Sebuah kafe kecil di pinggiran kota dihias dengan cantik dan meriah. Bunga-bunga segar bertebaran, balon warna-warni menggantung, dan foto-foto karakter terpajang di setiap sudut.
Namun, di balik kemeriahan itu, suasananya terasa canggung. Alih-alih berinteraksi, para pengunjung lebih asyik menunduk menatap layar ponsel, seolah ada dinding tak kasat mata di antara setiap meja. Cuaca di luar pun mendukung kesuraman itu; langit kelabu dan hujan rintik-rintik membasahi jalanan.
Aluna melangkah keluar dari kafe sambil menggandeng tote bag berisi merchandise yang baru ia beli: photocard, gantungan kunci, dan action figure karakter idolanya.
"Hah..." Ia menghela napas panjang. "Padahal birthday cafe tahun lalu seru banget, tapi tahun ini... canggung parah."
Ia menoleh lagi ke dalam. Senyum para pengunjung tampak dipaksakan, tawa mereka hambar. Suasana yang seharusnya penuh perayaan justru membuat dada terasa sesak.
"Yah, bagaimanapun… toh semuanya sudah berakhir," gumamnya pelan. Namun, sorot matanya tetap berat, menyimpan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Tepat di samping pintu, sebuah banner besar membentang — menampilkan sosok Riven Orkamor. Grand Duke kesayangannya.
Rambut platinum berkilau bagai cahaya bulan, mata biru safir seolah hidup. Tatapannya begitu tajam hingga Aluna merasa benar-benar diperhatikan. Pandangan yang begitu dalam, seolah mampu menembus lapisan dimensi yang memisahkan mereka.
Di balik tatapan itu, Aluna seolah bisa merasakannya — sebuah permohonan bisu yang menggema langsung di benaknya.
"Tolong selamatkan aku."
Jantungnya berdebar kencang. "Haha... konyol," pikirnya, mencoba menepis perasaan aneh itu.
"Mana mungkin karakter fiksi minta tolong padaku." Namun, perasaan aneh itu menolak pergi, terus mengusik relung hatinya, meninggalkan jejak gelisah yang tak nyaman.
Aluna menggigit bibirnya. "Tu-tunggu sebentar… aku bisa…" Gerimis yang membasahi bahunya tidak ia hiraukan. Dengan sigap ia mengeluarkan ponsel, jari-jarinya bergerak lincah di layar. Ia membuka kotak surat, mengetik dengan cepat, dan... surel permohonan diadakannya rute khusus Riven sekali lagi ia kirimkan kepada pengembang game.
Baru setelah surel itu terkirim, penyesalan langsung menamparnya. "Apasih yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku menuruti suara yang jelas-jelas tidak nyata itu. Bodoh banget, Aluna. Bodoh banget!"
Tatapannya kembali jatuh pada banner Riven. "Pria yang mewarisi segalanya dari Kaisar... kecuali takhta." Bahunya merosot. "Kejam sekali. Riven-ku juga berhak bahagia... salahnya apa sampai harus mati tragis begitu? Ugh, dasar game kikir!"
Bagai roda gigi kecil di jam yang besar, hidup Aluna terus berputar dalam rutinitas monoton. Setiap pagi ia duduk di meja kantor, mengetik dan membaca laporan hingga sore.
Hidupnya terjebak dalam siklus yang sama: layar komputer, rapat, lalu pulang dengan tubuh lelah. Satu-satunya waktu yang terasa hidup hanyalah malam hari, saat ia menenggelamkan diri dalam dunia fiksi dari ponselnya.
Sekitar setahun yang lalu, sebuah iklan game visual novel interaktif mengubah hidupnya: Iselyn dan Delapan Pedang. Tajuk simulasi kencan bangsawan membuat Aluna tertarik untuk memainkannya.
Pemain berperan sebagai Iselyn Silvarin, gadis bangsawan yang kembali ke lingkaran aristokrat setelah lama hidup sebagai rakyat jelata. Ada delapan tokoh utama yang menemaninya: tiga sahabat perempuan dan lima pria tampan yang bisa dijadikan love interest.
Aluna awalnya memilih rute Alther Miraglen, pewaris Sword Duke yang tsundere. Namun, begitu Riven Orkamor muncul, hatinya langsung berpindah haluan setotal totalnya total.
Karakter Riven sempurna di mata Aluna. Tsundere naif, genius berkharisma, kasar tapi perhatian, kokoh tapi kesepian. Dan yang terpenting, wajahnya tampan brutal.
"Pokoknya mantap pol!" ujar Aluna setiap kali menatap layar ponselnya.
Sejak itu, ia aktif mengirim surel permintaan rute kencan untuk Riven kepada developer. Ia juga bergabung dengan komunitas kecil penggemar Riven dan berpartisipasi aktif dalam kegiatannya, seperti menghadiri birthday cafe ini.
"Haaah… semakin dipikirkan, semakin menyebalkan. Kami sudah berjuang sampai segitunya, tapi bukannya dikabulkan, Riven malah dibuat mati di semua rute." Aluna menggerutu sambil menendang kerikil kecil di trotoar.
Ia ingat jelas pembaruan dua bulan lalu. Tak peduli jalur mana yang dipilih pemain, ujungnya tetap sama: Riven memberontak pada Kaisar, lalu mati di tangan salah satu pria pilihan Iselyn. Karakter Riven dijadikan batu loncatan untuk perkembangan hubungan Iselyn dan pria pilihannya.
"Ah, brengsek! Terus buat apa ada label 'teman masa kecil Iselyn' itu!?"
Air mata kembali menggenang, tapi ia segera menyapunya dengan punggung tangan. Hidup sangat tidak adil — bahkan kisah cinta fiksinya pun berakhir buruk. Ia melanjutkan langkah, menatap kosong ke depan.
Sampai... suara mesin berat menderu terdengar dari kejauhan.
Jeritan dan teriakan terdengar. Aluna mengangkat kepala. Cahaya lampu truk yang menyilaukan mendekat dengan cepat, terlalu cepat!
"Eh—"
Pengemudinya terlihat tidak stabil, truk itu meliuk-liuk seperti ular raksasa yang mengamuk. Aluna mencoba berlari kembali ke kafe, tetapi kakinya gemetar hebat, menolak perintah otaknya. Kakinya seolah terpaku di aspal. Ia tersandung, jatuh—
BRAK!!
Dunia berputar. Tubuhnya terhempas. Rasa sakit menyambar, singkat namun menusuk hingga tulang. Hiruk pikuk di sekitarnya memudar, hanya menyisakan dengung kosong di telinga.
"Yah... kok jadinya begini?" Di saat suara lain menghilang, suara gadis kecil yang lembut terdengar jelas. "Seharusnya hanya pengemudi itu yang mati karena karmanya, tapi kenapa malah menyeret jiwa yang tidak bersalah juga? Apa aku salah perhitungan, ya? Aduh."
"Siapa... kamu..." Aluna mencoba berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Karena ini kesalahanku, aku akan memberimu hadiah. Jadi, jangan marah, ya? Aku akan coba wujudkan keinginan terdalam di hatimu, tapi sesuai takaran karma baikmu saja. Sebagai bonus, aku berikan juga jiwa si pengemudi itu, deh. Pokoknya—"
Kata-kata berikutnya tenggelam. Aluna dilahap oleh rasa kantuk yang tak tertahankan, dan segalanya menjadi sunyi dalam kegelapan.
Aluna membuka matanya. Kepalanya pening, berdenyut-denyut hebat. Napasnya tersengal. Cahaya... truk... suara gadis kecil... Ingatannya kacau balau.
Ia duduk tegak, tangan menekan pelipis. "Apa aku... masih hidup?"
Aluna mengedarkan pandang. Ini bukan rumah sakit, bukan juga apartemennya yang sempit. Ia berada di sebuah kamar yang luar biasa mewah. Tirai sutra tebal, perabotan berukir indah, dan aroma mawar yang lembut menguap di udara.
Semuanya terasa familiar, sekaligus asing.
"Di mana aku...?" gumamnya. Suara yang keluar bukan miliknya. Itu suara yang lebih lembut, lebih muda, dan asing di telinganya.
Dengan langkah goyah, ia turun dari tempat tidur, hampir tersandung gaun tidur sutra yang menyapu lantai. Ia tertatih menuju cermin besar berbingkai emas.
Lalu, ia membeku.
"Apa?!"
Yang terpantul di cermin bukanlah wajah lelah seorang wanita karir di akhir usia dua puluhan, melainkan wajah seorang gadis remaja yang luar biasa cantik, dengan rambut hitam bergelombang dan mata biru gelap seperti permata.
Aluna mengenali wajah itu. Sangat mengenalinya.
Putri Duke Velmiran, keluarga bangsawan kaya raya yang menguasai tambang permata terbesar di kekaisaran. Salah satu dari delapan pedang Iselyn. Karakter glamor dan penggoda, Luna Velmiran.
"Luna Velmiran!? Aku... menjadi Luna Velmiran!?"
"Luna Velmiran!? Aku... Aku menjadi Luna Velmiran!?"
"Tidak... mungkin..." desisnya. Suara yang keluar terasa asing, merdu, dan bukan miliknya. Tangannya yang mungil dan halus memegangi pipi lembutnya di cermin. "Ini... mimpi? Apa aku koma setelah tertabrak truk?"
Dia mencubit lengannya sendiri. "Aduh!"
Sakit. Itu nyata. Ini nyata! Dia benar-benar menjadi Luna Velmiran!
Jantungnya berdebar kencang, darah berdesir di telinganya. Ia memandangi sekelilingnya — kamar yang lebih besar dari seluruh apartemennya, perabotan antik, dan tumpukan perhiasan yang berkilauan.
Aluna — sekarang Luna — kembali menatap bayangannya. Jari-jarinya yang gemetar menyentuh pipi yang halus, menarik helai rambut hitam yang berkilauan, dan merasakan denyut di bawah kelopak mata biru yang kini menjadi miliknya.
Ini bukan mimpi. Rasa dingin di ujung jarinya terasa terlalu nyata.
"Jadi... ini nyata? Apa suara gadis kecil itu yang melakukannya? Serius nih aku masuk ke dunia Novel?" bisiknya pada pantulannya sendiri. "Aku benar-benar ada di dunia Iselyn dan Delapan Pedang? Dan menjadi... Luna?"
Luna menelan ludah. Iselyn dan Delapan Pedang. Nama itu kini bukan lagi sekadar judul game, melainkan sebuah takdir yang menakutkan. Dia bukan lagi Aluna, karyawan biasa yang bisa bersembunyi di balik layar ponsel. Dia sekarang Luna Velmiran.
Di satu sisi, ini adalah keuntungan besar: dia tahu semua plot dan rahasia yang akan datang. Tapi di sisi lain, dia adalah Luna Velmiran. Artinya, dia tidak bisa hanya menjadi penonton. Dia akan terseret ke dalam setiap bencana, setiap teror, dan setiap pengkhianatan yang ada. Lalu, terakhir... pemberontakan Riven.
"Tunggu... Riven!" Napasnya tercekat. Jika Luna Velmiran ada di sini, itu berarti Riven Orkamor juga ada.
"Ahn... Mantap gila."
Suami fiksinya itu hidup, bernapas, dan mungkin sedang merencanakan kehancurannya sendiri di suatu tempat di kekaisaran ini. Obsesi Aluna yang sebelumnya abstrak dan sekedar keinginan untuk melihat akhir bahagia karakter pixel kesayangannya itu kini berubah menjadi sesuatu yang mendesak dan nyata. Sebuah misi kronis.
Ia mengepalkan tangan kecil Luna, merasakan energi baru yang mengalir dalam tubuh muda ini — campuran antara harga diri tinggi Luna yang dimanja dan tekad baja fangirling Aluna.
"Ini... gila. Tapi..." Dia menarik napas dalam-dalam, memaksakan diri untuk tenang seperti saat menghadapi klien yang sulit di kehidupan lamanya. Kepribadiannya yang chaos mulai diatur oleh logika dan pengalaman manajemen Aluna. "Riven... waktu itu dia meminta tolong padaku. Aku yakin mendengarnya. Lalu sekarang... aku di sini."
Tatapannya di cermin berubah dari panik menjadi sebuah determinasi yang membara. Mata biru itu, yang biasanya digunakan Luna Velmiran untuk menggoda, kini menyala dengan api yang berbeda.
Obsesi.
"Oke, Suamiku sayang, permintaanmu diterima. Lady ini akan menyelamatkanmu dari takdir burukmu. Tidak peduli seberapa sulitnya, tidak peduli seberapa kasarnya kamu nanti padaku!"
Luna menyeringai. "Tapi sebelum itu..."
"WAKTUNYA PESTA!!" pekiknya. Suara merdu Luna ia gunakan untuk berteriak dengan cara yang sama sekali tidak Lady.
"Gila! Gila! Gila!" Kegirangannya tidak terbendung. "Seriusan aku jadi Putri Duke di dunia ini? Keren banget!" Luna melompat-lompat dan melakukan tarian kemenangan yang aneh.
"Suamiku hidup!? Bisa kuendus, dong!?" Mengetahui idolanya nyata membuatnya menggelepar tak karuan sambil tertawa terbahak-bahak.
Tubuh barunya yang lentur itu ia lempar ke atas kasur empuk, memantul beberapa kali sebelum akhirnya ia menggulung diri dengan selimut sutra. "Tuuuut... tuuuut... Pemberhentian berikutnya, ranjang Grand Duke Orkamor!"
TOK! TOK! TOK!
"Nona Muda! Nona Muda Luna! Apakah ada yang terjadi?!" Suara Margaret, pelayan pribadi Luna, terdengar panik dari balik pintu.
"Margaret?" Nama itu muncul begitu saja di kepalanya. Bagaikan disiram air es, semua kegilaan Aluna langsung padam. Ingatan sebagai Luna Velmiran—tata krama, etiket, dan kebiasaan selama 17 tahun—menyapu bersih sisa-sisa euforianya.
Tubuhnya yang sedang berguling di kasur mendadak kaku. Dalam satu gerakan anggun, Luna berputar dan duduk tegak di tepi ranjang. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai marmer dengan lembut.
Tangannya secara refleks meraih kipas lipat di meja samping, membukanya dengan satu sentakan elegan, dan menyembunyikan separuh wajahnya yang masih memerah.
Ketika ia berbicara lagi, suaranya bukan lagi teriakan norak Aluna, melainkan nada melodius, sedikit lesu, dan sangat terkendali khas seorang lady bangsawan.
"Tidak ada yang terjadi. Masuklah," ujarnya, suaranya jernih dan stabil.
Pintu terbuka pelan. Margaret yang cemas menyapu ruangan, mencari sumber keributan, tetapi yang ia lihat hanyalah nona mudanya yang duduk tenang. Anggun dan cantik seperti lukisan, melirik dari balik kipasnya seolah malu wajah bangun tidurnya terlihat.
"Oh... Berkah Dewi... Nona Muda kami memang sempurna," batin Margaret seketika menjadi lega.
"Ada yang Nona perlukan?"
"Hm... aku tidak punya agenda hari ini, kan? Siapkan saja sarapan dan air mandi."
"Baik, Nona." Margaret membungkuk dan pergi.
Begitu pintu tertutup, senyum elegan Luna seketika goyah. Ia menutup kipasnya. "Gila, yang barusan itu keren mampus!"
"Snap! Tidak ada yang terjadi. Masuklah." Luna menirukan adegannya sendiri. "Keren banget! Seriusan nih, yang barusan itu aku?"
Ia tidak percaya. Rasanya tubuh dan pikirannya bergerak secara alami—terlalu alami, hingga terasa... benar. Seolah ini memang tubuhnya, dan akan selalu begitu.
Tak lama, Margaret kembali bersama beberapa pelayan, membawa peralatan mandi. Mereka memandunya ke kamar mandi mewah, di mana bak marmer besar sudah terisi air hangat seputih susu yang ditaburi kelopak mawar.
Tatapannya tajam menyelidik, wajahnya yang datar membuat pelayan merasa takut. "Apa ini? Surga? Kalau begini sih, tidak ada lagi istilah malas mandi!" jeritnya dalam hati.
"Apa... Apa ada yang tidak sesuai dengan selera Nona?" Salah satu pelayan memberanikan diri bertanya.
Luna bingung. Wajah pelayan itu tertunduk dan jelas sekali sedang gemetar. Dia bertanya-tanya, apa mungkin karakter Luna dulunya sangat pemilih sabun mandi sampai membuat pelayan ketakutan begitu. Dia tidak ingat ada pengaturan seperti itu di karakter Luna Velmiran.
"Hm? Tidak ada, ini bagus. Aku suka aroma mawarnya. Kerja bagus," jawab Luna.
"Ah... Te-terimakasih!"
Luna melirik singkat. Dia hanya memujinya, tapi pelayan itu sudah berhenti gugup dan gemetar, bahkan tersipu malu. Para pelayan lain di belakang mereka juga cukup terkejut dan menatap iri. "Apa pelayan disini kurang dihargai?" batinnya.
Dengan bantuan empat pelayan, gaun tidurnya dilepas. Luna masuk ke dalam air hangat yang wangi, dan tubuhnya langsung melemas. Semua stres kehidupan lamanya seolah luruh. Para pelayan dengan terampil membasuh tubuhnya, memijat kulit kepalanya, dan membilasnya.
Luna hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap detik kemewahan ini sementara Margaret dengan menarik menceritakan rangkuman kejadian penting di kekaisaran selama seminggu terakhir.
Setelah mandi dan dikeringkan dengan handuk lembut, ia dipakaikan chemise tipis dan didampingi kembali ke kamar.
Tak lama kemudian, para pelayan kembali dengan nampan perak berisi sarapan. Roti panggang dengan selai mawar, soufflé telur yang mengembang sempurna, sosis asap, dan semangkuk buah-buahan segar yang dipotong dengan presisi artistik. Air liur Luna hampir menetes.
Ia makan sambil bersandar di tumpukan bantal empuk, menikmati kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. Namun, hal yang paling menakjubkan adalah bagaimana tubuh ini bergerak.
Tanpa sadar, jari kelingkingnya terangkat sedikit saat memegang cangkir teh. Pisau di tangan kanannya memotong soufflé dengan keanggunan yang tidak pernah ia miliki seumur hidupnya sebagai Aluna.
Para pelayan di sekitarnya tampak tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda keanehan mengenai sikapnya.
"Syukurlah," batin Luna lega. "Artinya aku tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Refleks tubuh Luna Velmiran ini benar-benar penyelamat."
Sambil menikmati setiap gigitan, pikirannya mulai berpacu, menyusun rencana. Dunia ini berasal dari game Iselyn dan Delapan Pedang, sebuah game dengan dua puluh kemungkinan rute cerita yang berbeda.
Pikirannya berpacu. Dua puluh rute. Itu artinya ada dua puluh set event dan item unik. Jika Iselyn di dunia ini hanya bisa mengambil satu jalur, maka sembilan belas jalur lainnya... adalah ladang harta karun yang tak terjamah!
Senyum licik terukir di bibirnya. Ia bisa membayangkan harta luar biasa dari game dan keberuntungan yang tersembunyi. "Semuanya bisa jadi milikku! Haha! Haha!"
Namun, sebelum berburu harta karun, ia harus tahu dulu rute mana yang akan diambil Iselyn. Berita baiknya, semua rute di game dimulai dari satu tempat yang sama: hari pertama di Akademi Sihir Kekaisaran. Akademi Trisula.
Dengan santai, ia menoleh pada pelayan pribadinya. "Margaret, omong-omong, kapan pendaftaran akademi dimulai?"
Margaret, yang sedang merapikan lipatan selimut, tampak terkejut. "Tapi... Nona Muda? Bukankah Nona bilang lebih baik mati daripada masuk ke tempat membosankan itu? Duke sampai menghukum Nona tidak boleh keluar dari mansion selama sebulan..."
Luna membeku.
"Sial! Aku lupa bagian ini!"
Benar juga. Karakter Luna Velmiran di game memang baru muncul di paruh kedua cerita, setelah insiden penyerangan di pesta istana. Alasannya... Sudah sangat jelas. Luna yang terlalu dimanja mana sudi membuang semua prestise hanya untuk belajar mandiri.
Luna mengepalkan tangannya di bawah selimut. Ia tidak bisa diam saja. Jika ia ingin har— menyelamatkan Riven, ia harus masuk ke akademi dan bergerak lebih cepat.
Tekadnya sudah bulat. "Margaret," ujarnya dengan nada yang lebih tegas, membuat sang pelayan sedikit terlonjak. "Sampaikan pada Ayah. Aku ingin bertemu. Sekarang. Bantu aku bersiap."
Persiapan menuju pertempuran pertamanya dimulai.
Melawan Duke?
Salah.
Lawannya adalah ritual berpakaian ala bangsawan.
Sebuah... gaun.
Semuanya baik-baik saja saat chemise katun yang ringan berkuasa, tetapi... Semua berubah saat sang tiran bernama korset datang.
Dua orang pelayan mulai menarik talinya dari belakang, napas Luna tercekat. Setiap tarikan terasa seperti meremas organ dalamnya tanpa ampun. "Gila, bagaimana para nona bangsawan bisa bernapas dengan benda ini!?" jeritnya dalam hati.
Tekanan di pinggangnya ini terasa lebih menyakitkan daripada omelan bosnya di kehidupan lama. Namun, anehnya, rasa sakit yang tajam dan nyata ini justru membuatnya semakin sadar. Rasa sakit ini adalah bukti.
Bukti bahwa ia jauh dari yang namanya sedang bermimpi.
Setelah korset terpasang kencang, beberapa lapis petticoat dikenakan untuk memberi volume, diikuti gaun utama berwarna merah gelap dengan hiasan renda mawar putih. Anting rubi dan kalung mutiara sederhana melengkapi penampilannya.
Luna menatap pantulannya di cermin. Yang berdiri di sana bukanlah Aluna si wanita karir yang lelah. Melainkan seorang putri bangsawan yang sesungguhnya. Cantik, kuat, dan... sedikit mengintimidasi.
Para pelayan berdecak kagum. "Nona Muda terlihat sangat mempesona."
Luna tersenyum tipis. "Antarkan aku ke kantor Ayah."
Perjalanan menuju sayap barat mansion terasa menegangkan. Luna berjalan menyusuri koridor panjang yang lantainya dilapisi karpet tebal berwarna merah marun.
Di dinding, potret-potret leluhur keluarga Velmiran dalam bingkai emas menatapnya dengan tatapan abadi, seolah menilai apakah ia pantas menyandang nama mereka.
Setiap kali berpapasan dengan pelayan, mereka akan berhenti dan menunduk dalam-dalam, memberikan penghormatan tanpa suara. Ini sangat berbeda dari kehidupannya dulu, di mana ia hanyalah sosok anonim di tengah keramaian kota. "Keren gila...."
Saat pintu ganda yang menjulang tinggi di hadapannya terbuka, pemandangan di dalamnya benar-benar meleset dari ekspektasinya.
Ia membayangkan kantor bangsawan yang kecil, gelap, dan penuh tumpukan perkamen tua.
Namun, yang ia masuki lebih mirip aula perusahaan modern. Ruangan itu luas dengan langit-langit tinggi, bahkan memiliki lantai dua dan tiga.
Bukan tumpukan dokumen berdebu, melainkan suara puluhan pena yang berdecit serempak, decitan mesin hitung mekanis, dan gumaman para staf yang bekerja dengan efisiensi luar biasa.
Luna berjalan dengan anggun, berhenti beberapa langkah di depan meja besar ayahnya. Menaruh satu tangan di dada dan tangan lainnya sedikit mengangkat gaunnya, ia membungkuk dengan sempurna.
"Luna Velmiran izin menghadap Ayah."
Duke Arslan Velmiran, pria paruh baya berbadan kekar, mendongak. Matanya yang tajam langsung berbinar melihat putri kesayangannya, tetapi ia segera memasang wajah serius.
"Ehem... Apa menurutmu peringatan Ayah hanya kata-kata kosong? Kamu masih dalam masa hukuman. Untuk apa kamu kemari?"
Luna tetap tenang. "Saya datang untuk memberitahu Ayah bahwa Saya telah berubah pikiran. Saya bersedia masuk ke akademi."
Keheningan melanda. Duke Arslan tampak terkejut, lalu raut wajahnya melembut menjadi senyum bangga. "Bagus! Ayah tahu putri Ayah akan membuat keputusan yang tepat!" Ia hendak berdiri, tetapi kemudian berhenti. Matanya menyipit curiga.
"Tapi... ini tidak seperti dirimu. Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran?"
Luna sudah menduga pertanyaan ini. "Aku harus memberikan alasan yang masuk akal bagi seorang gadis manja," pikirnya cepat. "Saya... Saya hanya bosan, Ayah. Mendekam di kamar selama seminggu ini membuatku sadar, mungkin bersosialisasi di akademi tidak seburuk itu."
Alasan itu terdengar cukup dangkal dan khas Luna Velmiran. Duke Arslan mengangguk, tampaknya puas.
"Baiklah." Duke tersenyum kembali. "Apa ada hadiah yang kamu inginkan?"
Luna tersenyum. "Begitu doang? Terus di kasih hadiah?" Luna tidak bisa melewatkan kesempatan ini. "Saya ingin uang saku dalam jumlah besar."
Duke Arslan tertawa kecil, merasa geli. "Uang saku? Putriku, untuk apa? Katakan saja namamu di toko manapun di ibu kota, dan semua isinya bisa kau bawa pulang. Tagihannya akan sampai ke meja Ayah."
"Gila... Seriusan? Aku bisa melakukan hal ikonik 'borong semua toko ini' seperti di novel-novel miliarder itu?" batin Aluna histeris.
"Saya tidak ingin membeli gaun atau perhiasan, Ayah," jawabnya dengan suara terkendali. "Saya ingin membeli artefak dan membeli sesuatu yang terlihat berharga di pasar barang antik dan pelelangan. Untuk itu, Saya memerlukan uang tunai sendiri."
Alasan itu membuat Duke terdiam. Ia menatap putrinya, melihat kilat ambisi yang baru di matanya. Ia lalu bersandar dan mulai mengetukkan jarinya ke meja mahoni. Hening. Semua pekerja seoalah memahami isyarat itu dan diam. Satu-satunya suara di ruangan itu adalah ketukan ritmis yang terasa seperti dentuman palu godam di dada Luna.
Akhirnya, ketukan itu berhenti. Duke Arslan menatap lurus ke mata putrinya.
"Baiklah," katanya dengan nada final. "Permintaanmu disetujui. Nakun, Ayah juga punya satu syarat. Ikut Ayah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!