NovelToon NovelToon

The Curse Of Beauty

Bab 1

"Kau cantik sekali" kata seorang pria dengan perawakan tampan dan tinggi pada seorang wanita mungil yang telah terbaring tanpa busana di atas ranjang.

"Benarkah? Kalau begitu kenapa Anda tidak segera datang untuk mencicipi saya?" kata wanita dengan bibir tipis merah itu.

"Baiklah. Aku datang"

Suara desahan dan teriakan manja terdengar hampir di sepanjang malam di tengah lingkungan yang penuh dengan kegiatan penuh hiburan dewasa itu.

Dan ketika pagi menjelang pria itu telah pergi, meninggalkan setumpuk uang di sebelah tubuh wanita.

Sembilan bulan kemudian, suara teriakan kembali terdengar di kamar yang sama.

Hanya saja, kali ini bukan teriakan penuh kenikmatan. Melainkan teriakan kesakitan.

"Ayo, dorong lagi!!"

"AAAAAAHH!!!!"

Dengan wajah memerah menahan sakit, wanita yang sedang berjuang melahirkan anak itu tetap memiliki kecantikan tak terbantahkan.

Saat sakit tak dapat ditahan lagi, terdengarlah suara tangisan pertama seorang bayi.

"Selamat. Bayinya perempuan!!" seru sang bidan yang membantu kelahiran bayi itu.

Ketika bayi itu diserahkan ke ibunya, hanya ada senyuman penuh kasih sayang yang terpancar.

"Selamat datang ke dunia, cantik" ucap sang ibu lalu mencium bayinya.

"Bayi yang cantik. Sayang sekali dilahirkan di tempat seperti ini" ujar bidan membuat ibu yang baru saja melahirkan itu berubah ekspresi. Senyum yang tadi tampak begitu indah menghiasi wajah, sirna sudah.

"Dia akan hidup, meski di tempat seperti ini" balas sang ibu bayi lalu memekik kesakitan lagi.

Bidan hanya bisa mendesah panjang ketika mendengarnya lalu membersihkan sisa darah yang ada di perut ibu melahirkan. Setelah memeriksa semuanya dan memastikan pekerjaannya beres. Bidan mulai membersihkan bayi.

"Rambutnya hitam keriting. Tebal. Alisnya tertata rapi. Kulitnya putih bersih tidak ada tanda lahir. Jari tangan dan kakinya lengkap. Semuanya sempurna" ucapnya lalu mengembalikan bayi ke ibunya dalam keadaan telah memakai baju bayi berwarna merah jambu.

"Kirana" ujar sang ibu.

"Siapa?"

"Nama bayi ini. Kirana. Kirana. Anak perempuan yang cantik"

Bidan tersenyum lalu duduk di samping ibu melahirkan. Menepuk-nepuk bayi yang mulai menjilat tangannya sendiri.

"Nama yang cantik. Artinya bagus. Sama seperti ibunya. Juwita. Cantik"

Sang ibu tersenyum lagi penuh kasih lalu mengambil bayi dari tangan bidan. Menghirup aroma bayi perempuannya dan menimangnya dengan lembut.

"Dia akan menjadi anak yang cantik seperti namanya" harap ibunya.

Lima tahun berlalu dengan sangat cepat. Dan bayi perempuan itu benar-benar tumbuh menjadi anak yang cantik.

Rambut keriting halusnya memanjang hitam sepinggang, menutupi leher jenjang. Alis mata rapi hitam di atas mata. Yang memiliki warna pupil biru kehijauan. Kulit putih bersihnya mencolok di lingkungan yang lebih sering berada dalam kegelapan. Dan senyumnya manis sekali. Seakan dapat menggantikan sinar matahari yang tak pernah terlihat.

"Ibu!!!" teriaknya sembari berlari menuju rumahnya.

Pintu rumahnya tertutup membatalkan niat anak perempuan itu untuk masuk. Dia duduk diluar rumah, menutup telinga karena tidak mau mendengar apapun.

Saat pintu terbuka dan seorang pria keluar dari rumahnya dengan pakaian berantakan, sebuah tangan ramping mengelus kepala anak perempuan itu.

"Kenapa sudah pulang?"

Anak perempuan itu menoleh dan tersenyum.

"Ibu, di sekolah tidak ada guru" jelas anak perempuan itu lalu masuk ke dalam rumah. Meletakkan tas di atas meja dan mencari makanan sendiri dalam lemari.

"Tidak ada guru? Kemana semua guru di sekolahmu?" tanya ibunya.

"Guru? Tidak tahu. Mereka semua hilang"

Ibu anak perempuan itu mendesah panjang. Mengetahui kebenaran tentang kepergian semua guru di sekolah putrinya.

Lingkungan yang mereka tinggali sebenarnya sangat ramai dengan anak kecil. Karena itu pemerintah membangun sebuah sekolah untuk tempat anak-anak itu belajar. Sayangnya, semua anak itu adalah hasil sebuah hubungan yang tak baik.

Jadi tidak banyak guru yang berkenan mengajar. Menganggap mereka akan direndahkan karena mengajar anak-anak haram. Dan guru terakhir yang masih bertahan akhirnya pergi juga.

"Bagaimana kalau Kirana tidak sekolah? Bisa temani ibu di rumah seharian" kata ibunya lalu memeluk erat anak perempuan itu.

"Tidak! Aku akan belajar di sekolah. Tidak mau menemani ibu di rumah seharian"

"Untuk anak berumur lima tahun kenapa bicaramu lancar sekali?"

"Aku pintar karena belajar. Kata ibu aku harus lebih pintar lagi"

"Iya. Putri ibu harus lebih pintar. Lalu pergi dari rumah dengan penghargaan murid tertinggi"

"Penghargaan?"

"Iya. Kirana harus belajar lebih keras supaya dapat penghargaan. Nanti ibu akan menempelkannya di dinding"

"Benar? Ditempel di dinding?"

"Iya"

Kedua ibu dan anak itu berpelukan lagi penuh kasih sayang. Malam ini mereka makan roti dengan sup bakso yang panas. Lalu malam datang dan sang ibu harus kembali bekerja. Membuka pintu rumah untuk laki-laki yang membutuhkan hiburan.

Dan putrinya? Tidur nyenyak di gudang kecil di belakang rumah.

"Silahkan Tuan!!" teriak ibunya dengan suara manja nan menggoda.

Seorang pria datang mendekat.

"Kau, wanita yang sangat cantik" kata pria itu.

"Benarkah Tuan? Apa Anda ingin melihat lebih dekat?"

"Tapi ... Bukannya kau punya anak? Kata orang dia lebih cantik darimu. Bisakah aku melihatnya?"

Wajah sang ibu segera berubah kaku.

"Tuan!! Putriku masih terlalu kecil. Dia akan takut dilihat olehmu! Kenapa tidak aku saja? Aku tidak takut denganmu"

"Kecil? Tapi aku suka dengan perempuan muda" jawab pria itu membuat sang ibu murka. Tapi menyembunyikan amarahnya dibalik kecantikan.

"Tuan!! Anda membuat saya sedih. Ternyata saya tampak jelek di mata Tuan. Hiks!!" balas sang ibu dengan Isak tangis palsu.

"Tidak. Kau cantik. Kau sangat cantik"

Akhirnya pria kurang ajar itu menyerah dan datang ke pelukan sang ibu. Disaat si ibu kelelahan dan tertidur, dia tidak menyangka pria itu melakukan sesuatu.

Terdengar suara pintu berderit dan ...

"Ketemu ... "

"Cantik sekali, lebih cantik dari ibunya. Hahahaha"

Sang ibu merasa terganggu dengan suara tawa yang jelek itu dan bangun. Dia tidak melihat pria yang tadi menyentuhnya juga uang di atas ranjang. Pintu rumah masih tertutup rapat.

"Kemana dia?" tanyanya lalu merasakan firasat buruk.

Memakai baju sembarangan, dia segera berlari ke arah gudang. Pria itu tertawa lebar di dekat putrinya yang tertidur. Sang ibu berlari dan menendang pria itu sekuat tenaga. Dia berhasil membuat pria itu terdorong ke belakang dan menabrak dinding.

Tak menunggu pria itu sadar, sang ibu mengangkat putrinya dan lari keluar rumah. Dia terus berlari menyusuri atap buatan manusia yang membuat lingkungan itu menjadi tempat tergelap di kota. Sampai menginjak jalan yang disinari oleh matahari.

"Ibu"

Sang ibu melihat putrinya yang terbangun dan memeluknya erat.

"Kita pergi. Kita pergi!!" katanya berulang lalu duduk terjatuh di atas tanah.

"Pergi? Kemana?" tanya anak perempuan yang tampak semakin cantik di bawah matahari itu.

"Kemana saja, tapi tidak disini" ucap ibunya yang kemudian menangis.

Bab 2

"Kau yakin mau pergi?"

Sang ibu melihat tetangga seprofesinya yang berdiri di ambang pintu.

"Iya, aku pergi"

"Kemana? Lokasi lain?"

"Tidak. Aku mau bekerja biasa"

"Kau bisa apa memangnya?"

"Apa saja. Asal kami bisa keluar dari sini"

"Sinting!! Kau tidak akan bertahan hidup diluar. Kau tidak punya apa-apa selain wajah dan tubuhmu!"

"Kirana tidak akan tinggal disini! Tidak boleh tinggal disini"

"Anakmu cantik. Dia akan mendatangkan banyak uang untukmu jika tetap tinggal disini"

Mendengar itu, sang ibu yang sangat menyayangi mutiaranya segera mengerti bagaimana pelanggan terakhirnya kemarin tahu tentang Kirana. Dia menekan leher tetangganya sampai menyentuh dinding dan menatapnya penuh amarah.

"Jadi kau bilang keladinya. Sialan! Kalau kau dendam padaku, jangan lampiaskan pada putriku!!" katanya beberapa saat sebelum melepas penekanan tangannya di leher tetangga tidak tahu diri itu.

"Uhuk!! Uhuk!! Dasar gila!! Iya!!! Memang aku yang memberitahunya. Tapi aku tidak tahu kalau dia punya kelainan"

"Omong kosong. Kau memang gila!"

"Tidak!! Aku sungguh tidak tahu kalau dia tertarik pada ... Anak kecil. Pria gila!!"

Sang ibu selesai berkemas, dia menurunkan kopernya ke bawah dan menatap tetangganya dengan ekspresi serius.

"Jangan ulangi lagi perbuatanmu! Kau bisa membunuh seseorang jika terus begini" katanya lalu pergi ke kamar.

Dengan koper di satu tangan dan putrinya di tangan yang lain. Sang ibu mantap pergi dari lingkungan yang sudah menghidupinya selama lebih dari sepuluh tahun itu. Dari kegelapan nyata menuju sinar terang yang belum jelas keadaannya.

"Semua akan baik-baik saja" ucapnya lalu melangkah mantap ke daerah yang sangat berbeda.

Tapi kenyataan tak selalu berjalan seperti yang diharapkan.

Uang yang selama ini ditabung oleh sang ibu tidak dapat bertahan lama. Hanya bisa membiayai tempat tinggal selama satu tahun dengan biaya hidup dan juga sekolah putrinya. Setelah itu, sesuai dengan apa yang telah diperkirakan tetangga tak tahu diri itu.

Tanpa bekal tanda lulus yang resmi dari negara, dia tidak dapat melamar pekerjaan. Meski wajah dan tubuhnya sesuai dengan persyaratan. Yang bisa dia lakukan hanya menjadi buruh kasar tanpa keahlian yang khusus.

Sudah lebih dari tiga bulan dia menjadi pembantu di beberapa rumah. Sang ibu sengaja mengambil pekerjaan ini karena waktunya tidak menuntut. Meski gajinya kecil, dia tidak keberatan. Asalkan bisa mengawasi pertumbuhan putrinya yang menjadi sangat pintar setelah bersekolah.

Dengan guru yang selalu ada.

Tapi semua pekerjaan selalu memiliki resiko tersendiri.

"Kau pasti mencurinya!!" tuduh pemilik rumah di salah satu tempat sang ibu menjadi pembantu.

"Saya tidak mencuri" sangkal sang ibu.

Dia memang miskin dan butuh uang. Tapi dia tidak pernah mencuri.

"Kau pasti mencuri cincin berlian ku. Dan kau gunakan untuk merawat dirimu sendiri. Lihat dirimu!! Kulitnya putih, wajahmu bersih. Sama sekali tidak memiliki keriput atau noda di wajah. Padahal usia kita sama. Itu tidak mungkin!! Tidak mungkin! Kau pasti mendapatkan perawatan mahal dengan menjual cincin berlian ku!" teriak pemilik rumah.

"Saya tidak pernah merawat wajah. Semua yang ada dalam tubuh saya adalah anugerah dari Tuhan!!"

"Tidak mungkin!! Kau pasti merawat dirimu dengan perawatan mahal. Dan itu hasil menjual cincin berlian ku!!"

"Saya tidak pernah mencuri!!"

Keributan itu akhirnya selesai dengan ditemukannya cincin pemilik rumah di salah satu tasnya. Tapi pemilik rumah yang kesal karena penampilan pembantunya lebih cantik memilih untuk memecat sang ibu.

"Sialan!!! Padahal aku butuh uangnya" keluh sang ibu tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa mencari pekerjaan di tempat lain untuk menambal pengeluaran yang terus membesar.

Akhirnya sang ibu mendapat pekerjaan baru. Menjaga sebuah toko kecil. Dia melakukan semuanya dengan baik sampai salah satu pelanggan terus datang ke toko itu tiap malam. Dan tak pernah pulang sebelum diusir.

Karena merasa keberatan, sang ibu mencoba bicara dengan pelanggan itu. Tapi yang didapatnya.

"Aku tahu kau penghuni tempat hiburan itu. Salah satu yang terkenal" ucap pelanggan itu membuat sang ibu merinding. Sudah hampir satu tahun dia meninggalkan dunia itu. Tapi ternyata ada yang mengingatnya.

"Salah lihat" jawabnya tidak ingin memperpanjang obrolan.

"Tidak!! Karena aku mengingat semua wanita yang pernah bersamaku. Tapi ternyata ... Kau melupakan semua pria yang pernah bersamamu?"

Sialan, pikir sang ibu.

Kalau pembicaraan ini terus berlangsung, pasti tidak akan berakhir bagus.

"Ibuuuu!!" teriak anak perempuan yang kini tampak lebih besar dari beberapa bulan lalu. Dan ... Lebih cantik juga.

"Cepat masuk!! Kenapa tidak di rumah?!" tegas sang ibu sedikit ketus. Karena putrinya datang di waktu yang tidak tepat. Dia segera membungkus putrinya dengan selimut, menyembunyikan anak perempuan cantik itu di balik meja counter yang tinggi. Agar pelanggan sinting yang sedang mengamati semuanya itu tidak sempat melihat.

"Ohh, jadi itu alasanmu berhenti" lanjut pria itu tak juga memiliki keinginan pergi.

Sang ibu memilih untuk tidak berkata apa-apa. Dia takut apa yang dikatakannya akan menjadi buah simalakama.

"Kau masih cantik tapi terlihat lusuh sekarang. Aku bisa membuatmu tampak cantik lagi seperti dulu. Dan beberapa pelanggan yang mungkin akan membayar mahal untukmu. Kali ini, jumlah uangnya berbeda. Lebih besar daripada di tempat kumuh itu"

Sang ibu tetap terdiam. Tidak mau berkomentar.

Pria itu menyodorkan sebuah kertas yang ternyata adalah kartu nama.

"Ini nomorku. Hubungi aku kalau kau tak sanggup lagi menjalani kehidupan normal" lanjut pria itu dan akhirnya pergi.

Sang ibu melihat ke arah putrinya. Membuka selimut yang membungkus putri kecilnya dan memeluknya erat.

"Kenapa Bu?" tanya putrinya.

"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa"

Tiga bulan kemudian, sang ibu diharuskan untuk membayar biaya sewa rumah dan juga sekolah. Padahal uang yang ada di kantongnya sangat sedikit. Kalau semua dibayar, maka dia tidak akan punya uang untuk biaya hidup sehari-hari. Dengan pekerjaan yang dia miliki sekarang, tidak akan mungkin bisa membayar semua kebutuhan hidup ini. Bahkan dia tidak tahu apakah setahun kemudian, dia dan putrinya masih bisa tinggal di rumah yang layak.

Apa yang harus dia lakukan?

Sebuah kartu nama tiba-tiba muncul di sudut ruangan. Tepat dimana dia membuangnya dulu. Sang ibu mengambil kartu nama itu dan melihat nomor telepon yang tercatat disana.

Setelah melalui keraguan selama beberapa hari, dia tak bisa lagi membohongi diri. Dia membutuhkan uang yang mudah dan dalam jumlah besar. Dan dia tidak akan mungkin mendapatkannya dengan bekerja biasa.

"Hari Sabtu ini, aku akan menjemputmu" kata pria yang waktu itu meninggalkan kartu nama saat sang ibu akhirnya menghubungi.

"Hemm"

"Kau akan bekerja selama dua hari satu malam setiap minggunya. Aku akan menjemputmu di ujung jalan"

Meski rasanya ragu, sang ibu tak punya pilihan lain.

"Hemm"

"Persiapkan dirimu!!"

Suara mendesah panjang keluar dari mulut sang ibu. Dia melihat putrinya yang sibuk menggambar dan mendekatinya.

"Ibu kenapa?"

"Tidak apa-apa"

Semua akan baik-baik saja, pikir sang ibu yang bersiap menghadapi kenyataan pahit.

Bab 3

Baik-baik saja?

"Sialan!!" ucap sang ibu ketika harus menyeka darah yang ada di ujung bibirnya.

Klien yang dikenalkan pria itu ternyata memiliki kegemaran aneh.

"Uhukk"

Sang ibu kembali batuk dan kali ini mengeluarkan darah menggumpal.

"Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa bertahan?" tanyanya pada diri sendiri.

"Tapi hanya dua hari seminggu. Aku punya lima hari istirahat. Pasti semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa bertahan" pikirnya lalu kembali ke tempat dia harus bekerja.

Beberapa jam kemudian,

"Ibuuu"

"Ibuuuu"

"Ibuuuu"

Sang ibu membuka mata dan ada seorang peri cantik yang sedang menatapnya. Dia mengulurkan tangan dan membelai rambut keriting yang perlahan berubah bentuk itu.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara parau.

"Ibu kenapa?" tanya anak itu.

"Tidak apa-apa"

"Wajah ibu merah-merah. Tangan dan kaki ibu juga"

Sang ibu tersenyum lalu melihat lebam yang mulai membiru di tangannya.

"Ibu jatuh" jawabnya tidak ingin pergi kecil cantiknya khawatir.

"Kirana membuat sarapan untuk ibu. Jangan lupa dimakan. Sekarang Kirana mau sekolah dulu"

"Terima kasih sayangku" jawab ibunya dengan tersenyum, menyembunyikan sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.

Setelah putrinya berangkat, sang ibu melanjutkan tidurnya. Tak menyangka hari berlalu dengan cepat dan malam menyambutnya ketika bangun tidur.

Sang ibu melihat semua luka di tubuhnya. Semuanya mulai membiru dan terasa perih. Untungnya pria penyambung klien itu memberinya salep penghilang lebam. Dia mengoleskan salep ke semua lukanya dan menutupi dengan pakaian serba panjang. Agar putrinya tidak melihat luka-lukanya.

"Kenapa tidak membangunkan ibu?" tanya sang ibu pada anak perempuannya yang sedang membaca buku.

"Ibu butuh tidur. Kirana tidak mau mengganggu"

Sungguh putri yang pengertian. Padahal masih berusia enam tahun tapi bisa berpikir seperti itu. Sang ibu sungguh kagum pada putrinya sendiri.

"Terima kasih. Apa yang ingin kau makan malam ini?" tanya sang ibu ingin menghilangkan rasa bersalah karena tertidur hampir seharian.

"Nasi goreng" jawab putrinya.

Sang ibu kembali tersenyum dan pergi ke dapur untuk memasak.

Tiga bulan kemudian, sang ibu dan putrinya mulai terbiasa dengan pekerjaan baru itu. Meski di hari Senin dan Selasa, sang ibu harus berisitirahat penuh. Tapi di tiga hari berikutnya, ketika luka-luka itu mulai sembuh, sang ibu bisa melakukan tugas seperti biasanya.

Dan uang yang dihasilkan dari pekerjaan baru ini mulai membuahkan hasil. Tabungan sang ibu menggemuk. Dia merasa tenang ketika memiliki kemampuan untuk bisa membayar sewa rumah selama dua tahun ke depan. Setidaknya dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan tempat tinggal dan biaya sekolah putrinya.

Namun, perlahan kondisi tubuhnya melemah. Pukulan, cambukan dan tendangan yang diberikan oleh kliennya menyebabkan tubuhnya tak bisa lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Pulang bekerja, dia hanya bisa melihat dan mencium putrinya yang sudah tidur lalu jatuh tergeletak di atas lantai.

Kirana mendengar suara pintu terbuka. Dia tersenyum karena tahu kalau itu ibunya yang pulang dari bekerja.

Perlahan rasa kantuk menyerang dan dia tertidur pulas ketika ibunya memberikan ciuman tanda sayang di dahi.

Tak pernah tahu kalau setelah dia tidur, ibunya tidak keluar dari kamarnya. Tapi tertidur di lantai kamarnya.

"Ibu!" panggilnya untuk yang kesekian kali tapi tidak mendapatkan jawaban. Perlahan Kirana mengulurkan jari ke hidung ibunya. Dia merasakan ada hembusan angin hangat disana dan merasa sedikit tenang.

Kira a membuka kain yang menutup tubuh ibunya dan merasa takut. Luka-luka di tangan dan punggung ibunya kenapa tampak merah sekali? Seperti ada darah di luka itu. Dia harus memberitahu seseorang. Tapi ... Kalau memberitahu orang lain, mereka akan mengetahui pekerjaan ibunya. Dan semua orang pasti akan bicara tidak baik pada ibunya. Kirana tidak mau hal itu terjadi.

Dia harus membuat ibunya sadar terlebih dahulu dan membawanya ke rumah sakit.

Kirana pergi ke kamar mandi, mengambil air hangat dan meletakkannya di wajah ibunya. Wanita yang melahirkannya itu tersentak dan memegang tangannya dengan erat.

"Putriku!!" kata ibunya membuatnya hampir menangis.

Tidak, dia tidak boleh menangis. Ibunya sadar, itu bagus sekali. Sekarang, dia harus membawa ibunya ke rumah sakit.

"Ibu bisa berdiri?" tanyanya.

"Sebentar. Biarkan ibu disini sebentar lagi"

Suara ibunya terdengar semakin lemah, membuat Kirana takut.

"Ibu berdiri sekarang! Ibu harus ke rumah sakit. Sekarang!!"

Mendengar teriakan penuh khawatir Kirana, ibunya mulai berusaha untuk bangun. Dan mereka akhirnya bisa pergi ke rumah sakit.

Ibunya segera diperiksa oleh dokter. Kirana disuruh menunggu diluar, tapi dia menolak keras. Dia ingin tetap berada di dekat ibunya. Tidak mau meninggalkan ibunya meski satu langkah.

"Kondisi tubuh Anda buruk. Apa Anda tahu penyebabnya?" tanya dokter yang memeriksa ibunya.

"Iya" jawab ibunya.

Kirana melihat ke arah ibunya dan menunduk.

"Tubuh Anda tidak bisa menerima perlakuan seperti ini lagi. Anda harus berhenti sekarang juga. Atau ... Anda bisa meninggal"

Mendengar kata itu, Kirana menatap wajah ibunya. Tidak, dia tidak mau ibunya meninggal. Kalau ibunya meninggal, bagaimana dengannya?

Hanya ibunya, satu-satunya keluarga yang Kirana miliki. Tidak ada yang lainnya.

"Saya akan memikirkannya" jawab ibunya lalu dokter pergi meninggalkan mereka.

Kirana mendekat ke arah ibunya dan menyodorkan minum.

"Ibu minum"

"Terima kasih"

"Ibu mau makan?"

"Tidak. Ibu tidak mau makan"

"Tapi ibu kurus"

"Tidak apa-apa. Bisa tidak Kirana pergi membeli makan sendiri? Ibu ingin tidur sebentar"

Kirana menurut. Dia pergi ke minimarket yang ada di dalam rumah sakit, membeli roti dan memakannya. Lalu dia kembali ke kamar ibunya dengan makanan ringan. Tapi ibunya masih tidur.

Dia menunggu ibunya terbangun di kursi. Tak mau mengganggu istirahat ibunya yang sedang kesakitan.

Setelah ibunya bangun, mereka keluar dari rumah sakit dan pulang. Seperti yang dikatakan dokter, ibu Kirana tidak bekerja Minggu ini. Kirana senang bisa bermain dengan ibunya di hari libur sekolah.

Tapi seminggu kemudian seorang pria ada di depan rumah mereka. Ibu Kirana menyuruhnya pergi ke rumah tetangga. Bersembunyi disana.

"Jangan pulang sebelum ibu menjemputmu! Mengerti?!" kata ibunya yang membungkus Kirana dengan jaket.

"Iya"

Kirana menurut dan pergi ke rumah tetangga. Dia diam disana sampai ibunya datang menjemput. Di wajah ibunya ada tanda kemerahan besar. Tidak tahu kenapa.

Sampai rumah, Kirana melihat dua koper besar telah disiapkan.

"Kita pergi!" kata ibunya.

Kirana hanya bisa mengangguk tanda setuju.

Mereka pergi malam itu, meninggalkan rumah yang telah disewa dan juga sekolah yang membawa kebahagiaan untuk Kirana selama beberapa bulan terakhir.

Tapi ... Semua ini demi dia bisa bersama ibunya. Jadi Kirana tidak akan pernah mengeluh. Dia memeluk tubuh ibunya dan mereka saling menghangatkan di perjalanan menuju tempat yang belum diketahui.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!