NovelToon NovelToon

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Bab. 1

Usai menunaikan shalat Dzuhur berjamaah, suara lantang namun menenangkan milik Ustadz Yassir Qayyim menggema dari mimbar masjid yang megah di jantung kota.

Dengan wajah teduh dan sorot mata yang tajam namun bersahaja, ia membawakan ceramah bertema “Menjaga Hati dalam Zaman Fitnah.”

Ratusan jamaah larut dalam setiap untaian kata yang keluar dari bibir sang ustadz muda nan karismatik itu.

Termasuk satu sosok yang sejak awal tak pernah mengalihkan pandangannya seorang perempuan cantik yang duduk di saf perempuan, memakai hijab modern berwarna olive, pakaian yang pas di tubuhnya namun tetap menutup aurat. Tatapannya tajam, fokus ada sesuatu di balik sorot matanya.

Namanya Zamara Nurayn.

Di sebelahnya, dua sahabatnya ikut hadir: Aqila dan Laira. Mereka tahu betul misi apa yang dibawa Zamara hari ini.

Begitu ustadz Yassir menutup ceramahnya dengan doa yang syahdu, Aqila dengan pelan menepuk paha Zamara. Ia mencondongkan tubuh, berbisik di telinga sahabatnya itu dengan senyum penuh arti.

"Aku yakin dia akan kaget setengah mati, Zam. Tapi ingat jangan mundur," bisiknya lirih.

Zamara hanya mengulas senyum smirk. Namun belum sempat menjawab, Laira ikut menambahkan dengan desisan pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka bertiga.

“Zamara, kami tunggu hasilnya...”

Dengan langkah anggun yang tak menggugurkan wibawa, Zamara berdiri dari posisi duduknya.

Matanya masih menatap ustadz Yassir yang sedang menyalami beberapa jamaah pria di bagian depan. Sementara mata jamaah perempuan lain mulai melirik-lirik, bertanya-tanya.

Dengan keyakinan penuh dan aura misterius yang membuat suasana mendadak sunyi, Zamara mendekat ke arah sang ustadz.

Langkahnya mantap, tidak terburu-buru, namun menuntut perhatian.

Lalu, tepat di hadapan sang ustadz yang terkejut melihatnya berdiri begitu dekat Zamara menyapa dengan suara yang tenang namun membuat udara seakan menegang.

"Assalamualaikum, Ustadz. Maukah kamu menikah denganku dan menjadi suamiku?”

Seketika, waktu seolah berhenti berputar di dalam masjid megah itu.

Jamaah laki-laki yang baru saja bersalaman dengan sang ustadz, serempak menoleh.

Jamaah perempuan yang masih duduk di shaf belakang saling berpandangan, menciptakan gelombang bisik-bisik yang cepat menyebar. Beberapa bahkan terdengar menarik napas panjang.

Mata semua orang kini tertuju pada Zamara Nurayn.

Sorot matanya tak goyah. Wajahnya bersinar oleh pantulan cahaya dari kaca patri masjid, memperkuat auranya yang misterius sekaligus menantang.

Ustadz Yassir Qayyim, yang sejak tadi berdiri tenang, sempat terpaku. Wajahnya tak menunjukkan keterkejutan berlebihan, namun dari caranya mengerutkan alis dan menatap Zamara dalam-dalam jelas ia tak menyangka sama sekali.

Lelaki itu diam. Sunyi menyergap seisi masjid, hanya suara kipas angin langit-langit yang berdengung pelan menemani ketegangan itu.

Sementara itu, di belakang sana, Aqila dan Laira saling melempar senyum kemenangan. Mereka sudah tahu Zamara tidak akan mundur. Dan tak ada yang bisa benar-benar menolak jika perempuan itu sudah turun tangan sendiri.

Zamara lalu berkata lagi, kali ini dengan suara sedikit lebih pelan, namun tetap penuh keyakinan.

"Aku tahu caraku tidak biasa, Ustadz. Tapi aku tidak ingin menyesal hanya karena memilih diam."

Beberapa jamaah mulai mengangkat ponsel mereka, merekam momen yang tak lazim itu. Seorang takmir masjid mencoba memberi kode untuk menghentikan situasi, namun semuanya sudah terlanjur pecah.

Ustadz Yassir akhirnya menarik napas, menurunkan pandangannya sejenak, lalu menatap Zamara kembali dengan nada suara yang tenang namun tegas.

Seketika suasana masjid yang tadinya khusyuk berubah menjadi riuh. Bukan karena suara keras, melainkan bisik-bisik tajam dan berdesing yang menyebar cepat seperti percikan api di antara rumput kering.

Beberapa jamaah perempuan menutupi mulutnya, syok namun tak bisa menahan rasa ingin tahu.

“Astaghfirullah... zaman sekarang perempuan melamar laki-laki di masjid?”

“Eh tapi dia cantik banget sih, kayak artis sinetron...”

“Kaya’nya aku pernah lihat dia di billboard dekat mall, bukan dia yang jadi model hijab itu?”

“Tapi bajunya agak ketat masya Allah, berani betul.”

Sementara di sisi laki-laki, komentar tak kalah berwarna mulai terdengar, sebagian dengan suara pelan, sebagian lagi tanpa sadar cukup keras.

“Terima saja, Pak Ustadz. Ini rezeki namanya!”

“Waduh... cantik begini yang ngelamar, kok saya bukan ustadz ya?”

“Baru kali ini saya lihat dakwah ditutup dengan lamaran dadakan, luar biasa.”

“Ustadz... kuatkan iman, jangan lihat casing dulu, lihat isinya!”

“Kalau saya sih langsung bilang iya, tapi kan saya bukan Ustadz Yassir.”

Salah satu jamaah tua bahkan berdecak sambil berkata dengan logat khas, “La haula wala quwwata illa billah... anak zaman sekarang memang tak punya malu tapi, cantik betul naknya, tak salah juga kalau ustadz terima, hehe…”

Zamara tetap berdiri dengan anggun. Ia sudah memperhitungkan semua ini. Ia tahu akan ada cibiran, desas-desus, bahkan mungkin tudingan.

Tetapi ia juga tahu: banyak dari mereka yang diam-diam mengagumi keberaniannya. Apalagi wajahnya memang menawan, tatapannya tajam, auranya memikat.

Sementara Ustadz Yassir masih berdiri tenang di tempatnya. Tak tersenyum, tak menolak. Belum menjawab. Tapi dari caranya memandangi Zamara ada sesuatu yang bergerak di dalam dadanya. Entah karena rasa iba, kagum, atau masa lalu yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan.

Suara bisik-bisik belum sepenuhnya reda ketika Ustadz Yassir Qayyim akhirnya membuka suara. Ia memandangi Zamara lekat-lekat, menelusuri keteguhan dalam sorot matanya.

Lalu, dengan nada dalam, pelan namun tegas, ia berkata, "Menjadi istriku... tidak mudah."

Ucapan itu seketika membuat suasana kembali hening.

"Aku bukan laki-laki yang ringan tanggungan. Aku punya amanah besar. Tujuh orang anak, dan kedua orang tuaku yang sudah sepuh tinggal bersamaku. Apakah kamu bersedia merawat mereka, bersabar dengan kehidupanku yang jauh dari gemerlap dunia yang mungkin selama ini kamu kenal?"

Seketika mata jamaah membesar. Tujuh anak? Beberapa bahkan terdengar terkejut.

Namun Zamara, tanpa ragu sedikit pun, menatap sang ustadz dengan penuh keyakinan. Tubuhnya tegak, wajahnya mantap, dan tanpa menunggu satu detik pun.

"Iya. Aku bersedia."

Suaranya lantang, Jelas dan tak ada getaran ragu.

Jamaah kembali gempar. Kali ini bukan hanya karena keberaniannya, tapi karena ketulusan di balik ucapannya. Tidak ada keraguan dan tidak ada basa-basi.

Bahkan Ustadz Yassir, untuk pertama kalinya, terlihat kehilangan kata. Bibirnya terkatup, matanya berkedip perlahan.

Hatinya seperti diguncang oleh keteguhan perempuan itu. Bukan sekadar kecantikan yang menonjol dari Zamara melainkan keberanian untuk memikul tanggung jawab yang belum tentu sanggup dilakukan oleh banyak wanita.

Di sudut saf perempuan, Aqila dan Laira menunduk menahan senyum, seperti sedang menyaksikan bagian awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan di antara semua bisik-bisik itu, terdengar satu suara pria muda di saf belakang yang berbisik ke temannya:

“Fix, dia bukan perempuan biasa. Ustadz pasti gak akan bisa menolaknya sekarang…”

Setelah mendengar jawaban lantang Zamara, Ustadz Yassir kembali menatapnya dalam-dalam.

Ada jeda sejenak, seolah memberi ruang pada suara hati yang sedang bicara lebih keras daripada logika.

Ia tidak langsung tersenyum, tidak pula menunjukkan penolakan. Tapi dari sorot matanya, tampak ia sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar ucapan.

Lalu, dengan suara yang tenang dan karismatik, ia berkata,

"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu ini, Zamara Nurayn?"

Seluruh jamaah terdiam lagi. Nama lengkap Zamara disebut. Ustadz Yassir jelas tidak main-main.

"Menikah bukan hanya tentang cinta, bukan tentang keberanian melamar di depan umum. Tapi tentang kesetiaan, keteguhan, dan kesanggupan memikul beban yang tidak ringan. Aku punya anak-anak yang sedang bertumbuh. Orang tua yang renta. Waktu, hati, dan tenagaku tidak lagi milik pribadi. Jika kamu masuk dalam hidupku, kamu akan menjadi bagian dari perjuangan panjang, bukan sekadar cerita indah."

Zamara masih menatapnya tatapannya tidak bergeming.

"Aku yakin, Ustadz. Dan aku tidak datang hari ini hanya karena keberanian. Tapi karena aku percaya Allah menaruh sesuatu dalam hatiku yang tidak bisa kuabaikan begitu saja."

Kata-katanya tidak keras. Tapi cukup untuk membuat beberapa jamaah menahan napas.

Ustadz Yassir pun mengangguk perlahan. Lalu, dengan kalimat yang membuat semua kepala menoleh dan dada terasa bergetar, ia berkata:

"Kalau kamu sudah yakin datanglah ke rumahku malam ini. Sendirian. Di Jalan Al-Hikmah nomor 17, selepas Isya."

Terjadi keheningan seolah azan Maghrib tiba-tiba berkumandang di siang hari.

Beberapa jamaah tak bisa menahan diri untuk kembali berbisik.

“Ya Allah... ini serius banget.”

“Jangan-jangan Zamara memang ditakdirkan untuk ustadz itu.”

“Malam ini? Di rumahnya? Astaghfirullah tapi kok penasaran ya…”

Sementara Zamara hanya mengangguk pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya. Senyum penuh misteri dan tekad.

Ia membalikkan badan dengan tenang, meninggalkan area depan masjid. Langkahnya tetap elegan, tidak terburu-buru, dan penuh wibawa.

Aqila dan Laira segera menyusul dari belakang dengan mata berbinar. Mereka tahu dan malam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Ini awal dari takdir besar.

POV Ustadz Yasir Qayyim

Aku nyaris kehilangan kata-kata.

Suasana majelis selepas kajian sore itu masih hening, seolah menunggu aku bicara, namun lidahku kelu. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri mengalahkan suara kipas masjid yang berdengung lembut di langit-langit.

Beberapa jamaah melirikku sebagian terkejut, sebagian lain menahan senyum geli yang sopan. Tapi aku?

Aku menatap perempuan itu. Zamara Nurayn. Nama yang beberapa kali kudengar disebut oleh beberapa ibu-ibu jamaah. Perempuan muda berusia dua puluh tiga tahun, cerdas, santun, dan… ya, tak bisa dipungkiri: cantik.

Dia berdiri di hadapanku dengan keberanian yang belum pernah kulihat dari seorang muslimah seusianya. Berjilbab dengan gaya modern tapi tetap syar’i, sorot matanya jujur, tidak bergetar sedikit pun ketika mengucapkan kalimat yang mengguncang hatiku barusan.

"Ustadz Yasir Qayyim… izinkan saya menjadi istri Anda, bukan hanya sebagai pengagum ilmu, tapi sebagai teman perjalanan menuju Allah."

Aku memejamkan mata sejenak. Dalam diam aku beristighfar.

Bukan karena aku marah. Bukan karena aku tersinggung. Tapi karena aku takut... pada fitnah.

Aku bukan lelaki sempurna. Meski orang-orang memanggilku "ustadz", aku tetap manusia. Kalimatnya barusan seperti panah yang menghunjam langsung ke sisi terdalam hatiku—tempat yang selama ini kujaga rapat dari keterikatan dunia.

Dan dia datang mengetuk pintu itu tanpa malu, dengan keyakinan, dan ketulusan.

"Zamara," akhirnya aku membuka suara, lirih tapi cukup terdengar oleh semua yang hadir. Aku melihat beberapa kepala menoleh semakin mendekat, penasaran dengan reaksiku.

"Saya... bukan lelaki yang mudah tergoda. Tapi saya juga bukan Nabi yang maksum. Apa yang kamu lakukan ini… luar biasa, berani, dan mungkin... tulus. Tapi kau juga sedang menaruh beban besar di pundak seorang laki-laki yang selama ini hanya ingin menundukkan diri di hadapan Tuhan, bukan di hadapan decak kagum manusia.”

Matanya masih memandangku tajam, tapi tak menantang. Tidak ada tanda-tanda main-main dalam wajahnya. Hanya tekad. Dan rasa yakin.

Aku menarik nafas panjang. Hatiku berkecamuk. Jika ini ujian, maka ia bukan dari setan, tapi dari Allah sendiri. Lalu apa tugasku? Menolaknya begitu saja? Menyeret namanya ke rasa malu di depan banyak orang? Atau justru mempertimbangkan bahwa mungkin, dia memang utusan takdir?

Aku menunduk, menatap lantai masjid yang bersih. Ya Allah… beri aku petunjuk.

Karena hari ini, bukan aku yang melamar tapi aku yang dilamar.

Dan aku tak tahu apakah ini awal dari fitnah atau awal dari nikmat yang belum bisa kusambut.

Bab. 2

Langkah kaki Zamara Nurayn perlahan menjauh dari pelataran masjid. Angin sore menyapu lembut kerudung putih yang membingkai wajahnya.

Cahaya mentari senja mengintip malu dari sela pepohonan, seakan ikut menjadi saksi kepergian seorang perempuan yang baru saja melontarkan sesuatu yang tak biasa.

Dari balik tiang masjid, pandangan Ustadz Yassir Qayyim tak beranjak darinya. Jubah yang dikenakannya berayun ringan diterpa angin sore. Bibirnya gemetar menahan kata, matanya berkaca, dadanya bergemuruh.

"Ya Rabb... apakah benar dia mengucapkan itu karena keyakinan? Atau sekadar karena emosi yang belum jernih?" batinnya lirih, terangkat dalam doa yang tak bersuara.

Kepalanya tertunduk, napasnya ditahan lama lalu dilepas perlahan. Jemarinya menyentuh dada, merasakan denyut yang berlari tak beraturan.

“Ya Allah...” ucapnya nyaris tak terdengar, “apakah sungguh dia bersungguh-sungguh?”

Ustadz Yassir tersenyum getir. “Di mana-mana perempuan menunggu untuk dilamar ini malah dia yang lebih dulu datang,” gumamnya.

Ia menggeleng kecil, seperti tak percaya. “Atau mungkin aku yang terlalu kaku hingga tak peka, kalau selama ini dia menyimpan rasa?”

Langit sore mulai berwarna jingga, namun pikiran Yassir kian berkabut.

“Kalau ia hanya main-main, aku takut kecewa. Tapi jika ia benar-benar sungguh aku takut tak pantas,” lirihnya, menatap arah gerbang tempat Zamara baru saja menghilang.

Hatinya dipenuhi tanda tanya yang tak jua menemukan jawab.

“Ya Allah, beri petunjuk. Jangan biarkan aku menilai dengan prasangka, tapi juga jangan biarkan aku terseret rasa sebelum yakin akan istikharah-Mu,” doanya lirih.

Tak lama, dua sahabatnya mendekat. Ustadz Alif bersedekap, sementara Ustadz Hanan Wiyoko menatap raut wajah Yassir yang tampak gusar.

“Antum masih kepikiran, ya?” tanya Alif, suaranya rendah namun sarat perhatian.

Yassir tak segera menjawab. Ia hanya menarik napas, matanya menatap langit yang mulai meremang.

“Bukan apa-apa, Lif... aku hanya takut salah niat. Takut ditipu oleh perasaan,” ucapnya jujur.

Hanan duduk di sampingnya. “Kalau begitu, mari kita bicarakan di tempat yang lebih tenang. Bagaimana kalau nanti sore kita bertemu di kafe dekat pesantren putri?”

“Setuju,” timpal Alif cepat. “Perkara ini serius perempuan tadi juga masih sangat muda.”

Yassir menoleh, sedikit terkejut dengan kepedulian itu, lalu mengangguk pelan.

“Benar juga...” katanya lirih.

Alif menimpali, “Kita perlu tahu jelas maksud dan tujuannya. Jangan-jangan ia hanya ikut-ikutan atau iseng.”

Hanan menambahkan dengan nada serius, “Lebih penting lagi, kita harus tahu asal usul keluarganya. Zaman sekarang, banyak yang tampak manis di luar, tapi dalamnya penuh rahasia. Na’udzubillah, bisa saja terkait hal berbahaya.”

Raut wajah Yassir berubah serius. Ia sadar, niat baik saja tak cukup. Sebuah langkah besar harus berlandaskan kejelasan.

“Baiklah nanti sore kita bertemu di kafe itu,” katanya mantap.

Alif tersenyum kecil. “Tenang, kami temani. Jika perempuan itu sungguh-sungguh, insyaAllah akan ada petunjuk.”

Hanan menepuk pundaknya. “Kalau tidak, lebih baik kecewa sekarang daripada menyesal seumur hidup.”

Dalam hati, Yassir berdoa, “Ya Rabb, jika ini baik, dekatkanlah. Jika buruk, jauhkan tanpa melukai siapapun.”

Senja kian merunduk. Di kamar sederhananya, Yassir duduk di atas sajadah. Ponselnya tergenggam erat. Ia menatap layar, ragu tapi tak ingin menunda.

Dengan hati-hati ia mengetik nomor Zamara. Jarinya sempat berhenti, sebelum akhirnya menekan tombol hijau. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, tiga kali lalu terjawab oleh suara lembut.

“Halo, ini Zamara...” ucapnya terburu, diiringi suara gaduh samar dari IGD.

“Assalamu’alaikum,” jawab Yassir, suaranya bergetar. “Ini saya, Yassir.”

Di seberang sana, Zamara menahan napas sejenak.

“Wa’alaikumussalam, Pak Ustadz. Maaf, saya di IGD. Ada pasien baru masuk.”

“Oh... iya. Saya tidak mengganggu, kan?” tanyanya cepat.

“Tidak insya Allah. Hanya bolehkah nanti saya hubungi balik? Setelah pasien tertangani?” suaranya lelah, tapi tetap sopan.

“Baik. Saya hanya ingin membicarakan niat yang tadi. Supaya jelas, tanpa ragu,” ujar Yassir hati-hati.

“InsyaAllah, saya juga ingin menjelaskan. Nanti saya kabari,” jawab Zamara.

“Semoga pasiennya diberi kesembuhan.”

“Aamiin. Terima kasih, Pak Ustadz,” balas Zamara, sebelum sambungan terputus.

Yassir menatap ponsel yang kini hening. “Ya Allah... jika dia datang karena Engkau, tuntun aku untuk tidak menyia-nyiakan,” bisiknya.

---

Di ruang ganti rumah sakit, Zamara berdiri di depan cermin kecil. Rambut kusutnya ia rapikan, lalu meraih kerudung warna sage yang lembut. Ia tersenyum kecil, memberi semangat pada bayangan dirinya sendiri.

“Aku harus terlihat segar. Aku harus yakin,” gumamnya.

Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menyingkirkan lelah. Tangannya menyisir jilbab agar rapi. Bibirnya membentuk senyum tipis.

“Aku yang datang duluan, aku juga harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya,” katanya lirih, namun tegas.

Sebelum berangkat, ia sempat bercanda kecil dengan dirinya sendiri. “Aku harus cantik supaya Ustadz ganteng itu nggak berubah pikiran,” ucapnya sambil tersenyum getir.

Langit senja masih menyimpan sisa jingga ketika Zamara melangkah masuk ke kafe. Tangannya sedikit gemetar memegang buket mawar kuning yang ia beli di pinggir jalan. Warnanya cerah, segar, seolah melambangkan keberanian yang baru saja ia putuskan.

Di sudut ruangan, Ustadz Yassir berdiri menunggunya. Rautnya sopan, namun tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat melihat Zamara datang dengan bunga di tangan.

“Assalamu’alaikum...” sapa Zamara, suaranya bergetar.

“Wa’alaikumussalam,” balas Yassir lembut, menarik kursi untuknya.

Zamara duduk perlahan, lalu meletakkan buket di atas meja. “Ini untuk Ustadz,” ucapnya malu-malu.

Yassir menatap bunga itu. “Kenapa mawar kuning?” tanyanya perlahan.

Zamara menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Karena merah untuk cinta, putih untuk ketulusan, dan kuning untuk keberanian yang mungkin terlihat nekat.”

Senyum tipis terbit di bibir Yassir. “Nekat, ya?”

Zamara menunduk, namun matanya tetap berani menatap. “Kalau Ustadz belum siap menerima lamaran saya, saya rela melamar dua kali. Kalau Ustadz masih ragu, saya bisa menunggu. Tapi jangan minta saya berhenti menyimpan rasa.”

Yassir menghela nafas panjang. Tangannya meraih gelas kopi, mencoba menenangkan debaran di dada.

“Zamara... kamu tahu ini bukan hal ringan. Pernikahan bukan sekadar soal suka bukan pula hanya tentang berani datang lebih dulu.”

“Saya tahu, Ustadz,” jawab Zamara lirih, “tapi saya juga tahu perasaan ini bukan sesaat. Saya tidak meminta langsung diterima. Saya hanya meminta kesempatan agar Ustadz yakin bahwa saya bukan sekadar perempuan nekat yang membawa bunga.”

Yassir terdiam. Di hadapannya, duduk seorang perempuan yang datang bukan hanya dengan mawar kuning, tapi juga dengan keberanian dan kejujuran. Dan mungkin itulah yang selama ini ia cari.

Suasana kafe sore itu cukup tenang. Hanya terdengar suara gelas beradu dan percakapan orang-orang yang duduk berjarak. Zamara menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, sementara Ustadz Yassir menatapnya penuh makna.

Belum sempat kata lain terucap, dua sosok mendekat. Ustadz Alif dan Ustadz Hanan datang, wajah mereka serius tapi tetap ramah.

“Assalamu’alaikum,” sapa Ustadz Alif sambil menepuk bahu Yassir.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Yassir singkat.

Zamara berdiri refleks, memberi salam sambil menunduk. “Wa’alaikumussalam, Ustadz.”

Hanan membalas dengan senyum tipis. “Silakan duduk Mbak. Kita ngobrol baik-baik.”

Mereka semua duduk. Suasana agak kikuk, namun tatapan Yassir membuat Zamara sedikit lebih tenang.

Ustadz Alif membuka percakapan. “Tadi kami dengar dari Yassir, kamu datang ke masjid dengan niat melamar dia. Boleh diceritakan, apa yang bikin kamu berani melakukan hal itu?” tanyanya pelan, ujarnya penuh rasa ingin tahu.

Zamara menggenggam erat tangannya di pangkuan. “Saya merasa kalau menunggu terus malah bikin hati saya gelisah. Saya tahu biasanya laki-laki yang melamar, tapi saya takut kesempatan itu hilang kalau saya diam saja,” katanya dengan suara yang masih bergetar.

Hanan menatap lekat. “Berarti kamu sudah siap dengan segala resikonya? Siap dengan pertanyaan orang-orang, bahkan mungkin cibiran?” imbuhnya tegas.

Zamara mengangguk. “Iya, Ustadz. Saya lebih takut kehilangan kesempatan daripada takut omongan orang.”

Yassir hanya menunduk, menahan debar yang terus berlari.

Alif bersandar, lalu menghela napas. “Kamu kerja di mana, Mbak?” tanyanya.

“Saya dokter, Ustadz. Sekarang lagi tugas di rumah sakit kota. Bidang IGD,” jawabnya cepat.

“Dokter ya...” gumam Hanan, nadanya datar tapi matanya menguji. “Kalau kariermu nanti bentrok dengan kehidupan rumah tangga, apa kamu siap mengalah?” tanyanya lagi, menekankan setiap kata.

Zamara menatap ke arah Yassir sebentar, lalu kembali menjawab. “Saya belajar dari pasien saya, Ustadz. Hidup bisa berhenti kapan saja. Jadi buat saya keluarga tetap prioritas. Karier bisa saya sesuaikan, tapi kalau kehilangan orang yang kita sayang, itu tidak bisa diulang,” ucapnya tegas.

Yassir menutup mata sejenak, dadanya makin sesak mendengar kalimat itu.

Alif mencondongkan badan. “Satu hal lagi. Kamu yakin rasa ini bukan karena kagum semata? Ustadz Yassir orang yang disegani. Banyak murid perempuan yang juga simpati padanya. Jangan sampai ini hanya kekaguman sesaat,” ujarnya serius.

Zamara menelan ludah. Ia tersenyum tipis, meski suaranya tetap mantap. “Kagum pasti ada, Ustadz. Tapi kalau hanya kagum, saya nggak akan berani datang. Rasa ini sudah saya simpan lama, sudah saya doakan lama. Saya nekat melamar bukan karena iseng, tapi karena saya yakin,” jawabnya penuh keyakinan.

Hanan menghela napas, lalu menatap Yassir. “Antum dengar sendiri jawabannya. Tinggal sekarang hati antum mau ke mana.”

Yassir terdiam. Tangannya memegang gelas kopi yang sudah dingin. Ia menatap Zamara yang masih duduk tenang dengan mawar kuning di meja.

Dalam hati ia berucap, “Ya Rabb, inikah jawaban dari doa-doaku?”

Bab. 3

Pelayan datang membawa buku menu. Zamara langsung menyambutnya dengan senyum manis dan mata berbinar, seolah hari ini dunia benar-benar berpihak padanya.

“Saya pesan es cokelat sama nasi goreng kampung, ya,” katanya cepat, nyaris tanpa berpikir, seakan tak sabar menyambut momen yang telah lama ia bayangkan.

Matanya lalu melirik ke arah ustadz yang masih diam menatap buket bunga kuning. Wajah lelaki itu seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Ustadz mau pesan apa?” tanyanya sambil menyodorkan buku menu, nada suaranya ringan, tapi ada secercah harap di sana.

Yassir tersentak pelan dari lamunannya, seperti baru tersadar akan keberadaan pelayan dan gadis yang duduk di depannya. “Saya air putih hangat aja, deh, karena udah pesan kopi,” jawabnya singkat, datar, namun tidak dingin.

Zamara tertawa kecil, tawanya seperti semilir angin sore yang menyegarkan. Ia memutar matanya pelan, tak bisa menyembunyikan geli yang tumbuh dari candanya sendiri.

“Yakin cuma air putih? Jangan-jangan takut salah pilih, ya?”

Yassir tersenyum tipis, tapi tak membalas candaan itu. Ia hanya menunduk sedikit, menyembunyikan sesuatu yang mulai tumbuh diam-diam di dadanya.

Setelah pelayan pergi, suasana jadi lebih santai. Zamara menyandarkan punggung ke kursi, tangannya memutar sedotan plastik kecil sambil tersenyum geli sendiri. Pipinya memerah oleh semangat yang tak biasa.

“Ustadz tahu nggak, kenapa saya pesan nasi goreng kampung?” ujarnya sambil menatap lurus ke arah lelaki di depannya.

Yassir menggeleng pelan. “Kenapa tuh?” tanyanya, kini mulai menikmati percakapan ini meski masih menjaga jarak.

“Soalnya saya juga orang kampung. Tapi cita-citanya pengen jadi istri orang yang ilmunya tinggi,” jawabnya polos, tanpa basa-basi, seperti anak kecil yang jujur tentang mimpinya.

Yassir mengerjapkan mata, nyaris tersedak napas sendiri. Ia hanya bisa menunduk, menahan tawa yang nyaris pecah. Mulutnya membentuk senyum yang tak biasa.

Zamara makin semangat melihat reaksi itu. Ia menyandarkan dagu di tangan, lalu berkata pelan, lirih seperti pengakuan, “Ustadz tahu nggak kenapa saya suka bunga kuning?”

“Kenapa lagi tuh?” balas Yassir, mulai terbiasa dengan gombalan aneh tapi jujur itu. Ada sesuatu dari caranya bicara yang tak bisa ia tolak.

“Soalnya kalau saya kasih bunga merah, itu artinya cinta. Tapi kalau yang kuning itu maksudnya saya berharap, walaupun belum tentu diterima, setidaknya diperhatiin,” ujarnya setengah berbisik, matanya redup namun hangat.

Yassir hanya bisa menatapnya, terdiam. Dalam hati, ada gelombang halus yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Gadis ini memang beda. Ada yang aneh, tapi juga tulus. Nekat, tapi bukan tanpa arah.

“Saya tahu, Ustadz pasti kaget. Mungkin juga bingung, kenapa ada perempuan tiba-tiba datang bawa bunga, ngajak nikah pula,” kata Zamara pelan, senyumnya menyusut perlahan.

“Tapi saya cuma pengen jujur. Kalau rasa ini saya pendam terus, bisa-bisa nanti saya nikahnya malah sama yang nggak saya kenal. Hanya karena disuruh atau dipaksa keadaan. Padahal hati saya udah nempel ke Ustadz dari lama,” imbuhnya sambil menatap jendela, seperti berbicara pada bayangannya sendiri.

Yassir meremas jari-jarinya sendiri di bawah meja. Tak tahu harus berkata apa. Tapi yang pasti, perempuan ini baru saja mengubah cara pandangnya dalam waktu singkat. Dan mungkin, jawaban dari doanya selama ini, sedang duduk tepat di depannya.

Belum lama Zamara menyelesaikan gombalannya yang terakhir, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk kafe.

Seorang perempuan muda berhijab rapi, berparas tenang, mendekat ke meja mereka dengan senyum tipis yang sulit ditebak maksudnya.

“Assalamu’alaikum, Ustadz,” sapanya ramah sambil melirik ke arah Zamara.

Yassir berdiri sebentar, menjawab salam, lalu mempersilakan duduk. Zamara pun tersenyum sopan, meski hatinya mulai gelisah melihat cara pandang perempuan itu. Ada gurat cemburu yang disembunyikan dalam tatapan santun.

“Aku nggak ganggu, kan? Soalnya tadi di grup kajian udah ramai kabar kalau Ustadz dilamar dokter muda di depan masjid. Dan ternyata memang bener ya?” ujarnya sambil melirik tajam.

Zamara menegakkan punggung. Ia mencoba tetap tenang meski nada perempuan itu terdengar mengandung sindiran halus.

“Ustadz, maaf, tapi aku cuma khawatir,” ucap perempuan itu sambil memainkan ujung jilbabnya. “Secara, ya dia dokter muda. Karier bagus, masa depan jelas. Tapi kok tiba-tiba nekat melamar? Jangan-jangan ada maksud lain yang belum Ustadz tahu.” ujarnya Aisyah.

Yassir terdiam, matanya bergeser ke arah Zamara yang mulai menunduk, namun tetap tenang.

Zamara mengangkat wajah, senyumnya masih ada, meski jelas terselip getir.

“Kalau saya punya maksud tersembunyi, saya nggak mungkin datang sendirian, Mbak. Saya juga nggak akan kasih bunga dan duduk di sini dengan hati terbuka,” katanya pelan.

Perempuan itu membalas dengan senyum tipis. “Tapi tetap aja, kamu sadar nggak kalau caramu melangkah ini terlalu berani?”

Zamara menatapnya langsung. “Berani bukan berarti nggak sopan. Saya nggak melangkahi siapa-siapa. Saya cuma lebih dulu jujur. Karena jujur lebih baik daripada pura-pura alim tapi penuh niat sembunyi,” ujarnya mantap.

Suasana mendadak sunyi. Hanya suara sendok dan cangkir dari meja lain yang terdengar. Ustadz Yassir akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas.

“Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi setiap orang punya cara masing-masing dalam menyampaikan niat baik. Dan saya belum mengambil keputusan. Saya cuma ingin mengenalnya lebih dalam, bukan menghakimi dari luar.”

Perempuan itu tampak terdiam, lalu mengangguk pelan. Ia berdiri dan pamit dengan kalimat yang tetap terdengar manis, tapi dingin.

Setelah ia pergi, Zamara menatap gelas es cokelatnya yang sudah mencair setengah.

“Nggak papa,” katanya lirih, “Saya sudah siap dengan segala risiko sejak pertama kali melangkah.”

Yassir menatapnya lama. Dalam hatinya, semakin jelas niat gadis ini bukan main-main.

“Kenapa banyak banget halangannya, aku harus melakukan segala cara agar aku jadi menikah dengan ustadz Yassir dalam waktu seminggu dan sisa enam hari dari sekarang,” batinnya Zamara sembari tersenyum simpul.

Di luar kafe, langkah perempuan tadi melambat. Sepatu hak yang dipakainya menjejak pelan di trotoar, namun degup hatinya berlari tak karuan. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya penuh gelisah.

Ia berhenti di dekat mobilnya, menunduk sambil menggigit bibir sendiri. Matanya kembali mengingat senyum Zamara, suara lembutnya, dan keberanian gadis itu yang dengan tenang menyodorkan buket bunga di depan banyak orang.

“Perempuan itu mendahuluiku...” gumamnya lirih, nadanya seperti menusuk diri sendiri.

Tangannya terkepal pelan.

“Sial,” ucapnya pelan, “Kenapa harus dia yang duluan berani?”

Matanya memandang bayangan sendiri di kaca mobil. Refleksi yang kembali mempertanyakan harga dirinya.

“Memang dia cantik, dokter muda pula. Tapi apa cuma karena itu Ustadz Yassir harus goyah?”

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langit yang mulai gelap.

“Aku lebih dulu hadir di tiap kajian. Aku selalu mendukung gerak dakwahnya. Selalu duduk di barisan depan, bahkan kadang bantu urus acara. Tapi kenapa aku cuma jadi penonton?” ujarnya Aisyah getir.

Pundaknya turun perlahan seperti kehilangan daya. Tapi matanya tetap menyala.

“Aku lebih pantas,” bisiknya. “Aku yang seharusnya di sampingnya, bukan dia yang datang tiba-tiba bawa bunga dan kata manis. Aku yang tahu perjuangan Ustadz sejak awal.”

Ia membuka pintu mobil, lalu duduk sambil menunduk. Air mata nyaris jatuh tapi ia tahan.

“Aku nggak akan tinggal diam,” ucapnya mantap, suaranya rendah namun penuh bara. “Kalau dia datang dengan keberanian, aku akan datang dengan pembuktian.”

Zamara masih menatap gelas di depannya, jari-jarinya mengusap lembut embun di sisi kaca. Ia berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya seperti ada duri kecil yang menusuk.

Ia mengangkat wajah, lalu menatap Ustadz Yassir yang terlihat agak bingung.

“Maaf, Ustadz…” katanya pelan.

Yassir menoleh cepat. “Kenapa minta maaf?”

Zamara menarik napas sebentar, lalu menatap lurus, tak ingin bersembunyi di balik senyum lagi.

“Tadi perempuan itu siapa, ya?” tanyanya hati-hati.

Yassir terdiam sesaat, lalu menjawab jujur, “Dia teman lama di komunitas dakwah. Sering bantu di acara kajian, namanya Aisyah Nurhikmah.”

Zamara mengangguk pelan, meski dadanya kembali sesak.

“Kelihatannya dia menyayangi Ustadz,” ujarnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.

Yassir tak langsung menjawab. Ia menyentuh gelas di depannya, lalu berkata dengan suara pelan, “Saya nggak pernah janji apa-apa sama dia. Tapi saya tahu mungkin selama ini dia punya rasa yang nggak pernah diungkap.”

Zamara mengangguk sekali lagi. Kali ini lebih tenang. “Saya ngerti, Ustadz.”

Ia menghela napas panjang. “Saya nggak datang untuk rebut siapa-siapa. Saya cuma pengen jujur. Kalau ternyata saya datangnya telat, ya itu risiko. Tapi kalau Ustadz ragu karena perempuan tadi saya rela mundur,” ujarnya, kali ini suaranya lebih berat.

Yassir menatapnya lama. Sorot mata Zamara bukan sekadar keberanian. Tapi ketulusan yang tidak minta dikasihani.

“Zamara, saya belum ambil keputusan. Tapi yang saya tahu, kamu datang bukan dengan cara biasa. Dan itu membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal,” katanya perlahan.

Zamara tersenyum kecil. “Mungkin ini memang bukan soal siapa duluan datang. Tapi siapa yang paling tulus menunggu.”

Ustadz Yassir menunduk. Tangannya menggenggam kuat gelas yang belum disentuh sejak tadi.

Beberapa detik seolah jadi menit yang panjang. Hingga akhirnya ia bersuara, pelan tapi mantap.

"Aku belum tahu jawabannya sekarang, tapi aku nggak mau nolak kamu. Karena aku lihat ada cahaya dalam niatmu. Dan aku mau jalanin proses ini dengan serius, pelan-pelan tapi insya Allah, aku setuju untuk kenal kamu lebih jauh sebagai calon istri, bukan sekadar pasien yang jatuh hati pada ustadznya."

Zamara menahan napasnya. “Berarti aku nggak ditolak?” bisiknya.

Yassir menggeleng. “Justru aku menghargai keberanianmu. Tapi kita jalanin sesuai porsinya. Biar Allah yang tuntun.”

Zamara menyeka sudut matanya.

“Kalau begitu boleh nggak aku anggap ini kayak bunga kuning yang diterima balik?”

Yassir tersenyum. “Kalau gitu aku simpan bunganya, kamu simpan doanya.”

Sebelum berpisah, ustadz Yassir berkata, “Datanglah ke alamat yang pernah aku berikan, aku pasti akan menjawabnya malam ini.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!