdiam, tubuhnya tegang ketika mendengar kata janji. Janji dalam surat wasiat itu. Itulah titik kelemahannya yang selalu membelenggunya.

"Ingat, Jayden," suara Naeira bergetar, ayahmu berjanji kamu akan selalu menjagaku. Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan aku." Ancamnya, Naeira pun melangkah pergi, menutupi luka yang begitu dalam.

Sedangkan Jayden mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan emosi, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Dari arah lobby kantor, terdengar seseorang memanggil namanya.

"Naeira," teriaknya, suaranya terdengar tak asing.

"Ia menoleh, lalu berjalan mendekat ke arah lelaki itu dan tangisnya pecah di pelukannya. Davin. Sepupu Jayden sekaligus sahabat lamanya. Lelaki itu menepuk punggung Naeira dengan lembut.

"Kenapa, Nae? Kamu bertengkar dengan Jayden? Tanyanya pelan.

Naeira hanya mengeratkan pelukannya, air matanya tak terbendung. " Sudah, jangan menangis. Wajah cantikmu nanti luntur," hibur Davin tertawa pelan.

"Maaf, Davin. Aku refleks...aku butuh tempat untuk menangis. Ia melepaskan pelukannya perlahan.

Davin memegang tangan Naeira, "Ayo kita cari tempat, aku tidak mau kamu jadi pusat perhatian di sini." Davin membawa Naeira masuk ke dalam ruangan kerjanya.

"Davin tersenyum tipis. "Tidak apa-apa jika itu membuatmu tenang." Davin merangkul kembali Naeira, mencoba menenangkannya.

"Jika kamu ada masalah dengan Jayden, kamu bisa cerita padaku," ujar Davin tersenyum tulus.

"Kami tidak ada masalah, aku hanya menangisi nasibku Davin," Naeira menarik napasnya panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Kenapa, perasaanku terhadap Jayden begitu besar? Aku selalu berusaha agar dia bisa menerimaku dalam hatinya, sedangkan dia dari awal saja sudah enggan mencoba, membuka hatinya untukku."

Davin menatap Naeira dengan sorot iba, namun juga ada sedikit getir yang ia sembunyikan. Tangannya terangkat pelan, mengusap bahu Naeira dengan lembut.

Davin terdiam sejenak, menelan perasaan yang ia pendam sendiri. Senyum tipisnya tampak dipaksakan. “Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Sampai kapan kamu mau menyiksa hatimu seperti ini?”

Air mata Naeira kembali jatuh, ia tersenyum getir.

“Aku tidak tahu, Davin. Tapi hatiku keras kepala. Aku memang nggak bisa memaksa dia mencintaiku, tapi aku juga nggak bisa berhenti mencintainya... aku nggak bisa berhenti berharap. Setiap kali melihatnya, rasanya… aku ingin dia sadar kalau cintaku begitu besar untuknya.”

Davin benar-benar terdiam. Hatinya mencelos mendengar pernyataan Naeira. Ia tahu, bukan hanya Naeira yang menderita karena perasaan tak berbalas.

"Naeira…” suaranya terdengar lirih. “Kadang, sebesar apapun perasaan kita… kalau orang itu tidak suka terhadap kita, yang tertinggal hanyalah luka.”

Dan tanpa mereka sadari, sejak tadi sepasang mata tajam sedang mengamati.

------

Di sisi lain, di dalam ruangan kelas Fakultas Sastra Prancis, suasan hening. Para mahasiswa tengah sibuk menunduk, menulis, dan mengetik mengerjakan tugas mereka dari dosen.

“Ah, jenuh!” teriak Fifi tiba-tiba. Suaranya membuat seisi kelas menoleh kaget. Teman-teman yang sedang serius mengerjakan tugas langsung menatapnya.

“Fi, kenapa sih? Gak jelas, berisik tahu,” sahut Reina kesal.

Roselyn sempat menoleh sekilas, lalu kembali fokus menulis.

“Roselyn, aku rindu Pak Jayden,” ucap Fifi sambil tersenyum lebar.

“Gila,” decak beberapa temannya sambil menertawakan tingkahnya.

“Kenapa sih dia nggak ngajar tiap hari aja? Sehari aja nggak lihat Pak Jayden rasanya kayak nggak ada semangat belajar,” lanjut Fifi dengan penuh ekspresi.

Clara mendekat sambil menyipitkan mata. “Kamu beneran jatuh cinta sama Pak Jayden?”

Fifi terkekeh. “Sepertinya begitu.”

“Sepertinya bukan cuma kamu aja, Fi. Aku juga sama,” timpal Alisya tertawa.

Roselyn menarik napas panjang. “Fi, kamu nggak lihat jadwal terbaru?”

“Memangnya kenapa? Ada perubahan?” tanya Fifi heran.

“Coba cek ponsel mu. Semalam ada update jadwal,” tegas Roselyn.

Tak lama kemudian, mata Fifi melebar senang saat melihat layar ponselnya. “Horeee! Besok ketemu Pak Jayden seharian. Asiiik!” soraknya heboh.

“Fi, mulai besok sampai seterusnya, kita full kelas sama Pak Jayden. Jadi berhenti berisik, cepat selesaikan tugasmu. Aku mau kumpulkan sekarang,” ucap Roselyn tegas.

“Oke, kalau begitu.” Fifi hanya nyengir lebar, dengan semangat kembali mengerjakan tugasnya.

Roselyn memegangi keningnya, merasa pusing mendengar ocehan teman-temannya yang seakan galau bersama, hanya karena seorang dosen. Di grup chat seluruh fakultas pun tak jauh berbeda—semua membicarakan dosen baru itu.

“Roselyn, kayaknya cuma kamu deh yang biasa-biasa aja sama Pak Jayden. Apa kamu normal?” celetuk Reina sambil tertawa.

Roselyn menoleh cepat. “Tentu saja aku normal! Jangan ngawur, Reina!”

Reina malah makin tergelak.

Fifi ikut menimpali sambil tertawa, “Roselyn itu cerdas, fokusnya cuma ke buku-buku dan materi kuliah. Dia nggak ada waktu untuk mengagumi lelaki.”

Beberapa teman-temannya ikut tertawa mendengar pernyataan Fifi, sedangkan Roselyn hanya terdiam, dan memilih menenggelamkan diri pada bukunya.

Sementara itu, Clara yang duduk di sebelahnya tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya, membuat Roselyn tak tahan untuk menoleh ke arahnya.

“Kamu kenapa? Sebahagia itu, Cla?” tanya Roselyn penasaran.

Clara menggeleng pelan, lalu memperlihatkan layar ponselnya. “Ternyata kamu sama saja, ga ada bedanya dengan mereka, Clara." Roselyn mengernyit, tak mengerti dengan sikap sahabatnya itu.

"Habisnya, Pak Jayden ganteng banget sih, mana masih muda. Kayaknya masih single deh, Siapa tahu… masih ada harapan gitu," ucap Clara menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawanya agar tidak terlalu keras.

Roselyn menghela napas panjang, menatap sahabatnya seolah tak percaya.

“Lagian, aneh aja kamu nggak tertarik sama Pak Jayden,” bisik Clara terkekeh.

"Kalian yang menurutku aneh. Dia dosen, kita mahasiswa. Ada batas yang jelas, Clara." Sahut Roselyn tegas.

Clara menyipitkan matanya, bibirnya tersenyum penuh arti, " Hati-hati loh, Lyn, biasanya orang yang paling cuek justru yang paling menarik perhatian. Siapa tahu, malah kamu yang nanti di lirik sama Pak Jayden."

Roselyn tersentak mendengar perkataan sahabatnya itu, ia mendengus, berusaha mengusir rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Ngaco kamu, Clara. Itu nggak mungkin. Lagian... Aku ke kampus buat belajar, bukan buat sibuk mengagumi laki-laki. Apalagi seorang dosen, perkataanmu nggak masuk akal."

"Santai saja kali, tak perlu seserius itu, Lyn. Aku cuma bercanda," sahut Clara terkekeh kecil, melihat sahabatnya itu yang bereaksi begitu serius."

Roselyn memalingkan wajahnya, "lagian kamu sih, Clara..." gumamnya lirih. Namun, tanpa ia sadari, hatinya ikut berdesir setiap kali nama Jayden di sebut.

----

Di sisi lain, Jayden duduk termenung di balik meja kantornya. Bayangan wajah Roselyn tak juga pergi dari kepalanya. Pertemuan pertama itu meninggalkan kesan mendalam. Ia berbeda satu-satunya gadis yang tak acuh padanya.

“Kenapa kamu selalu ada di pikiranku…” gumamnya, tersenyum tipis. Dorongan untuk bertemu Roselyn semakin kuat, membuat hatinya gelisah.

Rama yang sejak tadi memperhatikan, berdehem pelan. “Tuan, ini dokumen yang Anda minta.”

Jayden seketika menegaskan wajahnya kembali datar.

“Apa Tuan ada masalah?” tanya Rama hati-hati.

Jayden membuka dokumen di tangannya, lalu menghela napas. “Tidak ada masalah. Hanya saja… ada sesuatu yang membuat hati saya berbeda.”

“Maksud Anda?” Rama mengernyit penasaran.

“Sejak pertama kali saya mengajar, ada seorang mahasiswi yang berbeda. Gadis itu… membuat saya tertarik."

Rama menatapnya lekat. “Tuan jatuh cinta pada gadis itu?”

Jayden terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis.

“Entahlah.”

Rama menarik napas panjang. “Pantas saja sejak jadi dosen, Tuan sering melamun sambil tersenyum."

Jayden hanya terdiam di kursi kerjanya, sambil tersenyum samar.

“Tapi… bagaimana dengan Nyonya Naeira?” tanya Rama hati-hati.

Jayden menajamkan pandangan. “Saya dan Naeira terikat bukan karena cinta, tapi karena paksaan. Saya juga berhak bahagia.” Rama menganggukan kepalanya setuju dengan pernyataan tuannya.

Rama ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berucap, “Barusan saya melihat Nyonya Naeira menangis... di pelukan Tuan Davin.”

Jayden tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun. Sebaliknya, senyum dingin perlahan tercetak di wajahnya.

“Bagus kalau begitu,” ucapnya tenang. “Sejak awal saya tahu Davin menyimpan perasaan pada Naeira. Hanya saja… Naeira belum menyadarinya.”

Jayden bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk pelan meja kerja seolah sedang merancang sesuatu.

"Saya hanya ingin dia sendiri yang menyerah… memilih untuk melepaskan ikatan ini,” gumamnya lirih, sorot matanya tajam. Namun pikirannya justru melayang, terjebak pada bayangan seorang gadis yang membuat hatinya terguncang—Roselyn.

Lanjut Part 4》

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!