NovelToon NovelToon

Bu Guru, I Love You

Di Putusin Pak Kepala Sekolah

Malam kian berlalu, suara Katak saling bersautan, suara burung hantu sayub-sayub terdengar dari kebun kosong di ujung desa. Udara dingin masih setia menyelimuti malam di desa Karangwuni, sebuah desa yang asri, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Rintik hujan sesekali masih terasa, dan genangan air di beberapa titik masih menyisakan cipratan bekas orang lewat.

Malam ini, Seorang gadis tampak duduk termenung di balik jendela kamarnya. Dia menatap langit yang tak berbintang dan tak nampak rembulan. Tatapan sayu jelas tersirat dari kedua matanya. Tak seperti biasanya, gadis itu selalu energik meski malam sudah mencapai puncaknya. Kini dia hanya duduk termangu, tanpa semangat menggebu.

"Maaf, tapi aku harus menuruti keinginan ibu bapakku." kata itu kembali terngiang di telinga, setelah beberapa hari yang lalu dia dengar dari lisan yang biasanya membisikkan kata-kata manis kepadanya.

Kata itu sederhana, tetapi bagai peluru yang menghujam dada kirinya. Nyeri rasanya, tetapi tak ada bekas luka yang bisa diperban di sana. Berdarah-darah rasanya, tapi tak ada setetes darahpun yang keluar dari tubuhnya. Ingin di lupa, tetapi tak kuasa. Kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan, tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalani sebuah hubungan. Tertatih-tatih mereka lalui bersama demi satu impian dan cita. Namun justru kandas, berakhir luka.

"Belum tidur, Nduk?" tanya pak Sabari, Orang tua tunggal Diajeng.

"Eh, Belum pak." jawab Diajeng singkat saja.

Pak Sabari menyapu pandang kamar putrinya. Biasanya di meja depan tempat putrinya duduk ini, ada sebuah layar leptop yang menyala, dan beberapa lembar kertas berserakan di seluruh meja, bahkan di ranjangnya. Belum lagi, dengan beberapa tumpukan cangkir yang lupa belum sempat Diajeng kembalikan ke dapur, serta beberapa toples camilan yang terbuka.

Namun tidak dengan malam ini, kamar ini bersih, dan sepi. Semua tertata rapi, hanya ada satu tempat sampah berisi beberapa tisu yang sudah kumal karena bekas dipakai.

"Apakah ada masalah di Sekolahan?" tanya pak Sabari lagi, mencoba meraba permasalahan putrinya yang membuat dirinya berbeda.

"Alhamdulillah, tidak ada pak. Aman." kata Diajeng berusaha menutupi hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Karena sejak kecil, Diajeng sangat jarang bercerita dengan bapaknya. Dia lebih dekat dengan Kakak-kakaknya yang sudah lebih dulu menikah. Dan kini, Diajeng tinggal sendiri bersama bapak, karena ibu pun sudah tiada.

"Ya wis kalau begitu. Hari sudah semakin malam, tidak baik udara malam masuk ke dalam kamarmu. Sebaiknya, jendelanya segera ditutup, dan segera istirahat. Besok kamu mengajar to?" tanya pak Sabari, Yang masih menyimpan tanya tentang anaknya.

"Iya pak. Siap." jawab Diajeng, sambil berdiri dan menarik daun jendela untuk ditutupnya.

"Bapak mau dibuatkan wedang jahe apa kopi?" tanya Diajeng. Itu adalah kebiasaan mendiang ibunya disetiap malam, sebelum bapak hendak tidur.

"Tidak usah nduk, tadi bapak abis dari kumpulan, sudah dapat minum wedang ronde di rumah pak RT." jawab pak Sabari.

"Oh, ya pak. Alhamdulillah."

"Ya wis, bapak keluar yo. Jaga dirimu baik-baik, jangan begadang lagi yo." pesan pak Sabari yang selalu dilanggar Diajeng, terutama di akhir tahun ajaran baru dan di setiap dead line pengerjaan kurikulum dan lainnya.

"Njih pak." jawan Diajeng berusaha tetap tegar, meski tak terlalu tegar.

Sepeninggal bapaknya, Diajeng segera melemparkan tubuhnya di ranjang yang dilapisi kasur busa pemberian bapaknya di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Saat kamar ini resmi dijadikan kamar tidur Diajeng Rahayu, anak putri satu-satunya bapak Sabari.

Diajeng berusaha memejamkan mata, tetapi ucapan bapak kepala sekolahnya masih saja mengusik ketenangan hatinya.

"Aku harus menikahinya, Jeng. Kita harus sudahi hubungan ini." kata kepala sekolah itu lagi, ketika jam makan siang beberapa hari yang lalu.

"Lalu, bagaimana dengan perasaanku mas? Bagaimana dengan mimpi mimpi yang sudah kita bangun bersama selama tujuh tahun ini?" protes Diajeng dengan linangan air matanya.

"Ya... sudah. Kita lupakan saja mimpi mimpi itu." jawab kepala sekolah terasa ringan, meski sebenarnya berat untuk di lontarkan.

Sekilas memori kejadian beberapa hari yang lalu muncul di pelupuk mata Diajeng.

"Astaghfirullah." desis Diajeng sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

Diajeng kemudian beranjak dari ranjang, kemudia berjalan menuju Kamar mandi untuk membasuh muka dan mengambil air wudlu. Setelah itu, Diajeng berbaring kembali ke kamarnya, mendirikan dua rakaat sholat sunnah, kemudian berdoa lalu kembali berbaring di ranjang, dengan berteman guling, karena beberapa boneka pemberian kepala sekolah itu dia buang ke gudang.

❤❤❤

Keesokan harinya, Diajeng duduk di kursi kerjanya yang tidak jauh dari kursi kerja Kepala sekolah bernama Adnan Heriyanto, S.Pd, M.Pd.

Biasanya keduanya akan saling lempar senyum, saling bercanda dan bertukar pikiran untuk program sekolah serta mengerjakan beberapa pekerjaan kedinasan yang harus dikerjakan bersama.

Namun tidak untuk hari ini, sepagi tadi suasana tampak sepi, keduanya tampak dingin dan tidak ada lagi sapaan hangat diantara keduanya. Meski begitu, Diajeng berusaha tetap profesional dalam bekerja, dan tetap fokus dengan tugas-tugasnya selaku wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.

"Maaf bu, ini tolong di edit ya." kata Adnan bersikap kaku dihadapan Diajeng saat menyerahkan beberapa lembar laporan kedinasan.

Tanpa kata, Diajeng hanya menerima lembaran itu dan menganggukan kepala. Rasanya dada Diajeng masih sesak, dan lisannya masih kaku untuk berucap.

Beginikah rasanya sakit hati karena mau ditinggal rabi? Entahlah. Tapi dulu Author pernah ngerasain juga sih, pinginnya emosi aja. kalau Reader gimana? jawab di kolom komentar yes.

❤❤❤

Alhamdulillah, setelah sekian purnama tidak membuat karya, kali ini Dede Dewi memulai kembali dengan mengangkat cerita tentang guru. Yaitu berita yang lagi viral akhir-akhir ini, bahwa guru beban negara. Bagaimana menurut reader, apakah guru itu memang beban negara?

Surat Undangan

POV : Diajeng

Namaku Diajeng Rahayu, aku anak dari seorang pedagang batik di pasar Klewer. Sedangkan ibu ku dulu seorang sinden karawitan. Namun, karena sebuah kecelakaan, ibuku meninggal. Sedangkan kedua kakakku sudah pada menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Kedua kakakku laki-laki, aku anak perempuan sendiri dikeluarga kecil bapak. Kedua kakakku sudah seperti anak kembar, karena usia mereka tidak jauh beda, hanya selisih satu tahun, membuat mereka kakak beradik tapi berasa teman.

Kakak pertamaku sudah menikah saat lulus Sarjana, dan mengikuti istrinya yang menjadi anak tunggal. Dia pun tinggal dan menetap di Lampung. Sedangkan kakak keduaku menikah belum lama ini, dia menikah tepat di hari ulang tahunku yang ke 27. Dia menikah dengan gadis Jakarta, anak seorang pengusaha kain batik di sana. Sehingga kakakku yang kedua juga mengikuti istrinya untuk tinggal di rumah mewah di pusat kota. Karena istrinya tidak terbiasa dengan kehidupan kampung, meskipun sebenarnya dia bisa, tetapi kakakku tak tega, lagipula kakakku juga bertugas di sana.

Semenjak hanya tinggal dengan bapak, aku jadi fokus pada bapak, dan fokus pada karierku. Karena bapak adalah seorang pedagang yang kerja keras, beliau jarang ada di rumah, kecuali kalau malam. Sehingga sedikit sekali waktuku bersama bapak sejak kecil. Karena aku juga bukan tipe anak rumahan, maka aku juga jarang di rumah. Aku suka mengikuti banyak kegiatan di luar rumah, seperti mengikuti organisasi, komunitas dan lainnya.

Karena kesepian, aku mencari sandaran hati sejak SMP. Aku tipe gadis yang setia, seumurku ini, aku berpacaran hanya 2 kali. Dengan waktu yang bisa dibilang lama. Pacarku waktu SMP kelas 3, bisa bertahan sampai kami Lulus SMA. Putusnya juga karena kami mulai LDR, karena dia harus kuliah ke luar kota. Dan akhirnya, dia menemukan kenyamanan di sana dengan wanita lain.

Pacarku yang kedua, adalah dia yang kini menjabat sebagai kepala sekolahku di tempat aku mengajar sekarang. Dia kakak tingkatku di bangku kuliah, kami saling kenal di Organisasi Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, atau kalau anak mahasiswa menyebutnya sebagai BEM. Dia presiden mahasiswa, dan akulah sekretarisnya. Karena seringnya komunikasi dan bertatap muka. akhirnya witing tresno jalaran soko kulino. Akupun menjadi target percintaannya, dan kami resmi jadian di bulan Oktober, tepat disaat kami mengurusi perkemahan mahasiswa baru.

Tiga tahun perjalanan cinta kami, sekalipun dia telah lulus satu tahun lebih dulu dariku, tetapi aku dan dia masih menjalin hubungan baik. Diapun melanjutkan study S2 nya di kampus yang sama denganku, sehingga kami masih bisa selalu bersama. Hingga dia direkrut menjadi seorang guru di salah satu yayasan milik saudaranya, akupun masih setia bersamanya. Bahkan, disaat aku PPL dan Penelitian, dia menawarkan sekolahannya untuk dijadikan objekku saat itu. Dengan senang hati aku menerimanya.

Berkat bimbingan darinya, akupun bisa lulus sarjana dengan nilai baik, dan bisa mendapatkan beasiswa S2, di kampus swasta yang lain. Kami sama-sama menjalani pendidikan S2, dan kami saling bantu untuk mengerjakan tesis, dan diapun lulus dengan nilai baik. Tak menunggu waktu lama, dia dipercaya untuk menjadi wakil kepala sekolah disana.

Setelah lulus S1, aku ditawarinya untuk bergabung di sekolahannya, sambil menjalankan kuliah S2 ku. Setelah lulus S2, aku langsung diangkat menjadi pegawai tetap di sekolahan dengan tetap berusaha profesional meski kami ada hubungan khusus.

Menjalani hari-hari bersama di sekolah yang sama, dan sering bersama membuatku merasa nyaman dengannya dan termanjakan olehnya. Merasa aku butuh dia banget, dan ga tau aku bakal bisa bertahan tidak jika tanpa dia.

"Ajeng." sapaan yang sudah beberapa hari tak kudapati, hari ini telah menyapaku kembali. Tetapi tidak dengan panggilan dek, ataupun sayang. Ku kuatkan kepalaku menoleh ke arahnya, dan bersitatap dengannya yang berwajah datar, lebih condong ke dingin.

"Saya harap, kamu bisa hadir." katanya sambil menyodorkan sebuah kertas bercorak bertuliskan dua nama tertulis indah di sampul depan.

"Adnan dan Mika" batinku saat menatap kertas undangan pernikahan yang masih berada di tangan kanan pria yang dulu mewarnai hari-hariku.

Tanpa kata, ku terima undangan itu, dan hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban atas permintaannya. Suaraku tercekat di kerongkongan, darahku berdesir hangat di seluruh tubuh. Kepala mendadak memanas, hingga membuat ujung mataku ingin mengeluarkan sesuatu dari dalamnya, namun sebisa mungkin kutahan.

"Saya permisi." katanya lagi setelah undangan berhasil berpindah tangan ke tanganku.

Aku terpaku, menatap undangan itu, masih tak percaya. Ingin ku sobek undangan itu di tempatku duduk kini, tetapi aku masih punya etika. Aku berusaha menahan gejolak dalam dadaku, hingga tak bisa kupungkiri, tanganku spontan meninju angin. Ingin mengamuk, tetapi kepada siapa. Akhirnya kuputuskan mengungsi ke kamar mandi, tidak untuk mencari lawan, tetapi karena perutku terasa mules karena masih shok atas undangan yang kuterima tadi.

Setelah bel perpulangan berbunyi, aku segera meraih tasku, dan membereskan segala berkasku di meja. Aku berjalan terburu sambil memberi kabar pada sahabatku, untuk mengajaknya makan siang bersama.

"What?" Suara Diana menggelegar di separo ruangan rumah makan tempat kami mengisi amunisi yang tak jauh dari kampus tempatku nyambi menjadi dosen di sana.

"Ini, serius, Jeng?" tanya Diana lagi masih tak percaya dengan undangan yang belum lama kuterima dari mantan kekasihku.

Aku hanya mengangguk sambil terus mengeluarkan kristal dari kedua bola mataku yang semakin sayu dan bengkak, karena sejak tadi menangis. Kedua tanganku sibuk mengusap ingus bening yang tak kunjung bersih dari kedua lubang hidungku.

"Fix, kalau ini sih, kamu kudu hadir ke sana, Jeng." kata Diana dengan menggebu gebu, tangan di lipat di pinggangnya yang awet ramping sekalipun sudah melahirkan dua jagoan.

"Tapi aku ga sanggup, Di. Lihat undangannya aja aku udah lemes, apalagi lihat mereka bersanding, hiks hiks." jawabku masih dengan sisa sisa tangis yang menyebalkan.

"Bisa, kamu harus bisa Jeng. Pokoknya kamu harus datang, sukur sukur kamu ga sendiri." kata Diana.

"Maksudmu?"

"Kamu harus berangkat ke acara itu, bersama kekasih barumu." usul Diana.

"Kamu nih, ngawur! Selama ini aku ga pernah deket sama cowok, masa tau tau jalan sama cowok?" protes Diajeng.

"Coba aja dulu." kata Diana terus optimis.

Kalau Aku Jadi Pelakor?

"Enak aja, hatiku bukan buat mainan kali, main coba-coba." gerutu Diajeng sambil memainkan sedotan pada gelas berisi orange jus yang terasa asam, seasam jalan takdirnya kini.

"Hehehe, ya gini lho Jeng..." kata Diana sambil membenarkan posisi duduknya.

Melihat gerakan Diana yang membuat Diajeng penasaran, membuat Diajeng menggeser gelas berisi orange jus nya, dan melipat kedua tangannya dia tas meja bersedekap, seperti murid mendengarkan petuah gurunya.

"Nah, duduk yang baik begitu, kan kelihatan cantik." komentar Diana yang sempat membuat Diajeng manyun dibuatnya.

"Jadi kamu tetap berangkat nih ke acara nikahannya. Nah, siapa tau entar kamu dapet gandengan dari arah yang tak disangka-sangka." jelas Diana membuat Diajeng melongo. Sahabatnya sejak SMP ini memang kadang membuat Diajeng gemes dengan segala saran yang kadang justru ga masuk akal bagi Diajeng.

"Ngarep! Jaman sekarang mana ada yang begitu? Yang datang dari arah yang tak disangka-sangka, jangan-jangan malah jin lagi." komentar Diajeng.

"Hahahaha, lha kamu kan emang kaya jin, sukanya ngilang." jawab Diana yang mengetahui kebiasaan Diajeng yang tanpa suara tiba-tiba tidak ada di tempat.

"Dasar!" rutuk Diajeng sambil berfikir, bagaimana caranya dia bisa berangkat ke acara pernikahan Adnan dengan aman sentosa.

"Ehm... apa aku ajak bapak aja ya?" gumam Diajeng akhirnya.

"Lah? Kok jadi bawa bapakmu sih? Entar dikira kondangan ke hajatan sodara lagi." lontar Diana.

"Biasanya juga gitu kok." kata Diajeng sambil menyeruput orange jusnya yang sudah tinggal separo gelas.

"Itu kan biasanya, Ajeng... ini luar biasa, Jeng. Mantan pacar kamu yang nikah, Ajeng..." Diana makin gemes sama sahabatnya yang jadi anak bapak atu-atunya itu.

"Emang, bapak kamu udah tau kalau kalian udah putus?" tanya Diana.

"Belum." singkat jawaban Diajeng sambil menggeleng lemah.

"Nah! Apalagi itu, bapak kamu ga tau. Apa jadinya kalau bapak kamu tau, Adnan ijab qobul nya sama perempuan lain?"

"Ya... kan aku berharap kaya di Novel-novel gitu, atau di FTV, atau di Drakor gitu... yang tadinya mau nikah sama yang dijodohin orangtuanya, eh, tiba-tiba si cowok ga jadi. Malah milih mantannya. Kan kalau begitu, pas banget, bapakku bisa langsung jadi wali nikah." jelas Diajang yang membuat Diana geleng-geleng dibuatnya.

Diana menempelkan punggung tangannya ke kening Diajeng.

"Hm... bener. Anget!" kata Diana berdehem sambil mencibir.

"Ish, ya emang badanku udah meriang dari kemarin-kemarin kali. Merindukan kasih sayang. Gegara ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." kata Diajeng sambil menepis tangan Diana.

"Kamu ni Halu deh, Jeng. Dasar, korban novel!" keluh Diana.

"Hehehe... gapapa kan? Daripada korban pelecehan?" tanya Diajeng semakin asal.

"Astaghfirullah, Ajeng!" tegur Diana.

"Hehe, just kid."

"Lha siapa coba? Kamu 'kan tau, aku tu ga pernah punya temen cowok. Cowok yang deket sama aku ya cuma Adnan doang. Temen-temennya Adnan, tentu udah sama pasangan mereka masing-masing." kata Diajeng dengan lesu.

"Ehm, kenapa ga sama kamu aja sih? Ga harus sama cowok kan?" kata Diajeng tiba-tiba.

"Enak aja. Besok minggu aku ada acara sama suami. Dampingi suami ke Bromo." kata Diana.

"Oiya, temen-temen kerja suamimu, banyak ceweknya juga sih ya?"

"Iya. Itu dia, makannya aku harus ikut."

"Takut ditikung sama pelakor ya?" tebak Diajeng.

"Ya...begitulah."

"Ehm... be te we, kalau aku jadi pelakor antara Adnan sama Mika gitu, gimana ya?" pertanyaan konyol terlontar dari mulut Diajeng, membuat Diana semakin membulatkan matanya karena masih tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya yang terkenal cerdas dan jenius itu.

"Gila kamu ya? Makin ke sini kenapa makin ke sana sih Jeng? Istighfar, Jeng, Istighfar!" pekik Diana hingga membuat beberpa pelanggan terkejut hingga menoleh ke arah mereka, bahkan cicak di dinding yang diam-diam merayap pun, tak jadi menangkap nyamuk, saking kagetnya mendengar pekikan Diana.

Diajeng sempat melongo juga melihat reaksi Diana saat dia berniat menjadi pelakor diantara Adnan dan Mika.

"Ya...sorry deh, sorry. Ya abis gimana? Aku masih cinta sama Adnan. Aku kaya ga rela hoti Adnan tiba-tiba nikahin cewek lain. Dia ninggalin aku gitu aja demi nurutin kemauan ortunya, Di." kata Diajeng sambil mulai berembun matanya.

"Ya tapi jangan bercita-cita jadi pelakor juga kali, Jeng. Pamali!" kata Diana memberi nasehat.

"Tujuh tahun lho Di, Tujuh tahun aku sama dia. Kita sama-sama terus. Selama berproses, aku berusaha dampingi dia terus, berusaha menjadi kekasih yang baik buat dia sampai ajal memisahkan kita. Tapi apa? Sekarang diaa justru menghapus semua kenangan itu dengan menuruti kemauan orang tuanya." keluh Diajeng sambil menangis hingga kedua lubang hidunya sedari tadi sudah mengeluarkan ingus yang cukup banyak, tetapi cukup di lap lengan baju.

"Iyuh...Ajeng..." jerit Diana lagi.

"Aaan sih Di?"

"Pake tisu ngapa sih Jeng. Jorok amat sih kamu, ngelap ingus pake lengan baju." omel Diana sambil menyaut kotak tisu di meja sebelah.

"Gapapa. Adnan juga ga tau."

"Adnan lagi, Adnan lagi." gumam Diajeng gemas.

"Ini nih, yang buat calon mertua kamu ilfeel sama kamu. Pasti karena kamu suka ngelap ingus pake lengan baju deh." omel Diana.

"Ehm... masa' sih? Bukan karena aku suka makan jengkol?" tanya Diajeng heran.

"Ya... itu juga."

"Oya, ayo kita makan dulu, keburu dingin ni nasi. Abis ini aku langsung balik ya." kata Diana.

"Okey, aku juga udah laper."

"Oya, be te we, di Nay kenapa ga diajak sih?" Diajeng menanyakan Nayla anak bungsu Diana, karena biasanya kalau mereka ketemuan, si comel Nayla dibawa.

"Sengaja. Aku titipin omanya dulu. Karena aku tai, kamu bakal curhat banyak. Kalau aku sambil bawa si Nay, yang ada bukannya kamu curhat, malah kamu jadi baby sister." jawab Diana sambil memasukkan satu suapan nasi dan nila bakar di piringnya.

"Iya juga ya?"

"Dah, pokoknya kamu los aja. Besok berangkat ke pernikahan dia dengan kondisi kuat. Ga boleh lemah, aku ga suka kalau lihat kamu nangis-nangis meratapi nasib yang ga udah jelas garis takdirnya." kata Diana.

"Iya iya. Besok aku datang. Pas ijab qobul!" kata Diajeng memberi penekanan pada kata Ijab Qobul.

"Lah? Ga diresepsinya aja? kan bisa dapet sop manten." kata Diana.

"Ya... gampang lah, yang penting waktu ijab qobul aku datang."

"Masih berharap kaya di novel-novel? Datang keajaiban, Adnan nyebut nama kamu diijab qobulnya?" tanya Diana.

"He'em." jawab Diajeng sambil memasukkan nasi dan potongan ikan Nila ke dalam mulutnya.

Diana hanya geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Diajeng.

"Emang orang kalau lagi putus cinta tu, kadang suka Sedeng ya?" kata Diana.

❤❤❤❤❤

Buat reader, semoga kita dijauhkan dari kata pelakor ya. karena pelakor itu maut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!