NovelToon NovelToon

Secercah Kasih Dari Timor

1. Siapa gadis menggatal ini??

Kali ini Letnan Renes Dhean Sidiq sangat benci hari Senin. Bukan karena harus kerja tapi dirinya sudah telat rapat pagi untuk kegiatan penilikan Kompi apalagi laporan keuangan yang membuatnya ingin menjedukkan kepala ke meja. Sebagai seorang perwira muda yang gagah dan berwibawa, Renes terbiasa menghadapi tekanan. Tapi hari ini, kesabarannya benar-benar diuji.

"Kuletakkan dimana map itu??? B*****t, sudah telat nih." gumamnya jengkel.

Jam sudah berputar ke arah kanan semakin cepat. Bang Renes pun memilih meninggalkan ruangan mengambil segala konsekuensi yang mungkin akan terjadi nanti.

~

Braaaakk...

"Aaaawwhh.. es kuuu..!!!!" pekik seorang gadis.

Bang Renes mendongak. Seorang gadis dengan rambut dikuncir asal dan kacamata yang melorot di hidung menatapnya panik. Di tangannya ada segelas plastik berisi es mocc yang sudah kosong melompong. Kemeja seragam Bang Renes basah kuyup oleh cairan manis berwarna cokelat itu. Sebagai seorang perwira, Bang Renes selalu menjaga penampilannya, kejadian ini benar-benar merusak citranya.

"Ya Allah Gustiii.. darimana datangnya kutu beras ini?????" Gerutunya semakin jengkel.

"Kutu???? Om tidak lihat gadis secantik ini?????" suara gadis itu sungguh memekkan telinga.

"Cantik darimananya??? Kalau mau cantik minimal tinggi, Neng. Badan hanya sebesar karet ban dalam saja bangga." Bang Renes pun berlalu meninggalkan gadis itu.

Tapi siapa sangka gadis itu tidak terima dengan hinaan pria yang jujur memang memiliki tubuh tinggi tegap.

Bang Renes mengibaskan pakaiannya berharap warna dan aroma kopi segera lenyap dari tubuhnya.

Gadis yang kesal itu lalu menghadang langkah Bang Renes, ia memegang kedua pundak pria itu lalu melompat hingga keningnya menghantam kening pria muda di hadapannya.

duuuggg..

"Aaahh.."

Tak hanya itu, gadis itu mencubit dua tombol rahasia di balik pakaian seragam loreng Bang Renes.

Geram dengan tingkah bocah itu, Bang Renes refleks berniat membalas tapi apa daya, dirinya tidak mungkin membalas hal yang sama pada seorang wanita karena jatuhnya akan menjadi hukum pelecehan.

"Apa?? Apaaa?? Mau balas?? nggak berani ya?? Nih kalau mau." Gadis itu sengaja menyodorkan dadanya.

Seketika Bang Renes menjadi salah tingkah dan panas dingin menghadapi gadis kecil itu.

"Gila..!!" umpat Bang Renes dalam hati. Gadis di hadapannya benar-benar tidak tau malu. Dengan cepat Bang Renes memalingkan wajahnya, berusaha menetralkan ekspresinya yang mulai memerah. Jelas tidak mungkin tidak ada rasa sedangkan dirinya sudah matang dengan interaksi antara pria dan wanita.

"Kamu ini siapa sih? Kenapa tiba-tiba menghadang saya dan berbuat kurang ajar seperti ini?" tanya Bang Renes dengan nada suara yang berusaha dikendalikan sekuatnya.

Gadis itu menyeringai. "Kenalan dulu dong, Om. Nama saya Raras. Kelas dua belas, sudah mau lulus dan ambil jurusan hukum. Kebetulan, Raras benci banget sama orang yang sombong dan merendahkan orang lain." ujar gadis tersebut panjang lebar.

Bang Renes mengernyit. "Jadi, ini alasan kamu melakukan semua ini? Kamu pikir dengan melakukan tindakan seperti ini, kamu bisa membuat saya merasa bersalah?"

"Tentu saja tidak, Om. Raras cuma ingin memberi pelajaran. Biar Om tau, kalau ucapan Om itu bisa menyakiti hati orang lain," jawab Raras dengan nada sinis.

Bang Renes menghela napas panjang. "Baiklah, saya minta maaf kalau ucapan saya tadi menyakiti kamu. Tapi, apa yang kamu lakukan ini juga tidak bisa dibenarkan. Kamu sudah melakukan tindakan yang tidak sopan dan bisa dianggap sebagai pelecehan."

Raras tertawa sinis. "Pelecehan? Ya ampun.. Raras hanya bercanda, Om. Raras cuma menguji keteguhan iman Om saja. Lagian, Om juga kelihatan menikmati kok."

Bang Renes terkejut mendengar ucapan Raras. "Sembarangan. Apa maksud kamu?"

"Sudahlah, Om. Nggak usah pura-pura polos. Raras tau kok, Om juga tertarik sama Raras." goda Raras sambil mengedipkan sebelah matanya.

Darah Bang Renes rasanya mendidih. Gadis ini benar-benar sudah keterlaluan. Namun, sebagai seorang perwira, ia harus bisa mengendalikan emosinya utamanya menjaga sikap. Teringat bahwa tentara harus menjujung tinggi kehormatan wanita.

"Sudah cukup..!!! Saya tidak mau berdebat dengan kamu lagi. Saya harus segera pergi. Permisi..!!" ucap Bang Renes sambil berusaha melewati Raras.

Namun, Keisha kembali menghadang langkahnya. "Nggak semudah itu, Om. Raras belum selesai memberi pelajaran."

"Apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Bang Renes dengan nada frustrasi.

Raras mendekat ke arah Bang Renes, lalu berbisik di telinganya, "Raras mau, Om mengakui kalau Raras ini cantik dan menarik."

Bang Renes terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia menelan ludah dengan kasar menahan diri, bagaimana pun juga Raras adalah lawan jenisnya. Di satu sisi, ia merasa jijik dengan tingkah gadis ini. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa memungkiri, kalau Raras memang memiliki daya tarik tersendiri, cantik dan sangat cantik lebih dari sekedar kata cantik.

Bang Renes tertegun mendengar bisikan Raras. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena tertarik, tapi lebih karena merasa terkejut dan kesal. Bagaimana bisa gadis ini begitu percaya diri dan tanpa malu meminta hal seperti itu pada seorang pria yang baru saja di temuinya satu kali.

"Kamu benar-benar..." Bang Renes menggantungkan kalimatnya, mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kekesalannya. "Tidak tau malu..!!!!!"

Keisha tertawa kecil. "Ooomm.. Itu kan cuma sebuah pengakuan. Apa salahnya?? Nggak akan bikin Om kehabisan uang juga."

"Saya tidak akan mengatakan hal yang tidak sesuai dengan kenyataan," jawab Bang Renes tegas tanpa menatap mata Raras.

"Begitu ya??? Jadi menurut Om..........." Raras mengusap nama dada Bang Renes lalu melanjutkan katanya. "Sidiq. Saya ini jelek dan tidak menarik?" tanya Raras dengan nada menantang setelah melihat nama dada R. D. SIDIQ.

Bang Renes menghela napas. Ia merasa terjebak dalam situasi yang konyol. "Saya tidak mengatakan seperti itu. Tapi, saya juga tidak akan mengatakan apa yang kamu inginkan."

"Oooomm." Raras mulai bertingkah membuat jemari Bang Renes mengepal kuat.

"Berhentilah menggatal, sebelum saya..........."

"Saya apa????" Senyum Raras tersungging kemudian berkedip-kedip menggoda Bang Renes.

'Ya Tuhan, apa sih ini??? Kenapa ada godaan setan di siang bolong.'

"Ijin, Danton...!!"

Seorang pria berkepala plontos menyapa. Seketika Raras menggamit lengan Bang Renes dan terus menempel padanya.

"Ada apa, Rud??"

Pratu Rudi terus menatap Raras. Seakan paham ada sesuatu yang tidak beres, Bang Renes menggenggam jemari Raras. Ia merasakan Raras begitu gemetar, wajahnya mendadak memucat.

"Ijin.. Kapten Zeni meminta berkas laporan."

"Nanti saya antar sendiri, silakan kembali kerjakan tugasmu..!!" perintah Bang Renes.

Pratu Rudi berlalu, tapi Raras masih gemetar bersandar pada bahunya.

"Kamu kenal dia??" Tanya Bang Renes.

"Ng_gak, Om." jawab Raras.

"Betul?? kamu tidak kenal??" kata Bang Renes menegaskan.

"Kenapa Om jadi baik?? Sudah cinta sama Raras??"

.

.

.

.

2. Rahasia lama.

Bang Renes menatap Raras dengan curiga. "Jangan bohong. Saya bisa lihat dari wajah kamu, ada sesuatu yang kamu sembunyikan."

Raras berusaha tersenyum, tapi matanya tidak bisa berbohong. "Sungguh, Om. Raras tidak kenal siapa dia. Mungkin dia hanya teman dari teman Raras."

Bang Renes tidak percaya begitu saja. Ia merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Instingnya sebagai seorang perwira, apalagi dirinya juga seorang Intel terlatih mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Baiklah, kalau kamu tidak mau mengaku, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, kalau kamu berbohong, kamu akan menyesal," kata Bang Renes dengan nada setengah ancaman.

Raras menelan ludah. Ia merasa takut dengan tatapan tajam Bang Renes. Ia tahu bahwa pria ini bukan orang sembarangan.

"Om mau apa sekarang?" tanya Raras dengan suara bergetar.

Bang Renes berpikir sejenak. Ia ingin mencari tahu apa hubungan Raras dengan Pratu Rudi, tapi ia juga tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.

"Saya akan antar kamu pulang. Dan jangan pernah mengganggu saya lagi," jawab Bang Renes akhirnya.

"Tapi, Om.. Saras tidak bisa pulang karena sedang bersama Abang disini." Kata Saras.

Kening Bang Renes berkerut mendengarnya, ia pun penasaran. "Siapa Abangmu?"

"Bang Alfred."

Bang Renes terhenyek, berarti gadis ini adalah adik ipar Valia, mantan kekasihnya.

Raras terus memperhatikan wajah perwira muda itu. Tapi ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Om, bolehkah Raras minta sesuatu?"

"Apa?" tanya Bang Renes curiga.

"Bolehkah Raras minta nomor telepon Om?"

Bang Renes tentu terkejut mendengarnya Anak gadis sekarang sudah sangat berani. "Untuk apa?"

"Siapa tau, Raras butuh bantuan Om suatu saat nanti," jawab Raras dengan senyum misterius.

Bang Renes berpikir sejenak. Ia merasa ragu, tapi ia juga tidak ingin terlihat kasar. Akhirnya, ia memutuskan untuk memberikan nomor teleponnya.

"Ini nomor saya. Tapi jangan sering-sering menghubungi saya," kata Bang Renes sambil meminta ponsel milik Raras. "Mana ponselmu?"

Raras menyerahkan ponselnya dengan senang hati. "Iyaaa.. Takut amat."

Tak lama ponsel Bang Renes berdering. "Itu nomer saya."

"Siap, Om. Terima kasih banyak."

...

Pertemuan itu seperti lingkaran tak berujung, setiap sudutnya dipenuhi kenangan yang seharusnya sudah menjadi debu. Valia.. dengan senyumnya yang dulu begitu memikat hatinya, kini hanya menghadirkan rasa bersalah yang mendalam dan penuh sayatan pedih. Bang Renes berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya terus menerus terganggu oleh kehadiran sang mantan kekasih.

"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dia di sini?" batin Bang Renes, sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik sikap profesional kerja. "Raras tidak boleh tau soal apapun. Kelakuannya saja seperti itu, apalagi mulutnya."

...

Saat makan malam tiba, Bang Renes merasa seperti terperangkap dalam drama yang tidak ingin ia mainkan. Valia duduk di seberangnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bang Renes berusaha menghindari kontak mata dengan Valia, tapi setiap kali tatapan mereka bertemu, jantungnya berdegup kencang tak beraturan, nyatanya bukan sisa cinta yang pernah ada namun rasa sakit yang tak terkira karena wanita itu memilih pria lain saat dirinya tidak memiliki apapun untuk di banggakan.

Setelah memberikan nomor teleponnya pada Raras, Bang Renes merasa ada beban baru yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu apa maksud gadis itu, tapi instingnya mengatakan bahwa Raras akan membawa masalah baru dalam hidupnya.

"Sialan." umpat Bang Renes dalam hati. "Kenapa aku harus terlibat dengan gadis ini? Apa hubungannya dengan Si Rudi? Dan kenapa dia harus menjadi adik ipar Valia?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuatnya semakin gelisah tak menentu. Babg Renes mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya terus melayang pada Raras dan Valia.

....

Malam itu kembali canggung. Setelah part tidak nyaman dengan Valia dan tim dinas, Bang Renes kembali ke mess dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus dihantui oleh bayangan Raras dan Valia.

"Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," batin Bang Renes. "Aku tidak bisa membiarkan Raras dan Valia mengganggu kehidupanku.. Apapun itu."

***

Keesokan harinya, Bang Renes memutuskan untuk menemui Raras secara diam-diam. Ia ingin menanyakan secara langsung apa hubungannya dengan Pratu Rudi dan kenapa ia meminta nomor teleponnya.

Bang Renes segera mencari Raras di sekitaran hotel tempat abangnya menitipkan gadis itu dan akhirnya menemukannya sedang berada di taman hotel namun ada sosok yang membuat perasaannya berantakan. Pratu Rudi sedang menghajar Raras tanpa ada seorang pun disana.

"Heeehh.. B*****t..!!!!! Kau ini memang banci. Sini lawan saya..!!"

baagghh.. buugghh.. baagghh.. buugghh..

Bang Renes menghajar Pratu Rudi tanpa ampun hingga tubuh anggotanya itu babak belur.

"Ooomm.. Sudaahh..!!" Raras sampai terisak tak sanggup berbicara di buatnya.

Secepatnya Bang Renes menarik tangan Raras lalu membawanya menjauh dari Pratu Rudi yang masih terkapar di tempat.

"Raras, kita harus bicara?" Kata Bang Renes dengan nada serius.

Raras menoleh dengan wajah pucat. Ia menarik tangannya dari cekalan Bang Renes. "Ada apa, Om? Raras mau kembali ke kamar."

"Saya ingin tahu apa hubunganmu dengan Pratu Rudi. Dia punya istri, Ras." kata Bang Renes langsung ke intinya.

Raras terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kenapa Om yang marah?? Apa Om cemburu?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab pertanyaan saya..!!!!" tegas Bang Renes.

Raras menghela napas. "Baiklah, Raras bilang sama Om. Tapi Om harus janji, tidak akan marah." Tegas Raras membuat benteng diri.

"Saya janji. Sekarang, katakan yang sebenarnya." desak Bang Renes.

Raras mendekat ke arah Bang Renes, dan berbisik di telinganya. "Raras adalah kekasihnya Pratu Rudi."

Bang Renes terkejut mendengar pengakuan Raras. "Apa? Istrinya sedang hamil, Ras."

"Iya, Om. Tapi Raras memang kekasihnya Pratu Rudi. Dan Raras tidak pernah tau kalau Bang Rudi sudah menikah." bisik Raras lagi, kali ini dengan nada takut.

Bang Renes merasa seperti tersambar petir. Ia tidak menyangka bahwa Raras adalah kekasih Pratu Rudi, hal celaka yang pernah ada. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Bang Renes dengan nada geram melihat gadis tidak berakhlak seperti Raras.

"Semua ini berawal juga karena Om." Pekik Raras.

"Kenapa dengan saya????" Bang Renes yang tidak paham dengan situasi sampai menaikan nada satu oktaf lebih tinggi.

"Raras mencari Om, minta tanggung jawab karena Om pernah menodai Raras." Kata Raras.

Bang Renes terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ia merasa kosong dan tidak paham apa yang terjadi, tapi di sisi lain, ia tidak merasa mengenal Raras.

"Kapan?? Bukankah kita baru bertemu hari ini??" Tanya Bang Renes.

Raras menatap Renes dengan tatapan kecewa. "Aku kecewa pada Om. Aku pikir Om adalah orang yang bertanggung jawab."

"Sungguh, saya tidak mengenalmu."

Raras mengibaskan tangan Raras dan menatap Bang Renes dengan tatapan penuh amarah. Ia pun meninggalkan Bang Renes seorang diri di taman.

Renes terdiam, hatinya diliputi perasaan bersalah dan khawatir. Tapi sungguh tidak ada satupun hal yang ia ingat.

"Aku pernah bertemu dengannya?? Kapan??"

Tak lama dering ponsel Bang Renes berbunyi, panggilan telepon dari Bang Zeni.

"Selamat pagi. Ijin arahan, Abang." Jawab Bang Renes.

"Kamu dimana?"

"Siap, lari pagi. Ijin...." Tanya Bang Zeni.

"Kamu lihat si Bomber?"

Bang Renes menepuk dahinya. Kini bertambah satu persoalan lagi.

.

.

.

.

3. Rahasia terdalam.

"Bagaimana, sudah di temukan pembelotnya???" Tanya Bang Renes pada anggota bujangan.

"Siap sudah, Danton. Ada di dalam barak bujangan." Jawab Prada Anwar.

"Tangkap..!! Kembalikan pada Danki..!!" Perintah Bang Renes pada anggota remaja.

Bang Renes segera menghubungi seniornya dan mengabarkan bahwa ada anggotanya yang akan mengembalikan si bomber, ayam kate kesayangan Bang Zeni.

"Bagus.. Kamu memang bisa di andalkan, Ren. Jangan sampai Bomber kenapa-kenapa. Kalau sampai dia masuk ke penggorengan orang, kamu.. Abang buat jungkir balik..!!" ancam Bang Zen.

"Siap..!!"

Dan akhirnya urusan ayam kate pun usai sudah. Tapi perkataan Raras tentang dirinya yang tidak bertanggung jawab terus menghantuinya. Ia tidak bisa tenang sebelum mengetahui kebenarannya.

Setelah menutup telepon, Bang Renes mengacak rambutnya frustrasi. "Ayam kate... ayam kate... Kenapa hidupku jadi serumit ini?????"

...

Siang itu, Bang Renes kembali menemui Raras di taman belakang hotel yang sama. Gadis itu tampak terkejut melihat kedatangannya.

"Om Renes? Ada apa lagi?" tanya Raras dengan nada penuh rasa curiga.

"Saya ingin bicara serius denganmu," jawab Bang Renes. "Tentang perkataanmu tempo hari. Tentang saya yang tidak bertanggung jawab."

Raras menghela napas panjang. "Raras sudah duga Om pasti kembali dan menanyakan hal ini."

"Jangan bertele-tele. Katakan yang sebenarnya, Raras. Apa maksudmu dengan semua itu?" desak Bang Renes kesal.

Raras menatap Bang Renes dengan tatapan misterius. "Om benar-benar tidak ingat????"

Bang Renes menggeleng. "Sungguh, saya tidak ingat apa pun. Kalau saya memang melakukan kesalahan yang fatal, biarkan saya menebusnya..!!"

Raras tersenyum sinis. "Baiklah kalau Om memaksa. Raras akan beritau, Om"

"Katakan saja..!!" jawab Bang Renes, berusaha tenang.

Raras mendekat ke arah Bang Renes dan berbisik di telinganya. "Om pernah bertemu Raras di sebuah club malam. Om mabuk berat dan memaksa ingin punya anak......" Raras menggantung kalimatnya, membuat Bang Renes semakin penasaran.

"Lalu apa? Apa yang terjadi malam itu??? Ada buktinya atau tidak???" desak Bang Renes.

Raras mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada Bang Renes. Foto seorang pria yang wajahnya tidak begitu terlihat jelas.

"Itu Om, kan?" tanya Raras.

Bang Renes terkejut melihat foto itu. Ia memang mengenali pakaian yang dikenakannya, tapi ia tidak bisa memastikan apakah pria di foto itu adalah dirinya atau bukan.

"Pakaiannya memang sama, tapi belum tentu saya." jawab Bang Renes melirik foto tersebut. "Wajahnya tidak terlihat jelas."

Raras tertawa kecil. "Om mau mengelak??Raras tau itu Om. Raras tidak mungkin salah."

Bang Renes terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian malam itu, memang benar ia pernah kesana tapi otaknya terasa kosong. Ia benar-benar tidak ingat apa pun.

Namun sekelebat ingatan di subuh pagi, saat ia terbangun dengan keadaan acak-acakan sendirian di dalam kamar membuatnya menelan ludah dengan kasar.

"Apa maumu? Uang?? Atau ada yang kamu inginkan??" kata Bang Renes akhirnya.

Raras tersenyum tipis. "Raras hanya ingin Om bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab? Maksudmu...?" Bang Renes tidak berani melanjutkan kalimatnya.

Raras mengangguk. "Raras ingin Om menikahi Raras."

Mendengar itu, Bang Renes merasa seperti tersambar petir. Menikahi Raras? Itu adalah hal yang paling tidak mungkin terjadi dalam hidupnya.

"Kamu gila..!! Kamu saja ada hubungan dengan Rudi. Bisa saja kamu juga sengaja ingin menjebak saya." seru Bang Renes. "Saya tidak mungkin menikahi kamu..!!"

"Kenapa tidak?" tanya Raras. "Om sudah merenggut kehormatan Raras. Om harus bertanggung jawab..!!" Desak Raras.

Sebagai pria sejati, jelas Bang Renes merasa dilema. Jika Raras bohong, tentu bukti foto itu tidak akan pernah ada tapi hubungan Raras dan Rudi terlalu rumit untuk di cerna dalam situasi yang berantarkan seperti ini.

"Tapi saya tidak ingat apa pun!" bantah Bang Renes. "Saya tidak yakin apakah saya benar-benar melakukan itu atau tidak sama kamu."

"Om mau bilang Raras menipu??" kata Raras. "Om harus menikahi Raras.. Atau Raras akan melaporkan Om ke PM."

Bang Renes terdiam. Ia merasa terpojok dan tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia tidak ingin menikahi Raras. Di sisi lain, ia tidak ingin berurusan dengan PM.

"Saya butuh waktu untuk berpikir," kata Bang Renes akhirnya.

"Berapa lama? Raras butuh kepastian." Jawab Raras.

Bang Renes menengadah, matanya terpejam. Ingin menolak kenyataan tapi jelas saat itu Bang Renes melihat bercak tanda di atas tempat tidur, batinnya mulai goyah. Terbersit rasa sakit atas penyesalan dari semua yang ia lakukan.

'Apakah ini jawaban dari sholat tobatku? Apakah Tuhan sudah benar-benar memberikan teguran kerasnya pada kelakuan ku??'

Kedua bola mata Bang Renes mulai basah. Dadanya sesak tapi ia juga tidak ingin menjadi pecundang tidak bertanggung jawab.

"Oke. Dimana Abangmu. Saya akan melamarmu sekarang."

"Abang masih di luar kota. Nanti malam baru kembali." Jawab Raras.

...

Sementara Bang Renes menyiapkan segalanya. Raras menemui sahabatnya, Syandira.

"Jadi bagaimana, Ras??" Tanya Dira penuh harap.

"Yaaa.. Kamu memang awam tentang dunia militer. Jadi Om Renes menyetujui menikah dengan banyak syarat."

"Apa syaratnya?"

"Menikah memang menggunakan namamu, tapi foto di berkas pengajuan nikah adalah fotoku. Karena nanti kita akan berada di asrama, kamu harus mau jadi asisten rumah tangga Om Renes agar tidak mencolok. Ini juga demi keselamatan Om Renes" Jawab Raras. "Bagaimana, kamu setuju??"

Dira yang polos memainkan jemarinya. Sungguh dirinya tidak paham apapun tentang dunia militer bahkan sebagai istri juga harus menyembunyikan identitas demi menjaga diri.

"Iya, aku setuju."

"Okey.. Nanti malam dia akan melamarmu. Abangku yang menerimanya. Kamu yang atur make up ku, ya."

...

Bang Zeni kocar-kacir mendengar permintaan juniornya. Jelas dirinya gelagapan karena Bang Renes akan melamar adik dari petinggi pusat daerah setempat.

"Dimana pikiranmu, Ren. Kamu ini hamilin anak orang apa gimana???" Omel Bang Zeni sambil memakai pakaian batiknya yang bolak balik salah lubang kancing.

"Siap.. tidak, Bang. Hanya saja.........."

"Hanya apa??? Kamu jangan main-main, Ren....!!!!!"

Wajah Bang Renes nampak pias, Bang Zeni pun mengarahkan juniornya itu agar menatap matanya.

"Kenapa??? Bilang yang benar..!!!!!!!"

"Siap.. Kebablasan, Bang." Jawab Bang Renes jujur meskipun terasa benar.

"Astaghfirullah, Reeenn..!!!! Garangan juga kau, ya."

Plaaaaaaakkk..

"Apa maumu??? Tingkahmu ini sudah kelewat batas, Ren. Punya otak nggak, kamu??????" Bentak Bang Zeni panas dingin menghadapi ulah juniornya.

"Saya bukannya sengaja. Saya juga menyesali kelakuan bejat saya, Bang." Mata Bang Renes sudah berkaca-kaca menahan malu setengah mati.

Rasanya Bang Zeni ingin menghantam wajah juniornya tapi ia sadari juniornya itu adalah pria yang sudah paham akan konsekuensi dari setiap tindakannya dan dalam usianya pasti sudah layak untuk berumah tangga.

"Hamil, nggak??"

"Siap.. tidak, Bang." Jawab Bang Renes.

"Kok yo ono-ono wae to, Ren. Urip wes anteng malah ngundang molo. Kapan kejadiannya??"

"Siap.. Waktu istri Abang lahiran."

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!