Ruben Juan Tares, pria berusia 32 tahun yang merupakan Presdir di sebuah perusahaan, dia baru saja menjemput istrinya yang keluar dari rumah sakit. Setibanya di rumah, dia mendorong kursi roda milik Felicia, dua minggu lalu wanita itu mengalami kecelakaan dan baru pulih setelah menjalani perawatan intensif.
Tidak ada keluarga yang menyambut, karena mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sehingga Ruben langsung membawa istrinya ke kamar.
"Mereka benar-benar keterlaluan!" gerutu Ruben sambil mendesahkan napas kasar.
Felicia yang mendengar itu sontak mengelus punggung tangan suaminya yang masih bertengger di kursi roda. "It's oke. Lagi pula aku sudah sembuh." katanya, namun itu semua tak lantas membuat raut wajah Ruben berubah.
Ditambah tiba-tiba Felicia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya. Dia menyerahkannya pada Ruben, dan membuat pria itu mengernyit heran.
"Apa ini, Sayang?" tanya Ruben, dilihat sekilas amplop tersebut berasal dari rumah sakit. Dan tebakan Ruben sangat tepat.
"Maafkan aku sebelumnya, Ben. Aku melarang dokter menyampaikannya, supaya aku sendiri yang memberikan hasil ini padamu. Selama di rumah sakit, aku juga melakukan pemeriksaan lain, dan hasilnya—aku mandul," jawab Felicia to the point dan begitu enteng, memaparkan isi yang ada di dalam amplop tersebut. Padahal wanita itu baru saja pulang ke rumah, tapi Felicia justru langsung membicarakan hal yang sangat serius.
Tentu saja Ruben tercengang. Mulutnya sampai menganga, dan tak langsung percaya dengan ucapan istrinya. Sontak dengan gerakan tergesa dia langsung terduduk dan membuka amplop tersebut, lalu membacanya secara teliti.
Di sana, dikatakan bahwa Felicia memang mengalami kendala di kesuburannya. Tanpa pikir panjang Ruben langsung meremas kertas itu sampai lusuh dan dilemparkannya secara sembarangan. Dia sama sekali tak percaya.
"Ini pasti salah. Lagi pula kenapa kamu menjalani pemeriksaan ini sendirian? Seharusnya kamu melakukan tes bersamaku, kita kan suami istri, Fel! ucap Ruben yang tak ingin membuat istrinya kecewa dengan situasi ini. Apalagi wanita itu sering disudutkan oleh ibunya.
Felicia tertunduk, tapi dia malah mengulas senyum, seolah semua ini bukan masalah yang begitu besar. "Dokter tidak mungkin bohong kan, Ben? Lagi pula aku tidak apa-apa. Mau aku periksa sendiri atau bersamamu. Itu semua tidak mengubah apapun. Aku tetap wanita mandul! Makanya sampai saat ini kita belum juga dikaruniai anak."
"Fel—"
"Keluarga kita butuh penerus, Ben," sela Felicia sebelum suaminya melanjutkan pembicaraan. Kemudian mereka saling menatap lekat. "Tapi aku tidak mungkin bisa hamil. Jadi bagaimana kalau kamu dapatkan anak itu dengan cara lain?" Lanjut Felicia, dengan pemikiran yang sangat konyol. Karena selama pernikahan mereka yang sudah menginjak dua tahun, mereka belum juga dikaruniai momongan.
"Maksudmu?" tanya Ruben dengan mata yang membulat.
"Pinjam rahim wanita lain," jawab wanita itu, tatapannya meyakinkan.
Ruben sampai memundurkan wajahnya, saking tak habis pikir dengan ide Felicia yang sangat tiba-tiba. Wanita lain? Apa itu artinya Felicia menginginkan dia menikah lagi? Atau justru wanita itu sedang meminta cerai padanya?
"Katakan dengan jelas, Fel! Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?" cetus Ruben, nadanya mulai terdengar tak ramah.
Felicia menelan ludahnya, dia sudah menebak bahwa respon suaminya pasti akan seperti ini. Namun, demi menggapai tujuannya, Felicia akan terus berusaha untuk merayu Ruben.
"Aku bersedia dimadu. Tapi aku punya persyaratan sebelum kamu melakukannya," balas Felicia dengan mimik serius.
"Tidak! Kamu sudah gila, Fel!" sentak Ruben mulai terbakar emosi. Namun, Felicia langsung meraih tangan Ruben dan menggenggamnya erat.
"Aku akan membiarkanmu menikah, tapi tidak untuk menyentuhnya. Karena dokter bilang ada banyak cara untuk menghasilkan anak tanpa harus berhubungan. Dan tugas wanita itu hanya hamil tanpa diakui statusnya di depan publik. Setelah dia berhasil melahirkan. Anak itu akan menjadi anak kita! Penerus keluarga Tares. Bagaimana? Kamu setuju kan dengan ideku?" jelas Felicia, yang entah mendapat ide gila dari mana? Karena hal tersebut akan mengorbankan banyak pihak, termasuk wanita malang yang akan terpilih mengandung benih Ruben.
Ruben menggelengkan kepalanya secara perlahan. Berusaha menolak keinginan istrinya.
"Kita bisa melakukannya tanpa melibatkan orang lain, Fel. Bayi tabung? Berapa sih biayanya? Aku akan lakukan supaya kita bisa punya anak!" tegas Ruben, namun Felicia malah terlihat sendu dan berkaca-kaca.
"Tidak bisa, Ben. Dokter bilang itu sulit, jadi pasti semua usaha kita akan gagal. Dan aku akan terus-menerus dihina oleh Mama, memangnya kamu mau?" balas Felicia tak kalah menggebu. Ibu mertuanya memang cukup cerewet, jadi mungkin dia bisa membungkamnya dengan cara seperti ini.
"Jadi maksudmu—aku menikahi wanita lain hanya untuk mengandung anak kita tanpa diketahui siapapun, termasuk Mama dan Papa?" tebak Ruben—lalu Felicia pun langsung menganggukkan kepala karena Ruben sudah mengerti penjelasannya. "Lalu setelah itu?"
"Ceraikan dia dan beri dia uang yang banyak. Artinya kita butuh wanita miskin!" pungkas Felicia seolah tak punya hati nurani. Dan hanya wanita bodoh yang bersedia melakukan hal tersebut. Menjual rahim yang dihargai sebatas rupiah.
*
*
*
Makan malam sudah tersedia di meja panjang. Semua anggota keluarga Tares pun langsung berkumpul di sana untuk menikmati hidangan. Hanya ada sekitar tujuh orang, karena Tuan Tares dan Nyonya Sandra hanya memiliki dua orang anak laki-laki. Dan semuanya sudah berkeluarga, adik Ruben yakni Charlie bahkan sudah memiliki seorang anak. Hal tersebut yang sering membuat Felicia dibandingkan dengan adik iparnya.
"Selamat datang kembali, Fel, maaf Mama tidak bisa ikut menjemputmu, karena tadi Mama ada arisan," ujar Sandra sambil meayangkan tatapan pada Felicia.
Felicia yang masih menikmati makan malam lantas mengangkat kepala. "Terima kasih, Ma. Lagi pula kan ada Ruben, Mama tidak perlu minta maaf seperti itu." balasnya tersenyum.
Sandra manggut-manggut.
"Tapi kamu bisa jalan lagi kan? Dan kecelakaan itu tidak sampai membuat rahimmu bermasalah kan? soalnya Mama sempat dengar dari teman, kecelakaan itu bisa bikin mandul," ujar Sandra, pertanyaan itu lebih terdengar seperti cibiran yang membuat Ruben kembali terbakar.
"Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Felicia akan kembali berjalan setelah rutin belajar, dan sebentar lagi kami pasti punya anak, Ma. Mama tidak perlu pusing-pusing menanyakan itu terus," potong Ruben sebelum istrinya menjelaskan dengan jujur. Felicia pun menatap Ruben dengan heran. Apakah itu artinya Ruben sudah benar-benar setuju dengan idenya?
"Oh iya? Baguslah kalau begitu. Kalian sudah hampir dua tahun menikah. Masa mau menunda-nunda terus. Kalah nanti sama Charlie dan Luna," balas Sandra kembali menandingkan. Dan yang dibicarakan malah tersenyum tipis, karena merasa bahwa Sandra selalu berada di pihak mereka.
"Yakan mereka menikah karena Luna hamil duluan juga," timpal Ruben cuek—tak suka jika ibunya sudah bicara demikian. Karena pastinya hal tersebut akan menyinggung hati Felicia—yakni wanita yang sangat dicintainya.
"Jaga ucapanmu, Kak! Jangan mengungkit yang sudah lalu terus," seru Charlie sambil menggenggam tangan Luna yang langsung pucat, sebagai sesama suami, dia juga tak terima jika istrinya jadi bahan pembicaraan.
"Seharusnya kamu bilang begitu pada Mama!" balas Ruben. Selera makannya mendadak hilang, lantas dia pun segera bangkit dan memindahkan sang istri ke kursi roda.
Mereka berlalu dari sana. Padahal sisa makanan di piring masih begitu banyak.
"Sudah biarkan, orang yang merasa kalah saing memang suka sensi terus bawaannya, lagi pula Mama bicara seperti itu supaya Felicia sadar," timpal Sandra untuk mengembalikan situasi di meja makan. Sementara Tuan Tares sendiri, memilih untuk tidak peduli apa yang sedang dibahas oleh anak-anak dan istrinya.
*
*
*
"Bagaimana, An, apakah kamu sudah mendapat kandidatnya?" tanya Ruben pada sang asisten yang dia beri tugas untuk mencari wanita yang mau menyewakan rahimnya.
Andrey mendekat, lalu menyerahkan sebuah map berisi biodata wanita yang sudah dia kumpulkan.
"Semuanya ada di sana, Tuan," jawab Andrey, Ruben langsung menganggukkan kepala, akhirnya dia menerima ide gila dari istrinya.
*
*
*
Gaes, bantu dukung karya baru ngothor ya, jangan lupa subscribe, bintang lima, like dan komentarnya, love you💋💝
Sheana Ludwiq adalah seorang guru honorer di salah satu sekolah swasta. Wanita yang selalu berpenampilan sederhana dan cukup menutup diri, hingga untuk mencari calon suami pun, dia harus dibantu oleh ayahnya.
Ya, Sheana telah dijodohkan satu bulan yang lalu dengan pria bernama Firza, dan mereka berencana akan menikah tahun depan.
Namun, saat dia baru saja pulang mengajar, tiba-tiba dia dihadapkan dengan pembicaraan serius antara ayah dan kakaknya, sementara sang ibu yang sudah lama sakit stroke, kini hanya bisa berbaring di atas ranjang.
"Harapan kami hanya kamu, Shean!" ucap Darius setelah menjelaskan panjang lebar, sang ayah yang merupakan seorang mantan bupati. Namun, setelah berhenti menjabat kini dia hanya bekerja serabutan karena usahanya mengalami kebangkrutan. Ditambah sang istri yang sakit-sakitan.
"Apa maksud, Ayah?" tanya Sheana dengan kening mengernyit. Dia bukan tidak mengerti, tapi dia hanya ingin memastikan bahwa sang ayah tidak setega itu menjual dirinya, dan membatalkan perjodohan yang sudah dia terima.
"Shean, Ayah berhutang banyak pada keluarga Tares. Bahkan mereka yang memberi modal saat ayah mencalonkan diri menjadi bupati. Sekarang mereka meminta semua uang itu kembali atau jika tidak—setidaknya kita membalas budi dengan menjadikan kamu istri kedua dari anak Tuan Tares, yaitu Tuan Ruben!" jelas Aretha yang mendengarkan secara langsung pembicaraan Darius dengan Ruben yang berlangsung cukup kalut.
Mendengar itu, tentu saja Sheana sangat shock. Kenapa sekarang malah dia yang dikorbankan? Apakah tidak ada cara lain?
"Jadi istri kedua? Kalian gila ya, aku tidak mau! Aku sudah punya calon suami dan berencana untuk menikah. Itu juga Ayah kan yang menawarkannya padaku, terus apalagi ini?" sentak Sheana langsung menolak mentah-mentah.
"Kakak juga tahu. Tapi Tuan Ruben itu jauh lebih kaya dari pada Firza, Shean. Dia bisa menjamin hidupmu sepuluh kali lipat! Membiayai ibu juga. Lagi pula dia hanya menginginkan kamu untuk mengandung anaknya, itu juga tanpa berhubungan. Kurang enak apa?!" balas Aretha menggebu, bahkan sambil menunjuk wajah Sheana yang sudah berkaca-kaca.
"Enak? Kalau begitu Kakak saja sana!" balas Sheana tanpa pikir panjang. Namun, dia malah mendapatkan sebuah tamparan keras yang membuat Darius juga ikut terkejut.
Plak!
"Aretha!" seru Darius buru-buru menegur putri sulungnya. Kalau begini ceritanya, Sheana pasti akan semakin sulit dibujuk. Akan tetapi Aretha justru semakin berapi-api.
"Andai aku belum menikah! Aku akan melakukannya tanpa kamu suruh Shean! Apa sulitnya sih berkorban sedikit untuk keluarga? Aku bahkan tidak iri melihat kamu yang dikuliahkan oleh Ayah sampai sarjana, sedangkan aku? Aku banting tulang sendiri! Aku juga merasakan kejayaan Ayah hanya sebentar karena habis itu kita miskin lagi. Dan sekarang kamu minta aku yang melakukannya?" cerocos Aretha sambil melampiaskan unek-unek yang selama ini dia tahan. Sementara Sheana hanya bisa menangis sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
"Menangislah! Menangislah sesukamu. Dasar egois! Di pikiranmu pasti hanya ada kebahagiaanmu sendiri," cibir Aretha lagi seraya melenggang dari sana dengan emosi yang meletup-letup.
"Shean, maafkan Ayah," ucap Darius dengan wajah bersalah. Dia pun berusaha menenangkan Sheana yang baru saja mendapat amukan dari putri sulungnya. "Jika kamu tidak mau ya sudah. Tapi tolong nanti jaga ibu. Karena pasti keluarga Tuan Tares tidak akan diam saja."
Mendengar itu Sheana makin tergugu. Sekarang dia harus apa? Kenapa keluarga Tares malah memilihnya untuk dijadikan istri kedua? Kenapa tidak yang lain saja.
*
*
*
Semalaman Sheana berpikir, tetapi dia tak kunjung mendapatkan jalan keluar atas permasalahan keluarga yang mengorbankan hidupnya ini. Semua terasa buntu, hingga Sheana benar-benar merasa pusing dan akhirnya tertunduk pasrah.
Pagi ini Sheana bangun dengan mata sembab. Bahkan dia hanya tidur dua jam dan tak berniat untuk ikut sarapan bersama keluarganya. Darius sudah mencegah Sheana yang ingin langsung pergi ke sekolah, sementara Aretha terlihat acuh tak acuh, perdebatan mereka membuat wanita itu malas untuk bicara dengan adiknya.
"Shean, makanlah dulu!" titah Darius, tak ingin sang anak sakit karena terlalu banyak berpikir sampai lupa segalanya.
Sheana menatap ke arah Aretha. Kakaknya membisu dan tak mengucapkan sepatah kata maaf pun padanya. Artinya Aretha takkan menarik apa yang sudah keluar dari mulutnya. Membuat Sheana merasa miris. Ternyata sang kakak benar-benar tak memikirkan perasaannya sedikit pun.
'Di matanya aku hanya seorang pembangkang.' batin Sheana sambil menelan ludahnya getir.
Akhirnya Sheana menggelengkan kepala. "Tidak, Ayah. Aku akan sarapan di kantin sekolah saja. Aku akan terlambat jika harus menikmati sarapan bersama kalian." Ujarnya, lalu bergegas pergi tanpa menunggu respon Darius.
Darius menatap kedua putrinya secara bergantian. Aretha terlihat makan dengan kunyahan kasar, lalu meminta agar suaminya juga cepat-cepat menghabiskan makanan yang ada di piringnya.
*
*
*
Beranjak siang, ketika para siswa sedang menikmati waktu istirahat mereka. Tiba-tiba ada yang datang ke sekolah Sheana dan mencari gadis itu. Sosok berambut panjang sepinggang dengan setelan yang sangat modis, ditambah pernak-pernik mahal yang menempel di anggota tubuhnya.
"Bu Sheana, ada yang mencarimu. Dia ada di ruang tata usaha," ucap salah seorang rekan guru kepada Sheana. Sheana yang baru saja tiba di mejanya pun tampak mengernyit. Siapa yang tiba-tiba mencarinya?
"Siapa ya, Bu?" tanya Sheana penasaran, sambil melangkah menjauhi meja.
"Saya kurang tahu, tapi tadi dia nyebutin nama—Nyonya Felicia," jawabnya.
Sheana yang sama sekali tak mengenali nama itu memutuskan untuk langsung menemuinya. Lipatan di dahi Sheana terlihat semakin dalam saat melihat seorang wanita duduk di kursi roda.
"Hai, Anda Bu Sheana?" sapa Felicia lebih dulu sambil mengulurkan tangan kanannya. Sementara mata wanita itu memindai tubuh Sheana dari atas sampai bawah. Tidak terlalu buruk, tapi jika dibandingkan dengannya tentu sangat jauh. Apalagi kasta mereka berbeda.
Sheana mengangguk bingung. Sambil berusaha tersenyum, ia menyambut uluran tangan Felicia.
"Aku Felicia—apakah Bu Sheana punya waktu untuk bicara? Aku ingin ngobrol-ngobrol sebentar," ujar Felicia dengan ramah dan bahasa tubuh yang begitu anggun. Siapa saja yang melihat tentu sudah bisa menilai bahwa Felicia bukan dari kalangan biasa.
"Bicara tentang apa ya? Dan dari mana Nyonya Felicia tahu tentang saya?" Sheana memberanikan diri untuk bertanya, karena perasaannya mendadak tak enak. Apalagi saat ini mereka benar-benar hanya berdua, seolah semua orang memberi ruang pada Felicia untuk menemuinya.
Felicia tersenyum simpul.
"Aku istri Ruben, bukankah kamu yang akan menjadi maduku?" jawab Felicia tanpa ragu.
Deg!
Jantung Sheana langsung mencelos mendengar fakta tersebut.
Mendengar jawaban Felicia, seketika banyak sekali terkaan di otak Sheana. Apakah kedatangan Felicia ingin memaki dan memarahinya?
Sheana menelan ludahnya dengan berat sambil mundur beberapa langkah. Dan Felicia melihat jelas pergerakan itu.
"Jangan takut, aku tidak seperti apa yang ada di pikiranmu. Untuk lebih jelasnya ayo ikut aku keluar, kita bicara sambil menikmati makan siang," ujar Felicia sama sekali tak menunjukkan bahwa dia marah karena sang suami berani memadunya. Namun, dalam hati dia tergelak sinis, belum apa-apa Sheana sudah menunjukkan ketakutan. Membuatnya berpikir bahwa Sheana adalah gadis yang mudah ditindas dan diperdaya.
Sheana tampak ragu, tapi akhirnya dia mengikuti ajakan Felicia untuk pergi ke salah satu restoran yang tak begitu jauh dari sekolah.
Sambil menunggu pesanan mereka diantar, Felicia mengisi waktu dengan membicarakan rencana dia dan Ruben yang menginginkan anak dari rahim Sheana. Kenapa mereka memilih gadis itu? Karena ayah Sheana termasuk dalam daftar orang yang berhutang pada keluarga Tares, dan masih memiliki anak perempuan yang belum menikah, miskin pula.
"Melihat reaksimu saat aku memperkenalkan diri sebagai istri Ruben, aku yakin kamu sudah tahu semuanya," ucap Felicia yang membuat Sheana yang semula tertunduk langsung mengangkat wajahnya. "Ruben memang sedang mencari istri kedua. Dan asal kamu tahu—aku yang menyuruhnya."
Deg!
Gurat bingung langsung tergambar jelas di wajah Sheana. Apa yang sebenarnya ada di otak Felicia hingga mengambil keputusan seperti itu. Bukankah di dunia ini wanita itu paling benci dengan cinta yang dibagi-bagi? Tapi Felicia?
"Saya benar-benar tidak mengerti, Nyonya. Anda cantik dan sepertinya punya segalanya dari pada saya, tapi kenapa Anda malah rela berbagi cinta seperti ini?" balas Sheana dengan kening yang berlipat-lipat.
"Siapa bilang aku rela berbagi cinta? Aku hanya tidak bisa punya anak. Aku tidak bisa melahirkan penerus keluarga Tares, makanya aku meminta Ruben melakukan ini. Dan asal kamu tahu—aku juga memberikan beberapa persyaratan dalam perjanjian pranikah kalian ...." Felicia mengeluarkan sebuah map yang berisikan perjanjian tersebut untuk diserahkan kepada Sheana. "Bacalah ... aku berharap kamu bisa memahaminya."
Sheana mengambil map itu dengan tangan bergetar. Dia membacanya begitu teliti karena tak ingin tertinggal satu poin pun. Hingga dia bisa memahami, bahwa pernikahan ini hanya sebuah pernikahan kontrak, di mana keluarga Tares hanya membutuhkan rahimnya untuk mengandung seorang penerus.
"Kami akan menjamin kehidupanmu, Bu Sheana. Yang terpenting kamu mau mengikuti apa yang sudah kami tulis di sana," papar Felicia kembali mengulum senyum. Karena berpikir bahwa ini adalah penawaran yang sangat bagus, jadi Sheana tidak mungkin bisa menolak.
"Bagaimana kalau saya tidak mau?" tanya Sheana dengan tatapan lekat dan langsung menanggalkan senyum Felicia.
"Itu bagian suamiku, aku tidak tahu menahu," jawab Felicia dengan satu alis yang terangkat. Tangan Sheana mencengkram pinggiran map, dia dalam dilema besar karena berurusan dengan orang kaya memang tidak semudah itu.
*
*
*
Putus hubungan secara sepihak memang menyakitkan, apalagi sebelumnya kedua keluarga sudah menuai kesepakatan. Firza memang lebih dulu menyukai Sheana, dan dia meminta kedua orang tuanya untuk melamar gadis itu pada Darius.
Namun, sekarang tiba-tiba Firza mendapat kabar bahwa Sheana membatalkan perjodohan mereka dan mengembalikan cincinnya.
Tentu hal tersebut tak dia terima begitu saja, apalagi tak ada alasan yang tepat, karena sebelumnya mereka memang baik-baik saja.
Selama tiga hari Sheana tak bisa dihubungi, bahkan saat Firza menyambangi rumah Sheana pun, gadis itu seakan tak sudi menemuinya.
"Kak Retha!" panggil Firza saat melihat kakak dari kekasihnya itu keluar dari rumah. Dia langsung menghampiri wanita itu untuk menanyakan keberadaan Sheana.
Aretha memasang mimik tak ramah.
"Ada apa?" tanyanya sedikit ketus.
"Kak, aku ingin tahu di mana Sheana, kenapa tidak mau menemuiku barang sebentar? Bahkan dihubungi pun tidak bisa, nomor dan semua sosmedku malah diblok," ujar Firza mencoba mencari bantuan. Siapa tahu Aretha bisa membujuk Sheana.
"Aku sama sekali tidak tahu. Dan aku juga tidak ingin ikut campur masalah kalian," jawab Aretha acuh tak acuh. Sampai membuat Firza tercengang, padahal biasanya Aretha bersikap baik padanya. Namun, kali ini dia seperti menghadapi orang yang berbeda.
"Tapi Sheana pulang ke rumah kan, Kak?" tanya Firza lagi belum puas mendapat jawaban.
Akan tetapi Aretha malah memutar bola matanya jengah. "Aku bilang tidak tahu ya tidak tahu. Mungkin anak itu sudah punya kekasih lain, makanya mencampakkanmu seenaknya!" Jawabnya asal bicara.
Firza mengerutkan keningnya, merasa tak percaya dengan apa yang dibicarakan oleh kakak dari kekasihnya. Sheana bukan gadis yang seperti itu.
"Sudahlah, kamu buang-buang waktuku saja!" cetus Aretha segera meninggalkan Firza yang masih terpaku dengan jejuta tanda tanya.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya Firza pun kembali ke mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Dia tidak tahu, kalau Sheana ada di balik jendela dan sedari tadi menyimak obrolan mereka. Namun, Sheana tak bisa berkutik, sampai menangis pun harus dia tahan supaya tak bersuara.
"Bu, aku harus gimana?" gumamnya.
*
*
*
Pada akhirnya pernikahan kedua Ruben terjadi juga. Disaksikan oleh beberapa orang, karena status Sheana memang akan disembunyikan dari publik. Satu-satunya yang diakui sebagai istri dari pria itu hanya Felicia, bahkan saat Sheana berhasil melahirkan pun, anak itu akan menjadi anak Felicia dan Ruben. Sheana tidak akan memiliki hak sedikit pun.
Namun, meski begitu pernikahan tetap tercatat sah di mata hukum, karena itu persyaratan yang tidak terbantahkan dari Sheana, dan akhirnya baik Felicia dan Ruben pun setuju. Karena Felicia menganggap wanita itu bisa dibodohi dengan mudah.
Setelah sah menjadi istri kedua, Sheana langsung diboyong ke rumah baru. Di mana dia akan difasilitasi dengan layak, bahkan diberi beberapa pelayan untuk menemaninya.
"Nyonya, di sini adalah kamar utama dan akan menjadi kamar Anda," ucap Batari—orang yang dipercaya Ruben dan Felicia untuk melayani Sheana, sekaligus melaporkan apapun yang dikerjakan gadis itu.
Sheana menyapu ruangan besar nan luas itu. Bahkan ranjangnya pun king size, padahal dia hanya akan tidur sendirian di kamar ini. Tidak ada yang tidak mewah, semua serba terlihat mahal.
"Apakah saya benar-benar sendirian tinggal di rumah sebesar ini, Bi?" tanya Sheana sambil mendudukan dirinya di ranjang dan mengusap sprei yang rasanya begitu halus itu.
"Saya dan yang lain akan menemani Anda di sini, Nyonya, sesuai yang diperintahkan Tuan Ruben. Jadi kalau Anda butuh sesuatu, Anda tinggal bilang saja. Sebelumnya perkenalkan nama saya Batari," jawab Batari sambil menundukkan kepala.
Sheana menghela nafas lega, lagi pula memang rasanya tidak mungkin kalau mereka tidak mengirimkan orang ke tempat ini, karena mereka pasti memantau kegiatan Sheana sehari-hari.
"Kalau begitu tolong tinggalkan saya ya, Bi, saya mau istirahat," ucap Sheana sambil tersenyum tipis. Namun, dalam hati dia justru menjerit sakit. Karena apa yang dia terima saat ini justru menjadi awal kehancuran hidupnya.
Batari langsung pamit setelah mengangguk sopan. Sementara Sheana menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang campur aduk.
"Apakah aku berhasil membanggakan keluargaku? Apakah mereka bahagia aku melakukan ini? Bu ... Aku tidak salah jalan kan?" gumam Sheana sambil menelan ludahnya getir.
Untuk menguatkan dirinya, dia berusaha terus mengingat wajah sang ibu yang terbaring lemah di atas ranjang, terakhir saat mereka bertemu sang ibu hanya bisa meneteskan air mata karena tak bisa bicara.
Mungkin dengan begini ia juga bisa menyembuhkan wanita paruh baya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!