Seorang gadis berusia enam belas tahun sedang menyiapkan sebuah kantong kresek berwarna hitam.
Ia sedang menyusun tiga toples berukuran besar yang masing-masing toples berisi nasi goreng dalam wadah mika, toples kedua isi gorengan, toples ketiga isi donat.
Gadis itu sudah mencatat dalam list diponselnya, yang mana sudah tergabung dalam group WA para siswa kelas 1 SMK Harapan.
Ponsel android dengan model lama dan ram 2 yang ia manfaatkan untuk mencari pundi-pundi uang sembari bersekolah.
Ia mengenakan sepatunya. Terlihat robekan diujung sepatunya sudah mulai membesar, tetapi ia bekum memiliki uang untuk menggantinya, sebab Yatmi sang ibu hanya bekerja sebagai pedagang kue yang dititikan diwarung-warung, dan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka mereka.
Gadis itu sedang mengumpulkan pundi-pundi uangnya untuk membeli sepatu baru, dan juga keperluan sekolah lainnya, setidaknya ia tak membebani sang ibunda.
"Bu, Kalia pergi sekolah." gadis itu mencari sang ibunda yang masih sibuk didapur, mebersihkan sisa peralatan yang kotor dari saat memasak tadi.
Keduanya harus bangun pukul tiga pagi, untuk mempersiapkan segalanya.
Yatmi mengeringkan tangannya menggunakan daster yang dikenakannya. Lalu menyambut tangan puteri satu-satunya yang ingin menyalimnya.
"Hati-hati ya, Sayang." ia mengecup ujung kepala Kalia, lalu mendoakan yang terbaik untuk sang gadis.
"Iya, Bu. Jaga kesehatan, jangan terlalu capek," pesannya pada Yatmi. Kemudian ia meninggalkan rumah mereka yang terbuat dari papan dan berlantaikan semen.
Sebuah sepeda motor matic butut menjadi alat satu-satunya untuk ia pergi menempuh sekolah yang berjarak enam kilo meter dari rumahnya.
Ia mengendarai motor dengan sangat hati-hati, dan berharap tidak terlambat kesekolah, sebab gerbang akan ditutup dan tidak diperbolehkan untuk masuk.
Setibanya disekolah. Bel baru saja berbunyi. Ia bergegas menuju parkiran, dan hatinya merasa lega, sebab tidak terlambat.
Setelah memarkirkan motor, ia menuju kelas sembari menenteng barang dagangan yang sudah ada pemesannya.
Saat melintasi kantin, ia mendapatkan tatapan sinis dari ibu kantin, sebab menganggap Kalia adalah saingan, dan ini mengurangi pendapatan mereka, meski kenyataannya tak begitu, sebab jumlah siswa yang cukup banyak.
"Kalia, pesanan ibu ada?" seorang wanita berhijab segitiga dengan warna coklat muda datang menghampirinya.
Ia menggunakan kacamata dan pakaian seragam setelan. Wajahnya cantik, dengan tatapan kharisma yang memperlihatkan sebuah kewibawaan.
"Eh, Bu Kepsek. Ini ada, Bu." jawab Kalia. Ia membuka kantong plastik, dan menyerahkan satu toples segiempat yang berisi 50 buah donat dengan ragam toping.
"Ini uangnya," wanita yang tertulis nama Kinoy dipin depan dadanya itu menyerahkan uang seratus ribu rupiah.
"Wah, kembaliannya dua puluh lima ribu lagi belum ada, Bu. Nanti jam istirahat saya antar, ya," ucap sang gadis, sembari mengikat kantong kreseknya.
"Sudah, ambil saja buat kamu. Lagian harga satu seribu lima ratus dengan topping sebagus ini bakal rugi kamu," jawabnya, menolak kembalian dari siswanya tersebut.
Ia tahu, jika kehidupan Kalia kurang beruntung dibanding dengan rekan siswa lainnya. Namun, ia melihat jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh siswanya itu sangat besar, sehingga membuatnya berinisiatif untuk selalu memesan dagangan sang gadis, sebagai bentuk dukungannya.
"Terimakasih, Bu. Murah rezeki," sahut Kalia penuh syukur.
"Iya, sama-sama. Lagipula, dari pada beli diluar, mending beli sama kamu. Semangat belajarnya, ya," pesan wanita itu pada siswanya.
Kalia menganggukkan kepalanya, lalu keduanya berpisah.
"Kalia, buruan, laper--nih, belum sarapan." teriak Wina dari depan kelas. Sedangkan Ahyana dan Wisel ikut menantinya didepan kelas.
"Iya, sabar." Kalia setengah berlari menghampiri ketiganya. Bagaimanapun, mereka adalah pelanggannya yang setia. Mereka pesan nasi goreng dengan topping telur dadar, harga yang dibuatnya berkisar lima ribu hingga delapan ribu, tergantung porsinya.
"Kuy--lah. Belum sarapan ini." ketiganya mengekori Kalia kedalam kelas.
"Nih, pesanan kalian, yang porsi full," Kalia menyodorkan mika berisi nasi goreng kepada ketiganya, dan membayarnya.
"Kal, download applikasi dompet digital, biar enak bayarnya," ucap Wina, sembari mengunyah nasi gorengnya.
"Iyaz kita jarang bawa uang cash," sahut Wisel, yang mencomot potongan telur dadar dan suwiran daging ayam goreng.
"Iya, nanti aku instal," sahutnya, sembari melayani siswa lain yang membeli gorengannya, dan juga nasi goreng porsi kecil. Dalam sekejap, dagangannya ludes tanpa sisa.
Tak berselang lama, tanda jam pelajaran akan dimulai telah tiba. Terdengar suara langkah kaki seorang guru Bahasa Indonesia yang menuju ke dalam kelas.
Para siswa kembali kebangku masing-masing, dan menyimpan sebagaian makanan yanh belum sempat mereka makan.
****
Hari menunjukkan pukul empat sore. Para siswa membubarkan diri. Kalia bergegas menuju parkiran, dan ia menolak ajakan Wina, Ahyana dan Wisel yang akan pergi berbelanja ke kota, sebab ia masih ada keperluan lain unruk membeli bahan makanan untuk dagangannya esok.
Motor bututnya melintasi jalanan beraspal. Tujuannya adalah sebuah toko grosir, sebab disana harga lebih murah, untuk menekan biaya pengeluaran modal, dan menghasilkan untuk yang sebesar-besarnya, sebab itu adalah prinsip pelaku usaha.
Ciiiiiiittt
Tiba-tiba saja sebuah mobil yang melaju kencang menyerempetnya dari arah belakang.
Braaaaaak
Motor hilang keseimbangan, hingga membuat gadis itu harus tersungkur ketepi jalan, dan membuat toples dagangannya mengalami pecah.
Tak hanya itu, ujung sepatunya yang robek semakin membesar, serta luka lecet dibagian lutut dan sikunya.
Mobil itu berhenti mendadak, lalu keluar seorang wanita berpakaian rapih, wajahnya cantik, dan penampilannya sangat elegan, menandakan ia seorang wanita kaya.
Ia berjalan menghampiri sang gadis, lau berkacak pinggang. "Dasar, sudah miskin banyak tingkah! Kau sudah buat mobil depan saya lecet! Kamu harus tanggungjawab dan ganti rugi!" hardiknya dengan sangat kasar.
Bahkan tak sedikitpun rasa iba diwajahnya, dan membuat Kalia tersenyum miris.
Gadis itu menegakkan motornya, meski rasa sakit masih mendera tubuhnya, dan berusaha mengabaikan ucapan sang wanita yang menyayat hati.
"Kau tuli--ya?! Lihat mobil saya lecet! Kamu harus ganti! Jika tidak, saya akan menjebloskanmu ke penjara!" ancam sang wanita.
Kalia menoleh ke arah wanita arogan tersebut. Ia merasa jika sikapnya terlalu angkuh.
"Ibu yang menabrak saya, dan ibu pula yang ribut. Setidaknya ibu malu dengan penampilan ibu, terlihat saja orang kaya, namun miskin adab," sahut Kalia dengan ketus.
"Dasar lancang! Gadis miskin, tidak berpendidikan!" makinya dengan kasar.
Kalia mencoba meredam emosinya, dan memilih untuk menaiki motornya.
Wanita itu mencoba mencegahnya dan ingin menamparnya, tetapi Kalia menangkisnya dengan cepat, lalu menepisnya kasar.
"Ibuku tidak pernah mengasariku, dan tangannya hanya membelaiku dengan cinta, lalu anda dengan lancang ingin menamparku? Itu tidak akan pernah ku biarkan!" jawabnya dengan tatapan tajam, lalu meninggalkan wanita angkuh itu dengan hatinya yang hancur.
Kalia mengendarai motornya dengan hati lara. Baru kali ini ia menemui seseorang yang sangat begitu angkuh. Kalaupun ia miskin, laku apa hubungannya dengan caci makinya?
Toh, ia tak melakukan kesalahan apapun, sudah jelas wanita itu yang menyerempetnya, tetapi ia yang disalahkan.
Sepertinya itulah kehidupan, siapa yang berkuasa, maka ia yang akan menindas mereka yang dibawah.
Gadis itu terlihat menahan bulir bening yang sudah mengumpul disudut matanya, dan semakin lama ia menahan, maka semakin cepat tertumpah, hingga ia terisak dengan dadanya yang sesenggukkan.
Tanpa terasa, ia sudah tiba didepan grosir langganannya. Lalu menepikan motornya, dan menghapus jejak air matanya yang membasahi pipinya.
Ia menarik nafasnya dengan berat, lalu menghelanya berulang kali untuk menghilangkan rasa sesak didadanya. Ia harus membuang rasa sakit dihatinya, dan tak ada waktu untuk hal itu.
Terlihat deretan toko yang menjual berbagai bahan dan produk. Ia menuju toko sembako, dan membeli beberapa bahan untuk membuat adonan kue, dan beberapa keping bihun sebagai pesanan dari rekannya siswanya.
Setelah menyelesaikan belanjanya. Ia membawa kantong kresek yang berisi tepung, minyak goreng dan sebagainya dengan sangat hati-hati, sebab takut terjatuh, dan pastinya akan berantakan juga rugi.
Braaak
Seseorang menyenggolnya dan membuat barang belanjaannya terhempas keatas lantai teras toko, sehingga membuat beberapa bahan berserakan.
Seketika Kalia tercengang saat menatap bahan dagangannya berserakan. Ia mengangkat wajahnya dan melihat seseorang yang berseragam angkatan darat dengan wajah tampan tanpa dosa menatapnya penuh rasa bersalah.
"Maaf, maaf, aku tidak sengaja, aku akan menggantinya," ucapnya dengan cepat. Ia bergegas mengambil dompetnya, lalu mencari uang cash, tetapi tidak ada selembar uang pun disana, ia lupa menyiapkannya.
"Terlihat ia sangat buru-buru. Lalu mengeluarkan sebuah karth ATM berloga bank swasta dan memberikannya pada Kalia.
"Aku sedang terburu-buru, pakai saja ini, besok aku temui kamu didepan gerbang sekolah." pemuda itu melirik logo sekolah tempat dimana Kalia menimba ilmu. "Kode pin-nya angka berurutan." ia bergegas pergi begitu saja setelah memberikan kartu berbentuk pipih tersebut kepada Kalia.
Kalia yang tadinya akan marah, tiba-tiba terbengong, dan menatap punggung sang pemuda yang bernama Damar, dan itu ia ketahui saat tanpa sengaja membaca nama yang terbordir diseragam depan pria itu.
Damar menghilang diantara kerumunan orang yang berlalu lalang, dan todak lagi terlihat entah dimana.
Kalia memandangi benda pipih tersebut, lalu melirik bahan kuenya yang sudah berserakan. Ingin menolak, tetapi ia butuh untuk membeli pesanan dagangannya esok.
Gadis itu memungut barang yang dapat diselamatkan, dan mengambil uang dari benda pipih tersebut. Ia merasa gugup, sebab baru kali ini memegang kartu tersebut.
Ia pergi ke loket ATM dan iseng mengecek saldonya. Sontak saja ia terkejut melihat jumlahnya, dan ini membuatnya meremang.
Kemudian ia mengambil seperlunya saja, untuk membeli sisa barang yang hancur.
****
Terlihat seorang pria tampan berseragam sedang terburu-buru menuju ruang rapat. Ia sedang ditunggu karena sebagai pimpinan.
Diusianya yang ke tiga puluh, ia sudah mendapatkan pangkat Letnan Kolonel, dan hal itu merupakan prestasi yang membanggakan.
Kali ini, ia ada sebuah pergerakan yang akan mereka susun untuk menyergap para mafia yang telah menyeludup-kan barang haram yang akan dikirim kesebuah kota metropolitan dalam jumlah yang cukup besar, dan tak main-main, jumlahnya mencapai satu ton.
"Selamat sore, Letnan!" sapa para anggota rapat.
"Sore para angkatan!" balasnya dengan tegas, lalu mengambil alih rapat untuk memulai pembahasan mereka.
Meskipun masih muda, namun prestasi yang didapatnya cukup pesat, sehingga mengantarkannya menjadi seorang Letnan Kolonel diusianya yang masih terbilang muda.
Sementara itu, Kalia sudah tiba dirumahnya. Ia membawa barang belanjaannya, dan melihat sang ibu sedang terlihat mengenakan jaket, dan dikanan kiri keningnya terdapat tempelan koyo bernama putih.
"Assalammualaikum, Bu." Kalia menyalim ibunya. Lalu mengecup kening sang ibunda. "Ibu demam ya?" tanyanya dengan rasa khawatir. Ia meletakkan kantong kresek kedapur, lalu kembali menghampiri sang ibunda.
"Ibu sakit?" tanyanya lagi.
"Hanya pusing sedikit," jawab Yatmi. Ia tak ingin membuat gadis kecilnya khawatir.
"Ibu istirahat saja, nanti Kalia yang urus semuanya, lagi pula udah hafal bahan dan resepnya," gadis itu menuntun sang ibunda ke dalam kamar.
"Biar aku kerik," ucapnya dengan cemas.
"Kamu ganti pakaian, ibu baik-baik saja, dan jangan khawatir." Yatmi berusaha tersenyum.
"Tapi panas ibu tinggi banget. Ayo Kalia antar ke berobat," ia mulai memaksa.
"Ibu tiduran saja dulu, nanti juga baikan," tolaknya.
Akhirnya Kalia mengalah, lalu memijat sejenak sang ibu, dan memberikan baluran minyak urut untuk meringankan rasa sakit dikepala sang ibunda.
Perlahan Yatmi mulai memejamkan matanya, dan tertidur.
Kalia bergegas mengemas rumah, lalu melihat waktu yang hampir senja, ia menyempatkan untuk mengerjakan PR, sebab malam nanti akan menyiapkan bahan adonan dagangannya.
****
Malam semakin gelap. Waktu memperlihatkan pukul sembilan malam. Kalia masih sibuk dengan adonannya. Hingga ia mendengar suara sang ibu terbatuk.
"Uhuk,"
Gadis itu bergegas menyudahi pekerjaannya lalu menuju ke kamar dan melihat Yatmi sedang merasakan sesak nafas.
"Bu," pekiknya dengan panik. Ia menghampirinya dengan langkah yang cepat.
"Kita berobat," paksa Kalia.
"Ibu tidak punya uang," jawabnya lirih.
"Pakai kartu bantuan pemerintah," jawabnya lugas. Lalu memaksa sang ibunda untuk pergi ke klinik terdekat.
Yatmi berusaha menolak, tetapi Kalia tak ingin kalah keras dengan keinginannya.
Ia menuju lemari pakaiannya. Lalu mengambil sebuah botol bekas bedak baby yang ia jadikan sebagai alat untuk menabung dan rencananya akan ia pakai untuk membeli sepatunya yang sudah robek.
Namun, kali ini ia membuang semua inginnya, dan mementingkan kesehatan sang ibunda.
Ia menyambar jaket yang menempel didinding, lalu mengenakannya.
Gadis itu memaksa sang ibunda untuk pergi berobat, dan akhirnya tanpa penolakan, keduanya pergi ke klinik.
Setibanya ditempat tersebut, Kalia mengambil nomor antrian, lalu menyerahkan kartu berobat gratis dari pemerintah.
Setelah mendapatkan antrian, ternyata kartu tersebut sudah tidak aktif, dan Kalia harus membayar secara mandiri.
"Kartunya sudah tidak aktif, dan biayanya harus dibayar secara mandiri," ucap seorang wanita yang bertugas sebagai petugas pendaftaran.
Kalia merogoh tas selempang berukuran kecil yang me jadi tempat ponsel dan juga uang miliknya.
"Kenapa bisa tidak aktif, Bu?" tanyanya dengan lirih. Ia was-was jika biayanya cukup besar, uang dari mana ia untuk membayarnya.
"Di cek ke Dokter saja dulu, Mbak. Nanti baru tau biayanya," wanita itu menjelaskan.
Terlihat Yatmi mendengar obrolan keduanya. Ia semakin merasa khawatir, sebab tahu jika puterinya tak memiliki uang.
Kalia menghampiri sang ibunda yang menantinya dikursi antrian dengan wajah yang pucat.
"Sayang, kita pulang saja, ibu sudah sehat," ucapnya berbohong.
"Tidak, ibu harus diperiksa. Jangan fikirkan masalah biayanya, Kalia bisa cari," ucapnya dengan tegas.
Yatmi dibawa keruangan pemeriksaan, dan mendapatkan hasil yang sangat mengejutkan, dimana terdapat adanya timbunan lemak pada bagian hati, dan hal ini yang membuat tubuh Yatmi merasa lemas dan demam tinggi, tetapi menggigil kedinginan.
"Ibu harus rawat inap, dan menjalani perobatan yang intensif, sampai dinyatakan bisa pulang," Dokter wanita itu mencoba menjelaskan.
Kalia terlihat khawatir. Ia tidak tega mendengar penuturan Dokter tentang kondisi ibunya yang harus dirawat inap.
"Kalau boleh tahu, apa penyebab penyakit ibu saya, Dok?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Dokter tersebut menatapnya. Ia melihat jika Kalia saat ini adalah gadis yang penuh dengan semangat tinggi dalam menjalani hidupnya, bahkan mandiri.
"Ibumu kelelahan dan sering bergadang malam, sehingga menyebabkan terinfeksi liver atau disebut hepatitis C," ujar sang Dokter, mencoba menjelaskan kronologi penyakit Yatmi.
"Apa resikonya, Dok?" rasa khawatir mulai menyerang hatinya. Namun, ia harus berusaha bersikap tenang agar sang ibunda tidak risau.
"Jika tidak diobati dapat terjadi pembengkakan pada bagian perut dan berakibat fatal,"
Kalia tercengang. Lalu menghirup udara dengan berat dan menghelanya. Ia tahu ini akan menghadapi banyak masalah. Dimana akan berbagi waktu dengan sekolah, dan juga merawat sang ibunda.
Apalagi jadwal pulang sekolah hingga sore hari, dan ia juga harus menyiapkan bahan dagangannya.
"Rawat ibu saya, Dok. Masalah biayanya akan saya usahakan," jawabnya dengan tegas, meskipun sejatinya ia sendiri bingung untuk mencari biaya tersebut.
"Tapi--," Yatmi menghentikan ucapannya, saat Kalia menempelkan jemari tangannya dibibir sang ibu.
"Sudah, ibu istirahat disini. Mungkin sering bergadang buat kue, jadi ibu sakit seperti ini," Kalia menatap sang ibunda. Ia mencoba menyembunyikan semua permasalahan hidupnya.
Yatmi lagi-lagi tak dapat menolak, dan ia harus dirawat inap malam ini, dan ditempatkan diruangan pasien.
"Bu, Kalia pulang dulu, mau ambil pakaian ganti buat ibu." Ia berpamitan pada Yatmi setelah wanita itu dipasang jarum infus.
Iya, hati-hati," pesan Yatmi. Ada gurat kesedihan diwajahnya, sebab ia merasa akan me jadi beban bagi puterinya.
"Ya." Kalia mengecup kening ibunya, lalu beranjak pergi dari klinik.
Ia kembali mengendarai motornya dan menuju pulang kerumah. Jalanan yang ramai dan cukup padat, membuatnya berhati-hati agar tidak lagi ada kejadian yang tidak mengenakkan seperti waktu kemarin.
Setibanya dirumah, ia bergegas menyiapkan semua bahan yang akan ia masak esok pagi, dan berpacu dengan waktu. Hingga akhirnya, ia tertidur saat larut malam.
Saat menjelang pukul empat pagi. Ia beranjak, bangkit, dan menyiapkan dagangannya. Lalu mengemasnya. Bahkan ia tak sempat sarapan pagi.
Gadis itu membawa barang dagangannya saat waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Kemudian menuju klinik untuk melihat ibundanya, dan mengantarkan pakaian ganti. Sedangkan untuk sarapan sudah disiapkan oleh pihak klinik.
"Bu, Kalia tidak dapat lama, harua ke sekolah." ia menyerahkan pakaian ganti dan juga sejumlah uang hasil.tabungannya yang akan ia gunakan untuk mebeli sepatu, tetapi takdir berkata lain.
"Hati-hati, Sayang." pesan Yatmi dengan tubuh yang masih lemah.
Kalia menganggukkan kepalanya, dan bergegas pergi.
Yatmi merasakan betapa sulitnya hidup puteri kesayangannya. Rasa hatinya ingin segera sembuh, dan membantu gadis kecil tersebut, tapi sayangnya, ia harus terbaring diranjang rumah sakit, diruangan yang dingin tanpa ada yang menemani.
Kalia mengendarai motornya menuju ke sekolah. Ia harus bergelut dengan waktu serta kecepatan motor bertambah laju. Setibanya disekolah, ia setengah berlari menuju kelas, dan hampir saja terdahului oleh guru Matematika.
Ia menyusun toples dagangannya disamping meja belajar, dan tidak sempat menjualnya, sebab sudah sangat terlambat.
Wisell yang duduk dibelakangnya, mencoleknya menggunakan pena. "Kenapa terlambat?" tanyanya dengan kesal, sebab perutnya sudah keroncongan, karena tidak sempat sarapan.
"Sorry, ibuku masuk klinik, jadi aku ngerjain sendiri semuanya," sahut Kalia setengah berbisik. Nafasnya masih tersengal.
Seorang guru matematika masuk ke dalam kelas dan menatap dagangan Kalia dengan tatapan yang dingin.
Saat tiba dimeja guru, wanita itu terlihat sinis kepadanya, lalu melipat kedua tangannya disepan dada.
"Didalam kelas itu dilarang untuk berjualan, dan seharusnya kamu tahu aturan sekolah!"" sindir sang guru dengan nada ketus. Entah apa yang membuatnya berkata seperti itu, bukankah seharusnya ia mendukung siswanya?
Kalia tercengang. Ia menundukkan kepalanya, kali ini ia merasa jika mentalnya sangat down.
"Tapi saya berjualan bukan saat jam belajar, Bu. Ini untuk bantu ibu beli kebutuhan pokok." Kalia mencoba membela dirinya, dan berharap jika wanita itu mengerti kondisinya.
"Disekolah ini ada kantin. Mereka bayar perbulan, dan kamu merusak dagangan mereka, itu tandanya kamu memutus rezekinya," sahut wanita itu dengan tatapan yang sangat dalam.
Kalia merasa terpojok. Ia terdiam seribu bahasa. Ia tahu jika ia berdagang tidak membayar sewa lapak, tetapi ia merasa jika apa yang dilakukannya tidak melanggar aturan, sebab berdagang bukan saat jam pelajaran.
"Apa bedanya, Bu? Jika begini, ibu juga memutus rezeki Kalia," celetuk Ahyana, dengan nada santai, sembari memutar penanya.
Sontak saja, wanita bernama Suri dengan rambut digelung keatas itu menatap Ahyana dengan sorot mata tajam, dan bibirnya yang yang ditarik kedalam.
"Jangan membantah! Atau kamu juga ingin saya beri sanksi karena ikut membelanya?!" ancam Suri dengan nada intimidasi.
Sontak saja gal itu membuat kemarahan para siswa. Bagi mereka Kalia hanya menjual makanan itu teman mereka di kelas, tidak sampai mencakup siswa yang dikelas lainnya.
"Bu, Kalia itu dagang bukan untuk kaya, tapi untuk membuat perutnya agar tetap terisi setiap hari, meskipun tidak kenyang." Wina menimpali.
"Cukup! Saya ingatkan buat kalian! Jika sampai ada yang membeli dagangannya didalam kelas, maka saya akan beri nilai buruk pada kalian semua!" wanita itu semakin berang, dan membuat kebencian tertanam pada diri siswa karena sikap yang arogan.
Sementara itu, Kalia menahan rasa kesedihannya, sebab hal itu membuat ia akan kehilangan mata pencahariannya, dan ibunya sedang butuh uang untuk perobatan.
Wisell mencoba menenangkan Kalia, ia mengusap punggung sahabatnya dari arah belakang.
"Tenang, Kal, Tuhan gak tidur, dan Dia melihat semuanya. Kamu yang sabar, kita akan usaha bantu kamu, Kok," Ahyana menimpali, mencoba menyemangati keputusasaan yang dirasakan oleh Kalia, si gadis tangguh.
Suasana kelas yang tadinya sempat tegang, perlahan hening dengan rasa penuh kebencian yang terpatri pada hati mereka.
Pembelajaran dimulai, dan semua siswa mengikuti pembelajaran yang sudah terjeda beberapa saat dengan tak nyaman.
Setelah jam pelajaran berakhir dan Suri meninggalkan kelas, mereka menghampiri Kalia, lalu membayar dagangan rekannya. Semakin mereka dicegah, maka pemberontakan keras.
"Sudah jangan sedih. Kita akan tetap beli daganganmu, diluar kelas, alias dipintu gerbang sekolah, mulai besok!" Ahyana menggerakkan para rekannya dengan kalimat penentangan terhadap sebuah penindasan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!