NovelToon NovelToon

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Bab 1 : Prolog

Malam itu sunyi. Hanya suara jangkrik yang menemani langkah tergesa seorang wanita yang menggendong bayi mungil. Bayi itu menangis kencang, suaranya melengking memecah keheningan. Seakan tahu, ia sedang dijauhkan dari pelukan yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

“Diamlah, sayang… sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja,” bisik wanita itu panik, meski hatinya sendiri diliputi ketakutan.

Tapi takdir berkata lain. Dalam gelap, sebuah mobil berhenti mendadak. Beberapa pria berseragam keluar, menghadang langkahnya. Bayi itu terlepas dari pelukannya, berpindah ke tangan orang asing. Tangisan kecil itu akhirnya mereda dalam pelukan yang baru, dan sejak malam itu, jalan hidupnya pun berubah selamanya.

 

Bertahun-tahun kemudian…

Awan kelabu menggantung di langit Kota Olympus. Hujan rintik turun membasahi tanah pemakaman. Di antara ratusan orang berpakaian hitam, seorang gadis berdiri kaku, tubuhnya sedikit gemetar.

Eleanor Cromwel.

Air matanya terus jatuh, meski sudah ia tahan sejak tadi. Di hadapannya, nisan ayah tirinya berdiri kokoh, menyakitkan sekaligus menenangkan.

“Selamat jalan, Ayah…” bisiknya lirih. Suaranya pecah, seakan setiap kata ikut menyeret hatinya yang hancur.

Dari balik kerudung hitam, ia melirik ke arah ibu tirinya. Wanita itu berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, seakan kematian suaminya tidak meninggalkan luka sedikit pun. Tatapan dingin itu membuat Eleanor merasa semakin sendirian.

Namun, di sisi lain, ada dua orang yang membuatnya sedikit kuat. Kedua kakak tirinya.

Mereka berdiri di dekatnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap dengan sorot mata penuh kehangatan. Tatapan yang seolah berkata, “Kau tidak sendirian, kami ada di sini.”

Eleanor menghela napas panjang. Meski hatinya perih, ia masih bisa merasakan sedikit kelegaan. Kehilangan ayah adalah pukulan besar, tapi ia tahu… masih ada kakak-kakaknya yang selalu siap melindunginya.

Hari itu, untuk pertama kalinya sejak kematian ayah, Eleanor belajar satu hal, yaitumeski rumah akan menjadi dingin dan penuh kebencian dari sang ibu tiri, ia masih punya tempat untuk bersandar.

Tempat itu ada pada dua sosok kakak kembarnya.

Tahun demi tahun berlalu…

Suatu pagi yang cerah, matahari menembus tirai putih kamar yang mewah dan luas. Di atas ranjang besar dengan sprei lembut, seorang gadis masih terlelap. Wajah cantiknya tampak begitu damai, seolah dunia luar tak sanggup mengganggu mimpinya.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

“Bangun! Dasar pemalas! Apa kau ingin tidur seharian?!”

Suara lantang itu menggema dari balik pintu, membuat Eleanor tersentak.

Ia membuka matanya perlahan, kelopak matanya masih berat. Dengan suara lembut yang nyaris serak, ia menjawab, “Iya, Ibu…”

Nada lembutnya kontras dengan kasar dan dinginnya suara sang ibu tiri. Meski hatinya terasa perih setiap kali mendengar bentakan itu, Eleanor sudah terbiasa.

Dengan rambut yang berantakan dan wajah yang masih kusut karena tidur, ia bergegas bangkit. Kakinya melangkah pelan menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia sempat menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan.

“Pagi yang panjang lagi…” gumamnya lirih, sebelum akhirnya membuka pintu kamar mandi dan membiarkan air membasuh rasa kantuknya

Air hangat membasuh tubuhnya, perlahan menghapus sisa kantuk yang masih menempel. Eleanor menutup matanya sejenak, membiarkan butiran air jatuh di wajahnya. Itu satu-satunya waktu di mana ia bisa merasa sedikit tenang—di bawah pancuran air, sendirian, jauh dari suara bentakan yang biasa ia dengar setiap hari.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan rambut yang masih sedikit basah, mengenakan seragam sekolanya. Meski kehidupannya terlihat sempurna, berbeda dengan gadis-gadis biasa, Eleanor tahu ia tak pernah benar-benar dianggap istimewa oleh sang ibu tiri.

Begitu membuka pintu kamar, suara ketukan hak sepatu sudah terdengar di ujung koridor. Ibu tirinya berdiri di sana, dengan wajah dingin dan tatapan menusuk.

“Kau memang selalu lambat,” ucapnya ketus, menyapu Eleanor dari kepala hingga kaki. “Jangan membuatku repot mengingatkanmu setiap pagi. Kalau bukan karena ayahmu… aku tidak akan sudi membiarkanmu tinggal di rumah ini.”

Eleanor menunduk sopan, menahan gejolak di dadanya. Bibirnya bergetar, tapi ia tetap berusaha menjawab dengan suara lembut, “Maaf, Ibu. Aku akan lebih cepat lain kali.”

Wanita itu mendengus, lalu berbalik dengan langkah angkuh. “Cepat turun. Sarapan sudah siap. Dan jangan buat kedua kakakmu menunggu.”

Eleanor menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, ia berjalan menuruni tangga besar menuju ruang makan. Aroma roti panggang dan sup hangat tercium dari kejauhan.

Di meja panjang berlapis taplak putih, dua sosok kembar yang sudah sangat dikenalnya duduk berdampingan. Keduanya tampak rapi dengan kemeja hitam, aura dingin namun berwibawa. Begitu melihat Eleanor, mereka menoleh hampir bersamaan.

Tatapan hangat itu kembali menyambutnya—tatapan seorang kakak yang seolah berkata: “Kami ada di sini.”

Eleanor tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Kehangatan sederhana itu cukup untuk membuatnya bertahan menghadapi hari yang baru.

Air hangat membasuh tubuhnya, perlahan menghapus sisa kantuk yang masih menempel. Eleanor menutup matanya sejenak, membiarkan butiran air jatuh di wajahnya. Itu satu-satunya waktu di mana ia bisa merasa sedikit tenang—di bawah pancuran air, sendirian, jauh dari suara bentakan yang biasa ia dengar setiap hari.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan rambut yang masih sedikit basah, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Meski pakaiannya tampak indah, berbeda dengan gadis-gadis biasa, Eleanor tahu ia tak pernah benar-benar dianggap istimewa oleh sang ibu tiri.

Begitu membuka pintu kamar, suara ketukan hak sepatu sudah terdengar di ujung koridor. Ibu tirinya berdiri di sana, dengan wajah dingin dan tatapan menusuk.

“Kau memang selalu lambat,” ucapnya ketus, menyapu Eleanor dari kepala hingga kaki. “Jangan membuatku repot mengingatkanmu setiap pagi. Kalau bukan karena ayahmu… aku tidak akan sudi membiarkanmu tinggal di rumah ini.”

Eleanor menunduk sopan, menahan gejolak di dadanya. Bibirnya bergetar, tapi ia tetap berusaha menjawab dengan suara lembut, “Maaf, Ibu. Aku akan lebih cepat lain kali.”

Wanita itu mendengus, lalu berbalik dengan langkah angkuh. “Cepat turun. Sarapan sudah siap. Dan jangan buat kedua kakakmu menunggu.”

Eleanor menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, ia berjalan menuruni tangga besar menuju ruang makan. Aroma roti panggang dan sup hangat tercium dari kejauhan.

Di meja panjang berlapis taplak putih, dua sosok kembar yang sudah sangat dikenalnya duduk berdampingan. Keduanya tampak rapi dengan kemeja hitam, aura dingin namun berwibawa. Begitu melihat Eleanor, mereka menoleh hampir bersamaan.

Tatapan hangat itu kembali menyambutnya—tatapan seorang kakak yang seolah berkata: “Kami ada di sini.”

Eleanor tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Kehangatan sederhana itu cukup untuk membuatnya bertahan menghadapi hari yang baru.

Ruang makan keluarga Cromwel terlihat mewah dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Meja panjang penuh dengan hidangan: roti, sup hangat, salad, hingga ayam panggang beraroma menggoda. Namun, bagi Eleanor, semua itu tidak ada artinya.

Ia duduk di kursinya dengan tenang, pandangan matanya hanya tertuju pada piring kosong di depannya. Tangannya yang rapi terlipat di pangkuan, seolah enggan menyentuh sendok garpu.

Daniel, kakak tertuanya, memperhatikan diamnya Eleanor. Dengan suara lembut penuh wibawa, ia berkata,

“Ela, makanlah. Kau perlu sarapan agar tetap sehat.”

Nada suaranya sopan, tidak memaksa, tapi cukup untuk membuat Eleanor mengangkat wajahnya sejenak. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

Sementara itu, Dominic, sang adik kembar, justru bertindak dengan cara berbeda. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih gelas air di depannya lalu mendorongnya ke arah Eleanor.

“Minum dulu. Wajahmu kelihatan pucat,” ucapnya singkat, dengan nada santai khas dirinya yang nakal tapi peduli.

Eleanor tertegun sesaat, hatinya terasa sedikit hangat oleh perhatian mereka. Namun sebelum ia sempat menjawab, suara manis yang dibuat-buat terdengar dari seberang meja.

“Oh, sayangku”

Ibu tirinya tersenyum, suaranya berubah lembut—berbanding terbalik dengan nada kasar yang membangunkannya pagi tadi. “Kenapa hanya menatap piringmu? Kau harus makan. Lihat, Ayam panggang ini kesukaanmu, bukan?”

Wanita itu lalu mengambil sepotong ayam dengan senyum ramah, meletakkannya perlahan di piring Eleanor. Gestur penuh kasih sayang itu jelas hanya sandiwara. Semua tahu, di hadapan kedua putranya, ia selalu bersikap manis kepada Eleanor.

Eleanor mengangguk pelan, bibirnya tersungging senyum tipis. “Terima kasih, Ibu…” ucapnya lembut, meski hatinya berkata lain.

Eleanor menggeser garpu di tangannya, mencoba mencicipi ayam yang baru saja diletakkan sang ibu tiri ke piringnya. Potongan kecil itu ia kunyah perlahan, meski sebenarnya tak ada selera.

Daniel meliriknya sebentar, lalu membuka percakapan.

“Kau tidur nyenyak semalam, Ela? Belakangan ini kau terlihat sering lelah.”

Nada suaranya penuh perhatian, hangat, membuat Eleanor sejenak melupakan rasa canggungnya.

Eleanor tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Kak. Hanya sedikit mengantuk.”

Belum sempat Daniel menanggapi, Dominic menyela sambil menopang dagu dengan tangan. Senyum nakalnya muncul.

“Ngantuk? Itu karena kau terlalu sering begadang, kan? Jangan bilang kau diam-diam membaca novel sampai pagi lagi?”

Eleanor tersipu, buru-buru menggeleng. “Tidak, Kak… aku tidak—”

Belum selesai ia menjelaskan, Dom sudah terkekeh pelan, jelas sedang menggoda.

“Aku tahu ekspresi itu. Kau selalu kelihatan polos saat berbohong.”

Daniel menggeleng kecil, menatap kembarannya dengan nada setengah menegur.

“Dom, jangan membuatnya tidak nyaman di pagi hari.”

“Tenang saja, aku hanya bercanda,” balas Dom santai, tapi matanya tetap terarah pada Eleanor yang menunduk.

Di sisi lain, ibu tirinya menyimak percakapan itu dengan senyum manis yang dibuat-buat.

“Lihatlah, kalian berdua selalu perhatian pada adik kalian. Ibu Senang Melihatnya…” katanya dengan nada manis.

Namun tatapan matanya pada Eleanor sesaat terasa dingin—tatapan yang hanya bisa Eleanor mengerti.

Bab 2

Sarapan pagi di rumah Cromwel selalu terlihat rapi. Meja panjang dengan taplak putih bersih, hidangan tersusun cantik: roti panggang, selai, telur rebus, hingga sup hangat. Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya keemasan, menambah kesan elegan pada ruangan.

Daniel duduk tegak di kursinya, kemeja abu muda tersemat rapi, dasinya terikat sempurna. Ia memang selalu terlihat seperti itu—tenang, berwibawa, penuh wibawa seorang kakak tertua. Tangannya meraih cangkir kopi, ia menyesap sedikit sebelum menaruhnya kembali.

“Aku berangkat lebih dulu,” ucapnya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Suaranya tenang namun tegas, khas Daniel. “Ada rapat penting di kantor pagi ini. Ela, jangan lupa sarapanmu dihabiskan, jangan terlalu terburu-buru.”

Eleanor yang sejak tadi hanya menatap piringnya, mengangkat wajah dan tersenyum tipis.

“Iya, Kak Dan. Hati-hati di jalan,” jawabnya lembut.

Daniel berdiri, merapikan jas hitamnya, lalu berjalan menghampiri Eleanor. Ia menepuk pelan bahu adik tirinya itu, gerakan sederhana tapi terasa hangat. “Jangan terlalu banyak pikiran. Hari ini akan baik-baik saja.”

Eleanor mengangguk, meski hatinya tetap terasa berat. Sejenak, ia membiarkan dirinya menikmati ketenangan yang selalu dibawa Daniel setiap kali berbicara.

Tak lama setelah Daniel keluar, Dominic bersandar santai di kursinya. Berbeda jauh dengan kakaknya, ia hanya mengenakan kemeja putih dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Rambutnya agak berantakan, tapi justru membuatnya terlihat semakin mencolok.

“Aku juga harus pergi,” katanya sambil berdiri malas-malasan, satu tangan menyelip di saku celana. “Ada urusan di luar yang harus kuselesaikan.”

“Urusan?” Ibunya mengangkat alis, suaranya terdengar curiga.

Dom menyeringai, ekspresinya penuh percaya diri. “Santai saja, bukan sesuatu yang buruk. Lagipula, aku bukan anak kecil lagi.”

Sebelum pergi, ia menoleh ke arah Eleanor. “Ela, jangan sampai ketiduran di kelas. Kalau sampai aku dengar kau tidur di tengah pelajaran lagi, aku sendiri yang akan menyeretmu pulang.” Nada suaranya setengah menggoda, setengah mengancam, tapi jelas ada rasa peduli di dalamnya.

Eleanor menunduk, senyum malu tersungging di bibirnya. “Aku akan berusaha, Kak Dom.”

Dom terkekeh, lalu melambaikan tangan seadanya sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Begitu suara langkah Daniel dan Dominic menghilang di balik pintu besar rumah, keheningan langsung menyelimuti ruang makan. Suasana hangat yang tadi sempat terasa kini berganti menjadi dingin dan menyesakkan.

Eleanor masih menunduk, matanya terpaku pada sisa makanan di piring. Ia tak berani bergerak sebelum mendengar suara yang ia tunggu-tunggu… atau lebih tepatnya, suara yang ia takuti.

Benar saja.

“Dasar anak manja,” suara ibu tirinya terdengar tajam, sangat berbeda dengan nada manis yang tadi ia gunakan di depan kedua putranya. “Kau duduk saja diam, menatap piringmu, menunggu mereka memperhatikanmu. Kau pikir sampai kapan bisa terus bersembunyi di balik kasih sayang Daniel dan Dominic?”

Eleanor menggenggam garpunya erat-erat, menunduk lebih dalam. “Aku tidak bermaksud begitu, Ibu,” ucapnya pelan.

Wanita itu berdiri, hak sepatunya mengetuk lantai marmer dengan keras. Ia berjalan mendekati Eleanor, membungkuk sedikit agar wajah mereka sejajar. Tatapannya menusuk.

“Ingat baik-baik, kau hanya numpang di keluarga ini. Kalau bukan karena ayah mereka, aku tidak akan sudi merawatmu. Jadi jangan pernah membuat malu nama Cromwel di luar sana. Mengerti?”

Eleanor menelan ludah, lalu mengangguk patuh. “Iya, Ibu.”

Senyum sinis terbit di bibir wanita itu. Ia berdiri kembali, lalu meraih cangkir tehnya dengan anggun, seolah tak pernah mengucapkan kata-kata kejam barusan.

“Bagus. Sekarang cepat bereskan dirimu. Sopir sudah menunggu untuk mengantarmu ke sekolah. Jangan membuatnya lama menunggu.”

Eleanor berdiri perlahan, kursinya bergeser mengeluarkan bunyi gesekan halus. Ia menunduk dalam-dalam, lalu berjalan keluar ruang makan. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena terburu-buru, tapi karena ketakutan yang selalu menyelimuti setiap kali ia ditinggal berdua dengan ibu tirinya.

Saat langkahnya menjauh, Eleanor menggenggam tasnya erat-erat.

Andai Ayah masih ada… mungkin semuanya tidak akan seperti ini.

Udara pagi terasa segar ketika Eleanor melangkah keluar rumah besar keluarga Cromwel. Di depan pintu, sebuah mobil hitam sudah menunggu dengan mesin menyala tenang. Pak Anton, supir keluarga yang sudah bekerja puluhan tahun, segera turun dan membukakan pintu belakang.

“Selamat pagi, Nona Ela,” ucapnya sopan dengan senyum ramah.

Eleanor membalas dengan anggukan kecil dan senyum lembut. “Pagi, Pak Anton.” Ia masuk ke dalam mobil, duduk rapi dengan tas di pangkuan.

Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Sejenak, keheningan memenuhi kabin. Namun Pak Anton, yang sudah terbiasa melihat tingkah laku penghuni rumah itu, akhirnya membuka suara.

“Bagaimana pagi Anda, Nona? Semoga tidak terlalu berat,” tanyanya hati-hati, sambil tetap fokus ke jalan.

Eleanor menoleh ke jendela, menatap pepohonan yang berderet di sepanjang jalan. Bibirnya membentuk senyum samar. “Baik, Pak. Tidak ada yang berbeda.”

Pak Anton menghela napas kecil. Nada suaranya tetap tenang, tapi ada rasa kasihan terselip di sana. “Nona Ela selalu menjawab begitu. Padahal saya tahu, tidak semua pagi di rumah itu menyenangkan.”

Eleanor terdiam. Matanya memandangi pantulan wajahnya sendiri di kaca jendela. Setelah beberapa detik, ia tersenyum kecil, mencoba terdengar meyakinkan.

“Tidak apa-apa, Pak Anton. Selama aku masih punya sekolah untuk kudatangi, aku sudah cukup bersyukur.”

Supir tua itu menoleh sekilas melalui kaca spion, menatap gadis itu dengan iba. Ia tahu betul sifat sang nyonya rumah, betapa dinginnya wanita itu pada Eleanor. Tapi baginya, Eleanor tetaplah putri bungsu keluarga Cromwel—manis, sopan, dan penuh kesabaran.

Mobil hitam elegan itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Sontak, beberapa siswa yang sedang nongkrong di dekat sana langsung melirik penasaran.

“Eh, tuh… Eleanor Cromwel dateng,” bisik seorang siswi sambil mendorong pelan temannya.

“Gila, Dia cakep banget. Kayak artis, sumpah,” sahut yang lain dengan nada kagum.

Seorang siswa cowok menyilangkan tangan, menatap dengan nada setengah iri. “Ya iyalah, anak orang kaya. Tiap hari dianterin mobil keren gitu. Hidupnya enak banget, nggak kayak kita yang naik motor.”

“Enak apanya,” celetuk yang lain, pura-pura acuh. “Cantik sih, tapi kelihatan dingin banget. Kayak nggak peduli sama orang sekitar.”

Meski begitu, hampir semua mata tetap mengikuti gerak Eleanor.

Gadis itu turun dengan tenang, menunduk sedikit sebelum melangkah. Senyum sopan ia berikan pada Pak Anton yang masih menunggu di kursi kemudi. “Terima kasih, Pak. Hati-hati ya.”

“Selalu, Nona Ela, semoga hari anda menyenangkan.” jawab Pak Anton hangat sebelum mobil kembali melaju pergi.

Langkah Eleanor melewati gerbang membuat beberapa siswa otomatis memberi jalan. Ia tahu ada banyak bisikan di belakangnya, tapi memilih tetap menunduk, tidak menanggapi apa pun.

Bagi Eleanor, sekolah adalah satu-satunya tempat ia bisa merasa “bebas” dari rumah. Tapi kebebasan itu tetap membawa beban lain, sorotan mata yang tidak pernah berhenti mengikuti ke mana pun ia pergi.

Koridor sekolah sudah ramai dengan siswa yang lalu-lalang. Suara tawa, langkah kaki, dan obrolan berbaur jadi satu. Namun seketika suasana itu agak mereda ketika Eleanor berjalan melewati mereka.

Beberapa siswi otomatis berbisik sambil melirik ke arahnya.

“Itu dia, Eleanor Cromwel…”

“Cantik parah, sumpah.”

“Ya ampun, jalannya aja anggun gitu.”

Cowok-cowok yang nongkrong di dekat loker pun nggak ketinggalan pasang mata.

“Buset, aura dia beda banget.”

“Pantesan semua orang ngomongin, tiap dia lewat kayak slow motion.”

Eleanor menunduk sedikit, berusaha tidak menatap balik. Ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian, tapi tetap saja perasaan canggung itu nggak pernah hilang. Langkahnya tetap tenang hingga akhirnya ia sampai di kelas.

Kelas sudah cukup ramai ketika Eleanor masuk. Suara obrolan bercampur tawa memenuhi ruangan. Begitu ia melangkah masuk, beberapa kepala otomatis menoleh, seperti biasa. Ada yang hanya melirik sekilas, ada pula yang terang-terangan menatap lama.

Eleanor menarik napas dalam, lalu menuju bangku kosong di dekat jendela. Ia lebih suka duduk di sana, tenang, tidak terlalu mencolok.

Baru saja ia meletakkan tas, seorang siswi dengan rambut dikuncir dua duduk di sebelahnya sambil tersenyum lebar. “Hai! Lo Eleanor kan? Tapi boleh nggak gue panggil lo Lala aja? Soalnya… nama Eleanor tuh kayak keren banget gitu, jadi gue takut kalo manggilnya salah. Hehe.”

Eleanor sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Hm… iya, nggak apa-apa. Panggil aja Lala kalau kamu mau.”

Mata siswi itu berbinar. “Asiiik! Gue Bella, Bella Helios. Jangan ilfeel ya kalo gue agak bawel. Soalnya kata orang, gue tuh nggak bisa diem.”

Eleanor terkekeh kecil, suara tawa yang jarang keluar darinya. “Aku nggak masalah kok.”

Baru beberapa menit kenal, Bella langsung nyerocos lagi. “Eh, sumpah deh, lo tuh cantik banget, Lala. Pantesan tadi di gerbang semua orang pada nengok ke lo. Gue aja yang cewek sampe bengong.” Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri dramatis. “Gila, jangan-jangan lo bidadari nyasar ya?”

Eleanor geleng-geleng, pipinya memerah. “Kamu lebay banget.”

“Lebay tanda sayang,” sahut Bella cepat sambil nyengir.

Tiba-tiba suara tawa kecil terdengar dari deretan kursi depan. Seorang siswi berambut pirang menoleh sambil menyilangkan tangan di dada. Veronica Jackson. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh sinis.

“Dari tadi ribut banget sih. Baru masuk kelas udah kayak pasar. Apalagi kamu, Bella. Biasa aja kali, nggak usah heboh sama orang yang baru datang.”

Bella langsung mendengus, matanya melotot kecil. “Ih, Ver, lo sirik ya? Gue kan cuma ngobrol sama Lala, bukan ngajak lo. Santai aja napa.”

Veronica mengangkat alis, menatap Eleanor dari ujung kepala sampai kaki. “Lala, ya? Panggilannya lucu juga. Semoga aja nggak cuma cantik doang, tapi juga pinter. Di sekolah ini, nama besar keluarga aja nggak cukup.”

Eleanor menunduk, tidak ingin memperpanjang masalah. Tapi Bella menepuk meja pelan, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya dengan wajah menantang.

“Tenang aja, Ver. Gue rasa Lala bisa lebih dari cukup buat nunjukin siapa dia. Lo tunggu aja.”

Suasana mendadak hening beberapa detik, sebelum bel masuk berbunyi. Veronica akhirnya memalingkan wajah dengan senyum tipis, sementara Bella langsung menoleh ke Eleanor, berbisik, “Udah deh, nggak usah dipikirin. Orang kayak dia emang hobi nyari panggung.”

Eleanor mengangguk kecil. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa sedikit lega punya seseorang di sisinya.

Bel tanda pelajaran berbunyi. Suasana kelas perlahan mereda ketika seorang guru matematika masuk sambil membawa beberapa buku tebal.

“Selamat pagi, anak-anak.”

“Pagi, Pak,” jawab siswa serempak, meski sebagian masih setengah malas.

Guru itu menaruh bukunya di meja, lalu menatap seluruh kelas. “Hari ini kita akan mulai dengan sedikit latihan. Saya ingin tahu sejauh mana kemampuan kalian. Siapa yang bisa menjawab soal ini?”

Ia menuliskan sebuah soal panjang di papan tulis. Beberapa siswa langsung mengeluh lirih. Bella yang duduk di sebelah Eleanor menyikut pelan.

“Duh, mati gue. Baru pagi udah dikasih beginian. Lala, lo ngerti nggak?” bisiknya.

Eleanor menatap papan tulis sebentar. Ia sebenarnya cukup cepat paham soal semacam itu, tapi ia ragu untuk angkat tangan. Ia tak suka jadi pusat perhatian lebih dari yang sudah ia dapatkan.

Namun, guru itu menoleh ke arahnya.

“Eleanor Cromwel, mungkin kamu bisa mencoba?”

Kelas langsung bergemuruh kecil. Beberapa siswa menoleh, jelas penasaran. Eleanor sempat menelan ludah, tapi akhirnya ia berdiri perlahan, berjalan ke papan tulis.

Dengan langkah tenang, ia mulai menuliskan jawabannya. Gerakannya rapi, tulisannya jelas. Hanya butuh beberapa menit sebelum ia menyelesaikan soal itu dengan sempurna.

“Jawaban yang bagus,” komentar guru itu sambil mengangguk puas. “Tepat sekali.”

Seketika ruangan dipenuhi bisikan.

“Wah, dia pinter juga ternyata.”

“Cantik, kaya, pinter lagi. Komplit banget tuh.”

“Gila, nggak nyangka sih.”

Bella langsung menepuk meja pelan, menatap Eleanor dengan mata berbinar. “Woooow, Lala! Lo keren banget! Sumpah, gue langsung ngefans.”

Eleanor kembali duduk dengan pipi agak memerah. “Nggak juga, cuma kebetulan ngerti.”

Tawa kecil Bella meletup. “Ih, merendah banget lo. Kalo gue sih udah langsung sombong satu kelas.”

Namun, tidak semua orang terlihat senang. Veronica yang duduk di bangku depan hanya melirik sekilas sambil menyunggingkan senyum tipis. Tangannya meremas pulpen hingga bunyinya terdengar jelas.

“Hah… paling juga cuma sekali doang bisa jawab,” gumamnya, cukup keras untuk terdengar oleh beberapa orang.

Bella langsung menoleh sinis. “Ih, Ver, lo sirik aja kan? Kalo nggak bisa jawab ya jangan nyinyir. Sakit hati gapapa, tapi jangan nunjukin ke seluruh dunia.”

Beberapa siswa di sekitar tertawa kecil mendengar komentar Bella. Veronica menoleh tajam, tapi sebelum sempat membalas, guru sudah melanjutkan pelajaran.

Eleanor hanya bisa duduk diam, menatap keluar jendela. Ia tidak pernah mencari perhatian, tapi entah kenapa perhatian itu selalu saja datang padanya.

Bel pulang berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas dengan wajah lega. Eleanor merapikan bukunya perlahan, sementara Bella langsung menepuk pundaknya.

“Lala, bareng gue yuk pulangnya. Gue kan belum sempet nanya tadi—lo ngerti semua pelajaran Pak Surya nggak? Gue sumpah, tadi otak gue udah ngehang,” celoteh Bella sambil nyengir.

Eleanor tersenyum tipis. “Lumayan ngerti sih. Tapi kalau ada yang bingung, tanya aja. Kita bisa belajar bareng nanti.”

“Waaah, serius? Aduh gue makin cinta deh sama lo. Udah cantik, pinter, baik lagi. Nanti kalo ada Oppa Jungkook atau Oppa Kai liat lo, fix langsung rebutan.” Bella langsung ngehalu, tangannya sampai menutup pipinya sendiri.

Eleanor menahan tawa kecil. “Bella…” suaranya lembut, tapi matanya jelas geli mendengar celotehan itu.

Mereka berdua berjalan beriringan ke arah gerbang. Namun, sesampainya di depan, suasana mendadak berubah. Semua siswa yang tadinya sibuk ngobrol, langsung terdiam. Pandangan mereka terarah ke satu titik.

Di sana, tepat di depan gerbang sekolah, berdiri seorang pria tinggi dengan motor Harley Davidson hitam mengilap. Helm masih di tangannya, kemeja putihnya sedikit berantakan dengan dua kancing atas terbuka. Kacamata hitam tergantung santai di kerah.

Dominic Cromwel.

Dengan gaya cuek khasnya, ia menyalakan motor, suara mesin menggelegar dan langsung menarik perhatian semua orang. Tatapannya mencari sosok adiknya, dan begitu melihat Eleanor, ia langsung bersuara lantang.

“Ela! Ayo, cepat naik!”

Seketika seluruh siswa ternganga. Ada yang berbisik kagum, ada pula yang menatap iri.

“Gila… itu kakaknya?”

“Naik Harley, cuy! Cool banget.”

“Badboy vibes abis.”

Bella sampai melongo. “LA-LA… ITU… itu kakak lo?! Seriusan gue nggak kuat! Dia lebih hot dari Kai sumpah!” bisiknya setengah histeris.

Eleanor merasa pipinya memanas. Semua mata tertuju padanya lagi, dan kali ini karena kakaknya yang datang dengan gaya mencolok. Dengan senyum canggung, ia cepat-cepat menghampiri Dominic.

Tanpa banyak bicara, ia menerima helm dari kakaknya, memakainya dengan buru-buru, lalu naik ke motor Harley itu. Suara bisik-bisik di belakangnya semakin ramai.

Dominic menoleh sekilas, sebuah senyum nakal terulas di wajahnya sebelum ia menarik gas. Motor itu melaju meninggalkan gerbang, sementara tatapan iri dan kagum masih tertinggal di belakang.

Hati Eleanor berdebar kencang. Bukan hanya karena laju motor sang kakak, tapi juga karena sekali lagi, ia menjadi pusat perhatian semua orang.

Bab 3

Pagi itu rumah keluarga Cromwel terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menembus kaca jendela besar, memantul di dinding marmer yang dingin. Eleanor sudah bangun lebih awal, duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya. Ia sengaja menyiapkan sarapan sederhana roti panggang dengan selai stroberi, hanya untuk dirinya sendiri.

Bukan karena dapur keluarga itu kekurangan makanan, tapi Eleanor sudah terbiasa menahan diri. Ia tidak ingin memberi alasan sedikit pun bagi ibu tirinya untuk melontarkan kata-kata pedas di pagi hari.

Suara langkah sepatu terdengar dari arah tangga. Eleanor menoleh dan mendapati Daniel turun dengan kemeja rapi, dasi sudah terikat sempurna. Senyum hangat tersungging di wajahnya ketika melihat Eleanor.

“Pagi, Ela,” sapanya lembut.

“Pagi, Kak,” jawab Eleanor, sedikit gugup tapi berusaha terdengar biasa.

Daniel menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya. Ia menatap roti di piring Eleanor, lalu bergumam, “Kamu cuma makan itu? Nggak kenyang nanti di sekolah.”

Eleanor tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa, Kak. Sudah cukup kok.”

Daniel menghela napas, lalu menepuk meja pelan. “Ela… kamu nggak harus menahan diri. Ada banyak makanan di rumah ini, kamu berhak makan apa pun yang kamu mau.” Tatapannya dalam, tapi tetap lembut, seperti kakak yang benar-benar khawatir pada adiknya.

Eleanor terdiam sejenak. Ia ingin menjawab, tapi sebelum sempat, suara hak sepatu tinggi terdengar. Ibu tirinya muncul dengan gaun elegan warna biru tua, rambut tersisir rapi.

“Oh, kalian sudah sarapan?” suara ibu tirinya terdengar manis, terlalu manis malah. Senyum terlukis di wajahnya ketika matanya bertemu dengan Daniel.

“Pagi, Nak. Kamu mau ibu buatkan kopi sebelum ke kantor?” tanyanya lembut.

Daniel tersenyum sopan. “Terima kasih, Bu. Tapi aku bisa buat sendiri.”

Sikap wanita itu terlihat hangat, penuh kasih, setidaknya di depan Daniel. Namun, begitu matanya melirik Eleanor, senyuman itu menghilang sepersekian detik, berganti tatapan dingin yang hanya bisa dibaca oleh Eleanor.

Eleanor menunduk cepat, pura-pura sibuk dengan rotinya.

Daniel tidak menyadari perubahan kecil itu. Ia berdiri, merapikan jasnya. “Aku berangkat dulu. Ela, hati-hati di sekolah, ya. Jangan lupa makan siang.”

“Baik, Kak,” jawab Eleanor, tersenyum samar.

Daniel pamit, dan begitu langkahnya menjauh, suasana meja makan berubah drastis. Ibu tirinya duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Daniel. Senyuman palsu itu lenyap sepenuhnya, berganti nada dingin.

“Kau pintar sekali berpura-pura manis di depan kakakmu, ya, Eleanor?” suaranya pelan, tapi menusuk.

Eleanor hanya menggenggam cangkir tehnya erat, menahan diri agar tidak membalas.

Eleanor menarik napas panjang saat berdiri di depan gerbang sekolah Olympus High. Senyum tipis ia paksakan, meski hati masih terasa berat setelah ucapan dingin ibu tirinya. Ia melangkah pelan ke arah koridor utama, tas digenggam erat di pundak.

Seperti biasa, tatapan orang-orang langsung mengikutinya. Beberapa siswa berbisik sambil melirik, sebagian terang-terangan menoleh.

“Eh, tuh cewek itu lagi.”

“Iya, cantik banget.”

“Tapi kayaknya sombong deh, jalan aja nggak pernah nengok orang.”

Eleanor pura-pura tidak mendengar, meski telinganya jelas menangkap setiap kata. Ia terbiasa jadi pusat perhatian, tapi tetap saja, rasa kikuk itu tidak pernah hilang.

Tiba-tiba, suara ceria terdengar dari samping.

“Lalaaa! Gue nyariin lo dari tadi!” Bella berlari kecil menghampiri, wajahnya sumringah seperti biasa.

Eleanor tersenyum kecil. “Pagi, Bella.”

“Pagi dari Hong Kong! Eh, sumpah deh, lo tuh makin glowing aja. Lo pakai skincare apa sih? Jangan-jangan rahasianya cuma tidur cukup?” Bella mulai ngoceh panjang, bikin beberapa siswa di sekitar mereka melirik geli.

Eleanor hanya tertawa pelan, ikut berjalan bersama Bella menuju kelas. Namun, langkah mereka terhenti ketika suara sinis menyelusup dari arah lain.

“Anak baru.”

Eleanor menoleh. Di sana berdiri Veronica Jackson, dengan seragam rapi dan rambut pirangnya yang selalu terawat. Senyuman tipis tersungging di bibirnya, tapi jelas bukan senyum ramah.

“Lo jalan kayak lagi catwalk, ya? Nggak capek jadi pusat perhatian terus?” Veronica menatap Eleanor dari atas ke bawah, tatapannya penuh sindiran.

Bella langsung maju setengah langkah. “Ngapain sih, Ver? Lala nggak gangguin lo juga.”

Veronica melirik Bella dengan malas. “Santai aja, gue cuma heran. Anak baru langsung jadi bahan gosip satu sekolah. Hebat juga.”

Eleanor menahan diri, memilih tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menghela napas pelan, lalu melanjutkan langkah ke kelas.

Langkah Eleanor baru saja mau diteruskan, ketika tiba-tiba lengannya ditahan. Veronica berdiri tepat di depannya, senyuman tipis masih menempel di bibirnya.

“Eh, anak baru,” katanya, kali ini suaranya lebih tajam. “Lo pikir lo siapa, jalan lewat sini sok-sok cantik kayak ratu?”

Eleanor terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia baru mau membuka mulut ketika Veronica mendekat, lalu tanpa peringatan menjambak ujung rambut panjang Eleanor dan menariknya kasar.

“Denger ya, jangan sok kecakepan di sini. Lo baru masuk, jangan belagu.”

Eleanor meringis kecil, menahan rasa sakit, matanya menunduk. Beberapa siswa yang melihat dari jauh hanya berbisik-bisik, sebagian malah tertawa kecil tanpa berani mendekat.

“Veronica! Lepasin rambut Lala!” Bella akhirnya maju, wajahnya merah menahan emosi. Ia mencoba menarik tangan Veronica. “Apaan sih lo?! Bercanda jangan kelewatan!”

Veronica menoleh santai, tatapannya meremehkan. “Gue cuma ngingetin aja. Anak baru ini kayaknya nggak ngerti aturan nggak tertulis di sekolah ini. Gue baik, kok.”

Eleanor menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak berkata apa pun, hanya diam, seakan itu satu-satunya cara untuk tidak memperkeruh keadaan.

Bella berhasil menepis tangan Veronica dengan kasar, lalu berdiri di depan Eleanor seperti tameng. “Sekali lagi lo berani sentuh temen gue, Ver, sumpah gue nggak bakal diem aja!”

Veronica tertawa kecil, melipat tangan di dada. “Lucu banget lo. Oke, kita lihat aja nanti. Anak baru…” ia menatap Eleanor dengan sinis, “…nikmatin spotlight lo selagi bisa.”

Setelah itu Veronica berbalik pergi, langkahnya santai seakan tidak terjadi apa-apa. Beberapa siswa yang menonton segera berpura-pura sibuk, tidak ada yang berani ikut campur.

Bella memutar badan, memegang bahu Eleanor dengan wajah cemas. “La, lo nggak apa-apa? Sakit nggak? Sumpah nih orang emang udah kebangetan!”

Eleanor menggeleng pelan, memaksa tersenyum meski matanya masih basah. “Aku nggak apa-apa, Bel… udah biasa.”

“Biasa gimana sih, La! Jangan diem aja dong kalau digituin.” Bella benar-benar geram, tapi akhirnya menghela napas, mencoba meredakan emosinya. “Udah, nanti gue bawain lo permen. Anggep aja pelipur lara, oke?”

Untuk pertama kalinya sejak pagi, Eleanor tertawa kecil, meski getir. “Dasar kamu, Bel.”

Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Suara bel panjang menggema, disusul teriakan lega para siswa yang berhamburan keluar kelas. Eleanor berjalan pelan di samping Bella, keduanya masih ngobrol santai soal PR Matematika yang bikin pusing.

“Gila, La. Gue yakin hidup gue bakal hancur gara-gara integral. Kalau kakak lo yang jadi guru gue sih, gue rela belajar sampe pagi,” celetuk Bella sambil ngakak.

Eleanor hanya menggeleng kecil, senyumnya tipis. “Kamu ada-ada aja, Bel.”

Mereka terus berjalan sampai gerbang, dan tiba-tiba terdengar suara riuh histeris dari kerumunan siswi.

“Ya ampun! Siapa tuh? Ganteng banget!”

“Itu mobilnya keren parah, hitam mengkilap gitu.”

“Eh, dia nyariin siapa ya? Jangan-jangan gue?”

Semua mata tertuju pada sebuah mobil hitam elegan yang baru saja berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dari dalam, seorang pria tinggi dengan setelan rapi turun, kemejanya terlipat bersih, wajahnya tenang dengan aura berwibawa.

Daniel Cromwel.

Beberapa siswi langsung menjerit pelan, sebagian lagi mulai heboh bisik-bisik.

“Dia nyari siapa sih? Astaga, jangan-jangan gue dong.”

“Ngaca lo, kayaknya dia lagi nyari gue.”

Daniel menatap ke arah kerumunan, matanya menyapu seolah mencari seseorang. Senyum hangat terlukis di wajahnya ketika pandangannya akhirnya jatuh pada sosok yang dikenalnya, yaitu Eleanor adiknya.

“Ela,” panggilnya, lembut tapi cukup jelas terdengar.

Kerumunan mendadak hening sepersekian detik, lalu pecah jadi bisik-bisik iri.

“Gila! Itu adiknya?!”

“Kok bisa sih anak baru kayak dia dijemput cowok ganteng gitu?!”

“Anak baru sok-sokan banget, ya.” Veronica, yang berdiri tak jauh dari situ, menambahkan dengan nada pedas, “Anak baru emang pinter cari perhatian.”

Eleanor merasakan puluhan pasang mata menusuk dirinya. Dengan wajah memerah, ia buru-buru menunduk dan berlari kecil ke arah mobil, langsung membuka pintu belakang dan masuk tanpa menoleh ke sekitar.

Daniel tersenyum kecil melihat sikap canggung adiknya itu. Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu melajukan kendaraan meninggalkan gerbang.

Di dalam, suasana lebih tenang. Eleanor masih menunduk, pipinya sedikit memerah. Daniel melirik sekilas, lalu tersenyum.

“Kamu masih sama kayak dulu, Ela. Selalu nggak suka jadi pusat perhatian.”

Eleanor mengangkat wajahnya, sedikit bingung. “Maksudnya, dulu?”

Daniel menatap jalan, tapi nada suaranya lembut, penuh kenangan. “Aku masih inget… waktu kita kecil. Kamu pernah jatuh dari perosotan di taman belakang rumah. Nangisnya heboh banget, sampai Dom panik.” Ia terkekeh kecil. “Atau waktu kamu makan pasir, inget nggak?”

Eleanor terdiam, mencoba mengingat. Bayangan samar terlintas, tapi cepat hilang lagi. Ia menggeleng pelan. “Aku… nggak inget, Kak.”

Daniel hanya tersenyum, matanya teduh. “Nggak apa-apa. Aku inget kok. Buatku, kamu tetap adik kecil yang dulu sering aku jagain.”

Hati Eleanor menghangat, meski ia tidak bisa menjelaskan kenapa. Untuk sesaat, rasa sesak karena tatapan iri dan julid di sekolah tadi seolah hilang. Ia menatap kakaknya dengan senyum tipis, lalu menunduk lagi, menyembunyikan rona merah di pipinya.

Rumah keluarga Cromwel malam itu tampak tenang dari luar. Lampu gantung kristal menyinari ruang makan besar dengan cahaya kekuningan yang hangat. Tapi bagi Eleanor, suasana itu tidak pernah benar-benar terasa hangat.

Ia duduk di kursi panjang, di samping Daniel. Dominic sudah pulang lebih dulu, duduk dengan gaya santainya, satu tangan memainkan garpu tanpa niat benar-benar makan.

Di seberang meja, ibu tiri Eleanor, Madam Cassandra, duduk dengan senyum tipis. Senyum yang bagi orang luar tampak manis, tapi bagi Eleanor terasa seperti pisau dingin yang siap menusuk kapan saja.

“Ela, makan yang banyak, ya.” Cassandra meletakkan sepotong daging ayam ke piring Eleanor, nada suaranya terdengar lembut, di depan kedua putranya.

Eleanor menunduk sopan. “Terima kasih, Ibu.”

Daniel tersenyum melihat adiknya, sementara Dominic hanya mengangkat alis.

Namun, ketika Daniel sibuk mengobrol soal pekerjaan dengan Cassandra, Eleanor bisa merasakan tatapan berbeda, dingin, menusuk, penuh ketidaksukaan. Senyum Cassandra tetap terpasang, tapi matanya sama sekali tidak selaras dengan senyum itu.

“Ela,” tiba-tiba Cassandra membuka suara lagi, nadanya seakan ramah, “sebentar lagi ulang tahun almarhum ayahmu. Akan ada acara keluarga besar. Pastikan kamu berpenampilan pantas, ya. Keluarga Cromwel tidak boleh terlihat… memalukan.”

Eleanor mengangguk pelan. “Baik, Ibu.”

Daniel sempat menoleh, menatap Eleanor dengan khawatir, tapi tidak berkata apa-apa. Dominic, di sisi lain, tertawa kecil sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Tenang aja, Bu. Si Ela ini paling jago bikin orang kagum. Percaya deh, semua orang pasti bakal lihat dia dengan cara yang beda.”

Tatapan Cassandra langsung menusuk Dominic, tapi lelaki itu hanya menyeringai cuek.

Eleanor terdiam, menatap piringnya. Kata-kata sang ibu tiri terasa seperti ancaman halus, bukan sekadar nasihat.

Suasana meja makan jadi hening, hanya terdengar denting sendok dan garpu. Daniel mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi hati Eleanor tetap terasa berat.

Malam itu, setelah makan selesai, Eleanor kembali ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Samar-samar, ingatan masa kecil yang disebut Daniel tadi muncul di kepalanya, tapi terlalu kabur untuk digenggam.

Dengan helaan napas panjang, ia berbaring, menatap langit-langit. Entah kenapa, firasat buruk mulai tumbuh dalam dadanya, seolah masa depan membawa badai besar yang belum pernah ia hadapi sebelumnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!