NovelToon NovelToon

LUKA YANG TAK TERLIHAT

Bab 1 Siksaan Selama Pernikahan

Hujan mengguyur kota sejak sore. Di balik jendela kaca rumah megah di pusat kota kecil itu, Rania duduk memeluk lututnya. Wajahnya pucat, pipinya merah membiru, bekas tamparan yang baru diterimanya satu jam lalu. Ia tak menangis. Sudah lama air matanya kering.

Di ruang tamu, suara bentakan sang suami, Rendi, masih terdengar. Kali ini soal lauk makan malam yang katanya terlalu asin. Tadi pagi, soal baju yang tak disetrika. Tiada hari tanpa bentakan, kadang diselingi pukulan, tendangan, atau caci maki yang mengoyak harga dirinya sebagai perempuan, sebagai seorang manusia.

Rumah sebesar ini apakah tidak ada pembantu atau semacamnya? Tidak ada. Rania-lah yang harus mengerjakan semuanya. Apa karna dirinya tidak memiliki skill apa - apa? Sama sekali bukan. Rania adalah salah satu lulusan terbaik dari Perguruan Tinggi yang dulu pernah ia tempuh untuk menjadi seorang sarjana.

Saat baru menerima penghargaan kelulusannya, Rania bahkan langsung mendapatkan penawaran dari  perusahaan incaran nomor satu yang ada di ibukota. Tapi semua itu sudah masa lalu yang hanya bisa dikenang setelah boss besar yang begitu ia cintai itu membuangnya bahkan nama Rania Agatha ter-blacklist secara permanen di seluruh dunia. Sangat kejam.

Di sudut kamar, dua pasang mata kecil memperhatikan Rania. Alan, si sulung yang baru berusia sepuluh tahun, menggenggam erat tangan adik kembarnya, Chesna. Keduanya diam, ketakutan. Tapi bukan hanya karena ayah mereka, melainkan takut pada hari esok yang akan terus seperti ini.

“Mama…” suara lirih Alan memecah sunyi. Rania menoleh, mencoba tersenyum walau bibirnya pecah.

“Iya, Nak?”

“Kapan kita bisa pergi dari sini?”

Rania terdiam. Bukan karena tak ingin menjawab, tapi karena ia pun tak tahu. Kehidupannya selama 4 tahun pernikahan bersama Rendi, benar-benar penyesalan yang tak bisa ia ungkapkan.

___

Kehancuran Rania dimulai sejak 11 tahun lalu, saat dirinya jatuh cinta pada pemimpin perusahaan dimana ia bekerja. Cinta yang tak terbalas membuat Rania nekat sampai nyaris saja menghilangkan nyawa andiknya sendiri. Kejadian itu tentu saja membuat dua pria sekaligus menghukumnya secara membabi buta.

Rania adalah seorang ibu tunggal saat bertemu Rendi, lelaki yang kala itu tampak lembut dan penyayang. Ia pikir, akhirnya ada yang mau menerima dirinya dan anak - anaknya, yang merupakan hasil dari masa lalunya yang kelam. Masa ketika ia secara tak sengaja ditiduri oleh pria yang sangat membencinya. Itu bukan pemerkosaan juga bukan permainan ranjang karena cinta sedang menggebu. Hal itu sulit untuk diartikan, bahkan Rania pun tidak sudi mengingatnya.

Rania pernah salah, dan ia tahu, ia sangat salah atas kejahatannya di masa lalu. Terkadang ia pun menyimpulkan bahwa apa yang ia alami selama ini adalah hukum karma atas keburukannya . Tapi,  apakah kesalahan harus menuntunnya ke jurang penderitaan seumur hidup? Rania tidak sanggup lagi.

Menjadi seorang ibu tunggal selama 6 tahun, Rania akhirnya memutuskan untuk menikah. Saat menikah dengan Rendi, Rania mengira hidupnya akan membaik. ya, salah satu alasannya menikah yaitu untuk menunjang kedua anaknya yang harus segera mendaftar kekolah Dasar. Tapi baru sebulan setelah janji suci diikrarkan, topeng Rendi runtuh. Ia kasar, ringan tangan, dan suka merendahkan. Kata “perempuan hina” adalah panggilan sehari-hari yang dilontarkan padanya.

“Jangan sok suci! Siapa kamu? Perempuan murahan yang sudah hamil duluan! Aku nikahi kamu itu karena kasihan, bukan cinta!” begitu kata Rendi di suatu malam, di hadapan ibu kandungnya sendiri.

Dan Ibu Rendi? Ia bahkan lebih kejam dari putranya. Ia sangat setuju bahwa Rania adalah seorang wanita cantik dengan warna kulitnya yang putih bersih, rambut hitam panjang yang cukup lebat. Tapi…

“Seharusnya Rendi bisa dapat perempuan baik-baik. Tapi malah kamu yang numpang hidup di rumah ini. Perempuan bekas!” sindirnya tiap pagi sambil mengaduk teh.

Rania hanya diam. Kadang ingin melawan, tapi takut kehilangan tempat berteduh untuk anak-anaknya. Ia tahu ia tak punya siapa-siapa lagi. Orangtuanya sudah meninggal. Adiknya? Tentu saja sedang berbahagia dengan keluarga kecilnya sendiri. Keluarga besarnya mencibirnya karena masa lalu.

Sudah 4 tahun berumah tangga, Rania benar-benar tidak sanggup lagi. Dunia serasa mengepungnya dari semua sisi.

___

Suatu malam, saat hujan kembali turun seperti malam ini, Rania mendengar suara tangisan Chesna dari kamar. Anak itu bermimpi buruk.

“Mama dipukul lagi ya?” tanya Chesna sambil memeluknya.

Rania mengangguk pelan. “Tapi Mama kuat, Nak.”

Chesna memeluknya lebih erat. “Aku pengen gede cepet-cepet biar bisa lindungi Mama.”

Hati Rania nyaris runtuh. Di usia semuda itu, anaknya sudah belajar tentang rasa sakit yang seharusnya tak mereka kenal. Alan pun, di usia sepuluh tahun, lebih sering murung daripada tertawa. Dunia mereka menjadi kelam karena orang dewasa yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber ketakutan.

Esoknya, Rania mengantar anak-anaknya ke sekolah. Di depan gerbang, Alan menggenggam tangannya dan menatap mata ibunya.

“Mama, jangan mati ya,” katanya serius.

Rania tercengang. “Kenapa kamu bilang begitu?”

“Soalnya tadi malam Mama tidak bergerak setelah ditendang papa Rendi. Aku takut Mama mati.”

Rania menahan tangis. Ia tahu, ini tak bisa terus begini. Tapi ke mana ia bisa pergi? Uang tak punya, keluarga pun tak menerima.

Tapi anak-anaknya adalah alasan untuk bertahan. Dan pada akhirnya, mungkin juga alasan untuk berani melawan.

___

Hari itu, Rania memberanikan diri mendatangi Pusat Perlindungan Perempuan. Ia gemetar saat masuk ruangan konseling, tapi ia berbicara. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bercerita tanpa dipotong, tanpa dihakimi. Konselor mendengarkan, mencatat, dan menawarkan bantuan hukum serta tempat perlindungan.

Butuh waktu seminggu hingga Rania berani membawa anak-anaknya kabur. Malam itu, saat Rendi tertidur lelap karena mabuk, Rania menyelipkan tas berisi pakaian, dokumen penting, dan segenggam harapan.

Di tengah jalan yang sudah sepi, Rania menggenggam erat tangan kedua anaknya. “Mama, itu ada mobil.” Alan berseru dengan wajah berbinar. Berharap seseorang akan memberi mereka tumpangan.

Tiba-tiba, mobil itu berhenti tidak jauh dari mereka. Jendela mobil terbuka, menampakkan wajah seorang pria muda. Rania sempat panik, takut jika suaminya mengirim orang untuk mengejar. Namun, suara lembut pria itu memecah kecemasannya.

“Rania? Kamu Rania, kan?” ucapnya dalam hati, rasanya tak percaya. Ia pun keluar dari mobil untuk menawarkan bantuan. Tatapannya kemudian jatuh pada kedua anak kembar di sisi Rania. Ardi terpaku. Ada sesuatu pada wajah mereka yang membuatnya terkejut. Garis mata, senyum samar, bahkan cara mereka memandang… semua itu sangat mirip dengan seseorang yang ia kenal sangat dekat.

Ardi tidak berani langsung berasumsi, tetapi hatinya berdesir. Ada misteri besar di balik kemiripan itu. Namun yang paling penting saat ini, Rania dan anak-anak jelas sedang dalam bahaya.

“Masuklah ke mobilku. Aku akan bantu kalian,” ujar Ardi mantap.

Rania sempat ragu, tapi melihat tatapan tulus dan tangan terulur yang menawarkan perlindungan, ia akhirnya mengangguk. Ketiganya masuk, dan kehangatan mobil membuat tubuh mungil mereka sedikit lebih tenang.

Rania menunduk, air matanya kembali jatuh. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang yang tidak menjeritinya, tidak mengancamnya justru menolongnya tanpa syarat.

“Nama saya Ardi” pria itu menyalakan mesin, matanya sekilas melirik ke kaca spion. Dalam hatinya ia berjanji, apapun rahasia yang tersembunyi antara Rania, kedua anak itu, dan bosnya… ia akan memastikan mereka selamat dari masa lalu kelam yang memburu.

Malam itu menjadi awal perjalanan baru. Sebuah pelarian yang tidak hanya membawa Rania keluar dari jerat kekerasan, tetapi juga mendekatkannya pada rahasia besar yang mungkin saja bisa mengubah segalanya.

Ardi mengantar mereka ke suatu alamat sesuai permintaan Rania, yang diberikan oleh Pusat Perlindungan Perempuan. Di sana, ia dan anak-anaknya tinggal sementara. Aman, Tenang. Tidak ada bentakan, tidak ada tamparan. Chesna mulai bisa tidur nyenyak, dan Alan mulai tersenyum.

___

Pagi itu suasana kantor begitu hening, hanya terdengar deru pendingin ruangan dan bunyi ketikan cepat dari meja sekretaris. Ardi berdiri dengan map hitam di tangannya, hatinya diliputi keraguan. Semalaman ia memikirkan, apakah sebaiknya ia menceritakan pertemuannya dengan Rania kepada atasannya, Pak Miko?

Akhirnya ia memberanikan diri. Ia mengetuk pintu ruang kerja besar itu.

“Masuk,” suara berat Tuan Bagas terdengar dari dalam.

Ardi melangkah masuk, menunduk hormat. Pria berusia 38 tahun dengan tatapan tajam itu duduk di balik meja megahnya, menandatangani beberapa dokumen.

“Ada hal penting, Pak… saya ingin melaporkan sesuatu,” ucap Ardi hati-hati.

Miko mengangkat kepalanya, alisnya terangkat. “Apa itu?”

Ardi menarik napas. “Tadi malam… saya tidak sengaja bertemu dengan seseorang…”

Hening.

Entah kenapa rasanya kalimat itu tertahan di tenggorokan, “Dia Rania Pak, wanita yang dulu pernah,”

Pena di tangan Bagas berhenti menari. Rahang pria itu mengeras, dan tatapannya menjadi tajam bagaikan pisau. Suasana ruangan yang tadinya tenang mendadak berubah.

“Rania?” suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. “Jangan pernah sebut nama itu di hadapan saya!”

Ardi terkejut, namun tetap diam.

Miko menutup map dokumen dengan kasar, suaranya meninggi. “Perempuan itu… seorang penjahat! Dia membawa aib. Aku tidak ingin mendengar kabarnya sama sekali. Kalau dia masih hidup atau mati, itu bukan urusanku!”

Ardi menunduk dalam-dalam, menelan kegugupan. Jantungnya berdegup kencang. Di kepalanya, wajah dua anak kembar yang semalam tertidur dalam mobilnya terbayang jelas. Kemiripan mereka dengan Miko terlalu nyata untuk diabaikan. Tapi melihat amarah yang menyala di mata atasannya, Ardi tahu satu hal: kebenaran itu tidak bisa ia ungkapkan sekarang.

“Baik, Pak. Maafkan saya sudah membicarakan hal ini,” kata Ardi cepat, mencoba meredakan suasana.

Miko hanya memberi kode dengan kepala, menyuruhnya keluar.

Saat pintu menutup, Ardi menarik napas panjang. Tangannya gemetar memegang map kosong yang sedari tadi hanya dijadikan alasan untuk masuk. Dalam hati ia berbisik, lagi pula aku dan pak Miko hanya sementara saja di kota ini. semoga Rania dan anak-anaknya tidak kenapa-kenapa.

Sejak saat itu, Ardi menyimpan rahasia besar: bahwa Rania hidup dalam keadaan tak pasti, bersama dua anak yang bisa jadi adalah darah daging dari pria yang begitu membencinya.

__

Trauma tak hilang dalam semalam. Ada hari dimana Rania masih terbangun dengan mimpi buruk. Ada saat ia merasa dirinya tetap “perempuan hina” seperti yang orang-orang katakan.

Namun setiap kali anak-anaknya memeluknya, ia merasa sedikit lebih utuh. Setiap tawa mereka adalah obat bagi luka-lukanya.

Suatu siang, saat mereka duduk di taman rumah aman, Nadya menggambar sesuatu. Gambar seorang wanita berdiri di bawah cahaya, sementara bayangan hitam tertinggal di belakang.

“Itu Mama,” kata Nadya sambil menunjukkan gambarnya. “Mama sudah keluar dari tempat gelap.”

Rania menangis saat itu. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar hidup kembali.

Tiga bulan kemudian, dengan bantuan hukum, Rania resmi bercerai dari Rendi. Ia dengan nekad membawa anaknya berlabuh lebih jauh lagi dari kota kecil ini. Perlahan, ia mulai membangun kembali kehidupan baru kecil tapi damai yang dulu pernah ia ciptakan untuk kedua anaknya. Alan dan Chesna pindah sekolah, dan kini tak lagi takut pulang ke rumah.

Rania masih menyimpan bekas luka, baik di tubuh maupun hatinya. Tapi ia juga menyimpan kekuatan yang tak lagi bisa diremehkan.

Ia bukan perempuan hina.

Ia adalah perempuan yang bangkit dari luka.

Dan dalam pelukan kedua anaknya, ia menemukan identitas sejatinya: ibu, pelindung, dan perempuan yang tak bisa dihancurkan begitu saja.

Bersambung...

Selamat datang di Novel baru aku yaa... semoga kalian suka.. Silakan klik dukungan untuk kisah ini.. makasiiii

Bab 2

Suatu sore, setelah beberapa hari bersembunyi bersama ibunya, si kembar Alan dan Chesna bermain di taman kecil yang lumayan jauh dari rumah sewa mereka. Rania sengaja membiarkan mereka menghirup udara bebas, meski hatinya masih diliputi cemas. Anak-anak itu tampak ceria, saling mengejar, tertawa, seolah luka-luka masa lalu yang mereka saksikan di rumah tidak pernah ada. Kedua anak itu, seakan kembali ke masa 4 tahun lalu ketika masih berumur 6 tahun, sebelum Rania membawa mereka ke dalam pernikahannya yang sangat menakutkan.

Namun langkah Alan terhenti. Ia melihat seorang anak perempuan duduk sendirian di bangku kayu, menunduk, wajahnya pucat. Usianya mungkin tiga tahun lebih muda darinya. Tangannya memeluk boneka lusuh, matanya sayu seakan kehilangan semangat.

Alan mendekat dengan hati-hati. “Hei, kenapa kamu sendirian?” tanyanya polos.

Anak itu hanya menoleh sekilas, lalu menunduk lagi. Nafasnya pendek, seperti lelah.

Chesna ikut mendekat, tersenyum ramah. “Namaku Chesna, ini Alan. Kamu siapa?”

“...Lila,” jawab anak perempuan itu lirih.

Mereka bertiga terdiam sejenak. Keceriaan si kembar bertabrakan dengan kesunyian Lila yang murung. Tapi dengan kepolosannya, Alan merogoh kantong kecilnya, mengeluarkan permen yang tadi diberi ibunya. “Mau? Biar kamu nggak sedih lagi.”

Mata Lila sedikit berbinar, meski ia masih terlihat lemah. Ia menerima permen itu pelan, lalu berbisik, “Terima kasih…”

Chesna menepuk bahunya. “Jangan sedih. Kalau ada yang jahat sama kamu, bilang aja ke kami. Kami kuat, kan, Alan?”

“Betul!” sahut kembarannya dengan bangga.

Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, berjalan cepat ke arah mereka. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam. Begitu sampai, ia segera menunduk, memeriksa kondisi gadis kecil itu dengan cermat.

“Kenapa kamu pergi sendiri? Bukankah sudah papa bilang kamu harus istirahat?” suaranya rendah, datar, tapi mengandung ketegasan yang membuat Lila menunduk patuh.

Alan dan Chesna terdiam. Mereka menatap pria itu lekat-lekat. Ada sesuatu pada caranya bicara, pada tatapan matanya dingin, tegas, penuh kendali yang membuat mereka terkesima. Mereka tidak tahu siapa dia, tapi kehadirannya membuat udara seolah berat.

Pria itu kemudian berdiri, mendapati dua bocah kembar yang berdiri di dekat putrinya. Ia menatap mereka dengan sorot mata penuh perhitungan, seolah sedang membaca sesuatu yang tersembunyi.

“Siapa kalian?” tanyanya datar.

Chesna, dengan kepolosannya, menjawab tanpa ragu, “Kami cuma mau nemenin Lila, Pak. Dia kelihatan sedih. Kami nggak jahat, kok.”

Miko, itulah nama pria itu, mengamati wajah kedua anak itu lebih lama. Garis-garis halus di mata mereka, bentuk rahang, hingga cara mereka berdiri… semuanya membuatnya terdiam sesaat. Ada sesuatu yang aneh, sebuah gema samar yang muncul dari masa lalu.

Namun ia tidak menunjukkan apa-apa selain wajah dingin. Ia hanya mengangguk singkat.

“Baiklah. Terima kasih kalian sudah menemaninya.”

Dengan lembut, ia menggandeng tangan Lila, membawanya pergi. Tapi sebelum benar-benar berbalik, tatapan Miko sempat kembali jatuh pada si kembar. Dalam sorot mata tajamnya, ada kilasan yang sulit dimengerti, campuran rasa ingin tahu, curiga, sekaligus sesuatu yang tak ingin ia akui. Ingat, sesuatu yang tidak ingin ia akui.

Sementara Chesna dan Alan berdiri membisu, belum paham apa arti pertemuan singkat itu, hati kecil mereka berdesir aneh. Seolah ada benang halus yang tak terlihat, menghubungkan mereka dengan pria berwibawa itu. “Kira-kira, bagaimana rasanya punya ayah sebaik itu?” Alan menoleh malas kearah Chesna yang sedang bergumam. Pandangan adik kembarnya itu lurus mengantarkan kepergian Lila dan ayanya.

“Jangan terlalu cepat menilai orang.” Alan menanggapi Chesna yang menurutnya terlalu cepat menilai ayah Lila.

___

Rania hampir kehilangan kendali ketika mendapati Alan dan Chesna tak lagi kunjung terpantau oleh matanya. Nafasnya memburu, bayangan buruk langsung menghantam pikirannya suaminya bisa saja menemukan mereka.

Begitu ia melihat kedua anaknya kembali, ia segera menghampiri dengan wajah cemas. Namun sebelum sempat memarahi, Alan lebih dulu berkata, suaranya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu.

“Mama, kami ketemu seorang adik perempuan. Namanya Lila. Dia kelihatan sakit. Lalu… datang seorang pria. Sepertinya ayahnya.”

Chesna menambahkan, nada bicaranya hati-hati, seolah tahu kata-katanya bisa membuat ibunya khawatir.

“Mama… pria itu beda dari yang biasa kami lihat. Dia tidak berteriak. Tidak kasar. Tapi tatapannya… tajam. Rasanya seperti… dingin.”

Apa yang keluar dari mulut anaknya seolah mampu membuat jantung Rania seolah berhenti berdetak. Kata-kata itu cukup untuk membuat tubuhnya gemetar. Hanya ada satu pria yang bisa ia ingat untuk menggambarkan sosok yang dimaksud mereka—Miko.

“Seperti apa rupanya?” tanya Rania, suaranya bergetar.

“Dia tinggi, pakai jas rapi. Cara bicara ke anaknya tegas, tapi… anehnya kami tidak takut,” jawab Alan dengan jujur. “Justru terasa… seperti pernah melihatnya, entah di mana.”

Rania tentu saja merasa gugup. Dia akan selalu waspada. Tubuhnya terasa bergetar, matanya panas. Miko. Lelaki itu, sosok yang dulu pernah tidak sengaja terlibat dengannya, pria yang bahkan mengancam untuk menghabisinya kalau sampai berani muncul lagi. Aura dingin dan tegas yang anak-anak gambarkan tak lain memang miliknya. Rania berusaha menyingkirkan praduganya.

Ia memeluk kedua putranya erat-erat, seolah bisa menyembunyikan mereka dari dunia. “Kalian… tidak menyebutkan nama mama, kan? Tidak bilang siapa kalian sebenarnya?” tanyanya cepat.

Chesna menggeleng. “Tidak, Ma. Kami hanya bilang sedang menemani Lila.”

Rania menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Syukurlah. Namun batinnya bergolak. Mereka sudah berusia sepuluh tahun, cukup dewasa untuk mulai bertanya. Dan jika wajah mereka saja sudah membuat Miko terhenti sesaat… cepat atau lambat, kebenaran bisa saja terungkap.

Sambil menatap kedua anaknya yang memandang penuh rasa ingin tahu, Rania hanya bisa berbisik dalam hati:

“Anak-anakku… kalian cerdas dan polos. Tapi ada hal yang belum bisa kalian ketahui sekarang. Tentang siapa sebenarnya ayah kalian. Aku… benar-benar takut kalau kalian tiba-tiba bertemu dengan orang itu. semoga saja Tuhan tidak mengizinkan pertemuan itu terjadi.” Rania meyakinkan dirinya sendiri. Ia sangat percaya, kebetulan manapun tidak akan memiliki ruang untuk mempertemukan si kembar dengan Miko, ayah mereka itu.

_

Malam itu, setelah membawa Lila kembali ke rumah, Miko duduk sendirian di ruang kerjanya. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin, tak tersentuh. Sorot matanya kosong menatap jendela, tapi pikirannya penuh riuh.

Bayangan dua anak yang ia temui di taman tadi terus berputar di kepalanya. Anak laki-laki dengan tatapan berani dan cerdas. Anak perempuan dengan garis wajah lembut namun tegas.

Semakin lama ia memikirkan, semakin jelas terasa—ada sesuatu pada diri mereka yang menyerupai dirinya. Sikap, sorot mata, bahkan cara bicara yang lugas.

___

Hari-hari Rania tidak pernah mudah, tapi ia menjalaninya dengan senyum, sebab dua pasang mata selalu menantinya di rumah: Rafa dan Rani, si kembar berusia 10 tahun.

Mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana, berdinding kayu, dengan halaman kecil tempat Rania menanam sayur. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, si kembar membantu ibunya menyiapkan dagangan kecil seperti kue basah, gorengan, dan minuman hangat yang akan dijual Rania di depan pasar.

“Ma, aku sudah bungkuskan donat lima belas biji,” ujar Chesna sambil merapikan plastik.

Alan menambahkan, “Dan aku bikin tulisan harga biar lebih gampang. Kata Bu guru, kalau tulisan rapi orang lebih suka beli.”

Rania menatap mereka dengan bangga. “Kalian anak-anak mama yang hebat. Kalau bukan karena kalian, mama sudah menyerah sejak lama.”

Mata Chesna berbinar, meski masih polos. “Aku kan anak pemberani, Ma. Aku harus jaga Mama dan rajin bantu Mama Jualan kue.”

Alan menimpali sambil nyengir, “Aku saja yang jaga Mama. Dan aku kan bisa ngomong manis ke pembeli biar pada balik lagi.”

Mereka tertawa bersama, dan tawa itu membuat rumah kecil mereka seakan penuh cahaya.

Di pasar, Rania menata dagangannya. Anak-anaknya ikut membantu, tidak pernah malu walaupun teman-teman sekolahnya lewat. Bahkan mereka justru punya cara unik untuk menarik pembeli: Alan suka memainkan gitar kecil butut yang baru-baru ini ia temukan di tong sampah, sementara Chesna bernyanyi dengan suara merdu. Lagu-lagu sederhana itu membuat orang yang lewat berhenti sejenak, tersenyum, lalu membeli kue Rania.

“Ma, lihat!” seru Chesna, sambil menunjuk seorang ibu muda yang barusan membeli gorengan. “Dia bilang mau balik lagi besok. Katanya gorengan kita enak!”

Rania tersenyum,. “Itu karena tangan kalian ikut membantu, Nak.”

Sepulang dari pasar atau setelah sekolah, si kembar kadang membantu Rania membuat kerajinan kecil dari kain perca seperti gantungan kunci, dompet mungil, hingga bando sederhana. Chesna dengan telaten merangkai hiasan, sementara Alan yang cerdas membantu memasarkan lewat teman-teman sekolahnya.

Suatu malam, ketika listrik mati, mereka duduk bertiga di bawah cahaya lilin. Alan memainkan gitar kecilnya, sementara Chesna bernyanyi lirih. Rania hanya duduk, memandang mereka dengan hati penuh haru.

“Ma,” kata Chesna tiba-tiba, “kalau suatu hari kita punya rumah lebih besar, aku mau ada toko kecil di depan rumah. Biar Mama tidak perlu capek ke pasar.”

Alan ikut menimpali, “Aku mau kerja yang pintar biar bisa beli banyak kain buat Mama jahit. Nanti kita kaya, Ma.”

Air mata Rania menetes tanpa bisa ditahan. Ia meraih kedua anaknya, memeluk erat.

“Kalian… adalah alasan Ibu masih kuat. Mama janji, apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama.”

Malam itu, dalam rumah sederhana dengan lilin kecil yang berkelip, Rania kembali sadar satu hal, kebahagiaan tidak selalu berarti harta berlimpah. Kadang, cukup dengan cinta, keberanian, dan kepolosan anak-anaknya dunia yang berat terasa lebih ringan.

___

Bersambung... gimana reader? ada masukan dan saran?

Bab 3

Di sekolah sederhana itu, nama Alan mulai sering disebut-sebut. Guru-guru memperhatikan bahwa anak laki-laki berusia 10 tahun itu selalu punya cara unik untuk menjawab soal, menyelesaikan masalah, bahkan memberi ide di luar dugaan. Alan bukan sekadar cerdas dalam akademik, ia juga cepat tanggap, kreatif, dan bisa memimpin teman-temannya.

Suatu pagi, di ruang guru, kepala sekolah berbicara pada Bu Ratna, wali kelas Alan.

“Bagaimana kalau tahun ini kita kirim Alan untuk lomba sains tingkat kota? Saya perhatikan anak itu punya potensi besar. Dia cepat menyerap pelajaran, bahkan membuat eksperimen kecil dari barang sederhana.”

Bu Ratna tersenyum bangga. “Iya, Pak. Alan memang berbeda. Dia punya cara pandang yang matang, meski masih anak-anak. Bahkan kalau temannya berselisih, Alan bisa jadi penengah.”

__

Ketika pengumuman disampaikan di kelas, Alan sempat terdiam.

“Alan,” kata Bu Ratna sambil tersenyum, “Kamu, terpilih mewakili sekolah untuk lomba sains kreatif. Kamu mau, kan?”

Seisi kelas bertepuk tangan riuh. Rafa, teman dekatnya yang duduk di sebelah berteriak, “Ayo Alan! Kamu pasti bisa!”

Alan menunduk sebentar, lalu menatap Bu Ratna.

“Tapi Bu… kalau saya ikut lomba, saya harus pulang agak sore untuk latihan. Saya tidak sempat bantu mama saya jualan di pasar.?”

Semua guru yang mendengar terharu. Anak seusia Alan, alih-alih sombong, justru memikirkan ibunya.

“Kamu tidak usah khawatir, Nak,” jawab Bu Ratna lembut. “Justru ini kesempatanmu. Ibu dan adikmu pasti bangga. Kau bisa tetap bantu mereka, tapi jangan lepaskan kesempatan ini.”

Malamnya, Alan menceritakan kabar itu pada Rania dan adiknya, Chesna.

“Ma, aku ditunjuk mewakili sekolah lomba sains. Katanya di kota. Tapi aku takut… kalau aku terlalu sibuk, aku nggak bisa bantu Mama jualan.”

Rania tertegun, lalu memeluk Alan erat.

“Anakku, kau tidak perlu takut. Kau lah kebanggaan Mama. Kalau Kamu bisa berdiri di depan orang banyak, menunjukkan kepandaianmu, itu juga bentuk bantuanmu. Kau sedang membuka jalan masa depan.”

Chesna ikut menyelutuk sambil menggenggam tangan kembarannya. “Kak Alan jangan takut. Aku kan bisa gantiin Kak Alan bantu Mama. Lagian aku juga bisa promosiin dagangan, ingat?”

Alan tertawa kecil, matanya berbinar. “Kalian benar. Aku akan coba sebaik mungkin.”

__

Hari-hari latihan lomba menjadi tantangan baru bagi Alan. Dengan bahan-bahan sederhana yang sering ia temukan di pasar atau di rumah kontrakan mereka, ia merancang eksperimen kecil seperti lampu sederhana dari air garam, dan juga kincir angin mini dari bambu bekas. Teman-temannya terheran-heran.

“Alan, kok bisa kepikiran begitu?” tanya salah seorang teman.

Alan hanya tersenyum polos. “Kalau setiap hari hidupmu terbatas, kamu jadi sering mikir cara lain buat bikin sesuatu jalan.”

Hari lomba pun tiba. Alan berangkat dengan seragam rapi dan kotak kecil berisi hasil kreasinya. Dari kejauhan, Rania dan Rani melambaikan tangan, meski hanya bisa mengantarnya sampai gerbang sekolah karena tak punya ongkos untuk ikut ke kota.

Alan menoleh sebentar, senyumnya penuh keyakinan.

“Ma, Chesna… doakan aku ya. Aku nggak akan sia-siakan ini.”

Dan di sanalah, anak lelaki 10 tahun itu berdiri di antara peserta lain dari sekolah-sekolah besar. Meski sederhana, matanya memancarkan kecerdasan dan keberanian, warisan dari perjalanan berat bersama ibunya.

__

Pagi itu, Rania baru saja selesai mengantarkan pesanan kue buatan tangannya ke sebuah toko kecil di pusat kota. Ia sengaja mengambil jalan memutar agar tidak berpapasan dengan terlalu banyak orang. Alan sedang mengikuti lomba untuk beberapa hari ke depan, sementara Chesna masih di sekolah. Rania terlihat sangat bersemangat memacu kedua kakinya.

Namun takdir sering kali mempermainkan. Dari kejauhan, langkahnya terhenti. Sosok pria dengan setelan jas rapi baru saja keluar dari mobil tepat depan sebuah gedung perkantoran mewah di seberang jalan. Wajah itu dingin, sorot matanya tajam, rahangnya mengeras saat berbicara dengan seseorang di telepon. Miko.

Rania seketika membeku. Nafasnya tercekat, seolah waktu berhenti. Semua kenangan pahit, dendam, kebencian, rasa bersalah, menerpa sekali gus. Ia buru-buru menunduk, memeluk erat tas di dadanya, berbalik hendak pergi.

Tapi langkahnya justru membuat suara tumit sepatunya memantul jelas di trotoar basah. Miko menghentikan percakapan teleponnya, menoleh sekilas. Hanya sepersekian detik, tapi cukup. Mata mereka hampir bertemu.

“Rania…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Panik melanda Rania. Ia mempercepat langkah, menyelip di antara orang-orang yang baru keluar dari halte bus. Tapi tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Sebuah sepeda motor menabrak gerobak sayur di ujung jalan. Orang-orang menjerit, berlarian menolong pedagang yang terjatuh. Suasana mendadak ricuh.

Kesempatan itu digunakan Rania. Ia melangkah cepat ke arah gang sempit di samping gedung, lalu bersembunyi di balik dinding kusam yang dipenuhi coretan tak beraturan.. Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar hebat.

Dari seberang jalan, Miko berusaha menembus kerumunan. Sorot matanya menyisir orang-orang. Ia tahu ia melihatnya. Bukan ilusi. Wajah pucat dengan mata yang dulu penuh amarah itu… ia tidak mungkin lupa.

Seorang stafnya mendekat. “Pak, rapat sudah menunggu.”

Miko mengangkat tangan, memberi isyarat agar orang itu diam. Tatapannya menajam, terarah pada gang kecil di sisi gedung.

“Aku tahu kau di sini, Rania…” gumamnya, dingin dan menekan.

Namun saat ia hendak melangkah ke arah gang, suara seseorang memanggilnya keras dari belakang, klien penting yang baru datang. Dengan terpaksa, Miko menahan langkahnya.

Rania menutup mulutnya rapat-rapat di balik tembok, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar. Ia tahu, Miko tidak akan berhenti sampai benar-benar memastikan.

Dan di jalanan ramai itu, dua jiwa yang pernah terlibat  oleh masa lalu yang kelam kembali dipertemukan, meski tak sepenuhnya saling berhadapan.

“Setelah 11 tahun, perempuan menjijikan itu tiba-tiba terlihat. Berani sekali dia muncul di kota ini.” Alan merasakan kemarahannya di dadanya.

++

Setelah bertemu klien, Miko kembali ke kantornya.   Gedung perkantoran itu tampak tenang dari luar, namun di dalam ruang kerjanya yang luas dan tertutup kaca, Miko berdiri tegak di depan jendela. Tangannya menyelip di saku celana, rahangnya mengeras, sementara matanya kosong menatap ke arah jalanan yang sibuk di bawah sana.

Sejak kembali dari luar tadi, pikirannya tak bisa tenang. Ia telah menghadiri rapat singkat dengan klien, namun bahkan kalimat-kalimat mereka tak benar-benar masuk ke telinganya. Yang terus muncul hanyalah wajah itu—wajah pucat dengan sorot mata yang dulu dipenuhi ambisi, kebencian, sekaligus ketakutan.

“Rania…” desisnya pelan. Nama itu saja sudah membuat dadanya terasa sesak oleh amarah lama yang seolah belum pernah padam. Miko tidak percaya dengan isi pikirannya sendiri.

Apakah ini soal perasaan? Tidak mungkin. Memang, bertemu dengan wajah Rania, sekilas Miko merasa melihat Vania, wanita yang sebenarnya ia inginkan, yang kini hidup bahagia bersama pria lain. Ya, wajah Vania dan Rania memang sangat mirip.

Ia berjalan pelan ke meja kerjanya, membuka sebuah laci, dan mengambil sebatang rokok. Namun, seperti biasanya, batang itu hanya ia putar-putar di antara jari. Ia jarang benar-benar menyalakannya. Baginya, itu hanyalah cara meredam kegelisahan.

“Ardi benar, pernah melihatmu di kota kecil itu. Lalu kenapa kau muncul di kota ini? Apa ada lagi hal busuk yang kau rencanakan? Apa kau sangat meremehkan ucapanku waktu itu?” gumamnya.

Tangannya mengepal. Ingatan masa lalu menyeruak tawa licik Rania saat menghalangi Vania bertemu dengan Gama, malam kebakaran yang nyaris merenggut nyawa gadis yang ia cintai, dan semua luka yang tak pernah sembuh.

Seharusnya, ia merasa puas bila benar Rania kini hidup terlunta. Tapi anehnya, bayangan tadi tak mau hilang dari pikirannya. Bukan hanya wajah Rania, melainkan caranya menunduk, langkah tergesa yang nyaris seperti pelarian… ada sesuatu yang mengusik.

Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Ardi, asisten kepercayaannya, masuk membawa setumpuk berkas.

“Pak, laporan dari proyek sudah saya siapkan. Apakah—”

“Taruh di meja,” potong Miko dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan.

Ardi menuruti tanpa banyak bicara, tapi sempat melirik heran. Biasanya Tuan Miko fokus dan tak tergoyahkan, sementara hari ini terlihat ada kegelisahan yang sulit ditutupi.

Begitu Ardi keluar, Miko kembali menatap kaca jendela. Malam mulai turun, lampu-lampu kota menyala satu per satu. Namun pikirannya tetap terikat pada satu hal.

“Aku tidak mungkin salah. Itu memang dia,” bisiknya lagi, lebih mantap kali ini.

Dan di balik kemantapan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia pahami—dorongan untuk menemukan Rania kembali, entah demi melampiaskan amarah… atau demi menjawab rasa terusik yang tak ia mengerti.

Ia masih muda, berdiri di depan rumah yang dilalap api. Teriakan menggema, orang-orang berlarian panik. Dan di dalam kobaran itu Vania, gadis yang ia cintai, terjebak nyaris tak bernyawa.

__

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!