NovelToon NovelToon

Unexpected Love

chapter 1

Suara pintu besi tergeser kasar memecah siang yang panas. Seorang pria paruh baya tampak membungkuk-bungkuk, memohon dengan suara lirih yang gemetar.

“Juragan… saya mohon, beri saya waktu dua minggu lagi. Saya pasti bayar hutangnya.”

Di depannya, berdiri sosok gemuk berperut buncit dengan senyum angkuh yang membuat bulu kuduk merinding. Di belakangnya, dua lelaki kekar berkaos hitam menyilangkan tangan di dada—menatap tajam bak anjing penjaga yang siap menerkam.

“Ardiano…” suara berat pria itu menggema pelan tapi mengintimidasi, “ini bukan pasar. Hutang tidak bisa ditawar-tawar.”

Ardi menunduk, wajahnya berkeringat meski angin semilir meniupkan udara.

Dari kejauhan, seorang gadis remaja berjalan pulang dari sekolah. Rambutnya terurai, matanya bening dan polos. Dia melambatkan langkah saat melihat pamannya yang berjongkok seperti pengemis.

“Paman… dia siapa?” tanya Zia lembut, langkahnya tertahan beberapa meter di belakang.

Juragan Tono menoleh. Pandangannya langsung tertuju pada Letizia Izora Emilia naik dari kaki yang bersarung rok seragam, naik ke wajah cantik dengan mata bulat penuh cahaya. Tanpa sopan santun, ia berjalan mendekat dan mencolek dagu gadis itu.

“Ardi, hutangmu bisa lunas,” ucapnya dengan suara jijik penuh nafsu, “asalkan gadis ini… jadi istriku.”

Zia terbelalak. Tapi yang lebih mengejutkan, pamannya—Ardi-langsung mengangguk.

“Iya, juragan. Ambil saja dia. Daripada dia jadi beban saya setiap hari."

“Paman?!” suara Zia gemetar, tubuhnya mundur satu langkah. “Zia gak mau! Zia gak mau nikah sama dia!”

“Turutin aja, Zia!” bentak Ardi. “Itu juragan! Kita gak punya pilihan!”

Zia menggeleng keras, air matanya menetes. “Zia bukan barang. Zia juga manusia, pam—!”

Tono menyentak, “Tangkap dia.”

Dua preman mulai bergerak, tapi Zia mundur dan menepis tangan mereka dengan panik.

“Kasih aku waktu… kasih Zia waktu buat bayar hutang Paman. Jangan bawa aku pergi!” serunya terbata.

Juragan Tono tertawa sinis. “Dari mana kamu bakal dapet uang, hah?”

“Zia akan cari kerja… Zia janji…” bisiknya.

Tono menatap tajam, lalu mengangguk malas. “Dua minggu. Kalau belum lunas, saya jemput kamu dan bawa kerumah saya.”

Tanpa basa-basi, Ardi menarik tangan Zia dengan kasar. “Saya pamit, Juragan. Anak kurang ajar ini harus dikasih pelajaran!”

Zia meringis, tangannya terasa perih. “Paman… lepas… sakit…”

“Diam! Bisa gak sih kamu nurut?!” hardik Ardi marah.

“Zia gak mau nikah. Zia bakal cari kerja, Zia janji…”

“Cari kerja ke mana?! Hidup ini keras, Zia!”

Di depan rumah kayu sederhana itu, seorang wanita bertubuh gempal dengan rambut diikat asal-asalan berdiri dengan ekspresi kesal. Wajahnya langsung masam saat melihat Ardi menyeret Zia masuk.

“Apa lagi ini ribut-ribut, Mas?!” tanya Bibi Lina, tangannya bersedekap di dada.

Ardi melempar tas Zia ke lantai dengan geram. “Anak ini nyusahin terus! Juragan Tono udah nawarin lunasin semua hutang, asal dia mau nikah sama dia. Tapi dia malah nolak mentah-mentah!”

Zia menatap bibinya penuh harap, “Bibi... Zia masih sekolah. Zia nggak mau, Zia bukan barang yang bisa dijual...”

Tapi bukan pembelaan yang ia dapatkan.

Bibi Lina mendelik. “Justru karena kamu sekolah terus, kita makin berat hidupnya! Kamu pikir nasi dateng sendiri ke dapur?!”

Zia terdiam, hatinya mencelos. Ia tahu hidup mereka susah, tapi...

“Kalau emang bisa lunasin semua masalah, ya nurut aja, Zia!” hardik Bibi Lina. “Juragan Tono itu baik! Dia mau tanggung semua biaya hidup kamu, masa kamu nggak tau terima kasih?!”

“Terima kasih? Buat dijualin?!” Zia tak tahan lagi. “Bibi nggak punya hati ya?!”

PLAK!

Tamparan keras dari Bibi Lina mendarat di pipinya.

“Jangan kurang ajar kamu! Udah numpang hidup di sini, masih banyak omong!”

Paman Ardi hanya mendengus puas di belakang, lalu masuk ke kamarnya. Sementara Zia berdiri terpaku, air mata menetes di pipi yang memerah.

Bibi Lina mendekat dengan wajah dingin. “Kalau dua minggu ke depan kamu nggak bawa uang buat lunasin hutang pamanmu, kamu harus siap-siap jadi istri Juragan Tono.”

Zia menggigit bibirnya. Dunia serasa runtuh di atas kepalanya.

______

Malam itu, Zia duduk di depan meja rias kecil di kamarnya. Cermin tua yang retaknya menyilang di sudut kanan atas memantulkan wajahnya yang letih. Dengan perlahan, ia menyisir rambut panjangnya yang halus.

“Zia harus cari kerja... kemana ya?” gumamnya lirih, tatapan kosong menatap bayangannya sendiri.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

“Zia gak boleh nyerah... Zia gak mau nikah sama Juragan Tono...” katanya lagi, kali ini lebih tegas meski suaranya masih bergetar. “Besok... sepulang sekolah Zia harus cari kerja…”

Tok tok tok.

Suara ketukan kasar di pintu membuyarkan pikirannya.

“Zia, keluar kamu! Bikinin kita makan malam!” seru suara nyaring Bibi Lina dari luar kamar.

“Iya, Bi...” jawab Zia pelan sambil menyingkir dari meja rias.

Dengan langkah lesu, ia keluar kamar dan menuju dapur. Saat membuka lemari dapur, matanya menatap dua butir telur. Hanya dua.

“Bi... telurnya tinggal dua. Kita dadar aja, ya? Biar bisa dibagi,” usul Zia hati-hati.

Tapi Bibi Lina bahkan tak menoleh dari HP jadul di tangannya.

“Saya gak mau telor dadar. Saya maunya diceplok.”

Zia menelan ludah. “Kalau diceplok dua-duanya... Zia gak kebagian, Bi.”

“Ya itu urusan kamu! Yang penting saya sama suami saya bisa makan enak malam ini.”

Zia diam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan. ia masak dua telur ceplok seperti yang diminta. Disiapkannya dua piring: satu untuk Bibi Lina, satu untuk Pamannya. Untuk dirinya?

Nasi, dan garam.

Ia duduk di pojok dapur, makan perlahan tanpa suara, menahan rasa perih di dada,Kalau bisa milih, dia juga mau makan telur malam ini...Tapi yang lebih penting sekarang—dia harus tetap kuat.

____

Di pojok dapur yang remang, Zia duduk diam sambil memeluk lututnya. Suara-suara dari ruang tengah terdengar jelas ke telinganya.

“Bosan aku, tiap hari makan beginian terus...” gerutu Paman Ardi dengan nada kesal.

“Sudahlah, Mas. Bersyukur aja,” sahut Bibi Lina malas sambil tetap sibuk menatap layar HP jadulnya.

“Bersyukur kamu bilang?! Tiap hari cuma makan telur, itu pun kadang nggak cukup!”

“Kalau si Zia nurut sama kemauan Juragan Tono, kita pasti udah enak sekarang... Hidup tenang, duit ngalir terus,” keluh Paman Ardi.

“Biarin aja dulu. Lama-lama dia juga nyerah. Mana ada anak sekolah bisa cari duit segampang itu. Dunia sekarang susah, Mas... Cari kerja kayak cari jarum di tumpukan jerami,” jawab Bibi Lina santai, seolah hidup Zia adalah taruhan murah yang bisa mereka tentukan semau hati.

“Hemmm...” suara berat Paman Ardi jadi penutup percakapan mereka.

Zia menggigit bibirnya kuat-kuat agar isaknya tak terdengar. Tapi air mata tetap tumpah pelan di pipinya.

Ia tahu, paman dan bibinya kasar. Tapi mereka satu-satunya keluarga yang ia punya. Meskipun sering menyakitinya, mereka juga yang menampungnya sejak kedua orangtuanya tiada.

“Aku nggak akan nyerah...”

Zia menyeka air matanya dan menatap tembok dapur yang mulai retak di beberapa bagian.

"zia akan cari kerja. Aku akan lunasi semua hutang mereka. Aku akan buktiin, kalau aku bisa berdiri sendiri tanpa harus jual harga diri."

Malam itu, Zia tak hanya makan nasi dan garam—ia juga menelan luka, dendam, dan tekad yang mulai tumbuh dalam diam.

Besok, semuanya harus mulai berubah.

...Aku pindah ke aplikasi noveltoon yang awalnya buat novel difizzo ★...

chapter 2

Pagi hari di sebuah sekolah SMA yang cukup besar dan elit.

Zia duduk diam di salah satu bangku kelas XII. Tatapannya kosong menatap papan tulis, meski pelajaran belum dimulai. Ia bisa bersekolah di tempat semewah ini karena beasiswa—jadi setidaknya ia tak perlu memikirkan biaya sekolah, hanya harus menjaga prestasinya tetap tinggi.

Tak lama, seorang cewek berambut panjang dengan raut wajah dingin masuk ke dalam kelas. Tapi, begitu matanya menangkap sosok Zia, ekspresinya langsung berubah jadi cerah.

“Lo kenapa, Zi?” tanya jennyta arsellyna sahabat Zia dengan nada santai tapi penuh perhatian.

Zia sedikit terkejut. “H-Hah? Aku gak papa kok... Emang kenapa?”

Jenny menarik kursinya dan duduk di samping Zia. Ia melipat tangannya dan menatap tajam sahabatnya.

“Gue liat lo ngelamun dari tadi. Lo pasti lagi mikirin sesuatu, kan?”

Zia diam. Matanya menunduk.

“Pasti gara-gara paman bibi lo lagi, ya?” sambung Jenny, kini nadanya terdengar lebih serius.

Zia hanya menjawab lirih, “Sedikit...”

Jenny mendesah pelan. “Zi... lo gak bisa terus-terusan tahan semua sendiri. Kalau mereka keterlaluan, lo harus lawan.”

Zia memaksakan senyum kecil. “gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya. Gue cuma butuh waktu buat mikir semuanya.”

Jenny tak berkata apa-apa lagi. Tapi dari sorot matanya, terlihat jelas kalau ia tak akan tinggal diam kalau sahabatnya terus disakiti.

______

Sepulang sekolah, Zia berjalan cepat ke rumah. Ia ganti seragamnya dengan kaus polos dan celana jeans, lalu menyelinap keluar tanpa sepengetahuan bibi Lina.

Langkahnya membawanya ke sebuah warung kopi kecil di dekat terminal. Warung itu terlihat sederhana tapi ramai. Di papan depan, terpampang tulisan:

"Dibutuhkan pegawai kasir shift malam. Jujur, sopan, dan rajin."

Zia menarik napas panjang, lalu masuk pelan-pelan.

“Permisi,” ucap Zia pelan pada seorang ibu separuh baya yang sedang menghitung uang di balik meja.

Wanita itu menatap Zia dari ujung kaki sampai kepala. “Mau ngapain, dek?”

“Saya… saya lihat ada lowongan. Kalau masih bisa, saya mau daftar,” ucap Zia dengan suara sedikit gemetar.

Wanita itu mengangkat alis. “Umur kamu berapa?”

“delapan belas, Bu. Saya kelas dua belas, tapi saya bisa kerja malam. Saya gak akan ganggu kerjaan, saya juga bisa hitung cepat,” jawab Zia cepat.

“Masih sekolah? Wah, maaf ya, dek. Ibu butuh orang yang bisa fokus kerja. Kalau masih sekolah, nanti malah kacau. Lagian kerja malam kan bukan buat anak-anak,” ucap wanita itu sambil melipat tangannya di dada.

Zia menunduk. “Tapi saya butuh pekerjaan, Bu…”

Wanita itu tampak ragu. “Ibu ngerti. Tapi ini tempat kerja, bukan tempat main. Nanti orang tua kamu nyalahin ibu kalau kamu kenapa-kenapa.”

Zia menelan ludah. Ia ingin bilang kalau dia gak punya orang tua yang peduli, tapi hanya bisa mengangguk pelan.

“Maaf ya, dek.”

Dengan langkah lesu, Zia keluar dari warung itu. Hatinya nyeri, tapi ia tak menangis.

“Gak apa-apa. Masih banyak tempat lain. Aku pasti bisa.” pikir Zia sambil menatap langit yang mulai gelap.

Zia menghela napas panjang. Kakinya terasa pegal, tubuhnya letih, dan harapannya mulai terkikis. Ia sudah menyusuri beberapa toko, apotek, bahkan warung fotokopi, tapi jawabannya selalu sama.

“Maaf, kami hanya terima usia 20 tahun ke atas.”

“Masih sekolah? Wah, gak bisa.”

Zia berdiri di ujung gang menuju rumahnya. Pandangannya kosong, menatap rumah tua yang jadi saksi penderitaannya.

“Gimana aku bisa lunasin semua hutang paman? Gimana caranya keluar dari semua ini?” batinnya getir.

Tiba-tiba, suara tawa familiar membuat bulu kuduknya meremang.

“cape, ya?” suara itu berat dan menyebalkan.

Zia menoleh. Juragan Tono berdiri dengan dua preman di sisinya. Tatapan pria itu penuh nafsu, licik, dan jijik.

Juragan Tono menyapu tubuh Zia dengan matanya dari atas ke bawah, lalu terkekeh kecil.

“Sudahlah, Zia. Nyerah saja. dan Nikah sama saya. Saya jamin hidup kamu bakal senang. Gak usah capek-capek cari kerja.”

Zia mendengus. “Zia gak mau nikah sama juragan. Juragan udah tua. Mana istrinya dua lagi.”

Juragan Tono menyeringai. “Tua-tua gini, banyak yang masih mau, sama saya.”

Zia membalas dengan nada tajam. “Paling juga yang mau cuma janda-janda kesepian yang kurang kasih sayang.”

Wajah juragan Tono langsung berubah. “Kamu…” gumamnya dengan geram.

“Tangkap dia!” teriaknya.

Dua preman itu mendekat, senyum mereka miring, tatapan mereka seperti serigala yang lapar.

“Jangan dekati aku!” seru Zia, tubuhnya mulai mundur.

“Sudahlah, nona. Nerima aja lamaran tuan Tono. Hidup kamu pasti enak,” goda salah satu preman.

“Kamu aja sana yang nikah sama dia!” balas Zia tajam.

“saya kan cowok. Masa nikah sama cowok,” sahut juragan Tono sambil tertawa.

Zia menjawab cepat, “Daripada sama saya!”

Preman itu tertawa kasar, lalu dengan cepat mencekal lengan Zia Genggamannya kuat,kasar, menyakitkan.

“Lepasin!” Zia meronta, tapi tak berkutik.

Juragan Tono mendekat, menyeringai puas. Ia mencolek dagu Zia dengan jemarinya yang berminyak.

“HAHAHA. Zia, sejauh apa pun kamu lari, kamu gak akan bisa lepas dari saya. Hutang paman kamu itu gak akan lunas. Percuma cari kerja. Dunia ini milik orang kaya seperti saya.”

Wajah Zia memerah, bukan karena malu—tapi karena jijik dan marah.

Detik berikutnya, tanpa aba-aba, Zia menghantamkan lututnya ke

-selangkangan preman di depannya. Si preman merintih dan jatuh.

Yang satu lagi mencoba menariknya—Zia langsung menendang bagian sensitifnya dengan keras.

Keduanya terkapar. Juragan Tono melongo.

Zia tak buang waktu. Ia lari sekencang mungkin, napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat.

“Aku gak akan pernah milih hidup kayak yang mereka mau. Aku harus bertahan… bagaimanapun caranya.”

____

sementara itu Seorang laki-laki berdiri mematung di depan sebuah kosan kecil yang terlihat usang. Ekspresinya tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun pada tempat itu. Ia mengangkat alis, menahan napas, lalu menghela dengan dalam.

Aksara Dean Devandra. Anak kedua dari Elias Regandra dan Aura Devandra, pemilik tambang emas terbesar di Jakarta. Dan dia... sangat membenci tempat kotor.

Ia melirik sepatunya yang sedikit berdebu gara-gara tanah kering di depan kos, lalu bergumam pelan.

"Kalau bukan disuruh Oma, mana mungkin gue mau ke tempat beginian."

Tak lama, seorang pembantu keluar dari dalam kos sambil membawa nampan berisi secangkir kopi hitam.

“Makasih, Den, udah nganterin saya,” ucapnya ramah. “Ini, minum dulu.”

Aksa tersenyum kaku. “Gak perlu, Bi. Saya gak suka kopi.”

“Oh iya, maaf, Den. Saya lupa. Mau saya buatin jus aja?” tawar si bibi.

“Gak perlu juga, Bi. Saya langsung pulang aja.”

“Ya udah, makasih ya, Den.”

“Sama-sama, Bi.”

Aksa masuk ke mobil mewahnya dan melajukan kendaraan sambil mengusap setir pakai tisu basah. Ia terus menatap jalanan kota lewat kaca depan—sampai tiba-tiba…

Ciiitttt—!!!

Rem mobil mengerik. Badan Aksa sedikit terpental ke depan.

Seorang gadis hampir tertabrak!

Matanya membulat, ekspresi terkejut berubah jadi kesal.

“Ngapain sih tuh orang berhenti ditengah jalan? Mau mati apa ?!”

...Jangan lupa vote and comen...

chapter 3

Zia menunduk ketakutan, tubuhnya gemetar setelah nyaris ditabrak oleh sebuah mobil mewah yang melaju cukup kencang.

Suara pintu mobil dibanting terdengar keras, lalu seorang cowok turun dengan wajah kesal. “Lo kagak punya mata apa?! Mobil lagi jalan, malah nyebrang sembarangan!” bentaknya.

Zia mendongak perlahan. Cowok di hadapannya... sangat tampan. Rambut hitamnya tertata rapi, dengan sorot mata tajam dan tubuh jangkung berbalut setelan kasual mahal. Tapi sorot matanya dingin, penuh penilaian.

“Malah bengong lagi,” gerutu cowok itu—Aksa, sambil melirik penampilan Zia yang sederhana. Sekilas ia langsung menyimpulkan bahwa gadis ini pasti dari keluarga kurang mampu.

“Ah, m-maaf,” ucap Zia tergagap, buru-buru bangkit dari posisinya yang jongkok.

“Ngapain sih lo di tengah jalan? Mau bunuh diri, hah?” suara Aksa terdengar makin tajam.

“A-aku dikejar… preman,” ucap Zia panik sambil menoleh ke belakang.

Aksa mendengus. “Mana ada preman yang mau repot-repot ngejar gadis miskin kayak lo.”

Perkataan itu menusuk. Zia terdiam. Dia tahu Aksa benar, tapi tetap saja, caranya bicara sangat menyakitkan.

“Emang aku miskin… tapi kamu juga nggak punya hak buat ngomong kayak gitu,” balas Zia lirih, namun mantap.

Aksa melipat tangan di depan dada. “Lo emang miskin. Gak usah nyangkal juga kali.”

Tiba-tiba, langkah berat terdengar mendekat. “Heh, kamu!” seru suara serak. Preman yang mengejar Zia akhirnya muncul, kakinya terseok karena kejadian tadi.

Zia spontan melangkah mundur dan bersembunyi di balik tubuh Aksa. “Iya, aku miskin, tapi... buat sekarang, bantuin aku dulu, ya?” pintanya setengah memohon.

Aksa mendecak. “Ck. Yaudah, diem. Gue urusin nih preman, biar gue bisa cepet pulang. Bukan karena lo.”

Preman itu mendekat. “Serahin tuh cewek!”

Aksa menatapnya dengan tatapan remeh. “ngapain kalian capek capek ngejar ni cewek miskin?! ”

Zia memutar mata kesal. Kata ‘miskin’ lagi-lagi keluar dari mulut cowok itu.

Beberapa menit berikutnya, perkelahian tak terhindarkan. Aksa dengan mudah menghajar preman itu hingga babak belur. Setelah terhuyung-huyung, si preman pun kabur.

Zia menghembuskan napas lega. “Fiuh…” lalu tersenyum manis. “Makasih…”

Aksa menatapnya. Senyum gadis itu begitu tulus dan manis membuat dia sedikit terenyuh, meski wajahnya sedikit berantakan.

“Ehemm,” ucap Aksa sambil melipat tangan. “Lo nggak mau bilang makasih nih sama gue?”

“Makasih, ya. Walaupun kamu nyebelin... tapi kamu baik banget,” ucap Zia polos.

Aksa mendengus. “Lo niat terima kasih nggak sih?”

“Niat dong. Tadi udah bilang,” kata Zia bingung.

“Lo ngucapin makasih atau lagi ngatain gue nyebelin?”

“Dua-duanya,” jawab Zia ringan.

Aksa mendecak. “Ck. Udahlah. Gue mau pulang.”

“Dadah! Sekali lagi makasih. Btw, nama aku Letizia Izora Emilia,” ujar Zia dengan semangat sambil melambaikan tangan.

“Gue nggak nanya,” jawab Aksa ketus sambil melangkah ke mobilnya.

Zia mendengus pelan. “Dasar nyebelin…”

Ia pun berbalik arah, melanjutkan perjalanan pulang. Dari dalam mobil, Aksa melirik lewat kaca spion dan tersenyum kecil.

“Cantik sih… tapi miskin. Bukan tipe gue,” gumamnya, sebelum akhirnya melajukan mobilnya menjauh.

___

Zia akhirnya tiba di rumahnya yang sederhana—sebuah bangunan mungil dengan cat dinding yang mulai mengelupas, halaman depan penuh dengan pot bunga layu yang jarang tersiram. Matahari sudah mulai tenggelam, dan langit senja seolah memantulkan letih yang terasa di seluruh tubuhnya.

Dengan napas berat, ia membuka pintu kayu rumah yang agak berderit. Namun baru satu langkah masuk—

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya.

Zia terhuyung ke belakang, menahan sakit di wajah dan tubuhnya yang sudah kelelahan.

“Bi… bibi…” gumamnya pelan. Walau sudah sering mendapat perlakuan seperti ini, hari ini rasanya lebih menyakitkan. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau, tapi tetap saja… tangan itu tak mengenal belas kasihan.

“Gimana kamu ini, Zia? Saya dengar dari Juragan Tono, kamu nendang anak buahnya?! Hah?!” suara Bi Lina membentak, tajam dan penuh kemarahan.

Zia menunduk. “Karena… karena mereka mau macam-macam sama aku, Bi…”

“Gak gitu juga, Zia!” bentak Bi Lina lagi. “Kamu itu siapa? Anak nggak punya bapak, numpang di rumah orang! Kalau kamu bikin masalah, keluarga kita makin jelek di mata Juragan Tono!”

Zia menggigit bibirnya. Hatinya terasa panas. Tapi dia terlalu lelah untuk membela diri. Dia tahu... percuma.

“Masuk! Buatin makan malam. Di dapur ada sayur kangkung, masak aja itu!” perintah Bi Lina dingin sebelum membanting pintu ruang tengah.

“Iya, Bi…” jawab Zia lirih.

Ia menyeret langkah ke dapur, matanya basah, tapi tak ada air mata yang jatuh. Bukan karena tidak sedih… tapi karena sudah terlalu sering seperti ini.

Perlahan ia mengiris bawang dan menyiangi kangkung, meski tangannya gemetar dan tubuhnya nyaris ambruk karena kelelahan.

Di luar, angin malam berhembus lembut, seolah berusaha menghapus luka di hatinya.

____

Di ruang makan sempit itu, Zia duduk bersila di lantai, memakan nasi hangat dan sayur kangkung dengan lahap. Perutnya sejak tadi sudah kosong—seharian sepulang sekolah ia keliling kota, mencari pekerjaan sampingan apa pun yang bisa ia lakukan.

Namun baru saja ia menyendokkan suapan ketiga—

“Kamu jangan terlalu lahap makan nasi. Nanti habis, kita mau makan apa?” suara Paman Ardi menginterupsi, datar tapi menusuk.

Zia menghentikan sendoknya di tengah jalan. Lidahnya mendadak hambar. Di saat kebanyakan orang tua menyuruh anaknya makan banyak agar sehat, keluarganya justru sebaliknya. Ia belajar sejak lama, rumah ini tak pernah mengenal kenyamanan.

“…Maaf, Paman,” ucapnya pelan.

“tadi cari kerja gimana?” tanya Bi Lina tanpa basa-basi.

Zia mengangkat wajahnya. “Untuk hari ini belum dapat, Bi. Tapi Zia yakin… besok pasti bisa.”

“Kamu kira dua minggu itu waktu yang lama, Zia?” Bi Lina mengernyit, nada bicaranya tinggi. “Juragan Tono terus-terusan nagih hutang sama kita!”

Zia menggenggam ujung sarungnya erat. “Iya, Bi… Zia usahain cari kerja lebih giat lagi.”

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata pelan, “Zia… cuma mau bantu bayar hutangnya Paman. Walaupun… Zia juga gak tahu uangnya dipakai buat apa.”

Paman Ardi langsung meletakkan gelasnya dengan suara keras. “Jadi kamu gak ikhlas?”

Zia cepat-cepat menggeleng. “Ikhlas kok, Paman. Cuma… Zia heran aja. Uang itu dipakai buat apa? Soalnya… makan aja kita ngandelin dari hutan belakang rumah.”

Bi Lina menoleh tajam. “Kamu itu masih anak kecil, Zia. Jadi gak semuanya bisa kamu tahu. Masih banyak kebutuhan lain, bukan cuma makanan!”

Zia hanya menunduk. Pundaknya lunglai. Ia tak ingin membantah—sudah terlalu sering itu berakhir dengan bentakan atau tamparan.

“Sana, cuci piring! Habis itu belajar yang giat. Supaya kamu bisa dapet kerja yang lebih tinggi,” lanjut Bi Lina, nada suaranya dingin seperti biasa.

“Iya, Bi…” jawab Zia, bangkit perlahan sambil membawa piring-piring kotor ke ember cucian.

Dari celah jendela dapur yang sudah retak, bulan menggantung di langit. Zia menatapnya sebentar, berharap bisikan malam bisa memberi sedikit kekuatan. Karena dalam dunia kecil yang sempit ini, dia tahu… satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah dirinya sendiri.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!