NovelToon NovelToon

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Bab 1 - MASKER

Titik kecil nyala api pada ujung obat nyamuk bakar yang tinggal separuh tampak membesar saat angin malam yang dingin berhembus perlahan. Asapnya mengepul memenuhi hampir setiap sudut ruang tidurku. Membentuk siluet – siluet aneh tak beraturan meski hanya sepersekian detik, semuanya tak luput dari pandangan mataku yang berat, lengket dan perih karena rasa kantuk yang mendera sejak pukul 22:00 malam tadi. Banyak orang yang mengatakan, obat nyamuk bakar hendaknya diletakkan saja di halaman luar karena mengandung pestisida / racun.

Bagiku masa bodoh, daripada membiarkan nyamuk menggigiti sekujur badanku dan memasukkan racun di seluruh urat nadi dan jalan darahku, obat nyamuk bakar masih mampu mengendalikan jumlah nyamuk yang berkembang biak di kota kelahiranku ini, Lumajang, terlebih di saat – saat musim panas begini. Bukan berarti kota atau rumahku yang kotor, tapi, nyamuk bisa saja berdatangan dari berbagai penjuru kota. Dulu, kota ini jumlah nyamuk tak sebanyak ini, tapi, karena banyaknya pendatang dan memiliki pola hidup yang tidak sehat alias kesadaran akan kebersihan kurang, itulah yang memacu perkembang biakan serangga-serangga penghisap darah itu.

Entah mengapa malam ini aku begitu gelisah. Biasanya, sebelum jam sepuluh lewat, kubiarkan diri ini terbuai dan mengembara di alam mimpi. Tak ada yang bisa membangunkanku sekalipun suara – suara berisik ataupun dunia dilanda gempa bumi. Keterlaluan memang. Tapi itulah diriku. Sekali tertidur, maka, aku tak akan mendengar apapun dan akan terbangun tepat pada waktunya, saat fajar mulai menyingsing atau saat air dingin mengguyur tubuhku. Kegelisahan mencapai puncaknya saat jam dinding menunjukkan pukul 22:30. Sial ! Sudah setengah jam tubuhku bolak – balik di tempat tidur, sekalipun kucoba memejamkan mata, tidak juga terlelap. Bisa – bisa aku bangun kesiangan dan Pak Hasan, wali kelasku memberiku hukuman sepanjang jam pelajaran IPA-nya. Ada apa ini ! aku mengomel seorang diri.

Tampaknya tak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekalipun sepasang mata ini terasa berat namun, aku bisa merasakan perubahan hawa di ruang kamarku juga pergerakan aneh pada asap obat nyamuk. Asap – asap tersebut membentuk sesosok tubuh seorang wanita. Berambut hitam, kusut, dibiarkan tergerai menutupi wajahnya yang tertunduk. Udara seketika mendadak berubah, terkadang dingin terkadang pula panas. Yah, sosok itu berdiri tepat di sudut ruangan. Diam bagaikan arca batu. Aku membelalakkan mataku, seumur hidup baru pertama kali ini ada sosok aneh mendatangiku.

“Siapa kau ?” tanyaku.

Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, sosok itu perlahan–lahan mengangkat kepala. Tampak olehku dari sela – sela rambutnya yang hitam panjang, kusut yang dibiarkan tergerai menutupi wajahnya sebuah sinar merah menyala menyorot ke arahku. Detik berikut dalam satu kedipan mata sosok itu sudah berdiri lebih kurang satu meter di hadapanku, kedipan mata kedua ia tepat berada di hidungku. Aku tersentak, wajahnya penuh ulat belatung, cacing dan serangga serta hewan melata merayap, bergerak–gerak menyembul keluar dari kulit pucat yang membungkus tulang. Aroma busuk menggelitik kedua lubang hidungku, membuat seisi perutku bergolak naik tak terkendali menuju ke rongga dada dan tenggorokanku lalu, ‘Hhooeekk !!’ aku muntah dan tumpah ruah membasahi lantai kamar tidurku.

Tidak berhenti sampai disitu saja, sosok itu membuka mulutnya, ia berteriak dengan suara parau, menyakitkan gendang telinga juga kepalaku. Dari dalam mulut itu keluar sekerumunan lalat, lebah dan serangga – serangga menjijikkan, semuanya menyerang ke arah wajahku. Aku lepas kendali, kedua telapak tanganku buru – buru menutupi wajahku, seumur hidup, aku memang jijik bercampur ngeri apabila kulitku tersentuh serangga seperti lalat dan sejenisnya, juga hewan melata. Aku berteriak ketakutan sambil terus melindungi wajahku sambil berlari menjauh.

Aku terus berlari, hingga tanpa sadar tiba di sebuah tempat yang sangat asing. Sebuah tanah lapang yang cukup luas, batu – batu nisan berserakan di berbagai penjuru. Aku berada di tanah pemakaman. Sebentar ... sejak kapan aku berada disini, bukankah aku tadi berada di kamar tidurku ? Ini adalah tanah pemakaman yang cukup kuno, mungkin sebelum aku lahir dan hampir semua bentuk batu nisan terkesan megah dan indah. Kebanyakan berarsitek Belanda. Mataku terbelalak lebar manakala tertuju pada sebuah batu nisan dengan dihiasi sebuah patung malaikat cilik, bentuknya seperti hidup dan nama ‘ARIMBI VAN GIELS’ tertera pada batu nisan tersebut. Itu adalah namaku.

Di sebelah kanan kiri batu nisanku terdapat pula batu nisan lain dan semuanya menjadi satu dengan KELUARGA VAN GIELS. Ronald Van Giels dan Mariam Van Giels serta Robert Van Giels, dan Stephanie Van Giels adik kedua dan ketigaku. Berarti ini adalah makam keluargaku. “Tidak mungkin ! Bukankah keluargaku sampai saat ini baik – baik saja,” kataku dalam hati.

Aku jatuh terduduk, menangis sejadi – jadinya. Tapi, tangisku berhenti manakala kulihat ada sesosok tubuh berdiri pada salah satu rimbunan pohon kamboja yang tumbuh lebat di sisi kanan kiri makam keluarga. Sosok wanita berbaju hijau, bertubuh ramping dan memiliki tinggi sekitar 170 cm. Sebagian wajahnya tertutup oleh bayangan payung. Rambutnya panjang berwarna coklat kehitaman, berombak tergerai sebagian dibiarkan menutupi bahu kiri dan kanan-nya yang bidang. Dia tampak begitu anggun, “I ... Ibu,” gumamku lirih.

Wanita berpayung hijau itu mengangkat kepala. Sepasang matanya beradu pandang dengan sepasang mataku. Aku tercekat. Sepasang bola matanya berwarna coklat, tenang dan lembut tapi, ada kilatan cahaya tajam memancar di dalamnya. Ia tersenyum lembut dan ramah, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Senyum menyejukkan bagi siapapun yang memandangnya. Dia bukan ibuku, tapi, senyumnya terkesan hangat dan sangat familiar. Siapa dia ?

Bagaikan didorong oleh sebuah kekuatan magis, kakiku bergerak dengan sendirinya, berjalan mendekati wanita itu.

Selesai menutup payungnya, wanita itu merentangkan kedua lengannya, sementara aku kian mengikis jarakku dengannya.

Semakin lama semakin dekat dan akhirnya kubenamkan diriku dalam pelukkannya. Nyaman sekali rasanya, hingga tak ingin lagi melepas pelukan hangat dan lembut seperti ini. Untuk sesaat lamanya, aku memanjakan diriku dalam pelukan wanita berbaju hijau itu. Selama ini jarang aku merasakan pelukan sehangat, senyaman dan seaman itu.

“Siapakah kau ? Mengapa kau serasa begitu dekat sekali denganku ?” tanyaku.

Tak ada jawaban. Wanita itu hanya mengelus lembut kepala dan punggungku, menambah rasa aman dan nyaman yang ada dalam diri ini. Perlahan – lahan aku tengadah, memandang wajah wanita itu. Kulitnya yang seputih salju begitu halus dan kencang, tak ada garis – garis ketuaan disana, dia begitu cantik sekali. Tanpa sadar aku memberanikan diri menyentuh pipinya yang tembem dan ranum bagaikan buah mangga yang baru masak, dia begitu cantik sekali. Ada kemiripan wajahnya dengan wajahku, tapi, tak sehalus dan secantik itu. Jika boleh berharap, saat usiaku mencapai kepala 5, aku ingin wajahku tetap semulus dan sekencang itu.

Tetapi, mataku kembali terbelalak saat wanita itu mempererat pelukannya. Begitu erat sekali hingga aku tak bisa bernafas dan kesakitan, “Aduh, sakit ! Apa yang kau lakukan ? Sakit ! Lepaskan !!” teriakku sambil meronta berusaha melepaskan diri. Pelukan itu makin kencang, tak ada lagi kelembutan, kehangatan dan kenyamanan berubah menjadi kasar. Ada hawa jahat dam pembunuh yang cukup besar.

Di saat aku meronta – ronta hendak melepaskan pelukannya, mendadak kulit pada wajah wanita itu perlahan – lahan terkelupas. Sepasang matanya basah oleh air mata yang berwarna merah, ia menangis darah. Aroma busuk kembali tercium, perut kembali mual. Bunga – bunga kamboja yang semula tampak mekar dan indah mendadak layu, menghitam dan tercerai berai ditiup oleh angin yang tiba–tiba berhembus kencang. Wanita itu terus memelukku dengan erat, aku benar–benar kesakitan, hingga akhirnya daging pada wajahnya pun ikut tercerai berai. Semuanya menghilang digantikan dengan debu – debu beterbangan dipermainkan oleh angin.

Seiring dengan menghilangnya tubuh wanita itu, barulah aku bisa bergerak bebas dan menarik nafas lega. Hanya sesaat sebelum kurasakan cengkeraman kuat memegang pergelangan kaki kanan – kiriku. Aku melolong panjang manakala terdengar bunyi seperti daging terkoyak dan benda tajam menembus betis kakiku. Benda itu ternyata berbentuk jari – jari tangan yang berkuku panjang dan runcing. Jari – jari yang hanya tulang dibungkus dengan kulit. Aku berteriak kesakitan bercampur ngeri. Berontak akan memperparah luka tersebut. Aku terus berteriak, berteriak kencang hingga akhirnya, semuanya menjadi gelap. Gelap gulita bagaikan malam tanpa cahaya bintang dan rembulan.

Entah berapa lama aku berkutat dengan kegelapan di sekitarku, saat sadar aku mendapatkan tubuhku terbaring di sebuah ruangan yang cukup familiar denganku. Kamar tidurku. Aku ternyata bermimpi, tapi, serasa nyata. Rasa sakit di pergelangan kakiku pun masih terasa dan saat kuperiksa, tak ada luka yang berarti. Mimpi sialan, dengusku sambil menatap jam dinding di kamarku. Pukul 04:30, menyedihkan sekali harus bangun di saat liburan seperti ini, seandainya ini adalah hari dimana aku harus disibukkan dengan urusan sekolah, mungkin aku akan segera bergegas menuju kamar mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Tapi, apa yang bisa kulakukan saat libur seperti ini. Terus terang saja, aku adalah tergolong wanita yang malas dengan rutinitas sehari – hari seperti sekolah atau mengerjakan urusan rumah tangga : mencuci, membersihkan tempat tidur dan lain sebagainya seperti yang dilakukan oleh kawan – kawan alim seusiaku. Aku bukanlah tergolong anak yang patuh pada orang tua. He... he... he... Sekalipun demikian aku tetap menyayangi orang tuaku. Aku membiarkan diriku berleha – leha di tempat tidurku, tapi, pikiranku mengembara tak tentu arah, memikirkan apa arti mimpi yang baru saja kualami. Perempuan berpayung dan berbaju hijau, yang kemudian berubah menjadi sosok yang mengerikan dan mencoba membunuhku. Aku masih bisa merasakan sakit yang amat sangat pada betis kakiku ini. Bukan satu atau dua kali aku bermimpi buruk seperti itu, tapi, berulang kali dan wanita berbaju hijau itu selalu saja mendominasi setiap mimpi – mimpi buruk itu walau dengan situasi yang berbeda. Hingga dering telepon pada ponselku mengejutkanku. Teman sekelasku Alya menelepon dan memberikan sebuah berita yang cukup mengejutkan, membuatku segera melompat turun dari pembaringanku.

***

Bab 2 - MASKER

Aku mengayuh sepeda balapku menuju rumah Alya yang letaknya ... kalau dihitung dari rumahku, jaraknya lebih kurang 2 – 3 kilo.

Sebenarnya, aku malas mengayuh sepeda dengan kecepatan yang menurutku, biasa – biasa saja. Lebih baik aku mengendarai sepeda motor atau memesan ojek online, akan tetapi, karena menuruti nasihat orang tua yang tak ingin terjadi apa – apa pada anaknya di jalan terlebih jaman sekarang dimana kriminalitas merajalela sekalipun di daerah terpencil seperti Lumajang ini, maka, aku terpaksa memakai sepeda. Sementara aku mengayuh sepeda, pikiran ini mengembara pada berita yang dibawa Alya lewat telapon tadi pagi belum lagi mimpi burukku semalam. Semuanya membuatku merasa tak nyaman.

Jalanan demi jalanan, kelokan demi kelokan menghantarkanku ke sebuah jalan yang pada kanan – kirinya ditumbuhi pohon – pohon kapuk rimbun diantara hijaunya dedaunan, terselip warna putih kecoklatan, sebagai penanda bahwa pohon tersebut sudah siap untuk dipanen. Tak sedikit pula bunga dan buahnya berserakan di jalanan sehingga, jalanan tersebut seakan dibalut dengan serat – serat putih nan halus bagai sutera. Jalanan itu saat menjelang pagi seperti ini masih sepi oleh orang – orang atau kendaraan yang berlalu lalang. Angin berhembus perlahan, menerbangkan kapuk beserta dedaunan tersebut, membuatku harus memperlambat laju sepeda sebab, aku tak ingin berlama – lama di jalanan. Aku harus segera tiba di rumah Alya yang sudah tak jauh dari ... hutan kapuk ini.

Aku berbelok ke sebuah jalanan kecil tak jauh dari jembatan dan setelah berjalan sekitar 10 – 15 menit sampailah aku di sebuah bangunan mewah ... mirip benteng plus dengan menara pengintainya, bercat merah hati, usianya mungkin sudah ratusan tahun tapi tetap kokoh dan megah. Bangunan itu menebarkan hawa sejuk, mungkin karena rimbunan berbagai macam tanaman dan semuanya dipelihara dengan baik oleh pemilik benteng tersebut. Pak Junaedi dan teman – temannya yang bekerja di rumah Alya.

Saat tiba di pintu gerbang, kulihat Pak Junaedi tengah menyiram halaman rumah yang luas tersebut dengan selang air. Begitu melihat kedatanganku, dia tersenyum ramah,

“Hei, nak Rimbi... tumben pagi – pagi sudah datang ?” Aku membalas senyuman pria berusia setengah abad itu dengan senyum seramah mungkin meskipun tak menutupi rasa lelah di wajahku juga keringat dingin yang mengalir dari dahiku, “Ya, pak ... habis si Alya memaksaku untuk datang pagi – pagi. Entah hendak membicarakan apa. Oya, apa Alya ada ?”

Pak Junaedi melangkah ke pintu gerbang, membuka dan menyuruhku masuk sambil berkata, “Nak Alyanya masih keluar. Katanya hendak cari sesuatu untuk teman – teman,” air mukaku berubah menjadi merah padam mendengar berita itu. Bayangkan saja, lebih dari 2 kilo badanku terguncang – guncang di sepeda balap, kedua kakiku serasa kebas karena mengayuh tanpa henti, kini, setelah sampai di tujuan orang yang memintaku datang segera tak ada di tempat, ‘Sialan !’ umpatku dalam hati. Tapi, tampaknya Pak Junaedi mengerti keadaanku itu maka dengan cepat ia berkata, “Kau tak perlu cemberut begitu, nak Alya sudah berpesan kalau nak Arimbi datang diminta untuk menunggu sebentar, dan dilayani baik – baik. Ayo, masuk,” Dengan helaan nafas panjang, entah harus lega atau marah, aku menuntun sepedaku masuk ke dalam dan menaruhnya sembarangan di halaman, untuk kemudian dihantarkan Pak Junaedi memasuki ruang tamu dengan keramik seputih kapas dan bersih.

Aku merasakan hawa dingin mengalir dari telapak kakiku, hawa di dalam ruangan begitu sejuk, tanpa sadar kutarik nafas dalam – dalam dan bau harum memasuki kedua lubang hidupku, lalu kuhembuskan perlahan. Aku merasa tenang, entah kemana perginya rasa letih dan emosiku tadi. Kembali kutarik nafas hingga tiga kali sementara mata terpejam dan saat kubuka kedua kelopak mataku, aku terbelalak manakala melihat seorang anak laki – laki duduk di hadapanku. Kulitnya pucat, sepasang matanya tampak kosong menatap ke arahku, di sudut bibirnya tersungging senyuman tipis.

“Hai, siapa kau ? Sejak kapan kau duduk di situ ?” tanyaku mencoba untuk menenangkan diri, tapi, tampaknya aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku atas kemunculannya yang tiba – tiba itu.

Anak itu tertawa nakal, “Ha... ha... ha... ha... jadi si Alya memiliki teman centil sepertimu. Dia sama sekali tak pernah menyebutkan namamu ... mungkin malu memiliki teman seburuk kamu,” katanya.

Emosiku yang sempat mereda, mendadak tersulut kembali dan berkata gusar, “Buruk katamu ? Berani benar kau berkata seperti itu padaku,”

“Wih, lihat ... sudah jelek emosinya tidak stabil lagi. Pantas saja Alya tak pernah menyebut nama Arimbi pada teman – temannya. Orang pemarah sepertimu tak pantas berteman dengan siapapun,” celoteh bocah itu sambil lari menjauhiku. “Hei, kembali ! Kau harus menjelaskan semuanya padaku,” seruku hendak menyusulnya tapi, pada saat itu Pak Junaedi muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat, ia terkejut melihat tingkah lakuku, “Nak Arimbi, kau bicara dengan siapa ? Apakah nak Alya sudah datang ?” tanyanya.

“Bocah itu,” sahutku, “Bocah itu membuatku marah, dia berlari menuju pintu itu,” sambungku sambil menunjuk ke salah satu pintu yang terletak tak jauh dari ruang tamu. Pak Junaedi terkejut, “Bocah ? Disini tak ada siapa – siapa selain aku, Mbak Ratih, Mbak Nana. Apa kau tak salah lihat ?”

Aku termenung, “Hah, tadi ada seorang bocah laki–laki duduk di hadapanku, dia mengolok–olokku lalu pergi begitu saja,” kataku kemudian.

Pak Junaedi tersenyum, “Sudahlah, nak ... kau duduk saja disini sambil menunggu nak Alya, jangan bicara yang bukan – bukan. Dan, ini ada teh hangat dan sedikit cemilan untukmu, cobalah,” katanya sambil meletakkan nampannya di atas meja tamu tepat di hadapanku. Apakah aku berhalusinasi karena letih ? Tidak. Dia terlihat begitu nyata, dan kini aku bisa melihat sesosok wanita muda berpakaian putih duduk di salah satu bingkai jendela. Jarak jendela itu dengan tempatku duduk sekitar 3 – 7 meter. Dari perawakannya yang tinggi dan ramping, berkulit putih pucat, berambut cokelat berombak dan tersisir rapi, dia bukanlah penduduk aseli pribumi. Dia adalah seorang keturunan Belanda, biasa disebut noni Belanda. Sepasang tatap matanya yang cokelat menatap lurus ke depan. Kosong dan hampa sementara, mulutnya komat – kamit menyenandungkan sebuah lagu. Merdu dan sendu. Lagu lirik Jawa yang tak kumengerti artinya.

Perlahan – lahan aku berjalan menghampiri, dan saat jarakku tinggal satu meter darinya, langkahku dihentikan dengan suara langkah kaki lain yang berasal dari halaman. Langkah itu semakin lama semakin dekat dan noni Belanda itu menghilang entah kemana.

Telingaku mendengar suara berat dari arah depan, saat membalikkan badan tampak Alya berjalan masuk diikuti dengan 2 orang wanita, masing – masing membawa bungkusan beraneka ragam ukuran juga tas plastik.

Melihatku, Alya segera meletakkan barang bawaannya, berlari menghampiriku, “Ah, Arimbi selamat pagi, sudah lama kau berada disini ?” tanyanya sambil menarikku menuju sofa tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku masih kesal dengan tingkah laku bocah laki – laki tadi, hingga air mukaku tampak menyebalkan di mataku tapi, tidak di mata Alya, “Tampangmu begitu lucu, apa yang membuatmu seperti itu ?” tanyanya. Aku menghela nafas perlahan, “Mengapa kau sama sekali tak pernah mengungkit – ungkit soal saudara laki – lakimu yang menyebalkan itu ?” tanyaku.

“Saudara laki – laki ?” tanya Alya heran, “Idih, kita sudah lama berteman tapi, kau masih tetap saja tak tahu berapa jumlah saudara atau kakak – kakak kandungku ? Kak Ima adalah yang tertua, aku nomor dua dan Yanuar adalah yang terakhir duduk di kelas 4 SD. Saudara mana lagi yang kau maksud ?”

“Jadi, kau tidak memiliki saudara lagi ? Lalu siapa bocah berumur lebih kurang 11 tahun itu ?” tanyaku masih tidak mengerti.

“Sadar, dong, Rim. Apakah kau masih mengantuk di jam – jam seperti ini ? Aku memang punya saudara laki – laki tapi tidak tinggal di sini melainkan di Amsterdam. Ah, sudahlah, lebih baik kita bicarakan hal yang lain saja. Percayakah kau pada berita yang kusampaikan lewat telepon pagi tadi ?”

“Itu, sich tidak mungkin Lya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi padahal beberapa waktu yang lalu, dia baik – baik saja ?”

“Pada awalnya, aku juga tidak percaya dengan perkataan anak yang bernama Cindy Permatasari itu. Dia adalah anak baru, bisa apa dia. Menurutku dia hanya cari perhatian saja,”

“Cari perhatian ? menurutku, tidak juga anak seperti dia memiliki keistimewaan, kok. Sekarang coba ceritakan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi,” pintaku penasaran. Pada saat itulah kulihat Mbak Nana muncul sambil menyajikan 2 buah nasi goreng ikan asin di meja tamu. Nasi goreng tersebut tampaknya baru selesai dimasak, asapnya mengepul memenuhi seisi ruangan dan menebarkan aroma harum, sedap dan gurih. Sontak cacing – cacing di dalam perutku mulai ribut, belum lagi segelas susu coklat hangat di hadapan Alya. Semua membuat perasaan tidak tenang terlebih rasa letih sehabis bersepeda masih belum hilang sepenuhnya. Hidangan yang menurutku mewah tersebut membuat LAPAR.

Alya mendekatkan susu coklat di bibirnya yang merah jambu dan sensual, perlahan – lahan meniup bibir gelas sehingga tanpa sadar asapnya singgah di hidungku. Sialan. Anak ini membuatku iri, padahal seumur hidup, aku jarang mendapatkan pelayanan istimewa seperti itu. Setelah meneguk sedikit susu coklatnya, iapun mulai bercerita. Aku duduk sambil memperhatikan setiap kata yang terlontar dari mulut wanita cantik yang umurnya sebaya denganku itu, berusaha menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, bukan ?

***

Bab 3 - MASKER ( ERICO – Personality Conflict )

Aku bukanlah orang yang mengenal dunia gaib, arwah, dan hal – hal yang berbau supernatural / paranormal. Tapi, aku suka sekali menulis cerita – cerita yang berbau misteri, berharap cerita – cerita yang kutulis nantinya bisa menyamai Agatha Christy, Sidney Seldon, Risa Saraswati dan lain sebagainya. Aku membenci hal – hal yang berbau roman. Sebab, aku tak percaya bahwa di dunia ini, kekuatan cinta lebih besar daripada kekuatan lain yang ada di dunia ini. Terus terang tak pernah aku merasakan apa itu cinta, yang ada hanyalah sakit hati. Banyak hal yang membuatku sakit hati : orang tua, teman, saudara, sanak famili dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, tulisan – tulisan yang kutulis semuanya berbau horror, sebab, bagiku ... itu lebih mengasyikkan daripada hal – hal yang berbau roman. Dan, aku cenderung ingin menarik perhatian pada orang – orang di sekitarku. Khususnya, teman – teman cewek.

Berbagai macam cara kuusahakan agar mereka, teman – teman cewek tersebut mau memberikan perhatian sepenuhnya padaku. Yah, salah satunya dengan menulis cerita – cerita horror, sebab mereka lebih menyukainya daripada rutinitas kehidupan sehari – hari seperti : keluarga, pelajaran dan lain sebagainya. Namun, kuakui, selama manusia masih bernafas, kemungkinan juga saat beralih dari dunia ini ke alam abadi, mereka tidak mungkin bisa melepaskan diri dari sebuah kata keramat yang sangat dipuja, disanjung, dihargai dan dihormati bahkan ingin dimiliki untuk selamanya oleh setiap insan di dunia. Kata keramat itu adalah CINTA. Banyak orang kehilangan pikiran sehatnya dan juga mati konyol karenanya, bahkan nyaris membunuhku.

Berbicara mengenai ingin menarik perhatian, aku yang kini baru saja naik ke kelas III SMA Keteng 2 Banyuwangi. Aku ingin menceritakan suatu hal dan itu terjadi pertama kali dalam hidupku. Dimana tampaknya aku harus mengubah prinsipku yang sama sekali TIDAK PERCAYA AKAN adanya hal – hal mistis. Juga, dimana aku harus mengakui kekuatan dari kata keramat yang kusebutkan di atas. CINTA. < walau sebenarnya, yang kuterima adalah sebuah kenyataan yang amat pahit > setidaknya, untuk sementara waktu.

***

Pagi itu, pertama kalinya aku menapakkan kakiku di sebuah pintu gerbang berwarna hitam legam. Sepasang mataku beralih ke sebelah kanan, dinding marmer yang berwarna oranye, sebagian dinding tersebut tertutup oleh rimbunan tanaman. Pada badan dinding tersebut terpahat tulisan SMA NEGERI 2 KETENG. Status DISAMAKAN, NSS : bla ... bla ... bla.. – NDS : bla ... bla... bla... berikut alamat dan nomor telepon. Masa bodoh, yang penting aku sudah menjadi siswa tahun ajaran baru di sekolah ini.

Kupandangi bangunan berlantai 2 dengan arsitektur Belanda. Dinding – dindingnya tampak megah dan kokoh dengan cat yang didominasi warna putih tulang. Tak bisa kuhitung berapa banyaknya jendela yang seukuran dengan tinggi tubuh manusia berbingkai 2 buah balok besi vertikal dari atas ke bawah memotong 2 buah balok besi horisotal, menghiasi deretan dinding – dinding megah dan kokoh tersebut.

Angin berhembus perlahan, menggoyang dedaunan mengayunkan langkah – langkahku memasuki halaman sekolah yang cukup luas mirip lapangan sepak bola jika saja tak ada tanaman – tanaman beraneka ragam tumbuh teratur disana – sini. Sekalipun hari masih pagi, tapi, tampaknya sudah banyak siswa – siswi yang datang, semuanya tampak begitu ceria. Entah mengapa aku merasakan jantungku berdebar kencang saat memasuki halaman, mungkin karena aku adalah siswa baru disini, kikuk. Tanpa mempedulikan perasaan tersebut, aku segera melangkah menuju kelas I – IPS.F yang terletak paling ujung berdekatan dengan sebuah gudang tua.

Saat memasuki ruang kelas, disana sudah ada 2 siswi dan 2 siswa. Mereka adalah teman – temanku semasa SMP : Rendi, Jefri, Alya dan Vena, teman – teman konyol, menurutku habis diajak bicara sesuatu tidak pernah serius, kecuali Alya. Melihat kedatanganku, Rendi mulai membuka percakapan, “Hei, ucapkan selamat pagi untuk novelis kita. Selamat pagi, pak !” serunya jahil sambil menganggukkan kepala badannya membungkuk sedikit seakan memberi hormat. “Konyol sekali,” sahutku sambil tersenyum kecut melihat kelakuannya yang menurutku tidak lucu sementara meletakkan tas sekolah di bangkuku dan berjalan menghampiri mereka dan duduk diantaranya. Untuk sesaat kami berbincang – bincang tentang banyak hal.

“Hei, Rico ... apa kau tahu gosip yang beredar di kalangan sekolah ini ?” Vena memasang muka serius.

Aku mendesah sementara memukul – mukul bahuku yang serasa kebas karena sudah lama memanggul tas yang isinya buku – buku mapel tebal dan berukuran folio, capek sekali rasanya mengingat perjalanan dari rumah kost ke sekolah lumayan jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. “Sorry Ven, gue ga suka gossip – gossip murahan jaman sekarang,” ujarku cuek.

“Eh, ini bukan sembarang gossip, lho ... siapa tahu bisa menambah ide untuk penulisan cerita horrormu kelak,” ujar Alya.

Ucapan Alya-lah yang paling mungkin bisa dipercaya, sebab, cewek itu sudah dari sono-nya selalu serius dalam mengungkapkan sesuatu meski terkadang tak kalah usilnya. Aku memasang wajah serius dan menatap tajam ke arahnya, “Beneran ? lu, ga bo’ong, kan ?” tanyaku.

Alya mendesah, “Hmh, pernahkah aku berbohong dengan kamu ? Terserah, dech kamu mau percaya atau tidak yang jelas, gossip ini sudah beredar sejak tempat ini belum beroperasi sebagai sekolah,” katanya agak kesal.

“Iye... coba lu cerita. Gue akan dengarkan dengan seksama,”

Alya mulai bercerita sementara kami mendengarkan dengan penuh minat. Dulu sekolah ini merupakan rumah tahanan pejuang – pejuang pribumi yang ditahan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Mereka diperlakukan tidak manusiawi, kekurangan makan sementara dipaksa kerja paksa. Banyak diantara mereka mati secara mengenaskan, dan salah satu dari penjara tersebut adalah kelas yang kita tempati ini. Ucapan Alya masuk akal karena saat kuperhatikan ke sekeliling kelasku, terlebih jendela dengan bingkai – bingkai besi berwarna hitam yang lubangnya hanya cukup untuk dimasuki oleh pergelangan tangan saja. Dan dinding kelas, sekalipun dinding tersebut terlihat baru, tidak bisa menutup rapi kerusakan lama. Mungkin, kerusakan tersebut disebabkan karena dulunya dipasang alat – alat mirip pengikat tangan dan kaki. Sebagian dari tawanan perang itu mati secara mengenaskan di ruang ini dan arwah mereka pernasaran. Di saat – saat tertentu menampakkan diri, terkadang mereka muncul dengan bentuk – bentuk mengerikan membuat ketakutan siapapun yang mereka datangi.

Disaat aku mengamati ke sekeliling, Alya masih terus bercerita, kali ini dia bercerita tentang gudang tua di sebelah kanan kelas 1 IPS.F. Gudang itu dulunya adalah ruang interogasi, disana mereka disiksa hingga harus meregang nyawa. Beberapa saksi mata menceritakan, bahwa setiap tengah malam, terdengar suara – suara aneh seperti benda berat diseret – seret, teriakan kesakitan dan jeritan menyayat hati. Di malam – malam tertentu pula terdengar bunyi letusan senjata api dan bunyi benda berat jatuh. Hal yang diceritakan Alya, sering kutulis dalam cerita – ceritaku, bukan hal baru. Tapi, yang membuatku juga yang lain terkejut adalah ...

“BRUK !!” bunyi itu terdengar cukup keras berasal dari dekat pintu kelas, kami nyaris melompat kaget dan buru – buru menoleh. Tak ada apa – apa di pintu kelas, selanjutnya terdengar langkah kaki makin lama makin jauh. Dan aku merasakan terpaan angin dingin membuat bulu kudukku berdiri.

“Cukup, jangan kau teruskan cerita itu Lya,” ujar Vena dengan suara bergetar, air mukanya tampak pucat karena ketakutan. Kami lebih terkejut lagi saat melihat seorang wanita mendadak duduk di bangku pojok jauh dari tempat kami berkumpul. Huh, sejak kapan dia ada disitu ... membuat kaget saja. Kami tak mengenalnya, bukan berasal dari kelompok kami. Wajah baru.

Yah, dari 3 orang temanku, Alya-lah yang memiliki jiwa sosial tinggi, suka bergaul dan pemberani dan menyukai hal yang menurutnya baru. Melihat kehadiran wanita itu, ia segera berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri orang baru tersebut.

“Hai, selamat pagi ... siapa namamu dan maukah kau bergabung dengan kami ?” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan kanan bermaksud untuk menyalaminya.

Wanita itu hanya diam saja, sepasang matanya menatap dalam – dalam ke arah Alya. Sesaat kemudian ia menyambut telapak tangan Alya, sambil menundukkan kepalanya perlahan berkata, “Arimbi,” itulah kata – kata yang terlontar dari bibirnya yang menurutku sensual dan kata – katanya begitu bening dan jernih, sebening dan sejernih air di telaga Rawa Bayu, salah satu tempat wisata sakral menurut orang – orang di kota Banyuwangi ini. Gerak – geriknya bagiku cukup menarik, sekilas perhatianku terarah pada Jefri yang tak pernah berkedip saat menatapnya demikian pula Vena. Bagiku, kehadirannya akan menimbulkan nuansa baru di kelompokku.

***

Semenjak berkenalan dengan Arimbi, hubungan antara Alya dengannya cukup akrab. Aku sendiri tak habis pikir bagaimana caranya Alya bisa bersahabat karib dengan gadis pendiam dan menurutku aneh itu. Aneh, karena dia pendiam sekali berbicara hanya seperlunya saja dan terkadang menyendiri di sudut sekolah. Kalau sudah seperti itu, Alya-lah yang bisa menemaninya, bercerita banyak hal. Dan, aku tak ada kesempatan untuk mendekatinya sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. AKU INGIN MENGENALNYA LEBIH DEKAT, entah mengapa.

Hingga pada suatu hari aku melihatnya menangis sendirian di ruang gamelan, waktu itu Alya tidak masuk sekolah karena ijin ke luar kota. Semula kukira ia menangis karena Alya tidak masuk, maklum, sejak pertama kali masuk sekolah, hanya Alya saja yang dekat dengannya. Tapi, setelah berdamai dengan perasaan kikuk, akibat tak betah diam berlama – lama di sampingnya, aku berhasil membuka percakapan.

“Kenapa kau menangis ? Apakah karena Alya tidak masuk ?” tanyaku masih mencoba untuk menenangkan diri. Arimbi tak menjawab, suasana sunyi dan dingin merayap di sekitarku, tak terdengar apa – apa selain detak jantungku yang berdebar – debar di atas normal setiap kali mendekatinya.

“Mengapa jantungmu berdetak begitu kencang sekali ?” pertanyaan Arimbi ini makin membuatku kikuk, keringat dingin mengalir deras dari dahiku, aku bisa merasakan suhu tubuhku panas dingin, logat metropolitanku berantakan sudah saat berada di hadapannya.

Aku masih bisa melihat sepasang matanya memerah, “Ti ... Tidak apa – apa, hanya saja aku ... merasa iba saat melihatmu menangis sendirian di tempat ini. Sebenarnya, apa yang menyebabkanmu menangis ?” jawabku.

Sekian lamanya Arimbi terdiam, untuk kemudian kembali bersuara, “Kudengar kau suka menulis cerita – cerita horror, apakah itu benar ?” Aku tertawa tawar, “Ehm, hanya sekedar pengisi waktu luang saja. Dan cerita – cerita yang kutulis tidak seberapa bagus, kok. Oh,ya ... mengapa kau menangis sendirian di tempat ini ? Apakah ada yang menyakitimu ?” tanyaku sambil berusaha untuk tetap menenangkan diri.

Arimbi menggelengkan kepala, “Jangan pedulikan mengapa aku menangis sendirian, ini sudah menjadi kebiasaanku. Aku hanya heran, kau suka menulis cerita horror, tapi, sama sekali tidak mempercayai hal – hal yang berkaitan dengan dunia supernatural,” katanya. Angin dingin yang aneh mendadak menerpa tengkukku sementara Arimbi kembali melanjutkan perkataannya, “Percaya atau tidak dunia tersebut memang ada di sekitar kita. Menurut Alya dari sekian banyak ruangan, ruangan ini adalah salah satunya,”

“Ah, Alya memang suka menyebar gossip sembarangan saja, kau tak perlu menanggapinya. Kalau memang demikian harusnya ada bukti – bukti yang kuat sebagai penunjangnya,”

“Kalau begitu, ijinkan aku bertanya. Masih ingatkah kau sewaktu hari pertama masuk sekolah ini ?”

Tentu saja aku masih ingat, nona. Kejadian itu membuatku tidak bisa tidur nyenyak selama tiga hari tiga malam. “Aku sudah lupa,” dalihku berbohong. Arimbi menatapku dalam – dalam, membuatku tertunduk karena malu tak tahan bertatapan lama – lama dengan wajah cantiknya dan bulat telur. “Aku yakin kau masih ingat, tapi, kau sengaja menyembunyikannya,” Jleb, kata – katanya bagaikan sebilah pisau belati menancap tepat di jantungku, yah... kau benar Rim ... aku sengaja berbohong.

”Kau benar, Rim ... sekeras apapun aku berpikir ... kejadian itu memang sulit diterima oleh logika. Dan aku, berniat melupakannya,” aku akhirnya mengakui, “Apakah menurutmu, aku salah ?”

“Tidak. Manusia ketakutan terhadap apa yang mereka tidak tahu, sementara, bagi orang – orang tertentu, kejadian itu adalah hal yang biasa,”

“Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan, Rim ?”

“Kau adalah penulis cerita horror, pastinya tahu apa yang kumaksudkan, kalau tak mengerti juga ... tinggalkan aku sendirian di tempat ini,” Aku yang semula sudah berhasil menenangkan diri, mendadak saja kembali gugup dengan kata – kata yang terlontar dari mulutnya. Aku memang tidak paham apa maksud dari ucapannya itu, manakala mengetahui nada bicaranya yang terdengar ketus sekalipun airmukanya tampak tidak berubah, buru – buru aku mencoba untuk mencari kata – kata yang tepat. Aku ingin memanfaatkan kebersamaanku bersamanya berkesan. Yah, tampaknya sekalipun pertemanan kami sudah berlangsung hampir 2 tahun, aku masih tetap kesulitan memahami karakter Arimbi yang berubah – ubah.

“Ehm, bagaimana kalau kita ke kantin ? Kudengar dari Alya, saat kau berangkat sekolah perutmu sama sekali tak terisi ? Jadi, kebetulan ada sedikit uang untuk membeli cemilan atau apa saja yang kau suka,” ide yang bagus, bro... tiba – tiba saja itu terlintas di benakku, kuharap dia mau menerima ajakanku.

Tapi, lagi – lagi aku dibuat bingung dengan ulahnya yang tiba – tiba saja berjalan keluar dari ruang gamelan. Sesampai di pintu, ia menoleh, “Apa yang kau tunggu ?” tanyanya. Aku menoleh kesana – kemari, bingung.

“Katanya kau ingin mengajakku ke kantin, apa kau serius ? Lalu, buat apa kau duduk sendirian disitu, Rico ?” kembali Arimbi berkata. Berhasil. Akupun segera berjalan menghampirinya dan kami berdua menuju ke kantin, tak bisa kubayangkan perasaanku saat itu.

Sesampai di kantin kami memesan nasi campur dan teh hangat. Dan, satu lagi yang membuatku semakin kagum pada Arimbi, Ia bukanlah cewek matre seperti siswi – siswi lain, dia hanya memesan menu yang paling murah nasi pecel dan air putih. Saat kutawarkan menu lain, dia menolak dan aku tidak berani mendesaknya lebih lanjut. Saat pesanan kami tiba, cacing – cacing dalam perut kami seakan menari – nari menyambut kepulan asap yang sebagian memasuki lubang hidung. Terima kasih Tuhan atas makanan yang tersaji di hadapan kami.

Semoga kami bisa mengulang kejadian ini kelak. Gumamku dalam hati, yah, aku merasa bersyukur bisa berduaan dengan Arimbi yang sudah sekian lama kutaksir semenjak tahun lalu.

Sambil menikmati makanan dan minuman, kami bercerita tentang banyak hal. Disini Arimbi hanya membiarkan dirinya menjadi pendengar yang baik sambil sesekali menimpali cerita – ceritaku dengan sepatah dua patah kata, sesekali tersenyum manis, membuatku tak bosan – bosannya berlama – lama dengan adis yang kini menyandang julukan sebagai FREAKY GIRL itu. Untuk sementara, aku seperti bebas dari tekanan yang terjadi beberapa menit lalu di ruang gamelan, tampaknya Arimbi juga tak ingin mengungkit – ungkit hal itu. Tapi, setelah kami selesai makan, Arimbi menatapku dengan pandangan kosong.

“Hei, ada apa denganmu ? Mengapa kamu menatapku seperti itu ?”

“Sebaiknya, kita segera pergi dari tempat ini. Aku takut dia mencelakaimu,” katanya tiba – tiba.

Aku mengalihkan pandangan ke sekeliling, hanya siswa – siswi yang berseliweran kesana – kemari, tak ada hal yang aneh, “Apa maksudmu ? Siapa yang kau maksud dengan ‘dia’ ?” tanyaku. Arimbi berdiri lalu bergegas meninggalkan kantin, buru – buru aku menyusulnya, “Hei, bisakah lo, bilang jujur sama gue ada apa sebenarnya ?” tanyaku logat metropolitanku kembali muncul karena tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.

“Aku akan menceritakannya saat kalian benar – benar sudah siap menerima kenyataan tentang siapa diriku ini yang sebenarnya !” bentak Arimbi, menutup mulutku saat itu juga, “Kau tahu, sebenarnya aku juga bingung mengapa ini terjadi padaku bukan pada orang lain sepertimu, Alya dan yang lainnya. Jika kalian bisa mengerti keadaanku, mungkin kalian sama dengan orang – orang di sekitarku ! Untuk saat ini aku belum siap menceritakan hal itu pada siapapun juga. Kumohon, jangan desak aku seperti ini,”

“Gue benar – benar tak paham dengan apa yang lo katakan, Rim,” kataku, “Baru saja kita baik – baik saja, sekarang malah berbalik 360 derajat. Siapa yang lo maksud dengan ‘Dia’ ?”

“Pergilah, aku ingin sendiri,” pinta Arimbi.

Walau sebenarnya merasa berat meninggalkan Arimbi, toh, aku menurut juga. Sabar, bro ... masih ada banyak waktu untuk mengakrabkan diri dengan situasi ini, sabarlah. Hiburku. Sekalipun aku bisa bersabar tapi, aku masih penasaran dengan sebutan ‘dia’ tadi. Apakah pacarnya ? atau hal lain ? Aku melangkah meninggalkan tempat itu, sementara, Arimbi masih berdiri bagaikan patung.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!