Malam Balikpapan membalut kota dengan hawa lembap khas pesisir. Dari kejauhan, cahaya lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Di tengah keramaian itu, Cafe Dj Happy menjadi tempat pelarian anak muda: musik berdentum, lampu neon berputar, dan tawa bercampur obrolan.
Di salah satu sudut, seorang wanita dengan dress mini berkilau berdiri di atas kursinya, menggoyangkan tangan ke udara, wajahnya berseri seperti tak ada masalah dalam hidup.
"Angkat tanganmu, Syegi!" teriaknya riang, tak peduli tatapan orang-orang.
"Duduk, Vy! Jangan bikin malu, deh. Please..." teriak sahabatnya—Syagita. Duduk di sebelahnya sambil menarik tangannya dengan ekspresi frustasi.
Tapi Lovy Crisela Luwiys—atau akrab disapa Lovy—justru makin bersemangat. Ia semakin bergoyang tangan sambil berdiri di kursinya mengikuti alunan musik dj yang disediakan di salah satu cafe anak muda kekinian.
"Oh ayolah, Syegi. Kita berhappy ria setelah stress menghadapi bos galak. Angkat tanganmu, Syegi!" jawab Lovy tanpa mempedulikan tangannya yang ditarik untuk duduk oleh sahabatnya.
"Ish... berapa kali harus kubilang, namaku Syagita bukan Syegi!" Syagita mendengus kesal hingga akhirnya ikut berdiri dan berusaha menghentikan gerakan tangan Lovy.
"Ya ya ya... Syagita oh Syegi, sama saja. Itu 'kan panggilan sayangku untukmu, Syegi!"
"Sudahlah. Lebih baik kita pergi dari sini. Aku malu dilihatin pengunjung Cafe DJ tau gak sih. Dan itu semua karena tingkah konyolmu ini," Syagita lekas mengambil tasnya seraya menarik tangan kanan Lovy untuk pergi dari tempat itu.
Lovy mengedarkan pandangan. Ia baru sadar semua mata di kafe memang menatapnya—ada yang menahan tawa, ada yang menggeleng. Ternyata memang benar seluruh perhatian tertuju padanya yang saat ini mengenakan pakaian super seksi.
Cafe Dj Happy memang hanya buka saat malam. Bukan seperti bar yang bebas bergoyang ria dengan pilihan wine. Cafe ini sendiri hanya menyediakan lagu dj tanpa minuman keras itu. Dan di pojok ruangan, seorang pria berjas hitam duduk dengan tenang, menyesap minumannya sambil menatap Lovy. Bibirnya melengkung tipis, seolah menyimpan rahasia.
"Cegil banget cewek itu. Sungguh menarik sekali... cewek gila," gumam pria itu tersenyum tipis, sebelum bayangannya hilang di balik kerumunan.
***
Setelah keluar dari Cafe, Syagita segera membuka pintu mobilnya seraya menarik dan mendorong Lovy untuk masuk ke dalam mobil. Lalu menutup mobilnya dengan sangat keras sekaligus menyalurkan kekesalannya pada sahabatnya itu.
"Santai dong... " keluh Lovy.
"Kamu tuh yah... benar-benar bikin aku kesel. Jadi menurutmu, siapa yang bisa santai dengan tindakan yang berteriak dan bergoyang seperti tadi di Cafe?" jawab Syagita setelah masuk di depan kemudi mobilnya.
"Aku 'kan cuma mau rayain keberhasilan kita. Lagi pula aku tidak mabuk," ucap Lovy pelan karena menyadari telah membangunkan macan ngamuk.
"Keberhasilan. Ck, keberhasilan karena terhindar dari omelan bos galak kita. Ckck, itu palingan cuma sehari aja baiknya. Gak tau besok. Pasti dia akan menjadi singa jika tau kelakuanmu yang sekarang ini. Lagian dia itu sepupumu 'kan?" Syagita mulai menjalankan mobilnya sambil membayangkan wajah bos galak mereka yang malah membuatnya bertambah kesal.
"Yah, dia sepupuku. Tapi lihat saja, nenek pasti akan memberikan aku warisan kekayaannya. Aku 'kan cucu kesayangannya. Bukan si galak itu." Lovy tersenyum sinis membayangkan nasib sepupunya yang sangat dia benci.
"Galak galak, tapi dia ganteng. Coba saja, kamu gak benci sama dia. Aku sahabatmu pasti sangat bahagia jika kamu mendekatkanku dengan dia. Meskipun bikin aku kesel, tapi mau bagaimanapun aku cinta sama dia."
"Hwek—" Lovy hampir tersedak ludahnya sendiri. Apalagi melihat wajah kesal yang tiba-tiba berubah jadi senyum malu-malu yang ia lihat dengan semburat merah di pipi Syagita.
"Oh, astaga... sampai kapan sahabatku ini bucin sama bos galak. Bodynya aja yang tomboy, hatinya ternyata lemah sama sepupuku yang galak itu! Loyo!" ucap Lovy dalam hati.
"Jangan mengumpatku dalam hatimu!" tukas Syagita setelah menormalkan kembali ekspresinya.
"Sok tau. Mana ada aku kayak gitu..." jawab Lovy seraya bersandar dan bersiul kecil.
"Dasar cenayang!" batin Lovy.
"Liat pakaianmu yang kurang bahan itu. Kalau nenekmu lihat, kamu masih yakin dapat warisan?" tanya Syagita dengan tersenyum remeh menatap kaca spion belakang.
"Nenek sedang di rumah sakit. Jadi gak ada orang di rumah. So, fine.... No problem, untuk pakai baju termahalku," jawab Lovy dengan entengnya.
"Santai banget hidupmu, Vy. Bukannya nenek nyuruh kamu nikah yah. Jadi, kapan aku liat calonmu? hmm... tapi pasti Babang Muel lebih ganteng sih," ucap Syagita menyebutkan nama sepupu Lovy sekaligus bos mereka yang galak saat di perusahaan tempat mereka bekerja.
Lovy mengernyit. "Nikah?"
"Iya nikah. Kamu jadi dijodohin yah. Gak mungkin 'kan kamu nikah sama pacarmu itu."
"Kenapa gak mungkin?" ucap Lovy sambil menaikkan alis kirinya menatap mata Syagita yang meliriknya di kaca.
"Kamu sama William udah jalan 8 tahun loh, Vy. Masa dia belum niatan serius sampai sekarang."
"Justru itu, karena sudah 8 tahun. Kemungkinan besar William akan melamarku tahun ini." Lovy perlahan menutup matanya. Kenangan 8 tahun bersama kekasihnya terbayang jelas menjadi mimpi indah sekaligus mimpi buruknya.
Tak lama mobil yang dikendarai Syagita berhenti di depan rumah mewah. Syagita segera memutar kepalanya menatap Lovy yang menutup mata dan bersandar. "Bukannya kalian berdua lagi renggang yah? Aku liat William kemarin lagi joget sama cewek cantik di bar—" ucap Syagita terhenti saat menyadari ucapannya salah saat melihat Lovy membuka matanya. Syagita lekas memperbaiki duduknya menghadap depan.
Lovy mencondongkan kepalanya ke arah Syagita seraya berkata dengan kaget, "Kamu ke bar, Gi?"
"Iy... ya," jawab Syagita gugup.
"Ngapain?" tanyanya menginterogasi sahabatnya yang kini perlahan menatap ke samping untuk menghindari tatapannya.
"Hm.... Ngecek doang kok. Udah sampai depan rumahmu nih, sana masuk." Syagita mencoba mengalihkan topik.
"Iya deh iya. Malah mengalihkan pembicaraan. Padahal aku cuma mau bilang 'kenapa gak ajakin aku ke bar' udah gitu aja. Cih, setidaknya aku bisa nampar dia kalau emang ucapanmu tadi bener." Lovy berucap dengan penuh emosi. Di satu sisi dia sangat penasaran dengan sahabatnya yang misterius, tapi di sisi lain dia juga marah karena tau kalau kekasihnya tengah bermain di belakangnya.
"Udah sana.... Nanti kalau aku ketemu lagi, aku fotoin plus infoin ke kamu. Kemarin beneran gak sempat banget soalnya cuma bentar aja. Aku juga liatnya cuma sekilas."
"Yaudah, Gi. Aku masuk dulu. Lain kali kalau malam gini, kita ke bar aja sekalian gak usah ke cafe itu. Biar gak kayak tadi," ucap Lovy seraya membuka pintu mobil.
"Gak ada yah ke bar gitu. Apalagi pakai baju setengah bahan gini. Yang ada kamu disangka wanita panggilan." Syagita akhirnya berani menatap ke arah sahabatnya lagi setelah mendengar keinginan itu.
"Biar nantang, Gi."
"Sana masuk, Vy."
"Iya sahabatku sayang. Selamat malam," ucap Lovy setelah keluar dari mobil.
Syagita hanya melambaikan tangannya lalu bergegas menjalankan mobilnya setelah melihat sahabatnya sudah masuk ke rumah. "Anak itu sungguh menyusahkan. Apalagi jika beneran kubawa ke bar untuk ngurusin para cecunguk itu. Yang ada semua rencanaku malah hancur," batinnya mengingat kejadian saat dia pergi ke bar hingga lupa memberikan bukti pada Lovy kalau William beneran bermain cewek.
---
Jika Syagita sekarang sedang berkutat dengan pikirannya tentang kejadian kemarin malam, maka Lovy sekarang dengan santainya masuk ke rumah tanpa mempedulikan pria tampan yang sedang duduk di sofa dan menatapnya dengan tajam.
"Dari mana aja kamu! Pulang larut malam gini, dengan pakaian kayak wanita panggilan!" ucap pria itu dengan nada dingin.
"Bukan urusanmu," jawab Lovy sejenak terhenti menatap menantang lawan bicaranya. Lalu melanjutkan kembali jalannya.
"Kau urusanku, Vy!" sentak pria itu berdiri seraya menarik tangan Lovy.
"Lepaskan tanganku, Sam! Samuel, jangan menyentuhku!" Lovy menghentakkan tangannya agar lepas dari cengkraman Samuel—sepupunya.
"Seharusnya kau sekarang di rumah sakit temani nenek kita. Tapi apa yang kulihat, kau malah pulang malam dengan pakaian seperti ini." Samuel melepas cengkraman tangannya dan dengan tatapan menusuk dia layangkan untuk sepupunya.
"Aku akan pergi, tapi nanti. Kau tau 'kan, nenek selalu memaksaku untuk menikah dengan pilihannya. Aku tak suka."
"Tapi itu bukan alasan untuk berprilaku seperti ini, Vy. Kau terlalu kekanak-kanakan untuk umur yang sudah terbilang tua."
"Eh.... Kau. Aku belum tua tau... umurku masih 27 tahun. Seharusnya yang kau sebut tua itu dirimu, bukan aku." Lovy mendengus kesal menatap Samuel.
"Tapi sikapmu masih seperti anak kecil tau gak. Mungkin itu juga jadi alasan kenapa William belum datang melamarmu," ujar Samuel tersenyum remeh yang malah menyulutkan api yang makin membara.
Lovy mengangkat tangannya menunjuk ke wajah Samuel. "Kau!!! Kau seharusnya sadar diri. Umurmu udah kepala tiga tapi belum juga nikah. Cih..." tunjuk Lovy seraya tersenyum sinis saat bisa membalas ucapan orang yang paling dibencinya.
"Tanpa menikah pun, aku sudah memiliki harta. Sedangkan kau... jangankan harta, calon suami a.k.a 'William' yang katanya setia aja main di belakang. Ingat! Kita ini sepupu tapi harta keluarga Luwiys untuk kita berdua dibagi terpisah." Samuel yakin ucapannya ini akan membuat Lovy bungkam.
"Sial!" batin Lovy seraya menurunkan kembali telunjuknya dengan wajar marah. Pikirnya pasti Syagita memberitahu Samuel. Kemudian ia menghela nafas mencoba meredam amarahnya. "Tinggalkan yang membuatmu marah dan tidak tenang," batinnya mengucapkan berulang-ulang prinsipnya. Ia membalas tatapan Samuel dengan tak kalah tajamnya.
"Buang-buang waktu," gumam Lovy dengan sedikit besar agar masih bisa didengar sepupunya itu. Ia berbalik meninggalkan Samuel yang menatap punggung dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sampai kapan kamu bersikap begini, Lovy. Padahal cuma kamu harapan semua orang. Terutama Nenek," ucap Samuel dalam hati.
***
Lovy membanting pintu kamar, menjatuhkan diri ke kasur, memukul bantal berkali-kali.
"Aaaah… kenapa hidupku jadi gini!"
Tak ada jawaban. Hanya dengungan malam Balikpapan yang menemaninya tertidur—tak sadar kalau dunia di luar sana sebentar lagi akan mengguncang hidupnya.
Suara monitor jantung di ruang VIP rumah sakit terdengar monoton.
"Beep... beep... beep," teratur namun terasa dingin. Bau antiseptik dan obat-obatan memenuhi udara, menusuk hidung Lovy hingga membuatnya ingin batuk.
Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan dress mini merah muda yang malam tadi membuatnya percaya diri. Tapi sekarang? Ia merasa dress itu seperti pakaian badut. Terlalu mencolok. Terlalu salah.
Tapi ia berusaha berjalan dengan tampilan percaya diri. Lagi pula sekarang masih jam 5 subuh. Harusnya tidak ada yang memperhatikan pakaiannya.
Ia menarik napas dalam, mencoba menelan kegugupannya. Perlahan, ia melangkah masuk. "Nenek…" bisiknya pelan.
Di atas ranjang putih itu, neneknya—Margaretha Luwiys, wanita yang membesarkannya setelah orang tua Lovy meninggal—terbaring dengan wajah pucat. Napasnya tipis. Tangannya yang dulu selalu sibuk mengaduk kue atau merapikan rambut Lovy, kini terkulai lemah.
Meski begitu, mata nenek itu masih terbuka. Masih penuh kasih sayang, meski jelas ada rasa lelah.
"Lovy Crisela Luwiys," suara neneknya serak tapi tegas. "Akhirnya… kamu datang juga sebelum Nenek mati."
Lovy buru-buru mendekat, duduk di sisi ranjang, dan meraih tangan keriput itu. Dingin. Rapuh. Tapi masih ada sedikit kekuatan.
"Aku datang, Nek," ucap Lovy, memaksakan senyum. "Jangan ngomong aneh-aneh. Nenek pasti sembuh. Kita masih bisa pergi belanja, jalan-jalan ke mall, atau… kita bisa ke spa bareng, kayak dulu. Nenek suka ‘kan? Aku traktir deh—"
Neneknya tersenyum tipis, wajah tuanya penuh keriput, tapi matanya hangat. "Nak… kamu selalu bicara seenaknya. Tapi… nenek suka. Kecuali—" mata sayu itu menatap pekaian Lovy. "Pakaianmu ini, nenek tidak suka..." lanjutnya menggeleng lemah.
Lovy yang mendengar itu semakin ingin menangis kencang. Ia merasa ingin menepuk dahinya segera karena lupa mengganti pakaiannya sebelum bertemu neneknya. "Maaf, Nek. Aku tadi sangat kalut. Jadi... asal mengambil pakaian," sangkalnya. Takut neneknya justru semakin mempermasalahkan pakaiannya di tengah kesehatan neneknya yang menurun drastis.
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara alat medis yang terdengar, mengisi celah di antara kata-kata mereka.
Lovy menggenggam tangan itu lebih erat dengan kepala semakin menunduk. Di balik wajah ‘cegil’ yang selalu ditunjukkannya pada dunia, ada satu orang yang selalu membuatnya lembut: neneknya.
Tiba-tiba, neneknya memanggil dengan nada yang berbeda. Lebih serius. Lebih berat. "Lovy..."
Lovy mengangkat wajah, merasa ada sesuatu. "Ya, Nek?"
"Kamu sudah… dua puluh tujuh tahun. Saatnya menikah."
Lovy memejamkan mata, menghela napas panjang. "Nenek, jangan bahas itu lagi. Aku—"
"Dengar dulu." Suara neneknya tajam, berbeda dari tadi. Genggaman tangannya mengejutkan Lovy, lebih kuat dari yang Lovy duga. "Aku sudah pilihkan seseorang untukmu."
Mata Lovy membulat. Ia langsung bangkit sedikit. "Apa?! Nek, aku nggak mau dijodohin! Aku bisa pilih sendiri!" teriaknya. Ia merasa keputusan neneknya sangat tidak adil untuknya. Apalagi ia paham betul arah pembicaraan neneknya tidak mengarah ke pacarnya karena neneknya jelas tidak suka hubungannya dengan William.
"Terlambat," kata neneknya tenang. "Aku sudah buat perjanjian. Kamu hanya perlu pergi ke Jakarta. Ada alamatnya di kertas ini..."
Nenek dengan susah payah merogoh laci meja di samping ranjang. Tangannya bergetar hebat saat menarik keluar sebuah amplop putih. Tubuh Lovy yang kaku buru-buru membantu, memegang amplop itu.
Amplop itu ringan, hanya berisi secarik kertas. Tapi bagi Lovy, rasanya berat. Seperti mengandung seribu ton masalah. Ia memegang dengan perasaan pasrah.
"Nenek…" Lovy menatap amplop itu lalu mengangkat wajah.
"Aku nggak kenal dia. Aku nggak pernah ketemu. Wajahnya aja aku nggak tahu! Gimana kalau dia—tua? Atau botak? Atau punya hobi koleksi ular?" ucap Lovy yang otaknya penuh dengan prasangka menakutkan. Ia juga berharap ucapannya bisa menjadi alasan agar neneknya membatalkan niat perjodohan itu.
Nenek tersenyum samar. "—atau justru lebih baik dari semua laki-laki yang pernah kamu temui," katanya dengan tatapan penuh arti. "Kamu akan menikah dengannya, Lovy. Dan itu sudah keputusan final."
Lovy terdiam. Kata "menikah" itu seperti bom jatuh di kepalanya.
"Nenek..." suaranya bergetar, setengah ingin membantah, setengah ingin menangis.
Namun tiba-tiba suara monitor jantung itu berubah. Bunyi "beep" menjadi lebih cepat… lalu melambat drastis.
"NEK!" Lovy panik. Ia mengguncang tangan neneknya. "Nenek, jangan bercanda! Jangan begini!"
Mata yang tadi terbuka perlahan tertutup. Neneknya terdengar menghembuskan hafas. Dan itu membuat Lovy semakin mengeratkan genggamannya seraya mengelus kepala neneknya lembut.
Pintu terbuka. Samuel—sepupu Lovy, pria tinggi berwajah dingin yang jadi bosnya di kantor—berlari masuk bersama dokter dan perawat.
"Apa yang terjadi?!" Samuel bersuara keras.
Para perawat memeriksa neneknya, dokter mencoba melakukan CPR. Lovy bergegas mundur. Ia berdiri terpaku, matanya besar, napasnya tercekat. Air matanya mengalir deras. Ia menunggu dengan harapan neneknya masih bisa diselamatkan.
Namun dalam hitungan detik yang terasa seperti berjam-jam, garis di monitor itu berubah lurus.
"Code blue," bisik salah satu perawat.
Dunia mendadak hening.
Lovy memandang layar itu kosong. Kepalanya berputar. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Nenek?" Ia berlari kecil menyentuh wajah neneknya yang kini tenang. Terlalu tenang.
"NEK!" jeritnya, air mata akhirnya pecah, deras.
Samuel mendekat, memegang bahunya. "Lovy…"
"Jangan sentuh aku!" Lovy menepisnya, lalu menunduk lagi, memeluk tubuh neneknya. Tangisnya pecah tanpa ia pedulikan siapa saja yang melihat.
"Nenek! Kenapa meninggalkanku, Nek! Bangun, Nek! Lovy nggak akan nakal lagi, asal Nenek bangun! Hiks... Nenek! Lovy akan turuti semua keinginan Nenek dan nggak akan membantah lagi, Nek! Tapi tolong, jangan tinggalin Lovy!" teriak Lovy meraung-raung dengan air mata yang sudah membanjiri pelupuk matanya.
Samuel yang melihat itu dengan air mata yang ikut terun. Ia hanya bisa diam membiarkan sepupunya meluapkan semua emosinya.
Langit di luar masih gelap. Hujan juga mulai membasahi bumi seolah paham akan duka yang tengah dihadapi kedua sepupu ini. Hati mereka harus merelakan kehilangan sosok yang menjadi penjaga mereka setelah kedua orang tua mereka berdua tiada.
***
Keesokan harinya, langit mendung menutup upacara pemakaman. Hujan gerimis jatuh pelan. Semua orang memakai pakaian hitam. Payung-payung gelap berjejer di antara batu nisan.
Lovy berdiri di tepi pusara, wajahnya tanpa riasan, matanya sembab. Dress hitam panjangnya basah di ujung karena hujan, tapi ia tidak peduli.
Ia menatap tanah merah yang menutup peti neneknya. "Kenapa kamu ninggalin aku, Nek… kenapa sekarang?" bisiknya, suaranya hampir hilang ditelan hujan.
Samuel berdiri di sampingnya, memegang payung. Ia menyodorkan sapu tangan putih. "Lovy," panggilnya pelan.
Lovy tidak menoleh. "Aku nggak butuh."
Samuel menahan napas, tahu ini bukan waktu untuk berdebat.
Saat upacara selesai, orang-orang memberi pelukan dan ucapan bela sungkawa. Lovy hanya mengangguk, wajahnya datar. Setelah itu ia langsung masuk ke mobil, menutup pintu dengan keras.
Malam itu, rumah keluarga Luwiys sunyi. Foto nenek Lovy yang sedang tersenyum kini dipajang di altar kecil dengan lilin menyala di sampingnya.
Lovy duduk di lantai kamarnya. Dress hitam masih menempel di tubuhnya. Ia belum mandi, belum berganti baju. Wajahnya nampak lelah tidak bertenaga.
Di meja, amplop putih dari neneknya tergeletak, seolah mengejek.
Lovy menatap amplop itu. Lama. Entah kekuatan dari mana, hingga akhirnya ia meraih dan membuka lipatan amplop itu.
Di dalamnya, hanya ada secarik kertas dengan tulisan alamat di Jakarta dan sebuah catatan kecil dari neneknya. Tulisan itu jelas tulisan tangan neneknya—huruf miring rapi dengan sedikit goyah di ujung.
"Lovy, kalau kamu mencintaiku, turutilah ini."
[Pilihan nenek tidak akan mengecewakanmu. Dan satu lagi, jika kamu menolak menikahinya, semua harta nenek akan kuhibahkan ke yayasan.]
Lovy menatap catatan itu lama.
Lalu, reaksinya datang seperti badai. "Apa?!" jeritnya, suara membahana di kamar sepi itu. Ia membaca ulang. Dan membaca lagi.
"Kalau aku nggak nikah, harta nenek pindah ke yayasan?! What?! Yang bener aja! Jadi aku cuma dikasih dua pilihan: nikah sama orang asing atau jadi gelandangan?!"
Lovy berdiri, meremas kertas itu, lalu melemparnya ke kasur. "Oh no, oooh my god! Nenek! Kamu juga cegil kayak aku!"
Ia mondar-mandir di kamar. Tangan di pinggang, wajah kusut.
"Siapa sih pria ini? Kenapa nenek begitu percaya sama dia? Dan kenapa harus aku yang jadi korban?! Aku Lovy Crisela Luwiys, cegil kebanggaan keluarga Luwiys—aku nggak bisa disetir kayak gini!"
Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Pandangannya jatuh lagi pada secarik kertas itu.
Di sana, ada alamat. Jakarta.
Nama kota itu terasa asing, dingin, dan menakutkan di telinganya.
Lovy menatap kertas itu lagi. Ia membayangkan pria itu—apakah dia orang tua? Apakah dia pria berperut buncit? Atau mungkin pria super tampan yang terlalu sempurna?
"Jangan-jangan dia monster berkedok manusia…" gumamnya, dramatis.
Ia lalu terjatuh di kasur, menatap langit-langit kamar. Air mata kembali turun, tapi kali ini bukan hanya karena sedih—tapi karena marah, bingung, dan… takut. "Warisan atau jadi gelandangan," bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa aku siap?"
Tidak ada jawaban.
Hanya suara hujan di luar jendela.
Tapi di dalam hati Lovy, badai sudah mulai menggulung—dan ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
****
Suara kicauan burung yang bertengger di pinggiran balkon terdengar merdu. Jendela besar di kamar Lovy sudah terbuka lebar. Hingga cahaya matahari berhasil masuk. Tapi Lovy sama sekali tak bergerak dari kamarnya. Ia sudah tau kebiasaan pembantunya yang akan masuk ke kamarnya untuk membersihkan kamar dan membuka jendela tanpa mengganggu tidurnya.
Lovy semakin menikmati kicauan merdu itu dan masih meringkuk di kasur dengan dress hitam kemarin yang sudah kusut. Rambutnya berantakan seperti mi instan rebus yang lupa ditiriskan, dan eyeliner hitamnya menodai pipi—bekas menangis semalam.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
Tok! Tok! Tok!
"Lovy." Suara Samuel terdengar berat. "Bangun. Kita harus bicara."
Lovy bergumam pelan seperti zombie. "Aku belum siap dengar ceramah…"
Namun Samuel tetap mengetuk. "Buka pintunya. Sekarang."
Dengan mata sayu dan rambut acak-acakan, Lovy merangkak ke pintu. "Ngapain sih pagi-pagi gini udah ganggu orang tidur…" gerutunya sambil memutar kunci.
Pintu terbuka. Samuel berdiri di sana dengan kemeja putih rapi dan wajah super serius, seperti poster iklan "CEO impian" yang sering dilihat Lovy di drama Korea.
Sayangnya, pria ini sepupunya.
"Apa?" tanya Lovy dengan wajah jutek. "Mau bahas baju ku lagi? Nih aku kasih tau ya, semua dress ku itu branded!"
Samuel menatapnya dari atas sampai bawah. "Baju branded ternyata bisa terlihat kacau juga kalau dipakai sepupuku ini, yah. Tapi lupakan soal itu, sekarang aku mau bahas soal warisan."
Lovy langsung mendengus, berbalik masuk ke kamar.
Samuel ikut masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia berdiri dengan tangan disilangkan di dada. "Aku ingin tahu, kamu sudah baca surat dari nenek?"
Lovy memelototinya. "Ya sudah! Dan aku tahu isi surat itu GILA!"
Samuel mengangkat satu alis. "Gila? Atau masuk akal?"
Lovy langsung menoleh cepat, menunjuk wajah Samuel dengan telunjuknya. "Masuk akal dari mana?! Aku harus nikah sama pria misterius—yang aku bahkan nggak tahu wajahnya—cuma demi warisan?!"
Samuel tetap tenang. "Nenek percaya sama pilihan itu."
Lovy menepuk dahinya dramatis. "Oh no! Aku Lovy Crisela Luwiys, cegil dari lautan Antartika yang udah terbiasa sama drama hidup. Tapi ini puncak dramanya, Sam! Nikah dengan pria asing demi duit. Aku kayak Cinderella, tapi sepatu kacanya diselundupin debt collector!"
Samuel menghela napas. "Kamu selalu berlebihan, Lovy."
Lovy mendekat, menatap Samuel dari dekat, matanya menyipit. "Dan kamu selalu serius. Kamu pernah nggak sih bercanda, Sam?"
Samuel diam. Hanya menatap Lovy dengan wajah datar.
"Oh my God," Lovy menepuk bahunya sendiri sambil memandang Samuel seperti menatap alien. "Kamu robot ya? Jangan-jangan kamu di-charge tiap malam makanya selalu dingin kayak kulkas."
Samuel mengusap pelipisnya. "Lovy, aku serius."
"Ya aku juga serius!" Lovy meraih bantal di kasur dan melemparnya ke Samuel. "Serius mau tidur lagi!"
Samuel menangkap bantal itu dengan mudah. "Nenek sudah meninggal, Lovy. Dan semua harta warisan akan dialihkan ke yayasan kalau kamu tidak menikah dalam enam bulan. Kamu tahu itu."
Lovy terdiam sebentar. Wajahnya menegang. Kemudian ia melompat ke ranjangnya dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. "Enam bulan…" gumamnya pelan.
"Enam bulan," ulang Samuel tegas. "Pilihannya jelas: kamu menikah, atau kamu kehilangan segalanya."
Hening sejenak.
Lovy tiba-tiba bangun dan teriak sambil mengangkat kedua tangannya, "TERLALU DRAMATIS! Aku kayak di sinetron prime time!"
Samuel menatapnya datar. "Ini bukan drama. Ini kenyataan."
Lovy mendengus. "Kalau begitu, aku nggak suka kenyataan."
Samuel menatap Lovy lama. "Kamu harus mulai dewasa, Lovy."
Lovy langsung memegang dadanya seperti habis ditembak panah. "Aduh! Kata-kata itu lebih sakit dari penghianat negara yang ngutang terus ghosting!"
Samuel menghela napas panjang. Lelah dengan drama sepupunya yang cukup membuatnya hampir kehilangan kesabaran. "Aku tidak akan berdebat lagi. Aku sudah menghubungi pengacara keluarga. Kamu akan menerima undangan rapat warisan secepatnya."
Lovy menatap Samuel tak percaya. "Kamu… kamu tuh kayak Voldemort. Diam-diam bikin rencana jahat di belakangku!"
Samuel menggeleng, keluar dari kamar sambil berkata dingin, "Aku hanya menjalankan amanah nenek."
Begitu pintu menutup, Lovy kembali menjatuhkan tubuh ke kasur dan menatap langit-langit kamar.
"Enam bulan…" gumamnya. "Warisan atau jadi gelandangan. Pilihan macam apa ini?!"
***
Siang hari, di kantor.
Lovy duduk di meja kerjanya dengan wajah kusut. Hari ini ia memakai blouse biru langit dan rok pensil, pakaian “kerja normal” yang dipaksakan oleh Samuel—karena ya, Samuel bosnya.
Syagita (Syegi) menghampiri dengan dua gelas kopi. "Ini latte buat kamu."
Lovy mengambil kopi itu dengan lesu. "Thanks, Gi."
Syegi menatap wajah sahabatnya. "Wow, muka kamu kayak tempe habis digoreng tiga kali. Terlebih hari ini datang terlambat. Ceritain deh sama aku. Soalnya hari ini aku baru balik dari dinas, jadi kurang informasi. Aku tahu nenekmu meninggal dan aku turut berduka cita. Tapi hidup harus jalan terus kan?"
"Iya, hidup memang harus jalan terus. Tapi masalahku ini, jalannya sedang buntu!"
"Kalau gitu, cerita dong sama sahabat tercintamu ini. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu wahai nona cantik paripurna... " balas Syagita.
Lovy langsung meletakkan kopi di meja dan mengangkat kedua tangannya dramatis. Dengan cepat ia mengucapkan semua keluh kesahnya pada sahabatnya itu. "Nenekku meninggal, ninggalin surat, nyuruh aku nikah sama pria misterius cuma demi warisan. Kalau nggak, aku miskin. Jadi gelandangan! Aku! Gelandangan! Bisa kebayang aku tidur di pinggir jalan bareng kucing liar?!"
Syegi menahan tawa. "Lovy, bisa nggak sih sekali aja kamu cerita tanpa drama berlebihan?"
"INI BUKAN DRAMA!" Lovy teriak sambil menepuk meja. "Ini kenyataan pahit yang disiram garam dan kecap asin!"
Syegi mengangkat tangan. "Oke, oke. Jadi… kamu bakal nikah?"
Lovy menatap sahabatnya dengan mata merah. "Aku nggak tahu. Aku punya William. Aku udah pacaran sama dia DELAPAN tahun, Gi! DELAPAN!"
Syegi mengangguk. "Ya aku tahu. Tapi jujur aja, kamu yakin William mau nikahin kamu?"
Lovy terdiam. Kenangan beberapa hari terakhir terlintas—telepon dari William yang makin jarang, alasan “meeting” yang makin aneh, dan semalam… suara perempuan misterius di latar belakang saat William menelepon. Apalagi beberapa hari yang lalu, ia mendapat kabar kalau William bermesraan bersama wanita lain di bar.
Hatinya mencelos.
"William pasti mau lah," katanya pelan, setengah yakin, setengah membohongi diri sendiri.
Syegi mengangkat alis. "Lovy…"
Lovy mengalihkan topik. "Aku akan bicara sama William. Aku yakin dia akan melamarku. Kita pacaran delapan tahun, Gi! Bukan delapan menit!"
Syegi menatap Lovy lama. "Ya sudah. Tapi kalau ternyata dia nggak serius, kamu siap?"
Lovy pura-pura ketawa. "Siap… kalau perlu aku kawinin kucing liar sekalian!"
Syegi memutar bola matanya. "Dasar cegil."
****
Malamnya, di rumah.
Lovy berkali-kali menatap ponselnya. Namanya “William💖” sudah berkedip di layar berkali-kali. Ia ingin menelpon dan memastikan perasaan gelisahnya salah.
Akhirnya, ia menekan tombol hijau. Ia menelepon.
"Will, kita harus bicara," kata Lovy begitu panggilan tersambung.
Suara William terdengar malas. "Aku sibuk, Lov."
"Selalu sibuk! Bahkan pas nenekku meninggal kamu cuma kirim WA ‘turut berduka’. Kamu pikir itu cukup?!"
"Lovy, aku—"
Tiba-tiba suara perempuan terdengar di latar belakang. "Will, kamu lama banget. Cepet balik ke meja, dong."
Lovy langsung membeku. Suara wanita itu lagi? Ini sudah kedua kalinya ia mendengar suara itu.
"Siapa itu?" tanyanya, suaranya rendah tapi tajam.
"Hah? Oh… biasa, cuma rekan kerja," jawab William cepat, terlalu cepat.
Lovy mengepal tangan. "Rekan kerja? Jam sepuluh malam? Di tempat kerja macam apa, Will?"
William diam.
Lovy berteriak, " WILLIAM ARKENZI! JANGAN MAIN-MAIN SAMA AKU! SIAPA PEREMPUAN ITU? KEMARIN KAMU BILANG DIA SEKRETARISMU! SEKARANG REKAN KERJA?! HAH?! KAMU MEMPERMAINKAN AKU, WILLIAM?"
Tapi sambungan telepon terputus.
Lovy menatap ponselnya dengan mata membelalak. "Dia matiin telponku. DIA MATIIN TELPONKU LAGI?!"
Ia hampir melempar ponsel ke tembok, tapi menahan diri.
"Tenang Lovy… tenang…" ia menepuk pipinya sendiri. "Nanti aku cari tahu. Kalau dia selingkuh, aku bakal—"
Pintu kamarnya diketuk keras lagi.
Tok! Tok! Tok!
"Lovy!" suara Samuel lagi.
"Apa lagi, Sam?!" teriak Lovy dari dalam.
"Aku sudah mengatur pertemuan dengan pengacara nenek besok. Kamu harus hadir."
Lovy menatap pintu dengan mata merah, rambut berantakan, dan hati yang campur aduk.
"Ya Tuhan…" gumamnya. "Warisan, pria misterius, William mungkin selingkuh, dan sepupu robot terus-terusan ganggu aku. Hidupku benar-benar kayak sinetron rating rendah!"
Tapi di dasar hatinya, ia tahu: badai baru saja dimulai.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!