Di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu...aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta.. hati ini tlah....
Braaakkkkk.. ....
seketika alunan lagu dari seorang musisi ternama Indonesia itu terhenti tatkala sepeda motor matic tua yang di kendarai Jenia di serempet sebuah mobil mewah dari samping hingga membuatnya terjatuh dan earphone yang di pakai di telinga terlepas dan jatuh entah kemana.
"ahhhhhkkkhhh... sial, aku harus gimana ini? bajuku kotor semua padahal aku hampir telat". kesal Jenia, membuat beberapa orang yang berada di sekitar Jenia membantunya bangun dan mendorong sepeda motornya ke pinggir jalan. setelah memastikan Jenia baik-baik saja, mereka pamit meninggalkannya dan dengan sopan Jenia mengucapkan terima kasih.
Jenia membersihkan pakaiannya dengan tangannya, ia mengambil tisu dari dalam tasnya dan menyeka wajahnya agar kelihatan segar lagi. setelah itu ia kembali melajukan sepeda motornya menuju ke sebuah perusahaan tempat ia melamar untuk wawancara.
setibanya di perusahaan itu, ia takjub dengan gedung mewah berlantai 18 itu karena ini pertama kalinya ia datang ke perusahaan itu. beberapa hari lalu ia sempat mengirim lamaran melalui email perusahaan dan tidak di sangka hari ini ia di minta untuk datang wawancara. ia terus mengamati gedung itu dengan takjub, sesekali ia menarik napas memastikan jika ia tidak sedang bermimpi.
"Jenia...!!" panggil seseorang membuatnya terkejut. "Duhhh hampir copot ini jantung tau, Hufffftttt.....kagetin aja kamu!!" kesal Jenia pada sahabatnya Leony yang tiba-tiba memanggilnya dari belakang. mereka berdua memang sudah janjian mau bertemu di depan gedung perusahaan tempat mereka berdua melama, kerja dan ternyata mereka berdua di panggil untuk wawancara hari ini juga. "hehehhe...maaf, habis aku senang banget soalnya kerja di sini adalah impianku sejak masih kuliah.. semoga kita di terima ya Jen?" ucap Leony. "hmm aminnn... iya aku ngerti kok. ayo kita masuk, hampir telat nih..." ajak Jenia. mereka buru-buru masuk melalui pintu gerbang yang hampir di tutup oleh penjaga karena 2 menit lagi sudah tepat pukul 08.00 pagi, dimana karyawan yang datang setelah jam itu tidak di ijinkan lagi untuk masuk.
Jenia dan Leony berjalan cepat ke arah resepsionis dan brukkkk.. "Jen......! teriak Leony melihat sahabatnya itu terjatuh ke lantai. ia membungkuk hendak membantu Jenia berdiri namun tiba-tiba ada sebuah tangan terulur terlebih dahulu ke arah Jenia.
Jenia yang masih syok dibuat terbelalak karena pria yang menabraknya tadi adalah Bastian, sang Pria idaman yang masih sama seperti 6 tahun lalu, bedanya pria itu memakai pakaian formal yang sangat pas di tubuhnya membuatnya makin tampan. "kamu baik-baik saja kan? maaf tadi aku buru-buru" ucap pria itu memastikan keadaan Jenia. karena Jenia tak kunjung menerima uluran tangannya, pria itu pamit dan berlalu dari sana.
"Jen...jenia...!!!" Leony menepuk-nepuk bahu Jenia yang masih terpaku. Jenia spontan menelan ludah karena ketahuan terpana dengan Bastian tadi. ia bangun dari duduknya dan merapikan baju serta roknya yang sempat kusut. "kamu gak apa-apa kan Jen??" tanya Leony, Jenia hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "kamu bikin khawatir aja tadi, soalnya kamu kayak orang linglung gitu" ucap Leony membuat Jenia tersipu. "Eh, itu tadi Bastian kan? teman angkatan kita jurusan bisnis kan?" tanya Leony lagi. Jenia kembali mengangguk lalu Leony berkata lagi "tapi dia kok nggak kenal kita ya??"
"Ya iyalah, kita kan cuma debu Leony..." jawab Jenia lalu menarik tangannya menuju meja resepsionis. ia tidak heran dengan tingkah Bastian karena memang hanya dialah yang diam-diam menyukai pria itu, sedangkan Bastian sendiri tidak mengenalnya sama sekali meskipun mereka sering terlibat kegiatan organisasi kampus bersama. Bastian orangnya cuek, dingin dan pergaulannya hanya dengan sesama anak-anak orang kaya. meski demikian, Jenia tetap menyukainya sampai saat ini ia tidak pernah tertarik dengan pria manapun yang mencoba mendekatinya. ia sadar betul bahwa suatu saat ia akan kecewa dengan perasaannya itu, namun ia tetap berangan-angan jika suatu saat nanti kisah mereka akan seperti di drama-drama yang sering ia baca.
Ruangan lobi perusahaan itu terasa begitu megah dengan langit-langit tinggi, lampu kristal yang berkilau, dan lantai marmer yang licin hingga bayangan siapa pun bisa terpantul jelas. Jenia berusaha menenangkan debaran jantungnya. Pertemuan tak terduga dengan Bastian barusan membuat pikirannya kacau.
Leony, yang sedari tadi menggandeng tangannya, menoleh penasaran.
“Jen, aku heran deh. Kenapa kamu kayak bengong gitu sih tadi? Jangan-jangan kamu....”
“Sudahlah, Leony… kita fokus aja ke wawancara dulu,” potong Jenia cepat sambil pura-pura sibuk merapikan map berisi dokumen.
Mereka berdua akhirnya diarahkan ke lantai 10 oleh resepsionis. Sepanjang perjalanan dalam lift, Jenia hanya bisa menunduk. Bayangan wajah Bastian tadi seakan memenuhi ruang pikirannya. Tatapan matanya, suara dalam yang singkat, bahkan aroma parfum maskulin yang sempat tercium… semuanya masih jelas melekat.
Kenapa harus ketemu dia lagi setelah sekian lama? batinnya.
Di ruang tunggu, puluhan kandidat sudah menunggu dengan rapi. Leony sibuk menghafal jawaban wawancara dari catatan kecilnya, sementara Jenia justru semakin resah.
“Nomor 15, Jenia,” panggil salah satu staf HRD.
Degup jantung Jenia langsung melonjak. Ia berdiri dengan tangan sedikit bergetar, namun mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. Pintu ruangan terbuka, dan seketika langkahnya terhenti.
Di ujung meja panel wawancara, duduklah sosok yang sangat ia kenal.
Bastian.
Ia terlihat begitu berwibawa dengan jas hitam rapi, kemeja putih, dan dasi biru tua. Wajahnya dingin, fokus menatap berkas di tangannya. Jenia nyaris kehilangan kata-kata. ia membatin jadi dia kerja di sini?? dia...
“Silakan duduk,” ucap salah satu pewawancara senior membuat Jenia tersentak dari lamunannya, ia menarik kursi perlahan, berusaha agar suara detak jantungnya tidak terdengar keluar. Saat ia mendongak, pandangan matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Bastian. Dingin. Dalam. Membuat darahnya berdesir.
“Nama lengkap?” tanya pewawancara lain.
Dengan suara bergetar, Jenia menjawab. Ia berusaha tegar menjawab setiap pertanyaan, meski sesekali ia menangkap Bastian memperhatikannya. Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar.
Wawancara itu berlangsung sekitar 20 menit, dan akhirnya selesai. Jenia menghela napas panjang begitu keluar ruangan. Tubuhnya terasa lemas, namun hatinya dipenuhi rasa yang tak menentu.
Leony segera menghampirinya.
“Gimana, Jen? Lancar?”
“Hmm… lumayan,” jawab Jenia sambil tersenyum hambar. Ia tidak sanggup bercerita apa pun tentang kehadiran Bastian di dalam ruangan tadi.
Setelah wawancara selesai, Jenia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Saat ia menuruni tangga gedung menuju parkiran, langkahnya terhenti karena suara panggilan dari belakang.
“Iya sayang, ini aku sudah mau pulang”
Suara itu. Suara yang sama, yang dulu hanya bisa ia dengar dari jauh ketika Bastian memimpin rapat organisasi kampus.
Jenia menoleh. Bastian berdiri dengan ponsel menempel di telinganya, tangan yang lainnya dimasukkan ke saku celananya, tatapannya tak lagi dingin seperti tadi, melainkan lebih lembut.
melihat itu, seluruh dunia Jenia seolah berhenti berputar. ia tidak mengerti kenapa rasanya sangat menyesakkan dada. Jenia perlahan bersandar di dinding untuk menetralkan perasaannya, "Jen..sadar, kamu bukan siapa-siapa" katanya dalam hati berusaha menyadarkan dirinya.
setelah kurang lebih 10 menit ia menenangkan jantungnya, ia berjalan santai melewati Bastian yang masih sementara menerima panggilan dari ponselnya yang Jenia duga telepon dari kekasihnya. namun saat ia melewati Bastian, justru Bastian menoleh ke arahnya dan sedikit memperhatikan Jenia dari samping. ia terus melihat Jenia hingga sampai di tempat ia memarkirkan sepeda motornya, Bastian terus saja memperhatikan semua gerak gerik Jenia dari tempat ia berdiri.
Bastian yang sudah selesai menerima telepon, belum juga masuk ke dalam mobilnya meskipun sang sopir sudah berkali-kali memintanya untuk berangkat. Ia sedang terpesona dengan kecantikan Jenia yang memang sangat menawan siang itu, ia memakai kemeja putih dengan dua kancing depan terbuka, dengan rok span hitam di atas lutut yang memperlihatkan kaki jenjang mulusnya serta rambut yang dibiarkan terurai karena akan memakai helm. Bastian yang sempat terpaku, nampak terkejut saat tiba-tiba Jenia tidak sengaja melihat ke arahnya
Bastian langsung salah tingkah dan secepat membuang pandangannya ke arah lain. Ia lalu membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam, sopir menghidupkan mobil dan hendak berangkat namun tiba-tiba ponsel Bastian berdering sehingga ia terpaksa menerima panggilan terlebih dahulu. Ia kemudian mengambil kesempatan untuk turun dari mobil agar sang sopir tidak mendengar pembicaraannya.
"pak, bisa minta tolong hidupin motorku gak? aku udah mencoba hidupin tapi gak bisa. tolong ya pak" pinta Jenia pada sopir Bastian yang masih duduk di dalam mobil.
suara itu membuat Bastian terkejut karena begitu dekat di belakang ia berdiri. sang sopir yang ternyata adalah asisten pribadi Bastian itu dengan ramahnya keluar dari mobil dan pergi bersama Jenia menuju tempat di mana motor Jenia di parkir. Bastian yang menyaksikan itu mematung di tempatnya, ia tidak tahu harus berbuat apa. ia memilih masuk ke dalam mobil dan menunggu sang asisten.
"terima kasih pak, sudah membantu" ucap Jenia setelah motornya sudah bisa di hidupkan. "aku Jenia.." ucap Jenia lagi memperkenalkan diri kepada asisiten yang masih muda dan cukup tampan itu. interaksi mereka itu tidak luput dari pengamatan Bastian dari dalam mobil.
"siapa gadis itu??" tanya Bastian tiba-tiba pada asistennya sesaat setelah mobil keluar dari parkiran. "maksud bos yang tadi minta tolong??, namanya Jenia, karyawan yang baru selesai wawancara bos" jelas sang asisten. Bastian hanya mengangguk namun ia sedang mengingat-ingat nama itu yang seperti tidak asing di telinganya. ia juga merasa wajah Jenia tidak asing tetapi ia tidak ingat sama sekali.
"Sayang.....aku kangen sekali" pekik seorang gadis bernama Vita yang merupakan kekasih dari Bastian berlari menghampiri Bastian dan langsung memeluknya. Bastian pun tak kalah antusias menerima pelukan dari gadis tersebut. mereka berpelukan cukup lama hingga Bastian mengurai pelukannya dan mengajak sang gadis masuk. mereka duduk di ruang keluarga yang di desain sangat modern menambah megahnya rumah itu.
mereka bercengkrama begitu hangat seperti pasangan umumnya yang sudah lama tidak berjumpa.
"sayang, besok aku ikut kamu ke kantor ya?? please sayang.." mohon Vita.
"boleh, nanti aku minta Dion jemput kamu ya.." jawab Bastian.
"ternyata dia udah punya kekasih, tapi kenapa hati aku sakit ya??" Jenia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Ia kemudian mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Halo, ada apakah gerangan tuan putri menghubungiku??" sapa seseorang dari seberang. "Jeff, aku mau tanya. seandainya kamu sudah punya kekasih, apa ada kemungkinan kamu tertarik sama gadis lain??" tanya Jenia pada sang sepupu yang bernama Jeff. "hahahhahaha... pertanyaan macam apa itu?? ya nggak mungkin lah.." jawab Jeff. "oh. ya udah, terima kasih untuk jawabannya. aku tutup dulu ya..bye!!" Nadia sedikit kesal dengan jawaban sepupunya itu, namun bagaimanapun ia harus menerima kenyataan jika Bastian tidak mungkin menyukainya. "hah.. ikuti sja alurnya" ucap Jenia menyemangati dirinya sendiri.
Malam itu, Jenia masih terjaga di kamar kosnya yang sederhana. Lampu meja kecil menyala temaram, sementara di luar jendela, hujan turun perlahan membasahi jalanan kota. Earphone-nya sudah rusak sejak insiden pagi tadi, jadi ia hanya bisa menatap langit-langit kamar tanpa ditemani musik yang biasanya jadi pelipur lara.
“Kenapa aku begini sih…?” bisiknya lirih.
Bayangan Bastian terus muncul di kepalanya. Senyum samar, tatapan yang menusuk, dan kenyataan bahwa pria itu sudah memiliki kekasih semua bercampur menjadi perasaan asing yang menyesakkan.
Keesokan harinya, Jenia kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Ia harus bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sambil menunggu pengumuman hasil wawancara. Leony sempat menemaninya sebentar sebelum kembali ke rumah, sedangkan Jenia memilih lembur.
Saat sedang sibuk membersihkan meja pelanggan, pintu kafe berbunyi. Jenia menoleh sekilas, lalu seketika tubuhnya kaku.
"Bastian..???"
Ia masuk dengan langkah tenang, kemeja biru muda yang digulung sampai siku membuatnya tampak santai tapi tetap berwibawa. Di sampingnya, tidak ada Vita. Ia datang sendirian.
Jenia buru-buru menunduk, berharap Bastian tidak menyadarinya. Namun, ternyata justru suara bariton itu memanggilnya.
“Permisi, bisa pesan di sini?”
Deg..Jenia mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka bertemu lagi.
“Oh, iya… silakan duduk, saya ambilkan menu,” jawabnya terbata-bata.
Bastian hanya mengangguk, tatapannya tetap terjaga pada Jenia seakan mencoba mengingat sesuatu.
Beberapa menit kemudian, Jenia mengantarkan segelas kopi pesanan Bastian ke mejanya. Namun, saat hendak meletakkan gelas itu, tangannya sedikit gemetar hingga kopi hampir tumpah.
Refleks, Bastian meraih tangannya.
“Pelan-pelan… kamu baik-baik saja?” suaranya terdengar lebih hangat daripada sebelumnya.
Jenia menunduk cepat, menarik tangannya kembali. “Maaf… saya agak lelah, Pak.”
Bastian menatapnya lama. Ada sesuatu di wajah gadis itu yang membuatnya merasa pernah dekat, meski ingatannya kabur.
“Namamu… Jenia, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Jenia terdiam. Hatinya mencelos mendengar namanya disebut dari bibir pria itu. Ia hanya mengangguk singkat, lalu buru-buru berpamitan untuk melayani pelanggan lain.
Malam semakin larut, kafe sepi. Bastian masih duduk di pojok, tidak beranjak. Ia tampak sibuk dengan ponselnya, namun sesekali melirik ke arah Jenia.
Saat hendak keluar, ia mendekat ke kasir.
“Terima kasih kopinya… enak. Oh iya, semoga kita bisa sering bertemu lagi,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Jenia terpaku, tidak bisa menjawab apa-apa selain senyum kikuk. Setelah Bastian pergi, ia langsung terduduk lemas di kursinya.
Kenapa dia harus bilang begitu? batinnya gelisah.
Sementara itu, di mobilnya, Bastian bersandar dengan pikiran yang kacau.
“Jenia… nama itu… aku yakin pernah dengar dulu,” gumamnya.
Ingatan samar tentang seorang gadis yang selalu ada di organisasi kampus, yang sering memperhatikannya diam-diam, mulai muncul. Namun ia belum bisa memastikan.
Di sisi lain, Vita mengirim pesan panjang ke ponsel Bastian.
Sayang, aku nggak sabar besok ikut kamu ke kantor…
Bastian menatap layar ponsel itu lama. Entah mengapa, wajah Jenia justru yang terlintas lebih dulu di benaknya malam itu.
Hari pengumuman penerimaan kerja akhirnya tiba. Pagi itu, Jenia berangkat lebih awal, berharap jika ia diterima maka ini akan menjadi awal baru untuk hidupnya. Sesampainya di lobi, ia melihat banyak wajah baru yang sama-sama menunggu giliran untuk dipanggil.
“Selamat pagi. Untuk nama Jenia Pradipta Prameswari, dipersilakan naik ke lantai lima belas,” ucap seorang staf HRD.
Degup jantung Jenia bertambah cepat. Ia meraih map kecil berisi berkas yang diminta, lalu melangkah masuk ke lift. Saat pintu terbuka di lantai 15, ia tertegun. Ruangan itu jauh lebih megah daripada bayangannya penuh dengan kaca besar, meja panjang elegan, dan pemandangan kota yang terlihat jelas dari balik jendela.
“Selamat bergabung, Mbak Jenia,” ucap salah seorang staf. “Mulai hari ini, Anda resmi bekerja di perusahaan kami.”
Jenia menahan senyum haru. Ia menunduk sopan sambil mengucap terima kasih.
Namun kebahagiaannya seketika terusik saat melihat sosok yang baru masuk ruangan.
"Bastian??" reflek Jenia yang membuat staf yang berada di hadapannya langsung menoleh. "kamu kenal pak Bastian??" tanya staf itu. Jenia lantas menggeleng karena ia tidak ingin menjawab pertanyaan apapun. "hmm.. baiklah, pak Bastian adalah Ceo Perusahaan kita, jadi harus baik-baik di depan beliau karena ia sangat tidak friendly!!" ucap sang staf mengingkatkan. Jenia hanya mengangguk patuh, ia hanya mengelus dada saat tahu Bastian adalah atasan di kantornya itu.
sementara Bastian dengan pakaian kerja rapi, ia berjalan didampingi seorang wanita cantik berpenampilan glamor. Vita.
“Sayang, jadi ini kantormu? Wah, keren banget!” ucap Vita sambil menggandeng lengan Bastian erat-erat.
Jenia menunduk, berusaha menghindari tatapan mereka. Tapi justru langkah Bastian terhenti sejenak begitu melihatnya berdiri di sudut ruangan bersama staf HRD. Pandangan matanya menelusuri wajah Jenia, kali ini lebih lama daripada sebelumnya.
“Bos, ini karyawan baru yang tadi pagi mulai bekerja,” jelas salah satu staf.
“Hmm…” Bastian hanya mengangguk singkat, namun sorot matanya sulit ditebak.
Vita yang sedari tadi memperhatikan justru tersenyum miring. Ia menangkap sesuatu yang aneh dari cara Bastian melihat gadis itu. Dengan cepat ia menggandeng lebih erat lengan kekasihnya, seolah ingin menunjukkan kepemilikan.
Hari pertama kerja Jenia tidak berjalan mudah. Ia ditempatkan di divisi yang kebetulan masih berada di bawah supervisi langsung Bastian. Sepanjang rapat siang itu, ia berusaha fokus pada catatan dan instruksi, meski sesekali ia bisa merasakan tatapan pria itu mengarah padanya.
Sementara Vita, yang diundang Bastian sekadar berkeliling kantor, terlihat tidak senang. Saat istirahat, ia mendekati meja Jenia dengan senyum manis yang terasa menusuk.
“Kamu Jenia, ya? Aku dengar kamu karyawan baru di sini,” ucap Vita sambil menyilangkan tangan di dada.
“I-iya, Mbak,” jawab Jenia sopan.
“Bagus. Semoga kamu betah ya. Oh ya… hati-hati, kerja di sini berat, apalagi kalau atasanmu setegas Bastian,” ucapnya sambil menepuk bahu Jenia pelan, lalu berlalu meninggalkan aroma parfum yang menyengat.
Jenia terdiam. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar basa-basi, melainkan semacam peringatan halus.
Malam harinya, setelah semua karyawan pulang, Jenia masih lembur merapikan dokumen. Ia tak sadar ada seseorang yang masih berada di ruangannya.
“Kenapa belum pulang?” suara bariton itu terdengar dari belakang.
Jenia menoleh. Bastian berdiri bersandar di pintu, dasinya sudah dilepas, lengan kemejanya digulung, membuatnya tampak lebih santai.
“Saya… hanya ingin menyelesaikan pekerjaan, Pak,” jawab Jenia pelan.
Bastian berjalan mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah.
“Kalau terlalu lelah, jangan dipaksa. Di sini bukan cuma soal kerja keras, tapi juga kerja cerdas,” ucapnya tenang.
Jenia menunduk, jantungnya berdebar. “Baik, Pak. Terima kasih atas sarannya.”
Namun saat ia mengangkat wajah, mata mereka kembali bertemu. Ada keheningan yang sulit dijelaskan, seakan waktu berhenti.
Dan untuk pertama kalinya, Bastian tersenyum samar padanya.
Di tempat lain, Vita yang baru saja sampai di rumah tidak berhenti menatap layar ponselnya. Ia membuka galeri berisi foto-foto Bastian dan dirinya, lalu bergumam pelan dengan tatapan penuh curiga:
“Jenia… siapa sebenarnya kamu?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!