Buku Harian Yang Tak Perna Selesai
Lembar Pertama
GabrieLLa
Will, kamu lagi?🤔
WiLLie
Lagi. Ada apa, Gabs?
GabrieLLa
Nggak ada sih… cuma… aku ngerasa penuh banget malam ini...
GabrieLLa
Ya… kayak dada aku nggak muat nampung semua rasa.
WiLLie
Hehe. Itu biasanya tanda ada sesuatu yang ditahan terlalu lama. Mau cerita?😁
Gabriella menatap layar ponselnya lama, jari-jarinya bergetar kecil. Ada begitu banyak kata yang ingin ia keluarkan, tapi sekaligus takut kalau semuanya terdengar terlalu rapuh. Ia tahu Willie selalu jadi tempatnya bersandar. Bukan pacar, bukan keluarga, tapi sahabat yang entah kenapa bisa lebih mengerti daripada siapa pun.
GabrieLLa
Will, kamu pernah nggak sih… ngerasa capek banget sama hidup, tapi di saat yang sama juga nggak bisa berhenti berharap?
WiLLie
Pernah. Itu rasanya kayak berdiri di perempatan, tapi semua arah buntu.
GabrieLLa
Iya… aku kayak gitu sekarang.
WiLLie
Apa yang bikin kamu ngerasa gitu?
GabrieLLa
Banyak. Terlalu banyak malah. Aku nggak tahu mulai dari mana.
WiLLie
Mulai dari yang paling nyakitin hati kamu sekarang.
Gabriella menghela napas panjang. Tangannya menulis cepat, lalu menghapus. Menulis lagi, lalu menghapus lagi. Sampai akhirnya ia menutup mata, membiarkan jempolnya mengetik tanpa pikir panjang.
GabrieLLa
Aku capek berpura-pura baik-baik aja. Semua orang lihat aku senyum, tertawa, aktif di medsos, kayak nggak ada apa-apa. Tapi mereka nggak tahu, aku sering banget nangis sendirian di kamar.
WiLLie
Aku tahu, Gabs. Dari cara kamu ngetik, aku sering bisa baca kalau ada sesuatu yang nggak beres.
GabrieLLa
Aku cuma takut dibilang lemah.
WiLLie
Kamu nggak lemah. Kamu cuma manusia.
Kata-kata itu membuat mata Gabriella panas. Sesuatu di dadanya seakan retak, lalu air mata itu tumpah begitu saja. Ia merasa terbuka, telanjang, tapi juga lega.
GabrieLLa
Kadang aku ngerasa… aku ini nggak penting, Will. Kayak semua yang aku lakuin sia-sia. Aku belajar, kerja keras, aku berusaha jadi orang baik, tapi tetep aja… aku merasa kosong.
WiLLie
Kosong itu wajar. Justru karena kamu manusia, kamu bisa ngerasain. Jangan pernah ukur nilai dirimu dari seberapa orang lain lihat kamu.
GabrieLLa
Tapi gimana kalau aku sendiri nggak bisa lihat nilai diriku?
WiLLie
Itu kenapa kamu butuh catatan harianmu.
WiLLie
Ingat kan, dulu kamu sering nulis? Segala hal, sekecil apa pun. Itu yang bikin kamu kuat. Catatan harianmu itu kayak cermin.
GabrieLLa
Aku berhenti nulis, Will. Bertahun-tahun.
WiLLie
Mungkin karena sekarang saatnya mulai lagi.
Gabriella menatap lembar kosong di buku yang sudah lama ia abaikan. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali menulis sesuatu di sana. Buku itu menunggu, seakan setia meski lama ditinggalkan.
GabrieLLa
Tapi Will, gimana kalau catatan itu juga nggak pernah selesai?
WiLLie
Ya memang nggak akan pernah selesai. Hidup kita nggak pernah selesai sampai napas terakhir.
GabrieLLa
Jadi maksudmu… aku harus nerima kalau aku bakal terus menulis, tanpa tahu akhir ceritanya?
WiLLie
Iya. Karena akhir itu bukan urusan kita. Tugas kita cuma menuliskan apa yang kita jalani.
GabrieLLa
Kedengarannya sederhana, tapi rasanya berat banget.
WiLLie
Aku tahu. Tapi kamu nggak sendirian.
Ada jeda. Gabriella menatap layar, menunggu titik-titik kecil tanda Willie sedang mengetik. Rasanya ia bisa mendengar degup jantungnya sendiri.
WiLLie
Gabs, kamu selalu punya aku. Bukan untuk kasih jawaban, tapi untuk dengerin. Jadi jangan pernah takut cerita.
GabrieLLa
Kalau aku terlalu sering cerita?
WiLLie
Aku nggak bakal bosan.
GabrieLLa
Kamu nggak capek sama aku?
WiLLie
Nggak. Karena kamu bukan beban.
Air mata Gabriella semakin deras. Kata-kata sederhana itu lebih menyembuhkan daripada ribuan motivasi kosong yang sering ia baca di internet. Ia sadar, mungkin inilah arti memiliki sahabat yang benar-benar mau tinggal, meski semua orang lain pergi.
GabrieLLa
Will, boleh nggak kalau malam ini aku mulai nulis lagi?
WiLLie
Harus. Jangan cuma boleh.
GabrieLLa
Aku takut… kalau nanti aku malah nulis hal-hal yang bikin aku makin sakit.
WiLLie
Justru tulislah itu. Luka yang nggak pernah ditulis, akan jadi racun.
GabrieLLa
Aku bingung mulai dari mana.
WiLLie
Mulai aja dari chat kita malam ini.
Gabriella tersenyum samar di balik air mata. Ya, mungkin itu ide yang baik. Membiarkan percakapan ini jadi lembar pertama catatan hariannya. Sebuah awal, meski belum tentu ada akhirnya.
GabrieLLa
Will, kamu tahu kan… kenapa aku kasih judul “Catatan Harian yang Tak Pernah Selesai”?
GabrieLLa
Karena aku sadar, ada hal-hal yang nggak bakal bisa aku tutup. Luka, cinta, kehilangan… semuanya kayak lingkaran yang selalu kembali.
WiLLie
Tapi justru itu yang bikin catatanmu hidup. Karena kamu jujur sama dirimu sendiri.
GabrieLLa
Aku masih takut.
WiLLie
Wajar. Semua orang takut. Bedanya, nggak semua orang berani mengakuinya. Kamu berani. Itu aja udah cukup.
Jam dinding berdetak pelan. Malam makin larut, tapi hati Gabriella sedikit lebih ringan. Ia meraih pulpen, membuka buku lusuhnya, lalu menulis:
"Malam ini aku kembali. Dengan luka, dengan tangis, dengan segala kekacauan di kepalaku. Aku nggak tahu apakah aku akan sanggup menyelesaikan catatan ini. Tapi mungkin memang begitulah hidup: catatan yang tak pernah selesai. Dan malam ini, aku bersyukur masih ada Willie yang mau mendengar."
GabrieLLa
Will… terima kasih ya.
GabrieLLa
Untuk tetap tinggal.
WiLLie
Sama-sama, Gabs. Jangan lupa, aku selalu ada di sini.
GabrieLLa
Iya. Selamat malam, Will.
WiLLie
Selamat malam. Dan… selamat menulis kembali.
Layar ponsel padam. Di luar, langit malam menutup dirinya dengan sunyi. Namun di dalam kamar kecil itu, sebuah buku lama akhirnya kembali bernyawa. Catatan pertama sudah tercatat. Sebuah perjalanan dimulai. Sebuah catatan harian… yang mungkin tak akan pernah selesai.
Cinta Dalam Diam
Malam itu, setelah menutup percakapan dengan Willie, Gabriella masih terjaga. Ia mencoba menulis, tapi setiap kata yang ia coretkan selalu berbelok ke satu nama: Corne. Nama yang seharusnya tidak memenuhi catatan hariannya, nama yang seharusnya ia hapus dari pikirannya. Nama yang terus membayangi pikirannya. Nama yang ia simpan rapat-rapat, bahkan dari Willie.
Namun begitulah cinta yang tak diundang: ia datang tiba-tiba, lalu diam-diam mengikat hati. Gabriella tahu ini salah. Ia punya pasangan. Corne juga. Tapi justru kesalahan itu yang membuatnya makin sulit dilepaskan.
Dan di sinilah semuanya bermula. Sebuah percakapan yang tak pernah boleh diketahui dunia.
Corne
Belum juga. Lagi kepikiran banyak hal.
GabrieLLa
Tentang pasanganmu?
Corne
Hehe… iya. Tentang dia, tentang kita juga.
Gabriella menatap layar ponselnya dengan jantung yang berdebar cepat. Setiap kali Corne menyebut “tentang kita,” ada bagian dari dirinya yang sekaligus bahagia dan hancur. Bahagia karena merasa dipilih, hancur karena tahu dirinya bukan satu-satunya.
Corne
Kita nggak seharusnya gini...
Corne
Kamu punya dia dan juga terikat, aku juga punya orang lain...
GabrieLLa
Tapi tetap aja, Corne. Kamu bikin aku nggak bisa berpaling.
Gabriella memejamkan mata. Kata-kata itu menusuk sekaligus menghangatkan. Ia tahu Corne benar-benar mencintai pasangannya, berbeda dengan dirinya yang hidup dalam ikatan kosong. Namun di sela kebahagiaan orang lain itu, Gabriella menemukan ruang kecil untuk merasakan dicintai—meski dalam sembunyi.
GabrieLLa
Kadang aku iri sama dia.
GabrieLLa
Karena dia punya kamu sepenuhnya, sementara aku cuma punya potongan waktumu.
Corne
Jangan bilang gitu. Kamu penting buat aku.
GabrieLLa
Tapi bukan yang utama..
Hening sejenak. Gabriella bisa merasakan jeda panjang dari Corne. Jeda itu terasa seperti pengakuan diam-diam bahwa memang benar: ia bukan prioritas. Tapi entah kenapa, meski tahu, Gabriella tetap bertahan.
Corne
Aku nggak bisa janji bakal milih kamu, Gabs. Tapi aku juga nggak bisa berhenti nyari kamu.
Corne
Karena cuma sama kamu aku bisa jadi diriku sendiri.
Gabriella terisak pelan. Ia menuliskan kata-kata itu di halaman buku hariannya malam itu: “Aku bukan rumah utamanya, tapi aku adalah tempat ia singgah. Dan entah kenapa, aku rela.”
GabrieLLa
Corne, kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu?
GabrieLLa
Tapi rasa ini salah.
Corne
Iya. Salah… tapi indah.
Kata itu menggema di kepala Gabriella: salah tapi indah.
Bukankah memang begitu? Seperti bunga liar yang tumbuh di tempat yang tak seharusnya, namun tetap merekah dengan cantik. Hubungan ini salah, tapi justru di sanalah kejujuran hatinya bertemu.
GabrieLLa
Aku takut, Corne. Takut kalau suatu hari aku kehilangan kamu.
Corne
Jangan pikir sejauh itu dulu. Nikmati aja yang kita punya sekarang.
GabrieLLa
Tapi aku bukan tipe orang yang bisa nikmatin tanpa mikir masa depan.
Corne
Kalau gitu… biar aku yang mikir masa depan, kamu cukup nemenin aku hari ini.
Gabriella terdiam lama. Ia ingin protes, ingin marah, ingin berkata bahwa ia pantas lebih. Tapi bibirnya kelu, jari-jarinya kaku. Karena di balik semua luka, ia tetap memilih berada di sisi Corne, meski hanya dalam diam.
GabrieLLa
Kamu tahu nggak, Corne? Aku udah lama nggak merasa hidup. Sama pasanganku, aku cuma jadi bayangan. Tapi sama kamu… aku jadi nyata...
Corne
Aku juga ngerasa gitu, Gabs. Kamu bikin aku bisa jujur sama diri sendiri.
GabrieLLa
Kalau aku bukan siapa-siapa, kenapa kamu tetep balik ke aku?
Corne
Karena kamu rumah yang nggak pernah aku ceritain ke siapa pun.
Malam makin larut. Kata-kata itu terpatri dalam ingatan Gabriella. Rumah. Betapa ironisnya: ia disebut rumah, padahal dirinya tak bisa dimiliki. Namun justru di situlah cinta dalam diam tumbuh. Diam bukan karena tak ada suara, tapi karena suara itu harus dikubur rapat, agar dunia tak mendengarnya.
GabrieLLa
Corne, kalau suatu hari aku hilang… kamu bakal nyari aku nggak?
Corne
Aku nggak mau mikirin kamu hilang. Tapi kalau itu terjadi, aku yakin aku nggak bakal berhenti nyari.
Corne
Meski ada siapa pun.
Air mata Gabriella menetes lagi. Antara haru dan sakit, antara ingin menggenggam dan harus melepaskan. Ia menutup chat itu dengan satu kalimat, sebelum terlalu larut dalam perasaan yang dilarang.
GabrieLLa
Selamat malam, Corne. Jangan mimpiin aku. Itu tugasnya dia.
Corne
Selamat malam, Gabs. Tapi kalau mimpiku bandel dan tetep nyari kamu, itu salah siapa?
Gabriella menutup ponselnya, lalu membuka buku harian. Ia menulis:
"Cinta ini memang tak boleh ada. Tapi ia tetap tumbuh, liar, di ruang-ruang yang sepi. Aku bukan pilihan utama, tapi aku adalah rahasia yang ia jaga. Dan mungkin… cinta dalam diam ini adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup."
Saat Dunia Milik Kita
Ada malam-malam tertentu ketika kata-kata dalam chat tak lagi cukup. Ketika rindu menuntut sesuatu yang lebih nyata dari sekadar notifikasi ponsel. Malam itu, Gabriella dan Corne memilih diam-diam bertemu. Sebuah kesalahan yang sudah mereka tahu, tapi tetap mereka lakukan.
Corne
Aku bisa keluar sebentar. Kamu bisa ketemu?
GabrieLLa
Sekarang? Malam ini?
Corne
Iya. Aku butuh lihat kamu.
GabrieLLa
Kamu yakin aman?
Corne
Nggak pernah ada yang benar-benar aman, Gabs. Tapi aku nggak peduli. Aku cuma pengen kamu.
Hati Gabriella berdebar. Tangannya gemetar saat mengetik jawaban. Ia tahu pertemuan itu akan semakin menjerat mereka berdua, tapi rasa ingin bertemu lebih kuat dari rasa takut.
GabrieLLa
Oke. Katakan di mana.
Corne
Tempat biasa. Aku tunggu.
Dan akhirnya, di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, mereka bertemu. Mata Gabriella langsung menemukan tatapan Corne di antara keramaian. Ada sinar yang selalu sama: hangat sekaligus berbahaya. Ia duduk di hadapannya, mencoba menenangkan degup jantung yang seperti berlari.
Corne menyandarkan siku di meja, menatap Gabriella...
Corne
Kamu cantik malam ini.
Gabriella tersipu, tapi menunduk..
GabrieLLa
Jangan bilang gitu. Nanti aku makin susah lepas ..
Corne
Memang aku pengen kamu susah lepas.
Kata-kata itu membuat Gabriella kehilangan kendali. Mereka bicara panjang, tertawa pelan, lalu diam ketika dunia di sekitar tak lagi terdengar. Hanya ada mereka berdua.
Setelah kafe sepi, mereka berjalan ke mobil Corne. Tak ada tujuan jelas, hanya mengikuti jalan-jalan kota yang mulai tidur. Hingga akhirnya mobil berhenti di tempat sunyi, sebuah parkiran kosong yang diterangi lampu jalan redup.
GabrieLLa
Corne… ini gila...
Corne mendekat, suara berat...
Corne
Ya, ini gila. Tapi aku nggak mau berhenti.
Tatapan mereka bertemu. Dunia seakan runtuh di sekitar mereka. Corne meraih wajah Gabriella, dan tanpa banyak kata, bibir mereka bersatu. Hangat, terburu-buru, penuh rindu yang ditahan terlalu lama. Gabriella tahu, di pelukan itu, ia menemukan rumah yang tak boleh ia miliki.
Gabriella dalam pelukan...
GabrieLLa
Kalau aku terus kayak gini, aku nggak akan bisa balik lagi.
Corne
Jangan balik. Tetap di sini, sama aku.
Kata-kata itu hanya ilusi. Mereka tahu esok akan kembali pada kenyataan masing-masing. Tapi malam ini, mereka memilih berpura-pura dunia hanyalah milik mereka berdua. Tangan Gabriella menggenggam erat baju Corne, seolah takut ia menghilang.
Waktu berjalan cepat, seperti mencuri. Setiap detik jadi sesuatu yang terlalu berharga untuk dilepas. Mereka tidak hanya berbagi kata, tapi juga kehangatan, sentuhan, dan kejujuran yang tak bisa mereka ucapkan di hadapan siapa pun.
Gabriella setelah lama terdiam, suara bergetar...
GabrieLLa
Kalau semua ini salah… kenapa rasanya begitu benar?
Corne
Karena hati kita nggak bisa bohong.
GabrieLLa
Tapi hati juga bisa jadi pengkhianat.
Corne
Kalau itu berarti aku pengkhianat, aku rela.
Dirinya larut dalam pelukan Corne. Ia sadar, ia sedang menulis bab paling berbahaya dalam catatan hariannya. Bab yang tak boleh dibaca siapa pun. Namun di sisi lain, bab inilah yang membuatnya merasa hidup lebih dari sebelumnya.
Corne menatap Gabriella dengan mata sendu...
Corne
Besok aku harus pulang ke dia.
Gabriella menahan air mata...
GabrieLLa
Aku tahu. Dan aku juga harus pura-pura baik-baik aja sama dia yang ada di rumahku.
Corne
Aku benci pura-pura.
GabrieLLa
Tapi itu harga dari cinta ini, Corne. Cinta kita nggak akan pernah diakui.
Malam semakin larut. Mereka tahu waktu hampir habis. Tapi justru karena itulah, detik-detik itu semakin intim, semakin melekat. Gabriella menatap wajah Corne lama-lama, mencoba menghafal setiap garisnya, setiap senyum samar yang mungkin esok hanya tinggal bayangan.
GabrieLLa
Janji satu hal, Corne.
GabrieLLa
Kalau suatu hari aku nggak kuat lagi, jangan salahin aku kalau aku pergi.
Corne menggenggam tangan Gabriella erat...
Corne
Kalau kamu pergi, aku yang bakal nyari kamu.
Gabriella tahu itu janji kosong. Tapi hatinya tetap menggenggam erat kalimat itu, seolah benar-benar akan terjadi. Ia menutup malam itu dengan tangis yang ia sembunyikan di dada Corne.
Dan ketika akhirnya ia kembali ke rumah, membuka buku lusuh di meja, ia menulis:
"Aku sudah melewati garis yang tak pernah boleh kulewati. Aku sudah mencicipi kebahagiaan yang bukan milikku. Dan meski aku tahu ini akan menghancurkanku, aku tetap ingin mengulanginya lagi. Karena bersamanya, untuk sesaat, dunia benar-benar terasa milik kami."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!